• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan pembuktian Akta Kuasa Notaris untuk pengurusan jual-beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa : studi kasus di Pengadilan Yogyakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kekuatan pembuktian Akta Kuasa Notaris untuk pengurusan jual-beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa : studi kasus di Pengadilan Yogyakarta"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA KUASA NOTARIS UNTUK PENGURUSAN JUAL-BELI TANAH YANG BELUM DIDAFTARKAN APABILA TERJADI SENGKETA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Yogyakarta). SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum. Oleh: PRIYATIN P. ADI NIM. 0310100215. DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM MALANG 2007.

(2) DAFTAR PUSTAKA Buku: H. Nawawi, Hadari, 2003, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Cet. 10. UGM Press, Yogyakarta. Harahap, Yahya, 2004, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta. Mertokusumo, Sudikno,1999, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta. Parlindungan, A.P., 1999, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Prodjodikoro, Wirjono., 1981, Hukum Perjanjian , Sumur Bandung. Soebekti R., dan Tjitrosudibio, 1992, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. 25, Pradnya Paramita, Jakarta. Soebekti R., 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. , 1981, Aneka Perjanjian Edisi Ke empat, Alumni, Bandung. , 1983, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta. Soeryopraktikya, Hartono., 1993, Perwakilan Berdasarkan Kehendak, Inter Massa, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan: Putusan No. 05/Pdt/G/1998/PN. YK. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria. Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Kenotariatan. Undang-undang No. 35 tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W). Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (HIR/RBg). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah..

(3) BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perkembangan hubungan hukum dalam ruang lingkup hukum perdata pada saat ini sangat berperan dalam pengambilan putusan oleh hakim. Hukum perdata yang memiliki nilai pembuktian pada akta perjanjian, baik akta otentik maupun akta dibawah tangan merupakan alat bukti yang memiliki arti penting dalam suatu sengketa perdata mengenai perbuatan hukum antara pihak yang terkait dalam perjanjian jual beli tanah. Kekosongan (kefakuman) peraturan mengenai akta pemberian kuasa notaris menyebabkan hakim harus menganalisa suatu kasus yang terkait dengan suatu konstruksi hukum yang tepat. Konstruksi hukum itu didasarkan pada alat-alat bukti yang mengarah kepada posisi dari peristiwa hukum. Akta notaris yang merupakan “ambtelijke akte” (akta pejabat) pada hakekatnya memiliki nilai pembuktian yang sempurna. Benda tidak bergerak menurut sifatnya yaitu tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya sering menimbulkan suatu sengketa perdata. Oleh sebab itu sangat penting mengungkap posisi kasus tersebut berdasarkan kekuatan pembuktian akta notaris untuk pengurusan jual-beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa dalam memberikan kepastian hukum. Untuk mendapatkan kepastian hukum, subjek hukum harus mendaftarkan tanah di kantor Badan Pertanahan Nasional.. 1.

(4) Pemindahan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah itu beralih dari seseorang kepada orang lain. Pemindahan hak merupakan perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah berpindah dari yang mengalihkan kepada yang menerima. Perbuatan hukum tersebut seperti tukarmenukar, hibah, atau pemberian dengan wasiat dan jual-beli. Jual-beli, tukar-menukar dan hibah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak atas tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya, dimana hak atas tanahnya berpindah kepada yang menerima penyerahan. Pada jual-beli pemilik hak atas tanah menerima penggantian yang berupa sejumlah uang tertentu. Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah dibuktikan dengan akta pejabat yang di tunjuk oleh menteri. Menteri disini adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan (pasal 1 ayat 21 Peraturan Pemerintah No. 24 tanggal 8 Juli tahun 1997). Pejabat yang berwenang membuat akta perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah atau memberikan sesuatu hak baru atas tanah adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Setiap pemilikan hak atas tanah dibuktikan dengan adakalanya sertifikat yang menjamin kepastian hukum bagi pemiliknya. Tapi adakalanya hak kepemilikan tanahnya itu belum di sertifikatkan dan hanya dibuktikan dengan tanda bukti hak yang berupa Petok D, Leter C atau kitir yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah dimana tanah tersebut terletak. Dalam hal seperti ini maka berarti tanah yang bersangkutan belum didaftarkan ke Kantor Badan Pertanahan setempat. Meskipun belum didaftarkan yang berarti belum bersertifikat tetapi karena telah mempunyai bukti hak kepemilikan maka hak atas tanah yang bersangkutan. 2.

(5) dapat di peralihkan haknya kepada pihak lain, antara lain dengan cara jual-beli hak atas tanah. Peralihan hak atas tanah dengan cara jual-beli dapat dilakukan oleh pihak lain yang diberi kuasa khusus oleh pemiliknya, jadi tidak harus dilakukan oleh pemilik tanah sendiri. Berdasarkan pasal 1792 KitabUndang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatakan pemberian kuasa adalah suatu perjanjian persetujuan dimana pihak yang satu (pemberi kuasa) memberikan kuasanya kepada pihak lain (penerima kuasa), yang menerimanya untuk atas kuasanya dalam melakukan suatu urusan. Kata-kata “atas namanya” menunjukkan kuasa (volmacht) itu adalah suatu wewenang untuk mengikatkan kuasa (volmachtgever) secara langsung kepada pihak ketiga. Surat kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dengan surat dibawah tangan maupun dengan lisan. 1 Disamping itu pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, dapat pula secara umum yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa, yang hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. 2 Surat kuasa dapat di buat oleh pejabat umum yang berupa akta otentik tapi dapat juga dibuat oleh bukan pejabat yang sering disebut dengan surat kuasa di bawah tangan yang mempunyai kekuatan pembuktian atas tanda tangannya yang diakui oleh para pihak. Peraturan mengenai pembuktian akta pemberian kuasa notaris untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa di pengadilan masih belum efektif dalam pelaksanaannya. Masyarakat yang mengalami. 1 2. Pasal 1793 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1795 jo 1796 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 3.

(6) permasalahan ini cenderung mencari informasi dengan berkonsultasi kepada notaris untuk menyelesaikan permasalahannya. Dalam penyelesaiannya tergantung pada penilaian hakim terhadap beban pembuktian yang dibebankan pada pihak-pihak yang terkait dalam permasalahan mengenai kekuatan pembuktian akta notaris untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang sudah dipaparkan diatas, yaitu mengenai kekuatan pembuktian akta notaris untuk pengurusan jual-beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa, penulis memberikan contoh kasus putusan di Pengadilan Negeri Yogyakarta berdasarkan Putusan No. 05/Pdt/G/1998/PN. YK, dengan duduk perkara Warsiti sebagai Penggugat, melawan Abdul Malik sebagai tergugat. Tentang duduknya perkaranya, mengenai sengketa tanah sawah yang melibatkan notaris dalam pengurusan jual beli tanah sawah yang di persengketakan di Pengadilan Negeri Yogyakarta bahwa Tuan Damar menjual tanah sawah yang terletak di wilayah Sorosutan, kecamatan Umbulharjo Yogyakarta dengan luas 1.524 M2 (seribu lima ratus dua puluh empat meter persegi) kepada Tuan Abdul Malik. Dalam perjanjian jual beli tanah sawah ini para pihak menggunakan jasa dihadapan Notaris. Beberapa tahun kemudian setelah adanya jual beli tanah sawah tersebut, datanglah Nyonya Warsiti yang juga merupakan anak dari Tuan Damar mengklaim bahwa tanah sawah yang dibeli Tuan Abdul malik dari Tuan Damar dengan akta Notaris itu adalah tanah miliknya. Kemudian dari situlah timbul sengketa karena Nyonya Warsiti mempunyai bukti berupa saksi-saksi bahwa tanah sawah tersebut belum didaftarkan atas hak milik atau belum mempunyai sertifikat atas tanah sawah yang seharusnya didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional,. 4.

