• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Untuk Pengurusan Jual Beli Tanah Yang Belum Didaftarkan Apabila Terjadi

BAB IV PEMBAHASAN

A. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Untuk Pengurusan Jual Beli Tanah Yang Belum Didaftarkan Apabila Terjadi

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Untuk Pengurusan Jual

Beli Tanah Yang Belum Didaftarkan Apabila Terjadi

Sengketa Di Pengadilan Negeri.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga kehidupan masyarakatnya harus ditentukan oleh hukum yang memberi kepastian tentang hak-hak dan kewajiban seseorang. Dalam pelaksanaannya baik dalam hukum perdata maupun hukum pidana, adakalanya dilanggar sehingga ada pihak yang dirugikan dan mengakibatkan gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Untuk mempertahankan hukum yang dilanggar tersebut harus dibuat peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya agar hukum itu ditaati dan dilaksanakan demi terciptanya kepastian hukum.

Pada asasnya acara yang berlangsung di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama atau Pengadilan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) membawa hubungan yang bersifat langsung antara hakim dan pihak-pihak yang berperkara, dengan kata lain para pihak harus menghadap sendiri dalam berperkara di muka persidangan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, tetapi tidak menutup kemungkinan kepada para pihak yang sedang berperkara untuk diwakili oleh pihak atau orang lain, yang diberikan melalui surat kuasa.

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan Ibu Dian selaku pemberi kuasa kepada advokat Bapak Hambali pada tanggal 11 Maret 2007 mengenai faktor yang membuat seseorang itu mewakilkan kuasanya dalam persidangan di pengadilan kepada advokat adalah sebagai berikut:

1. Adanya ketidak pahaman seseorang dalam memahami hukum acara. 2. Adanya kesibukan yang membuat seseorang itu mewakilkan kuasanya. 3. Dengan mewakilkan kuasanya lebih mempermudah untuk memperjuangkan

hak-haknya.

Hal ini juga dibenarkan oleh pengacara (Bapak Hambali) yang diwawancarai oleh peneliti pada tanggal 11 Maret 2007.

Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim (Bapak Maringan Situngkir,SH) yang diwawancarai pada tanggal 11 Maret 2007 di Pengadilan Negeri Yogyakarta, surat kuasa yang digunakan di dalam praktek di pengadilan kebanyakan berupa surat kuasa khusus yang tertulis, artinya hanya mengenai satu perkara atau lebih. Surat kuasa itu harus disampaikan kepada hakim yang menangani perkara tersebut, hal ini dimaksudkan untuk memperlancar jalannya proses peradilan (sidang). Pihak

penggugat dapat juga menguasakan kepada orang lain di dalam surat gugatannya asalkan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.42

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi kuasa di dalam beracara dimuka pengadilan yaitu:

a. Kuasa dari penggugat:

1) Harus mempunyai surat kuasa khusus.

2) Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dengan catatan apabila gugatan tersebut diajukan secara lisan.

b. Kuasa dari tergugat.

1) Harus mempunyai surat kuasa khusus.

2) Ditunjuk oleh tergugat sebagai kuasa atau wakil dalam persidangan.43 Pemberian kuasa dikatakan khusus karena harus tercantum siapa-siapa yang bersengketa, yaitu penggugat dan tergugat serta disebutkan pula pokok sengketanya (perkara apa dan persoalan apa).

Bila dibandingkan dengan putusan Raad Justisi (kamar tiga) Jakarta 9 September 1938 No. 272/1938 (tidak diumumkan secara luas), disini surat kuasa tidak perlu menunjukan dengan perkara manakah yang dituju, melainkan sudah cukup bilamana menyebutkan macam dari perkara yang dimaksud oleh yang memberi kuasa.

