• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

PROFIL DAN ANALISIS: GENDER, ANAK DAN PEREMPUAN

3.5 Perlindungan Perempuan dan Anak

3.5.1 Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Konvensi PBB mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan mencantumkan kekerasan berbasiskan gender sebagai definisi diskriminasi terhadap perempuan. Kekerasan berbasis gender (gender-based violence) sebagai kekerasan yang ditujukan kepada perempuan karena ia seorang perempuan atau kekerasan yang sangat berpengaruh terhadap perempuan. Secara khusus, Deklarasi PBB tahun 1993 tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan mendefinisikan kekerasan sebagai kekerasan berbasis gender yang meliputi segala tingkah laku merugikan yang ditujukan kepada perempuan dan anak perempuan karena jenis kelaminnya termasuk penganiayaan istri, penyerangan seksual, mas kawin yang dikaitkan dengan pembunuhan, perkosaan dalam perkawinan, pemberian gizi yang kurang pada anak perempuan, pelacuran paksa, sunat untuk anak perempuan, dan penganiayaan seksual pada anak perempuan. Lebih khusus lagi, kekerasan terhadap perempuan meliputi segala tindakan pemaksaan secara verbal atau fisik, pemaksaan atau perampasan secara verbal atau fisik, pemaksaan atau perampasan kebebasan yang membahayakan jiwa, ditujukan pada perempuan atau anak perempuan yang merugikan baik secara fisik maupun psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan secara

sewenang-sewenang sehingga mengekalkan subordinasi perempuan (Heise et al dalam Hakimi dkk, 2001). Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang menghambat tercapainya kesetaraan, kemajuan, dan perdamaian.

Jadi dapat dikatakan bahwa kekerasan adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis termasuk ancaman tertentu, pemaksaan ataupun perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum, yang mencakup tiga ruang lingkup, yakni kekerasan di lingkup domestik, kekerasan di dalam masyarakat serta kekerasan yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara.

Berbagai kekerasan berbasis gender tidak dapat dilepaskan dari konteks nilai-nilai dan pandangan kultural serta ideologi patriarki yang selalu memposisikan perempuan sebagai obyek dan berada di pihak terpinggirkan yang berlaku dalam struktur kehidupan.

Definisi kekerasan menurut Fakih (1999) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, sedangkan Tamrin A. Tomagola (dalam Rosyid dkk, 2002) mengategorikan kekerasan terhadap perempuan sebagai berikut :

(1) Domestic violence, kekerasan yang terjadi di lingkungan yang dekat dengan korban, dilakukan oleh orang dekat yang dikenal korban, seperti ayah, saudara laki-laki, paman, bahkan pacar. Bentuk kekerasan ini dapat berupa pengguguran janin, pelecehan seksual yang menjurus menjadi pemerkosaan, dan lain-lain.

(2) Kekerasan di luar keluarga, kekerasan yang terjadi di komunitas dan tempat umum, di tempat kerja serta kekerasan perempuan dalam media massa dan kekerasan yang dilakukan oleh negara.

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) timbul karena dilatarbelakangi oleh : • budaya patriarki,

budaya patriarki menempatkan posisi laki-laki lebih unggul daripada perempuan dan berlaku tanpa perubahan, seolah-olah hal yang kodrati;

• stereotip,

pandangan dan pelabelan dapat memberikan kerugian dalam kehidupan, misalnya laki-laki merasa kuat sehingga harus menguasai perempuan yang dipandang lemah;

• interpretasi agama yang bias gender, dan

interpretasi agama yang bias gender cenderung tidak sesuai dengan nilai-nilai universal agama, misalnya suami boleh memukul istri kalau istri menolak melayani kebutuhan seksual suami dengan alasan nusyuz;

• tumpang tindih dengan legitimasi budaya.

Kekerasan yang berlangsung tumpang tindih dengan legitimasi dan menjadi bagian dari budaya, keluarga, dan praktik di masyarakat sehingga menjadi bagian kehidupan.