(7) sehingga Nyonya Warsiti mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dalam pengakuannya Nyonya Warsiti menyatakan bahwa tidak mengetahui adanya akta Notaris jual beli tanah sawah yang dilakukan kedua belah pihak di hadapan notaris, kemudian Tuan Abdul Malik mengatakan bahwa tanah sawah itu benar-benar dibelinya dari Tuan Damar selaku ayah dari Nyonya Warsiti dengan menunjukkan bukti akta jual beli tanah yang dibuat PPAT di hadapan notaris yang diberi kuasa olehnya. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam putusannya menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, dimana dalam putusannya ditegaskan bahwa telah terjadi jual beli tanah sawah antara Tuan Damar dengan Tuan Abdul Malik secara sah dihadapan Notaris PPAT. 3 Dalam kasus tersebut penggugat tidak memiliki alat bukti yang dapat menunjang isi gugatannya sehingga Hakim memutus untuk menolak isi dari gugatan penggugat untuk seluruhnya berdasarkan alat bukti yang diajukan oleh tergugat, yaitu bukti akta perjanjian jual-beli tanah sawah di hadapan notaris PPAT. Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka penulis perlu mengkaji putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta mengenai dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut dan bagaimana pembuktian yang dilakukan notaris terhadap akta jual beli tanah yang belum didaftarkan oleh bersengketa.. 3. Putusan No. 05/Pdt/G/1998/PN. YK.. 5. para pihak yang.

(8) B. Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang akan dikemukakan penulis antara lain: 1. Bagaimana kekuatan pembuktian akta kuasa notaris untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa di Pengadilan Negeri. 2. Apa dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara kekuatan pembuktian akta kuasa notaris untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa.. C. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penulisan ini adalah: a. Untuk menganalisis kekuatan pembuktian akta kuasa notaris untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa. b. Untuk mendeskripsikan dasar hukum pertimbangan hakim untuk memutuskan kekuatan pembuktian akta kuasa notaris untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa.. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a.. Untuk mempertimbangkan teori yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian akta notaris. 6.

(9) untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa di Pengadilan Negeri. b.. Dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut bagi mahasiswa yang ingin meneliti tentang kekuatan pembuktian akta notaris untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa.. 2. Manfaat Praktis a.. Bagi Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta Agar lebih teliti merumuskan dasar pertimbangan hukum dalam memutus perkara tentang pembuktian akta kuasa notaris untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa di pengadilan.. b.. Bagi Notaris Di Yogyakarta Sebagai tambahan wawasan atas apa yang diputuskan hakim mengenai kekuatan pembuktian akta kuasa notaris untuk pengurusan jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa.. c.. Bagi Para pihak yang bersengketa di Pengadilan Negeri Yogyakarta Sebagai pengetahuan bagi para pihak dalam pengurusan jual-beli tanah dan sebagai wawasan bagaimana prosedur-prosedur apa yang harus dipenuhi tentang jual beli tanah yang belum didaftarkan apabila terjadi sengketa.. 7.

(10) E. Sistematika Penulisan BAB I. :. PENDAHULUAN Dalam bab pendahuluan diuraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.. BAB II. :. KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan tentang pengertian dan ruang lingkup mengenai Pembuktian, tinjauan umum mengenai perjanjian jual-beli, tinjauan umum mengenai pemberian kuasa, dan pengertian dan ruang lingkup pendaftaran tanah.. BAB III. :. METODE PENELITIAN Dalam bab ini diuraikan tentang metode pendekatan, likasi penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, populasi dan pengambilan sampel serta teknik analisa data.. BAB IV. :. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam Bab ini mengemukakan hasil dan pembahasan dari penelitian tentang Kekuatan Pembuktian Akta Kuasa Notaris untuk Pengurusan Jual-beli Tanah yang Belum didaftakan apabila terjadi sengketa, dan dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara mengenai Kekuatan Pembuktian Akta Kuasa Notaris untuk Pengurusan Jual-beli Tanah yang Belum didaftarkan apabila terjadi sengketa.. 8.

(11) BAB V. :. PENUTUP Berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian, yang dikaji berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya, yang merupakan jawaban dari permasalahan. Dalam bab ini juga dikemukakan saran-saran, sekedar sebagai sumbangan pikiran yang dapat diharapkan menambah perkembangan hubungan perdata di Indonesia dimasa yang akan datang.. DAFTAR PUSTAKA. 9.

(12) BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP MENGENAI PEMBUKTIAN a. Pengertian Pembuktian Pengertian dari “membuktikan” ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau “perkara” dimuka Hakim atau Pengadilan. 4 Tugas Hakim atau Pengadilan adalah menetapkan hukum untuk suatu keadaan tertentu, atau menerapkan hukum atau undang-undang, menetapkan apakah yang “hukum” antara dua pihak yang bersangkutan itu. Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim itu, masingmasing pihak memajukan dalil-dalil (bahasa latin “posita”) yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalildalil manakah yang salah. Dalam Code Civil, Hukum Pembuktian diatur dalam Buku III yang memuat Hukum Perikatan, yaitu dalam suatu bab yang berjudul : “Tentang Pembuktian Perikatan dan Pembayarannya”. 5 “Membuktikan” mengandung beberapa pengertian: 1. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis, membuktikan di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu axioma, yaitu 4 5. R. Subekti., Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, h - 7 Ibid, h - 8. 10.

(13) asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak, yang tidak memungkinkan dengan adanya bukti lawan, kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. 2. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensionil. Disinipun membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan: a. kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan maka kepastian ini bersifat intuitif dan disebut conviction intime. b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raiosonnee. 3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang dan menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari para pihak tersebut. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasardasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurut Syuling maka membuktikan secara yuridis tidak hanya memberi kepastian. 11.

(14) kepada hakim, tetapi terjadinya suatu peristiwa, yang tidak tergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan dan sumpah. 6 Untuk tujuan pembuktian di sini sudah menjadi communis opinio seperti yang telah diketengahkan di muka, bahwa membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim harus mengkonstantir peristiwa, mengkwalifisirnya, dan kemudian mengkonstituir, maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Walaupun putusan itu harus obyektif, namun dalam hal pembuktian dibedakan antara pembuktian dalam perkara pidana yang mensyaratkan adanya keyakinan dan pembuktian dalam perkara perdata yang tidak secara tegas menyaratkan adanya keyakinan. 7 Siapa yang Harus Membuktikan Untuk mencari kebenaran dan menetapkan atau mengkonstatir peristiwanya adalah hakim. Peristiwa itu ditetapkan atau dikonstatir oleh hakim setelah dianggapnya terbukti benar. Kalau hakim yang harus mengkonstatir peristiwanya, siapakah yang wajib membuktikannya? yang wajib membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah yang berkepentingan di dalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak, yang berkepentingan tidak lain adalah para pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Para pihaklah yang wajib membuktikan peristiwa yang disengketakan dan bukan hakim (Pasal 163 HIR pasal 6. Sudikno Mertokusumo,1999, Hukum Acara Perdata, Cetakan kelima, Liberty Yogyakarta, h – 108109. 7 Op, Cit, h - 109. 12.

(15) 283 Rbg dan 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak,.....harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”(baca juga pasal 178 ayat 1 HIR, pasal 189 ayat 1 Rbg, pasal 50 ayat 1 Rv). 8 Apa yang Harus Dibuktikan Seperti yang sudah dikemukakan di bahasan sebelumnya, bahwa yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit). Ketentuan ini dapat disimpulkan dari pasal 178 ayat 1 HIR (pasal 189 ayat 1 Rbg) dan pasal 50 ayat 1 Rv. 9 Dengan demikian maka Hukum Pembuktian yang menjadi bahan pembicaraan dalam hal ini terdapat dalam : a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. b. Herzien Indonesis Reglement (HIR). c. Rectsreglement Buitengewesten (Rbg). d. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering. Pasal pertama dari Buku IV KUH Perdata, yang mengatur perihal Pembuktian, yaitu pasal 1865 KUH Perdata yang menegaskan: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk kepada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.. 8 9. Ibid, h - 111 Ibid, h - 112. 13.