Putusan tersebut menghendaki agar setiap pengadilan dapat memerintahkan kepada pihak yang memberi kuasa untuk hadir sendiri pada sidang pengadilan untuk

42

Wawancara dengan Hakim PN YK Bapak Maringan Situngkir pada tanggal 11 Maret 2007. 43

menjelaskan tentang apa yang dikuasakan kepada wakilnya. Hal ini ditentukan oleh pengadilan bilamana pengadilan tersebut merasa ragu-ragu tentang hak serta luasnya hak yang diberikan kepada wakilnya tersebut.44

Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim (Bapak Maringan Situngkir) selaku hakim di Pengadilan Negeri Yogyakarta yang diwawancarai pada tanggal 11 Maret 2007 di Pengadilan Negeri Yogyakarta bahwa pemberian kuasa diberikan kepada:

1. Orang yang karena profesinya, seperti pengacara, advokat, dan pengacara praktek, yang sekarang menjadi satu dalam wadah persatuan organisasi advokat.

2. Orang yang bukan karena profesinya (kuasa insidentil), seperti dikuasakan kepada orang tua atau dikuasakan kepada saudara kandungnya.

Pemberian kuasa yang dapat dilakukan oleh kedua orang tersebut diatas mempunyai perbedaan yakni:

1) Untuk karena profesinya dahulu harus ada surat izin khusus praktek dari Pengadilan Tinggi di dalam melaksanakan tugasnya sebagai penerima kuasa, tetapi dengan adanya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, maka izin diberikan oleh organisasi Advokat, dan menurut pasal 4 ayat 3 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, salinan berita acara sumpahnya dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri Terkait, dan Organisasi Advokat.

44

2) Untuk orang yang bukan karena profesinya agar dapat bertindak sebagai wakil di Pengadilan Negeri harus ada surat keterangan bantuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, juga disertai surat keterangan dari Kelurahan setempat sampai Kecamatan bahwa orang yang mewakili ini benar-benar orang tua atau saudara kandung dari pemberi kuasa.

Perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri pada umumnya menggunakan jasa penerima kuasa yang karena profesinya, sedangkan yang bukan karena profesinya hanya beberapa saja. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat semakin sadar akan pentingnya jasa penerima kuasa, sebab dengan menggunakan jasa penerima kuasa berarti sidang akan berjalan lancar, dan cepat terselesaikan serta mencegah adanya perlakuan yang tidak adil. Untuk orang yang bukan karena profesinya jarang terjadi terutama untuk perkara gugatan. Sedangkan untuk perkara gugatan permohonan mulai nampak kemajuan karena semakin lama semakin bertambah, walaupun penambahannya tidak melonjak.

Prosedur pemberian kuasa dalam berperkara di Pengadilan Negeri, berdasarkan wawancara dengan hakim (Bapak Maringan Situngkir,SH) yang diwawancarai pada tanggal 11 Maret 2007 di pengadilan Negeri Yogyakarta ada tiga macam yakni:

1. Pemberian Kuasa Dengan Menggunakan Akta Notaris.

Pemberian kuasa dengan akta notaris ini harus dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana perjanjian dibuat, yang dimaksud pejabat umum yang berwenang disini adalah notaris, hal ini berhubungan dengan definisi dari akta otentik

yang sudah dipaparkan pada pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut.45

Akta yang dibuat oleh notaris dapat merupakan salah satu akta yang secara otentik menguraikan sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuatnya, yakni notaris itu sendiri, yang hal itu bertindak dalam menjalankan jabatannya dan akta mana dalam hal itu dinamakan akta yang dibuat “oleh notaris” sebagai pejabat umum.

Akta notaris dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris. Biasanya pemberian kuasa dengan akta notaris ini dilakukan untuk perkara-perkara yang dinilai besar.46

Dalam pemberian kuasa dengan menggunakan akta notaris, disini karena adanya kelebihan-kelebihan bila dibandingkan dengan yang lain, yakni meliputi: a). Kekuatan pembuktian diri (uitwendige bewijskrecht).