Budaya dan interpretasi ajaran agama yang berlaku dalam masyarakat memberikan pengaruh terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di Provinsi DIY. Budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, adalah budaya Jawa yang dipengaruhi keberadaan Kraton Ngayogyakarta sebagai sentral peradaban dan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Ungkapan swarga nunut neraka katut (istri mengikuti kemanapun suami pergi apakah ke surga ataupun ke neraka) merupakan bentuk kepatuhan perempuan Jawa (dalam hal ini istri) kepada laki-laki (dalam hal ini suami). Selain itu, sesuai dengan tradisi Jawa, perempuan yang telah menikah dengan laki-laki, sudah tidak mempunyai hak atas dirinya lagi karena perempuan (istri) sudah dianggap sebagai milik laki-laki (suami). Adanya nasehat (wejangan) dari orang tua untuk anak perempuannya yang diberikan sebelum menikah bahwa

perempuan sebagai seorang istri harus dapat menjaga kehormatan suaminya dan menyembunyikan konflik yang mungkin terjadi antara dia dengan suaminya (Hakimi dkk, 2001).

Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakat. Dalam hukum Islam menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan berhak untuk mendidik istrinya. Berdasarkan hal tersebut, timbullah interpretasi bahwa suami boleh memukul istrinya sebagai upaya mendidik sehingga terdapat anggapan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami merupakan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan rumah tangga.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan merupakan fenomena gunung es sebagai akibat belum tersedianya data sebenarnya mengenai jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga di Provinsi DIY. Hal tersebut dikarenakan masih adanya masalah kekerasan dalam rumah tangga sebagai urusan pribadi (personal) sehingga pihak-pihak lain (pihak luar termasuk aparat penegak hukum atau polisi) tidak sepatutnya mencampuri masalah tersebut. Selain itu, perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat berbicara secara terbuka mengenai kasus yang dialaminya dalam keluarga (Kalibonso, 2002).

Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat terjadi di sektor domestik dan publik yang dilakukan secara individu atau kelompok/kolektif, sedangkan dampak yang ditimbulkan dari tindak kekerasan tersebut cukup berpengaruh pada masa depan.

Kekerasan sebagai bentuk tindakan yang dilakukan pihak lain yang dapat mengakibatkan penderitaan pada pihak lain, dan terwujud dalam dua bentuk kekerasan, yaitu kekerasan fisik yang menimbulkan luka pada fisik hingga dapat berujung kematian, dan kekerasan non fisik yang berakibat timbulnya trauma berkepanjangan pada korban terhadap hal-hal tertentu yang dialaminya (Saraswati dalam Rosyid dkk, 2002).

Dilatarbelakangi dengan timbulnya tindak kekerasan tersebut, Pemerintah Indonesia menetapkan undang-undang untuk melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, yaitu Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Jumlah perempuan dan anak yang menjadi korban dalam tabel di bawah ini adalah jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan dan tercatat, sedangkan jumlah sesungguhnya bisa jauh lebih besar lagi, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan dan tidak tercatat dengan alasan pertimbangan tertentu dari korban dan keluarga korban. Tabel berikut ini merupakan laporan kasus kekerasan yang ditangani oleh Pemerintah Provinsi DIY melalui Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) “Rekso Dyah Utami” dari tahun 2004 - 2008.

Tabel 44

Kasus dan korban kekerasan yang ditangani oleh P2TPA “Rekso Dyah Utami” Provinsi DIY tahun 2004 - 2008

Jenis Kekerasan

Jenis

Kelamin Wilayah Jml

L P Kota Btl KP GK SLM Lain-lain

KDRT 11 245 109 45 11 11 75 5 256 Kekerasan Terhadap anak 45 50 28 28 1 8 26 4 95 Perkosaan 2 28 6 9 3 5 4 3 30 Kehamilan Tidak Dikehendaki 0 31 8 2 3 7 11 0 31 Pelecehan Seksual 0 25 14 6 0 2 3 0 25 Kekerasan dalam Pacaran 0 29 12 3 3 1 10 0 29 Jumlah 58 408 177 93 21 34 129 12 466

Pada tabel di atas, sebagian besar korban yang ditangani oleh P2TPA berjenis kelamin perempuan, yakni terdapat 408 perempuan dan anak, serta 58 laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa kaum perempuan dan anak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta rentan terhadap tindak kekerasan, jenis atau bentuk kekerasan terbanyak adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga. Padahal, sejak tanggal 22 September 2004, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Undang-Undang no. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Hadirnya Undang-Undang tersebut akan memberikan landasan hukum untuk pencegahan dan penghapusan tindak kekerasan, disamping perlindungan korban, serta penindakan terhadap pelaku kekerasan, dengan upaya tetap menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga.