(16) Dari apa yang dibicarakan diatas, dapat juga di simpulkan bahwa para pihak yang bersengketa itu diwajibkan membuktikan tentang “duduk perkara”. Tentang bagaimana hukumnya, bukanlah kewajibannya untuk membuktikannya karena adalah kewajiban Hakim yang mengetahui hukum itu dan penerapan hukum ini sesudah mengetahuinya tentang duduk perkara tadi. Berat juga beban Hakim, yang dianggap mengetahui segala-galanya tentang hukum yang diterapkan itu, biar itu adalah hukum dari suatu Negara asing sekalipun. 10 Jadi hakim dalam proses perdata terutama harus menemukan dan menentukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya. Dari peristiwa itu yang harus dibuktikan adalah kebenarannya. Sering dikatakan, bahwa dalam acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, berlainan dengan hukum acara pidana yaitu dengan kebenaran materiil. b. Hal-hal Yang Tidak Perlu Dibuktikan Dalam pembuktian hal-hal yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang menjadi perselisihan yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi disangkal atau dibantah oleh pihak yang lain. Hal-hal yang diajukan oleh satu pihak dan diakui oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan karena tentang itu tidak ada perselisihan. 11 Ada lagi hal-hal yang tidak memerlukan pembuktikan, yaitu segala apa yang dianggap diketahui oleh umum” (fakta-fakta “notoir”). Selanjutnya adalah. 10 11. Subekti.R, Op. Cit., h- 11 Subekti.R, Op. Cit., h - 16. 14.

(17) mungkin bahwa Hakim menganggap suatu dalil benar karena sesuatu hal diketahuinya sendiri. Disini Hakim itu mendasarkan kebenaran sesuatu hal atas pengetahuannya sendiri (harus diperbedakan dari penglihatan Hakim sendiri di muka sidang). c. Alat-alat Bukti Menurut Pasal 1866 KUH Perdata atas pasal 164 RIB (Pasal 283 RDS) ada beberapa alat-alat bukti yang dianggap penting dalam perkara perdata yaitu diantaranya: a. bukti tulisan. b. bukti dengan saksi-saksi. c. persangkaan-persangkaan. d. pengakuan. e. dan sumpah. ad. a. Bukti Tulisan Bukti tulisan ini dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama, karena dalam hal lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dipakai kalau timbul suatu perselisihan, dan bukti yang disediakan tadi lazimnya berupa tulisan. Dari bukti-bukti tulisan itu adalah segolongan yang sangat berharga untuk pembuktian, yaitu dinamakan “akta”. Akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan demikian maka unsur-unsur yang penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti terulis dan penanda tanganan tulisan itu. Syarat penanda tanganan itu dapat di lihat pada pasal 1874 KUH Perdata atau. 15.

(18) pasal 1 dari Ordonansi Tahun 1867 No. 29 yang memuat “ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian daripada tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengannya”. 12 Di antara surat-surat atau tulisan-tulisan yang dinamakan akta tadi, ada suatu golongan lagi yang mempunyai sesuatu kekuatan pembuktian istimewa, yaitu yang dinamakan akta otentik. Pengertian akta otentik disini adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seseorang pegawai umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya (pasal 1868 KUH Perdata, pasal 165 RIB atau pasal 285 RDS). Selain akta otentik ada juga yang dinamakan akta di bawah tangan. Sebagai pegawai umum yang dimaksudkan di atas adalah notaris, Hakim, seorang juru sita pada pengadilan, seorang pegawai catatan sipil, dan sebagainya. Dengan demikian maka suatu akta notaris, suatu surat putusan Hakim, suatu surat proses perbal yang dibuat oleh seorang juru sita pengadilan dan surat perkawinan yang dibuat oleh pegawai catatan sipil adalah sebagai akta otentik. Tulisan-tulisan yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai alat-alat bukti yang “mengikat” artinya harus dipercayai oleh Hakim. Tulisan-tulisan seperti ini, yaitu yang harus dipercayai oleh Hakim (pasal 1881 sub 1 dan 2 dan pasal 1883 KUH Perdata) adalah: 1. surat-surat yang dengan tegas menyebutkan tentang suatu pembayaran yang telah diterima.. 12. Subekti. R., Op. Cit., h - 27-28. 16.

(19) 2. surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam suatu alas hak (“titel”) bagi seorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan. 3. catatan yang oleh seorang yang berpiutang (kreditur) dibubuhkan pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya, jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap si berutang (debitur). 4. catatan yang oleh si berpiutang dibubuhkan pada salinan dari suatut alas hak atau suatu tanda pembayaran, asal saja salinan atau tanda pembayarannya ini berada dalam tangannya si berutang. Macam dan fungsi akta untuk sebagai alat bukti: Menurut bentuknya maka akta dapat dibedakan menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. 1. Akta otentik. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya. Di dalam HIR akta otentik diatur dalam pasal 165 (lihat juga pasal 1868 KUH Perdata, dan pasal 285 Rbg) yang berbunyi seperti berikut: “Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka. 17.

(20) yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok daripada akta”. Pejabat yang dimaksudkan antara lain ialah Notaris, Penitera, Juru Sita, Pegawai Pencatatan Sipil, Hakim, dan lain sebagainya. 13 Menurut pasal 165 HIR (pasal 285 Rbg, dan pasal 1870 KUH Perdata) maka akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang berhak mendapat hak daripadanya, yang berarti bahwa akta otentik itu masih juga dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Terhadap pihak ketiga akta otentik itu merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu bahwa penilaiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. 14 2. Akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan ialah akta yang dibuat sengaja untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan. Mengenai akta di bawah tangan ini tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam S 1867 No. 29 untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diatur dalam pasal 286 sampai dengan pasal 305 Rbg. Ketentuan mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta di bawah tangan yang memuat secara sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh orang yang menanda. 13 14. Ibid, h - 124 Ibid, h - 125. 18.

(21) tangani, atau setidak-tidaknya selain tanda tangan harus ditulis pula di bawah, dengan tanda tangan sendiri oleh yang bertanda tangan. 3. Fungsi akta. Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa), yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah dibuat suatu akta. Di sini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Di samping fungsinya yang formil, akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti (probationis causa). Dari definisi yang sudah di tulis sebelumnya telah jelas bahwa akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari. 4. Kekuatan pembuktian akta. Fungsi yang terpenting dari pada akta adalah sebagai alat bukti. Tentang kekuatan pembuktian daripada akta dapat dibedakan menjadi tiga macam, antara lain: a. kekuatan penbuktian lahir, yang dimaksudkan dengan kekuatan pembuktian lahir adalah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya: yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya. b. kekuatan pembuktian formil Kekuatan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan: “Benarkah bahwa ada pernyataan?”. Jadi kekuatan pembuktian formil ini dadasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu.. 19.

(22) Kekuatan pembuktian formil ini memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalm akta. c. kekuatan pembuktian materiil Kekuatan pembuktian meteriil ini menyangkut pertanyaan: “Benarkah isi pernyataan di bawah akta itu?”. Jadi kekuatan pembuktian meteriil ini memberikan kepastian tentang materi suatu akta, memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta. 15 5. Kekuatan pembuktian akta otentik Menurut pasal 165 HIR (pasal 285 Rbg, pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata) maka akta otentik bagi para pihak dan ahli warisnya serta yang memperoleh hak daripadanya, merupakan bukti sempurna, tentang apa yang termuat di dalamnya dan bahkan tentang yang terdapat dalam akta sebagai penuturan belaka, yang terakhir ini hanya sepanjang yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok akta. Kalau yang dituturkan akta tersebut tidak ada hubungan langsung dengan pokok akta, menurut pasal 1871 KUH Perdata hal itu hanya akan berlaku sebagai permulaan bukti tertulis. Selanjutnya menurut pasal 1872 KUH Perdata apabila akta otentik yang bagaimanapun sifatnya diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan. a. kekuatan pembuktian lahir akta otentik Sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagi akta otentik serta memenuhi syarat-syarat 15. Ibid, h - 130. 20.