Maksud akta ini membuktikan sendiri keabsahannya atau seperti yang lazim disebut “acta plubica probant seseipsa”, yakni menandakan dirinya dari luar, dari kata-katanya sebagai yang berasal dari seorang pejabat, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa itu tidak otentik.

b). Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht).

Artinya akta notaris itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni dari yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat

45

Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 46

dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formil ini maka terjamin kebenaran tanggal dari akta itu, kebenaran dari tanda tangan yang ada dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir demikian juga tempat dimana akta itu dibuat.

c). Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht).

Dalam hal ini artinya keterangan yang terdapat di dalam akta notaris itu tidak dapat disangsikan adalah merupakan kenyataan, terhadap mana akta itu mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap terhadap mana akta itu dapat dikatakan diperuntukan untuk menyatakan kebenaran kenyataan itu. Notaris sebagai pejabat umum disini hanya sebagai saksi dalam pembuktian pada persidangan di muka majelis hakim, bukan sebagai penerima kuasa yang beracara di pengadilan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang advokat.

Berdasarkan hasil wawancara dengan notaris (Bapak Sukarno) pada tanggal 10 Maret 2007, dalam hal ini kedudukannya sebagai notaris bukan sebagai penerima kuasa. Notaris di sini hanya mengesahkan saja apa yang telah dibuat oleh para pihak (penerima kuasa dan pemberi kuasa). Caranya ialah notaris menjelaskan isinya dan membacakan surat itu, kemudian pemberi kuasa dan penerima kuasa menandatangani surat kuasa tersebut di hadapan notaris. Hal ini disebut legalisasi tanda tangan. Ada juga yang tidak menggunakan legalisasi, namanya pencatatan dalam register (waarmerken).47

47

Pencatatan ini tanggalnya mulai berlaku, pada saat dicatatkan dihadapan notaris, walaupun surat kuasa itu diberikan pada penerima kuasa pada tanggal sebelumnya. Pada legalisasi surat kuasa yang diberikan kepada penerima kuasa dihadapan notaris itu langsung berlaku. Kesimpulannya, seorang notaris dapat juga hanya menjelaskan dan menyaksikan pemberian kuasa serta mencatatkan di dalam buku register di dalam kantor notaris.

Begitu pula dalam kasus yang sudah dipaparkan pada latar belakang mengenai perjanjian jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa di pengadilan negeri. Menurutnya, disini notaris dalam pembuktiannya sebelum melakukan perjanjian jual beli yang diminta para pihak untuk membuat akta perjanjian, notaris terlebih dahulu menanyakan kepada para pihak tentang tanah yang diperjual-belikan apakah benar-benar kepunyaan dari penjual tanah tersebut. Apabila tanah tersebut belum didaftarkan atas kepemilikannya maka notaris disini mengurus terlebih dahulu untuk mendaftarkan hak atas kepemilikan tanah ke Badan Pertanahan Nasional setempat. Biasanya yang mengurus tanah yang belum didaftarkan atau belum memiliki sertifikat atas kepemilikannya adalah notaris PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), karena Notaris PPAT disini memiliki kewenangan untuk membuat akta peralihan hak atas tanah, kemudian membuatkan akta perjanjian jual-beli tanah yang diminta oleh para pihak tersebut dengan berdasarkan kesepakatan antara pihak penjual dengan pihak pembeli. Di sini pihak pembeli menjelaskan pokok

permasalahan yang diinginkan kepada notaris PPAT yang menangani atau yang membuat akta tersebut, begitu pula sebaliknya dari pihak penjual.48