Data dalam tabel tersebut belum memperlihatkan pemilahan korban kekerasan terhadap remaja putri dan perempuan dewasa sebagai korban. Data penanganan remaja putri sebagai korban kekerasan masih dikelompokkan dalam kelompok anak, kaena masih mengacu pada ketentuan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum genap berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Berikut ini disajikan hasil kajian yang dilakukan dalam “Pemetaan Kekerasan pada Remaja Putri” tahun 2007 (Sastriyani, tahun 2008) :

Tabel 45

Data Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Anak Berdasarkan Wilayah dan Tahun Penanganan di Provinsi DIY

No Jenis Kasus Umur Wilayah Tahun

1 Kekerasan terhadap anak (KTA), psikis, anak dieksploitasi ayah kandung

14 Kota 2004

2 KTA, seksual, perkosaan oleh kakek

tetangga 12 Sleman 2004

3 Kehamilan tidak dikehendaki (KTD), pacar tidak tanggung jawab

4 KTA, psikis, dipaksa nikah oleh orang

tua kandung 18 Gunung Kidul 2005 5 KTA, seksual, hamil dengan ayah

tirinya 16 Kota 2005

6 KTA, psikis 13 Kota 2005

7 KTA, fisik, hidungnya dipukul ayah

kandungnya 18 Kota 2005

8 KTA, seksual, diperkosa orang tidak

dikenal 18 Gunung Kidul 2005 9 KTA, seksual, diperkosa oleh tiga

orang dengan diminumi kecubung 17 Kota 2005 10 KTA, seksual, pelecehan dari

temannya

17 Kota 2005

11 KTA, seksual, perkosaan berakibat KTD

18 Gunung Kidul 2005 12 KTA, seksual, pelecehan oleh

para-normal yang baru mengobati sepupunya

18 Gunung Kidul 2005 13 KTA, fisik, diminumi racun tikus oleh

ibunya karena bapaknya selingkuh 11 Gunung Kidul 2006 14 KTA, seksual, diperkosa oleh ayah

tirinya 15 Kulon Progo 2006

15 KTA, seksual, diperkosa oleh ayah kandungnya

16 Sleman 2006 16 KTA, seksual, pelecehan dari mantan

pacar 16 Bantul 2006

17 KTA, psikis, ketakutan 11 Kota 2006 18 KTA, fisik, psikis, penelantaran, tidak

boleh sekolah

14 Bantul 2006 19 KTA, seksual, pelecehan 15 Sleman 2006 20 KTA, fisik, dipukul ayahnya sampai

hidung bengkok

16 Kota 2006

21 KTA, fisik, tangan luka 16 Sleman 2006 22 KTA, seksual, perkosaan 11 Kota 2006 23 KTA, psikis, penelantaran 17 Bantul 2006 24 KTA, seksual, pelecehan 13 Kota 2007 25 KTA, psikis, penelantaran 14 Kota 2007 26 KTA, psikis, penelantaran 17 Bantul 2007

Pada satu sisi, data tersebut memperlihatkan bahwa remaja putri di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesungguhnya rentan terhadap tindak kekerasan, baik dari orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar dalam kehidupannya, bahkan juga orang-orang yang tidak dikenal. Bentuk kekerasan yang menimpa mereka juga cukup beragam, mulai dari kekerasan psikis, fisik, penelantaran, sampai perkosaan.

Anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar dan proporsional baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Berikut ini disajikan data jumlah anak terlantar.

Tabel 46 Jumlah Anak Terlantar

No Kabupaten/ Kota L P L P L P 2006 2007 2008 1 Gunung Kidul 1.436 1.024 5.402 4.044 5.676 4.137 2 Bantul 522 335 3.106 2.316 3.321 2.391 3 Kulon Progo 1.220 946 4.583 3.909 5.325 4.059 4 Sleman 218 123 5.134 4.006 5.777 4.221 5 Kota Yogyakarta 329 215 630 435 959 602

Sumber: Dinas Sosial Provinsi DIY

Tabel di atas dapat dilihat jumlah anak terlantar di masing-masing Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY. Jumlah anak terlantar terbanyak terdapat di Kabupaten Gunungkidul, yaitu masing-masing 1.436 untuk anak laki-laki dan 1.042 untuk anak perempuan (tahun 2006), pada tahun 2007 naik menjadi 5.402 untuk laki-laki dan 4.044 untuk anak perempuan, tahun 2008 anak laki-laki berjumlah 5.676 dan 4.137 perempuan. Jumlah anak terlantar paling sedikit terdapat di Kota Yogyakarta.

BAB III

Dokumen terkait