(23) yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagi akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Sebagai alat bukti maka akta otentik, baik akta pejabat (akta ambtelijk) maupun akta para pihak (akte partij), ini keistimewaanya terletak pada kekuatan pembuktian lahir. b. kekuatan pembuktian formil akta otentik Dalam akta formil akta otentik membuktikan kebenaran daripada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat. Ini tentang pembuktian kebenaran daripada keterangan pejabat sepanjang mengenai apa yang dilihat dan dilakukannya. Pada akta pejabat tidak terdapat pernyataan atau keterangan dari para pihak melainkan pejabatlah yang menerangkan. c. kekuatan pembuktian materiil akta otentik Di sini keterangan para pihak tidak ada. Kebenaran dari pernyataan pejabat serta bahwa akta itu dibuat oleh pejabat adalah pasti bagi siapapun, maka pada umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan pembuktian meteriil. Akta pejabat yang mempunyai kekuatan pembuktian materiil ialah akta yang dikeluarkan oleh Kantor Pencatatan Sipil (pasal 25 S 1849 no. 25, 27, S 1917 no. 130 jo. S 1919 no. 81, 22, S 1920 no. 751 jo. S 1972 no. 564). 6. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan a. kekuatan pembuktian lahir akta di bawah tangan. Orang terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan diwajibkan membenarkan (mengakui) atau memungkiri tanda tangannya, sedang bagi ahli warisnya cukup hanya menerangkan bahwa tidak kenal akan tanda tangan tersebut. Dalam hal tanda tangan diungkiri, maka hakim harus memerintahkan. 21.

(24) agar kebenaran akta itu diperiksa, baru kalau tanda tangan diakui oleh yang bersangkutan, maka isi pernyataan di dalam akta di bawah tangan itu mempunyai kekuatan dan menjadi bukti sempurna. Kalau tanda tangan telah diakui oleh yang bersangkutan, maka isi pernyataan di dalam akta di bawah tangan itu tidak lagi dapat disangkal. c. kekuatan pembuktian formil akta di bawah tangan Kalau tanda tangan akta di bawah tangan telah diakui, maka itu berarti bahwa keterangan atau pernyataan di atas tanda tangan itu adalah keterangan atau pernyataan daripada yang menandatangani. Kekuatan pembuktian formil dari akta di bawah tangan ini sama dengan kekuatan pembuktian formil dari akta otentik. d. kekuatan pembuktian materiil akta di bawah tangan Menurut pasal 1875 KUH Perdata maka akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu digunakan atau yang dianggap dapat diakui menurut undang-undang, bagi yang menanda tangani, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari padanya, merupakan bukti sempurna seperti akta otentik. 7. Surat-surat lainnya yang bukan akta Baik HIR, Rbg maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidaklah mengatur tentang kekuatan pembuktian daripada surat-surat yang bukan akta. Catatan-catatan mengenai tanah dalam buku leter C tidak mempunyai kekuatan bukti yang mutlak bahwa nama yang tercantum di dalamnya adalah pemilik, melainkan. 22.

(25) masih dapat dilumpuhkan oleh bukti lain. 16 Kemudian pada kitir hanya merupakan tanda wajib pajak dan belum menjamin bahwa orang yang tercantum namanya di dalamnya adalah pemiliknya juga. 17 Tetapi apabila diperkuat oleh keteranganketerangan saksi (termasuk keterangan seorang Kepala Kantor Iuran Pembangunan Daerah, yang dianggap sebagi saksi) dapat membuktikan bahwa orang yang namanya tercantum di dalam kekitir tersebut adalah pemilik tanah yang tersebut dalam kekitir. 8. Salinan Kekuatan pembuktian dari surat atau alat bukti tertulis terletak pada aslinya (pasal 301 Rbg, pasal 1888 KUH Perdata). Undang-undang hanyalah mengatur kekuatan pembuktian dari pada salinan daripada akta, sehingga kekuatan pembuktian daripada salinan surat-surat lainnya diserahkan kepada pertimbangan daripada hakim Salinan suatu akta mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang sesuai dengan akta aslinya (pasal 301 Rbg, pasal 1888 KUH Perdata). Hakim selalu mempunyai wewenang untuk memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk mengajukan akta aslinya di muka sidang. Apabila akta aslinya sudah tidak ada lagi, maka kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim (pasal 302 Rbg, pasal 1889 KUH Perdata). 18 ad. b. Bukti Dengan Saksi (Kesaksian) Jika bukti tulisan tidak ada, maka dalam perkara perdata orang berusaha mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan dimuka sidang pengadilan. 16. P.T. Bandung 29 Jan. no. 218/Perd//PTB, yurisprodensi Jawa Barat 1969-1972 I, h - 107 Ibid, h - 120 18 Ibid, h - 135 17. 23.

(26) Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi diwajibkan memberikan kesaksian, memberikan kesaksian itu merupakan suatu kewajiban, dapat di lihat dari diadakannya sanksi-sanksi terhadap seorang yang tidak memenuhi panggilan untuk dijadikan saksi. Menurut undang-undang orang itu dapat : 1. dihukum untuk membayar biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggil saksi. 2. secara paksa dibawa ke muka pengadilan. 3. dimasukkan didalam penyanderaan (“gijzeling”). 19 Sanksi-sanksi tersebut diatas tidak berlaku, jika seorang dipanggil sabagai saksi di muka pengadilan yang terletak diluar karisidenan dimana yang bersangkutan bertempat tinggal. Namun ada beberapa orang, yang karena terlalu dekat hubungannnya dengan salah satu pihak atau karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya, dapat dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian adalah: 1. mempunyai pertalian darah dalam garis samping dalam derajat kedua atau semenda dengan salah satu pihak. 2. mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis samping dengan derajat kedua dengan suami atau isteri salah satu pihak. 3. kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian. (Pasal 1909 KUH Perdata atau Pasal 164 RIB, pasal 174 RDS). 19. Subekti. R, Op. Cit., h - 41. 24.

(27) Namun orang-orang ini boleh menjadi saksi dalam beberapa macam perkara khusus sebagai berikut: 1. perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak. 2. perkara. mengenai. nafkah,. termasuk. pembiayaan,. pemeliharaan. dan. pendidikan seorang anak belum dewasa. 3. perkara mengenai pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau wali. 4. perkara mengenai suatu persetujuan perburuhan. Dalam perkara-perkara semacam itu, malahan orang-orang yang karena hubungan yang telalu dekat sebenarnya boleh minta pembebasan untuk menjadi saksi, disini tidak boleh minta pembebasan. (pasal 1910 KUH Perdata atau pasal 145 RIB atau pasal 172 (3) RDS). ad. c. Persangkaan-persangkaan Sebagai sudah di ketahui, yang dinamakan “persangkaan” adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah “terkenal” atau dianggap terbukti kearah suatu peristiwa “yang tidak terkenal”, artinya belum terbukti. Maka dari itu, jika persangkaan ini dinamakan alat bukti, itu adalah kurang tepat. 20 Adapun yang menarik kesimpulan tersebut tadi, adalah Hakim atau Undangundang. Bila yang menarik kesimpulan hakim, maka persangkaan itu dinamakan “persangkaan Hakim”, sedangkan apabila yang menarik kesimpulan itu undangundang maka persangkaan itu dinamakan “persangkaan undang-undang”.. 20. Ibid, h - 46. 25.