Dalam akta perjanjian jual beli yang dibuat notaris PPAT di sini terdapat kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh pihak penjual dengan pihak pembeli dengan tercapainya tujuan yang diinginkan oleh masing-masing pihak kemudian membubuhkan tanda tangannya yaitu tanda tangan notaris PPAT yang membuat akta tersebut dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Dalam akta jual-beli yang dibuat oleh PPAT diberi materai dan ditandatangani oleh para pihak yang terkait di dalam pembuatan akta jual-beli tersebut. Akta jual beli terdiri rangkap empat, dimana dua eksemplar bermaterai yang ditanda tangani oleh penjual di atas materai dan dua lagi tidak bermaterai yang merupakan salinan akta jual-beli, dimana satu untuk penjual dan satunya lagi untuk pembeli, sedangkan dua eksemplar yang bermaterai tadi satu untuk arsip PPAT dan satunya lagi dikirim ke Badan Pertanahan Nasional pada waktu melakukan pendaftaran balik nama hak atas tanah ke Badan Pertanahan Nasional setempat dimana tanah terletak. Penjual dan pembeli mendapatkan salinan akta tersebut dipergunakan jika sewaktu-waktu terjadi segketa atas objek yang di perjual-belikan sehingga dapat menunjukan akta tersebut sebagai alat bukti yang sah.49

Menurut notaris (Bapak Sukarno) yang diwawancarai pada tanggal 10 Maret 2007, mengenai pembuktian akta notaris untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa di pengadilan negeri, dapat dilakukan dengan cara menunjukan bukti-bukti yang sah dan pantas sebagai alat bukti dalam

48

Wawancara dengan notaris Bapak Sukarno pada tanggal 10 Maret 2007. 49

pembuktian di persidangan atau di hadapan majelis hakim. Misalnya dengan menggunakan alat bukti yang berupa tulisan atau akta perjanjian jual beli yang telah dilakukan dan disepakati para pihak yang tercantum dalam akta tersebut. Dalam akta jual beli tersebut menguatkan bahwa benar-benar telah terjadi perjanjian jual- beli tanah, dalam isinya tanah yang belum didaftarkan tersebut sudah diurus dan didaftarkan kepemilikan hak atas tanahnya oleh notaris PPAT yang membuat akta tersebut. Dalam kasus ini sudah memiliki poin tersendiri dalam menguatkan mengenai kekuatan pembuktian yang melibatkan notaris dalam pengurusan jual-beli tanah apabila terjadi sengketa di hadapan mejelis hakim. Akta yang berupa tulisan merupakan bagian alat bukti yang berupa akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya.

Dalam hal mengenai beban pembuktian karena pembuktian hanya diperlukan dalam penyelesaian sengketa di pengadilan, maka para pihak yang bersengketa harus meyakinkan hakim akan kebenaran bukti-bukti yang dimilikinya, agar dalil-dalil yang dikemukakan di depan persidangan tersebut dapat di yakini oleh hakim sebagai suatu kebenaran.

Mengenai siapa-siapa yang harus membuktikan pasal 163 HIR menentukan: “Barang siapa yang menyatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan suatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu , atau untuk membantah hak orang lain,

maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Ketentuan pasal 163 HIR ini diterima secara umum sebagai asas tentang beban pembuktian, yaitu siapa yang mengaku mempunyai hak, harus dibebani dengan pembuktian. Selanjutnya menurut Prof. Sudikno Mertokusumo pasal 163 HIR tersebut sama sekali tidak cukup terang menjadi dasar penyelesaian soal pembagian beban pembuktian, karena baik tergugat maupun penggugat dapat menyatakan suatu hak dan peristiwa untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain.50 Prof. Sudikno Mertokusumo berpendapat, “Pada hakekatnya hal ini tidak lain untuk memenuhi syarat keadilan, agar resiko dalam beban pembuktian tidak berat sebelah, oleh karena pembagian beban pembuktian ini sangat menentukan jalannya peradilan. Hakim harus berhati-hati dalam melakukan pembagian beban pembuktian.51 Menurutnya pasal 163 HIR itu didasarkan pada asas yuridis, bahwa apa yang nampaknya telah ada secara sah hanyalah untuk sementara dipertahankan demi kepastian hukum, ini merupakan persangkaan hukum.52