(28) Apabila dari terbuktinya suatu peristiwa, oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya suatu peristiwa lain, maka terdapatlah apa yang dinamakan “persangkaan undang-undang”. Pernah dipersoalkan, apakah suatu persangkaan saja cukup dijadikan bukti untuk mengabulkan suatu gugatan. Ada yang berpendapat bahwa karena mengenai persangkaan ini tidak suatu pasal undang-undang seperti pasal 1906 KUH Perdata (atau pasal 70 RIB), yaitu pasal yang melarang untuk memberikan kepercayaan kepada keterangan satu orang saksi, maka satu persangkaan sudah boleh dijadikan bukti untuk mengabulkan suatu tuntutan. 21 Peraturan tentang satu saksi harus juga dianggap berlaku untuk persangkaan dalam arti bahwa yang dilarang adalah mengabulkan gugatan, kalau dalam keseluruhannya hanya terdapat satu persangkaan. Dari ketentuan Pasal 1973 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebenarnya yang dinamakan daluarsa pendek itu bukan suatu daluarsa, sebab kalau benar-benar suatu daluarsa, maka dalam suatu penagihan sudah tidak dapat dituntut di muka pengadilan. Daluarsa pendek tadi sebenarnya tidak lain dari pada suatu persangkaan undang-undang, suatu persangkaan bahwa utang-utang itu sudah terbayar (vermoeden van betaling), dan terhadap suatu persangkaan, tentu saja masih dibolehkan mengadakan suatu pembuktian lawan. ad. d. Pengakuan Sebagaimana sudah diterangkan, sebenarnya adalah tidak tepat untuk menamakan pengakuan itu suatu alat bukti, karena justeru apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh suatu pihak diakui oleh pihak lawan, maka pihak yang 21. Ibid, h - 49. 26.

(29) mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan diakuinya dalildalil tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu dibebaskan dari pembuktian. Pembuktian hanya perlu diadakan terhadap dalil-dalil yang dibantah atau disangkal. Malahan kalau semua dalil yang dikemukakan itu diakui, dapat dikatakan tidak ada suatu perselisihan. Putusan pengadilan perdata itu selalu memulai dengan menyimpulkan dulu dalil-dalil manakah yang diakui atau tidak disangkal, sehingga dalil-dalil itu dapat ditetapkan sebagai hal-hal yang berada di luar perselisihan dan dengan demikian dapat ditetapkan sebagai benar, kemudian mengenai dalil-dalil sebaliknya, yaitu yang dibantah atau disangkal, itulah yang harus dibuktikan. Pengakuan yang dilakukan di muka pengadilan memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 1925 Kitab Undangundang Hukum Perdata, pasal 176 RIB, pasal 311 RDS). Artinya ialah, Hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah diakui adalah benar dan mengabulkan segala tuntutan atu gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. Pengakuan yang merupakan bukti yang mengikat dan sempurna adalah pengakuan yang dilakukan di muka pengadilan. Pengakuan itu harus diucapkan di muka Hakim oleh tergugat sendiri atau kuasanya. 22 Dr. Wirjono Prodjodikoro SH. dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Di Indonesia” mengatakan bahwa tentang ajaran tidak boleh memisah-misahkan pengakuan itu sangat mengecewakan, karena tidak masuk akal dan lagi tidak dapat 22. Ibid, h - 52. 27.

(30) dimengerti oleh khalayak ramai. Dikatakan selanjutnya bahwa sebaiknya dalam menghadapi pengakuan dengan tambahan itu, Hakim diberi kebebasan untuk menetapkan seberapa jauh akan memberi kekuatan kepada pengakuan itu, seperti haknya apabila dihadapkan kepada pengakuan di luar sidang Pengadilan. ad. e. Sumpah HIR menyebutkan 3 (tiga) macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu sumpah pelengkap (supletoir), sumpah pemutus (decicoir), dan sumpah penaksiran (aistimator, schatting seed). 1. Sumpah Suppletoir/pelengkap (pasal 155 HIR, 182 Rbg, 1940 KUH Perdata) Sumpah suppletoir atau sumpah pelengkap ialah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. 23 Untuk dapat diperintahkan bersumpah suppletoir kepada salah satu pihak harus ada pembuktian permulaan terlebih dahulu, tetapi yang belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lainnya, sehingga apabila jika ditambah dengan sumpah suppletoir pemeriksaan perkaranya menjadi selesai, sehingga hakim dapat menjatuhkan putusannya. 2. Sumpah Penaksiran (aestimatoir, schattingseed) Pasal 155 HIR (pasal 182 Rbg, 1940 KUH Perdata) mengatur tentang sumpah penaksiran, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya oleh penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Di dalam praktek sering terjadi bahwa jumlah uang ganti kerugian yang. diajukan oleh pihak yang. bersangkutan itu simpang siur, maka soal ganti rugi ini harus dipastikan dengan 23. Ibid, Sudikno Mertokusumo, h - 155. 28.

(31) pembuktian. Hakim tidaklah wajib untuk membebani sumpah penaksiran kepada penggugat. Sumpah penaksiran ini barulah dapat dibebankan oleh hakim kepada penggugat apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian itu serta jumlahnya masih belum pasti dan tidak ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugian tersebut kecuali dengan penaksiran. Sifat dari sumpah penaksiran ini adalah bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan. 24 3. Sumpah Desicoir (pemutus) Sumpah pemutus di sini adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (pasal 156 HIR, 183 Rbg, 1930 KUH Perdata). Pihak yang diminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang harus bersumpah disebut delaat. Sumpah desicoir ini dapat dibebankan mengenai segala peristiwa yang menjadi sengketa dan bukan mengenai pelbagai pendapat tentang hukum atau hubungan hukum (pasal 1930 BW). Akibat sumpah desicoir ini ialah bahwa kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu, tanpa mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu. Contohnya adalah seperti sumpah pocong yang dilakukan di mesjid, sumpah mimbar di gereja, dan sumpah klenteng. d. Putusan Hakim Pemeriksaan suatu sengketa atau perkara di muka Hakim, diakhiri dengan suatu putusan atau vonis. Sebagaimana sudah diterangkan pada permulaan pembicaraan mengenai arti pembuktian, Hakim/Pengadilan itu di dalam putusannya 24. Ibid, h - 157. 29.

(32) menetapkan perhubungan hukum yang sebenarnya (yang harus berlaku) antara dua pihak yang bersengketa itu. Putusan yang dengan amarnya mengandung suatu penghukuman dinamakan “condemnatoir”, putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah dinamakan “declaratoir”, sedangkan putusan yang dalam amarnya menciptakan suatu keadaan yang baru dinamakan “constitutip”. 25 Kalau putusan Hakim itu tidak dapat dirubah lagi, dikatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan mutlak. Putusan Pengadilan Negeri memperoleh kekuatan mutlak seketika telah tenggang waktu untuk meminta banding lewat tanpa dipergunakan, sedangkan putusan Pengadilan Tinggi memperoleh kekuatan mutlak seketika setelah tenggang waktu untuk mengajukan permohonan kasasi lewat tanpa dipergunakan. Putusan Mahkamah Agung dengan sendirinya seketika mempunyai kekuatan mutlak, karena sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadapnya. Dalam rangka hukum pembuktian, baiklah diperhatikan bahwa surat keputusan Hakim/Pengadilan itu merupakan suatu akta otentik, dan karena itu ia memiliki kekuatan mutlak yang merupakan kekuatan pembuktian yang ada pada suatu akta otentik. Disamping itu putusan Hakim tadi mempunyai sesuatu kekuatan eksekutorial, yaitu dapat dipaksakan dengan bantuan aparat negara. Putusan yang sudah memperoleh kekuatan mutlak mempunyai kekuatan “mengikat”, dalam arti bahwa tidak boleh perkara yang sudah diputus dalam perkara yang sama diajukan lagi di. 25. R. Subekti.,Op. Cit., h - 68-69. 30.

(33) muka Hakim, sehingga tiap-tiap gugatan baru dapat ditangkis dengan menunjukkan kepada penggugat putusan tersebut (Ne bis in idem”). 26 e. Kekuatan Pembuktian Dalam Persidangan Ketentuan-ketentuan kekuatan pembuktian tulisan-tulisan. dibawah tangan. dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengannya (LN 1867- 29). 27 Pasal 1. Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga dan lain-lain tulisan yang ditanda tangani, yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat umum. Dengan penanda tanganan sebuah tulisan di bawah tangan dipersamakan cap jari yang dibutuhkan di bawahnya, disahkan dengan suatu keterangan yang bertanggal dari seorang notaris atau sebagai pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, dari mana ternyata mengenai pembubuh cap jari atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta dengan jelas telah dipertunjukkan kepada pembubuh cap jari itu, dan bahwa setelah itu cap jari tersebut dibubuhkan dihadapan pejabat tersebut. Pejabat tersebut mencatat tulisan itu dalam sebuah buku, diantaranya: 1 a.. Apabila yang berkepentingan menghendakinya, maka juga diluar hal yang dimaksudkan dalam ayat kedua dari pasal yang lalu, pada akta-akta yang ditanda tangani di bawah tangan, dapat juga diberikan keterangan yang bertanggal dari pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, darimana. 26 27. Subekti.R., Op. Cit., h - 69 Reglemen Indonesia LN 1941, h - 44. 31.

(34) dikenalnya penanda tangan atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akte dengan jelas telah dipertunjukkan kepada yang menandatanganinya itu, dan setelah itu dilakukan penanda tanganan dihadapan pejabat tersebut. 1.. Tulisan-tulisan di bawah tangan, berasal dari orang-orang Indonesia atau orang-orang yang dipersamakan dengannya, yang diakuinya terhadap siapa tulisan-tulisan itu diajukan, atau yangberdasarkan suatu ketentuan undangundang dianggap sebagai yang telah diakui, memberikan terhadap para penanda tangannya suatu pembuktian yang sempurna seperti suatu akta otentik.. 2.. Barang siapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau menyangkal tanda tangannya; tetapi bagi para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari padanya, cukuplah jika menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mewakilinya.. 3.. Jika seorang menyangkal tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari padanya, menerangkan tidak mengakuinya, meka Hakim harus memerintahkan supaya keaslian dari pada tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.. 4.. Apabila jumlah, yang disebutkan di dalam aktanya sendiri berselisih dengan jumlah yang disebutkan dalam keterangan penyetujuannya, maka perikatan itu dianggap telah diadakan untuk jumlah yang paling sedikit, juga dalam halnya akta dengan beserta penyetujuannya kedua-duanya seluruhnya ditulis dengan. 32.

(35) tangannya pihak yang telah mengikatkan dirinya, terkecuali apabila dapat dibuktikan dalam bagian yang mana kekeliruan itu telah terjadi. 5.. Akta di bawah tangan, sekedar tidak dibubuhi suatu pernyataan sebagaimana termaksud dalam ayat kedua dari pasal 1 dan dalam pasal 1 a, tidak mempunyai. kekuatan. terhadap. orang-orang. pihak. ketiga. mengenai. tanggalnya, selainnya sejak dibubuhkannya pernyataan oleh seorang notaris atau seorang pejabat lainnya yang ditunjuk oleh undang-undang, dan dibukukan menurut ordonansi dalam Lembaran Negara tahun 1916 No. 46, atau sejak hari meninggalnya penanda tangan maupun salah seorang dari para penanda tangan; atau sejak hari dibuktikannya tentang adanya akta-akta di bawah tangan itu dari akta-akta yang dibuat oleh seorang pejabat umum atau pula sejak hari diakuinya akta-akta di bawah itu secara tertulis oleh orangorang pihak ketiga terhadap siapa akta-akta itu dpergunakan.. B. TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN JUAL-BELI a. Pengertian Jual-beli. Jual-beli (menurut BW) adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 28. 28. R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni 1981, h - 13. 33.

(36) b. Saat terjadinya perjanjian jual-beli. Unsur pokok (“essentialia”) perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan azas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian KUH Perdata, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. 29 c. Kewajiban-kewajiban penjual. Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu : 1. menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan. 2. menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung atas cacat-cacat yang tersembunyi. Dalam KUH Perdata, diatur macam penyerahan barang hak milik yang masing-masing berlaku terhadap masing-masing barang itu, diantaranya misalnya penyerahan barang tidak bergerak atau sering juga dikatakan barang tetap. Untuk barang tidak bergerak dengan perbuatan yang dinamakan “balik-nama” yang juga dinamakan Pegawai Balik-nama atau Pegawai Penyimpanan Hipotik, yaitu menurut pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620, yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 616 : “ Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 620”; Pasal 620 : “Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga pasal yang lalu, pengumuman termaksud diatas dilakukan dengan memindahkan 29. Ibid., h - 13-14. 34.

(37) sebuah salinan otentik yang lengkap dari akta otentik atau keputusan yang bersangkutan. kekantor. penyimpanan. hipotik,. yang. mana. dalam. lingkungannyabarang-barang tidak bergerak yang harus diserahkan berada dan dengan membukukannya dengan register”. Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpahan hipotik sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akte atau keputusan itu, agar penyimpanan mencatat didalamnya hari pemindahan beserta bagian dan nomor dari register yang bersangkutan”. Sesuatu yang mengenai TANAH, dengan mencabut semua ketentuan yang termuat dalam Buku II B.W. tersebut, sudah diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960. Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok Agraria, dalam pasal 19 menentukan bahwa jual –beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah (PPAT), sedangkan menurut maksud peraturan tersebut hak milik atas tanah juga berpindah pada saat dibuatnya akta di muka pejabat tersebut. 30. 30. Boedi Harsono, Undang-undang Pokok Agraria, h - 172-178.. 35.

(38) C. TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBERIAN KUASA a. Pengertian Pemberian kuasa Pemberian kuasa atau “lastgiving” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata mengatakan bahwa Perjanjian Pemberian Kuasa adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu (pemberi kuasa) memberikan kuasanya kepada pihak lain (penerima kuasa), yang menerimanya untuk atas kuasanya dalam melakukan suatu urusan. Kata-kata “atas namanya” menunjukkan kuasa (volmacht) itu adalah suatu wewenang untuk mengikatkan kuasa (volmachtgever) secara langsung kepada pihak ketiga. Menurut R. Soebekti, pemberian kuasa adalah “Suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan atau wewenang kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. 31 Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, pemberian kuasa adalah “suatu persetujuan dimana seorang A memberikan kuasa kepada seorang B (kuasa diterima baik oleh B) untuk melakukan hal sesuatu guna A dan atas persetujuan A”. 32 Hartono Soeryopratiknya, dalam hal ini memberikan istilah “pemberian perintah” sebagai terjemahan dari lastgeving dengan pengertian “suatu perjanjian, pada mana seseorang memberikan perintah kepada orang lain dan orang lain itu menerima perintahnya, untuk melakukan suatu perbuatan untuk dan atas nama pemberi perintah”. 33 Dari beberapa pengertian mengenai pemberian kuasa yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut, dapat duketahui bahwa ada dua istilah 31. Soebekti R, Aneka Perjanjian, h - 140. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 1995 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perjanjian , Sumur Bandung 1981, h - 140 33 Hartono Soeryopraktikya, Perwakilan Berdasarkan Kehendak, Inter Massa, Jakarta, 1993, h - 35 32. 36.

(39) sebagai terjemahan dari lastgeving yaitu pemberian kuasa dan pemberian perintah, walaupun demikian kedua istilah tersebut sama-sama didasarkan pada Pasal 1792 KUH Perdata, dan kedua istilah itu dapat menjadi sumber adanya “kuasa mewakili”, sehingga dari beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian pemberian kuasa, kesimpulannya adalah adanya “perwakilan”. b. Syarat-syarat Pemberian Kuasa Suatu aktifitas Pemberian Kuasa agar dapat berlangsung, maka diperlukan suatu syarat-syarat pemberian kuasa secara terperinci, yaitu : 1. Adanya kuasa dari seorang kepada orang lain. 2. Adanya perwakilan. 3. Adanya objek perbuatan hukum. 4. Adanya kewenangan berbuat. Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang menjadi permasalahannya adalah : Suatu pendapat yang berpegang teguh pada pasalnya kata-katanya tersebut, artinya bahwa yang dinamakan pemberian kuasa (lastgiving) itu ialah pemberian kuasa yang disertai perwakilan seolah-olah kata “atas nama” itu termuat dalam Pasal 1792 KUH Perdata dan menganggap yang dimaksud oleh KUH Perdata yang dinamakan dan diatur selaku lastgeving itu ialah pemberian kuasa pada umumnya, yang bisa jadi disertai perwakilan. 34 Menurut beliau yang dimaksud dengan perwakilan adalah : “Bahwa dalam hubungan hukum antara penerima kuasa dengan orang ketiga, yang diikat bukan kuasa melainkan orang yang mewakili pemberi kuasa apabila 34. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, h - 134. 37.