Kekuatan pembuktian akta otentik, menurut pasal 165 HIR (pasal 285 Rbg, pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata) maka akta otentik bagi para pihak dan ahli warisnya serta yang memperoleh hak daripadanya, merupakan bukti sempurna, tentang apa yang termuat di dalamnya dan bahkan tentang yang terdapat dalam akta sebagai penuturan belaka, yang terakhir ini hanya sepanjang yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok akta. Kalau yang dituturkan akta tersebut tidak

50

R. Wirjono Prodjodikoro., Hukum Acara Perdata di Indonesia, 1988, Bandung: Sumur h - 105. 51

Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty Yogyakarta, h - 110. 52

Sudikno Mertokusumo, 1980, Beberapa Asas Pembuktian dan Penerapannya dalam Praktek, Liberty Yogyakarta, h - 17.

ada hubungan langsung dengan pokok akta, menurut pasal 1871 KUH Perdata hal itu hanya akan berlaku sebagai permulaan bukti tertulis. Selanjutnya menurut pasal 1872 KUH Perdata apabila akta otentik yang bagaimanapun sifatnya diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan.53

a) kekuatan pembuktian lahir akta otentik

Sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Sebagai alat bukti maka akta otentik, baik akta pejabat (akte ambtelijk) maupun akta para pihak (akte partij), ini keistimewaanya terletak pada kekuatan pembuktian lahir.

b) kekuatan pembuktian formil akta otentik

Dalam akta formil akta otentik membuktikan kebenaran daripada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat. Ini tentang pembuktian kebenaran daripada keterangan pejabat sepanjang mengenai apa yang dilihat dan dilakukannya. Pada akta pejabat tidak terdapat pernyataan atau keterangan dari para pihak melainkan pejabatlah yang menerangkan.

c) kekuatan pembuktian materiil akta otentik

Di sini keterangan para pihak tidak ada. Kebenaran dari pernyataan pejabat serta bahwa akta itu dibuat oleh pejabat adalah pasti bagi siapapun, maka pada umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan pembuktian meteriil. Akta pejabat yang mempunyai kekuatan pembuktian materiil ialah akta yang

53

dikeluarkan oleh Kantor Pencatatan Sipil (pasal 25 S 1849 no. 25, 27, S 1917 no. 130 jo. S 1919 no. 81, 22, S 1920 no. 751 jo. S 1972 no. 564).54

2. Pemberian Kuasa Yang Diberikan Secara Lisan.55

Sebenarnya undang-undang tidak melarang pemberian kuasa oleh klien kepada pengacara dilaksanakan secara lisan. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dari para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Dalam beracara di pengadilan pun tidak ada kewajiban bagi para pihak yang bermaksud mewakilkan atau meminta didampingi oleh pengacara harus membuat surat kuasa secara tertulis, artinya pemberian kuasa secara lisan untuk beracara di pengadilan diperbolehkan.

3. Pemberian Kuasa Dengan Menggunakan Akta Di Bawah Tangan.

Perjanjian pemberian kuasa inilah yang sering digunakan oleh pengacara/notaris. Perjanjian pemberian kuasa dengan menggunakan cara ini baru berlaku sah, yakni sebagai yang betul-betul berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menanda tanganinya mengakuai tanda tangannya itu, atau apabila dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagaimana telah diakui oleh yang bersangkutan.

Dalam perjanjian pemberian kuasa dengan menggunakan akta di bawah tangan ini hanya mempunyai kekuatan pembuktian secara material saja, yakni hanya

54

Ibid, h - 126. 55

Yaitu apabila pihak pemberi kuasa buta huruf. Pada jenis pemberian kuasa ini klien hanya

membubuhkan cap jari dengan disahkan oleh pejabat yang berwenang, biasanya notaries dan panitera pengadilan. Pemberian kuasa ini dilakukan dihadapan Hakim.

meliputi kenyataannya saja, bahwa keterangan yang diberikan itu apabila tanda tangan itu diakui oleh yang menandatanganinya saja atau dianggap sebagai telah diakui sedemikian menurut hukum.