(40) penerima kuasa bertindak terhadap orang ketiga seolah-olah untuk kepentingan dan atas nama sendiri maka tidak ada perwakilan”. 35 c. Bentuk, Macam dan Sifat Pemberian Kuasa 1) Bentuk Pemberian Kuasa Bentuk pemberian kuasa dapat ditinjau dari dua segi, yaitu : a. Dari segi hukumnya 1.. Perwakilan langsung, yaitu seorang melakukan perbuatan atas nama orang lain atau berdasarkan wewenang yang diberikan orang lain untuk mengikatkan orang lain itu.. 2.. Perwakilan tidak langsung, yaitu seorang melakukan perbuatan atas namanya sendiri tetapi untuk orang lain, jadi wakil tidak menyebutkan kepada pihak ketiga apakah wakil tersebut bertindak untuk orang lain. 36. b. Dari segi perjanjiannya Menurut Pasal 1793 KUH Perdata kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, tulisan dibawah tangan, sepucuk surat, lisan bahkan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa oleh penerima kuasa. 2. Macam-macam pemberian kuasa Menurut sumbernya pemberian kuasa dibedakan menjadi dua macam, yaitu :. 35 36. Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit. Hartono Soeryopratiknya, Op. Cit, h - 47-48. 38.

(41) a. Atas dasar Undang-undang Misalnya orang tua mewakili anaknya yang masih dibawah umur dalam melakukan perjanjian, baik itu didalam perjanjian maupun diluar perjanjian. b. Atas dasar perjanjian Misalnya pemberian kuasa oleh klien kepada pengacara. Perlu diketahui bahwa mengenai macam pemberian kuasa ini adalah ditinjau dari segi perwakilan yang terkandung didalamnya. Menurut isinya pemberian kuasa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu a. Kuasa khusus (Pasal 1795 KUH Perdata), yaitu kuasa yang isinya hanya meliputi kepentingan-kepentingan yang dikuasakan pada pengacara disebutkan secara tegas. b. Kuasa umum (Pasal 1795 KUH Perdata), yaitu kuasa yang isinya meliputi semua kepentingan pemberi kuasa. c. Kuasa yang dirumuskan secara umum (Pasal 1796 KUH Perdata), yaitu kuasa yang isinya hanya dirumuskan secara umum. Kuasa ini hanya meliputi perbuatan pengurusan saja. 3. Sifat pemberian kuasa Pada asasnya pemberian kuasa bersifat cuma-cuma tidak diperjanjikan adanya upah, akan tetapi bukan berarti penerima kuasa tidak diperkenankan sama sekali untuk menuntut upah atau dilarang menuntut upah dari pemberi kuasa melainkan penerima kuasa diberikan hak untuk menuntut upah, hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 1794 KUH Perdata :. 39.

(42) “Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjiakan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 KUH Perdata untuk Wali.” Pasal 411 KUH Perdata ditegaskan : “Semua. wali,. kecuali. bapak. atau. ibu. dan. kawan. wali. diperbolehkan. memperhitungkan sebagai upah tiga per seratus dari pada pendapatan, dua per seratus daripada segala pengeluaran dan satu setengah per seratus dari jumlah modal yang diterima. Kecuali apabila lebih suka menerima upah yang kiranya baginya dengan surat wasiat atau dengan akta otentik tersebut dalam Pasal 355 KUH Perdata ; dalam hal demikian tidak boleh memperhitungkan upah yang lebih rinci.” d. Hak dan Kewajiban Para Pihak Kewajiban-kewajiban kuasa dapat dilihat dalam Pasal 1800-1806 KUH Perdata. Secara terperinci kewajiban-kewajiban kuasa adalah sebagai berikut : 1.. Melaksanakan seluruh kuasa yang diberikan dan bertanggung jawab terhadap biaya, bunga dan ganti rugi yang timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut.. 2.. Bertanggung jawab terhadap kelalaian dalam kuasa tersebut yang menyangkut kerugian pemberian kuasa tanggung jawab bagi seorang yang dengna cumacuma dalam menerima kuasa, tidak begitu berat seperti yang dapat diminta dari seorang yang menerima kuasa dengan upah.. 3.. Memberikan laporan tentang apa yang telah diperbuat dan memperhitungkan kepada pemberi kuasa tentang segala apa yang diterimanya berdasarkan. 40.

(43) kuasanya, sekalipun yang diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada pemberi kuasa. Kata melapor sebenarnya kurang tepat, karena seolah-olah antara pemberi kuasa dan yang menerima kuasa terdapat hubungan yang seimbang dan sejajar. Oleh karena itu lebih tepat digunakan “memberikan keterangan” maka akan lebih menunjukkan kenyataan dalam praktek. 4.. Bertanggung jawab terhadap kuasa limpahan yang dibuat dalam pelaksanaan pemberian kuasanya. Hak pemberi kuasa untuk menunjuk orang lain akan menggantikan dirinya untuk melaksanakan kuasa yang diterima dari pemberi kuasa dinamakan “hak subtitusi”. Dalam pemberian kuasa diberikan hak subtitusi dengan menyebutkan orangnya, maka penerima kuasa bebas dari tanggung jawab mengenai pelaksanaan kuasa tersebut, jika ada hak subtitusi dan tidak menyebutkan nama orangnya maka penerima kuasa hanya dapat bertanggung jawab apabila penggantiannya yaitu yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa ternyata terbukti tidak cakap melaksanakan kuasa subtitusinya.. 5.. Bertanggung jawab secara pribadi kecuali ditentukan atau diperjanjikan secara tegas adanya tanggung jawab secara tanggung renteng.. 6.. Bertindak dalam batas-batas kewenangannya. Adakalannya penerima kuasa bertindak diluar batas kewenangannya, dalam hal yang demikian maka segala tindakannya menjadi tanggungan penerima kuasa itu sendiri, dan pemberi kuasa dapat menuntut penggantian kerugian kepada penerima kuasa apabila merugikan pemberi kuasa, serta dapat pula dilakukan pembatalan perjanjian tersebut.. 41.

(44) Mengenai kewajiban-kewajiban pemberi kuasa dapat dilihat dala Pasal 18071812 KUH Perdata, secara terperinci kewajiban-kewajibannya adalah sebagai berikut: 1.. Memenuhi perikatan-perikatan yang telah diperbuat oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah diberikan kepadanya. Kewajiban yang demikian ini memang sudah selayaknya mengikat bahwa penerima kuasa dalam melaksanakan perbuatan hukum adalah atas nama dan untuk kepentingan pemberi kuasa, dengan kata lain yang mempunyai kehendak atau sebagai pihak dalam perbuatan hukum yang dibuat oleh penerima kuasa adalah bukan penerima kuasa melainkan pemberi kuasa.. 2.. Membayar jasa yang telah diperjanjikan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa sekalipun urusannyatidak berhasil kecuali apabila penerima kuasa telah bertindak diluar kewenangannya ataupun jika terbukti penerima kuasa telah lalai, disini penerima kuasa bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pemberi kausa.. 3.. Memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa tentang kerugian-kerugian yang telah diderita sewaktu menjalankan kuasanya, asalkan dalam hal ini penerima kuasa telah berbuat hati-hati dalam melaksanakan tugas kuasanya.. 4.. Membayar bunga atas persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa terhitung mulai hari dikeluarkan persekot itu. Dalam hal yang dimaksud adalah bunga maratoir yang besarnya 6 % setahun.. 5.. Terhadap penerima kuasa yang diangkatoleh lebih dari satu orang pemberi kuasa untuk mewakili urusannya bersama, mereka dipertanggung jawabkan secara tanggung renteng.. 42.