Sebelum pemberian kuasa ini dilakukan pada umumnya terlebih dahulu melalui tahap-tahap tertentu, seperti hasil dari wawancara dengan Advokat (Bapak Hambali) pada tanggal 11 Maret 2007, yaitu meliputi:

1) Tahap pertama dengan dimulai datangnya calon klien kepada pengacara. Klien yang datang kepada seorang pengacara tidak secara otomatis akan menjadi klien. Klien yang datang kepada pengacara baik secara langsung maupun secara tidak langsung harus menceritakan sendiri pokok permasalahannya yang diminta bantuan hukum kepada seorang pengacara, yang dimaksud kedatangan klien secara tidak langsung dalam hal ini adalah klien yang datang kepada seorang pengacara melalui seorang perantara. Wawancara secara langsung kepada klien ini dimaksudkan supaya permasalahan atau persoalan yang dikemukakan yang dimintakan bantuan hukum kepada pengacara dapat dijamin ke objektifannya. Di samping itu juga agar klien mengetahui secara langsung siapakah kuasanya.

2) Tahap kedua setelah calon klien menjelaskan pokok-pokok permasalahannya disertai dengan bukti-bukti yang diperlukan, kemudian pengacara akan memberi penjelasan-penjelasan seperlunya, baik penjelasan mengenai permasalahannya maupun penjelasan mengenai persyaratan bagi klien untuk diberikan bantuan hukum, dengan kata lain persyaratan untuk menjadi klien.

3) Penandatanganan surat kuasa dengan akta notaris dan klien akan terjadi setelah adanya kesepakatan antara keduanya untuk mengadakan hubungan hukum pemberian kuasa. Pada tiap-tiap kantor kantor pengacara, biasanya sudah disiapkan/disediakan blangko surat kuasa sehingga kedua belah pihak yaitu pengacara dan klien tinggal menandatanganinya saja, apabila diantara keduanya tidak tercapai kesepakatan untuk mengadakan hubungan hukum pemberian kuasa maka sifatnya hanya konsultasi saja.56

Menurut responden Pengacara (Bapak Hambali) yang diwawancarai oleh penulis pada tanggal 11 Maret 2007, dalam menentukan besarnya honorarium pengacara ditentukan pada saat terjadi kata sepakat antara klien dengan pengacara atau pada waktu perkara yang dikuasakan telah selesai dengan sebaik-baiknya. Cara pembayaran pada kantor pengacara atau kantor notaris tersebut dapat juga dengan cara diangsur selama tiga kali:

1. Sepertiga dibayarkan oleh klien sebelum kuasa dilaksanakan, yaitu segera setelah tercapai kesepakatan antara klien dan pengacara atau notaris dalam mengadakan hubungan pemberian kuasa.

2. Sepertiganya lagi dibayarkan oleh klien pada pertengahan pelaksanaan kuasa. 3. Sisanya dibayarkan pada akhir pelaksanaan kuasa dengan sebaik-baiknya

dengan tidak ada kelalaian dari pengacara. Klien dapat menuntut ganti rugi kepada kuasanya, apabila lalai untuk melaksanakan kuasa tersebut.57

56

Wawancara pada Advokat Bapak Hambali pada tanggal 11 Maret 2007. 57

Bagi klien yang tidak mampu dapat diberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (prodeo), seperti yang terkandung dalam Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 22 ayat 1: “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu” asalkan membawa surat keterangan tidak mampu dari pemerintah desa dimana bertempat tianggal. Isi surat keterangan surat itu menerangkan bahwa klien betul-betul tidak mampu untuk membayar honorarium pengacara.

Besar kecilnya uang jasa/honorarium pengacara yang harus dibayarkan

Dokumen terkait