(45) Kewajiban yang demikian ini apabila diperbandingkan dengan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 1804 KUH Perdata, dalam hal ini satu orang pemberi kuasa berhadapan dengan beberapa orang penerima kuasa sedangkan menurut Pasal 1811 KUH Perdata, satu orang penerima kuasa berhadapan dengan beberapa orang pemberi kuasa. Dalam hal kewajiban penerima kuasa, undang-undang tidak mengatur adanya tanggung jawab secara tanggung renteng dari beberapa orang pemberi kuasa terhadap penerima kuasa. Sebagai pertimbangan pembentuk undang-undang untuk mempermudah penerima kuasa dalam menuntut hak-hak yang berkaitan dengan adanya pemberian kuasa, misalnya honorarium bagi penerima kuasa. 37 6.. Melunasi segala kewajiban yang belum dibayarkan. Kewajiban yang demikian ini tersimpulkan dalam Pasal 1812 KUH Perdata, yaitu mengenai hak penerima kuasa untuk menahan segala kepunyaan pemberi kuasa yang ada di tangan penerima kuasa sampai dengan dipenuhinya hak penerima kuasa. Hak penerima kuasa ini dikenal dengan istilah “hak retensi”, yaitu hak kreditur untuk menahan barang milik debitur sebagai jaminan atas pelunasan piutangnya. Adapun hak-hak pemberi kuasa adalah :. 37. Soebekti R, Op. Cit, h - 150. 43.

(46) 1.. Hak untuk mendapatkan upah atau honorarium. Hak ini sudah barang tentu tidak akan ada jika telah ditentukan bahwa pemberian kuasa dilaksanakan dengan cuma-cuma.. 2.. Hak untuk mendapatkan bunga persekot tentang ganti rugi perhitungan bunga dimulai dari saat dikeluarkannya persekot, tentang ganti rugi baru dapat dituntut apabila dapat dibuktikan bahwa betul-betul telah terjadi kerugian, dan kerugian itu merupakan akibat langsung dari akibat pihak lain.. e. Pengaturan Pemberian Kuasa Pengaturan mengenai pemberian kuasa yang terdapat dalam Buku III Titel XVI Pasal 1792-1819 KUH Perdata masih belum lengkap, hal ini dapat dilihat dari peraturan mengenai hak dan kewajiban para pihak masih sedikit sekali, sehingga memungkinkan timbulnya perselisihan-perselisihan mengingat hukum yang ada didalam masyarakat semakin komplek dan perkembangan masyarakat menuntut adanya kepastian hukum. Pasal 1338 alenia 1 KUH Perdata menegaskan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 1338 alenia 1 KUH Perdata ini bukanlah berarti bebas sebebasnya melainkan dibatasi oleh undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH Perdata). Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 alenia 1 KUH Perdata tersebut berlaku juga pada pemberian kuasa, sehingga dalam pemberian kuasa, para pihak diberi kebebasan menentukan isi perjanjian. Hal seperti itu dikenal sebagai : “Asas Kebebasan Berkontrak”.. 44.

(47) Pada kehidupan bermasyarakat apabila akan mengadakan perjanjian pemberian kuasa, kepada para pihak diberi kebebasan oleh undang-undang untuk menentukan isinya, dengan siapa mereka mengadakan perjanjian pemberian kuasa, menentukan bentuknya maupun syarat-syarat di dalamnya. Hanya saja kiranya akan lebih baik jika dibuat secara tertulis dengan disebutkan klausula-klausula didalamnya. Hal ini akan memudahkan dalam pembuktian apabila kemudian hari ada pihak yang melakukan wanprestasi. Dengan kata lain untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum.Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan atau ketidak lengkapan didalam KUH Perdata yang mengatur pemberian kuasa, Mahkamah Agung mengeluarkan beberapa surat edaran yang berhubungan dengan pelaksanaan pemberian kuasa. Adapun beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang mengatur surat kuasa yaitu: 1.. SEMA No. 2 tahun 1959, tentang Surat Kuasa Khusus. 2.. SEMA No. 5 tahun 1962, tentang Penyempurnaan Surat Kuasa Khusus. 3.`. SEMA No. 1 tahun 1971, tentang pencabutan SEMA No. 2 tahun 1959 dan SEMA No. 5 tahun 1962. 4.. SEMA No. 6 tahun 1994, tentang Surat Kuasa Khusus. 38 ad. 1. Dalam SEMA No. 2 tahun 1959 ditegaskan bahwa surat kuasa khusus yang kurang memenuhi syarat sebagai surat kuasa khusus, supaya Ketua. Pengadilan. Tinggi. atau. Ketua. Pengadilan. Negeri. mengembalikan untuk diperbaiki, yang dimaksud dengan syarat-syarat itu adalah untuk perkara perdata dalam surat kuasa khususnya 38. Ibid. Soebekti R, Aneka Perjanjian, h - 145. 45.

(48) disebutkan mengenai para pihak dan pokok persoalannya. Untuk perkara pidana disebutkan pasal-pasal yang dituduhkan. ad. 2. Dalam SEMA No. 5 tahun 1962 ditegaskan apabila dalam pemeriksaan baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Tinggi surat kuasa khususnya tidak memenuhi syarat sebagai surat kuasa khusus, dapat disempurnakan dengan cara memanggil sendiri orang yang memberi kuasa untuk ditanyakan mengenai kebenarannya bahwa telah memberikan kuasa kepada orangyang namanya tersebut dalam surat kuasa itu untuk mewakili atau membantunya dalam perkara yang sedang diperiksa. Bila orang yang memberi kuasa bertempat tinggal dilain wilayah Pengadilan Negeri namun dalam Pengadilan Tinggi yang sama, pengadilan yang sedang memeriksa perkaranya dapat meminta bantuan kepada Pengadilan Negeri yang dimana termasuk dalam wilayah tempat tinggal pemberi kuasa. Dalam hal pemberi kuasa tidak harus menghadap sendiri melainkan dapat mewakilkan kepada orang lain. ad. 3. Dalam SEMA No. 1 tahun 1971 menegaskan bahwa pada pokoknya mencabut kembali SEMA No. 2 tahun 1959 dan SEMA No. 5 tahun 1962. Dasar pertimbangan pencabutan ini adalah karena Mahkamah Agung beranggapan bahwa yang berkepentingan sudah sampai saatnya mengetahui serta mengindahkan syarat-syarat tentang surat kuasa khusus sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.. 46.

(49) ad. 4. Dalam SEMA No. 6 tahun 1994 menegaskan bahwa : 1) Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya : (a) Dalam praktek perdata harus jelas disebutkan antara A sebagai penggugat dan B sebagai tergugat, misalnya dalam perkara warisan atau hutang piutang tertentu atau sebagainya. (b) Dalam perkara pidana harus dengan jelas menyebutkan pasal-pasal KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang didakwakan kepada terdakwa yang ditunjuk dengan lengkap. 2) Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding, kasasi maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah berlaku hingga dalam pemeriksaan dalam kasasi tanpa diperlukan surat kuasa yang baru.. D. PENGERTIAN PENDAFTARAN TANAH a. Pengertian Pendaftaran.. 47.

(50) Pendaftaran berasal dari kata Cadastre (bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknik untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai dan kemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Dengan demikian cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari lahan tersebut dan juga sebagai continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari pada hak atas tanah. Cadastre yang modern biasa terjadi atas peta yang berukuran besar dan daftardaftar yang berkaitan. 39 Pendaftaran tanah tersebut merupakan suatu upaya yang tangguh dalam administrasi kenegaraan, sehingga dapat juga dikatakan sebagai sebagian dari mekanisme pemerintahan. Jadi jelas bahwa pendaftaran tersebut harus dapat diterima jika bukti-bukti atas haknya benar sehingga tidak perlu dibiarkan dan diserahkan pada pihak yang berkepentingan untuk menilai dan menetapkan sikapnya tersebut. Supaya diketahui bahwa pendaftaran atas tanah disini hanyalah untuk mempermasalahkan haknya dan siapa pemiliknya. Manfaat dari pendaftaran tanah tersebut adalah untuk terjaminnya kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. b. Pengertian Tanah. Sebagaimana sudah dijelaskan dalam hukum agraria yang dimaksud dengan tanah merupakan salah satu bagian dari bumi. Jika di telaah pasal 1 ayat 2 PP 24 tahun 1997, maka dinyatakan bahwa “bidang tanah adalah bagian permukaan bumi. 39. A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, h - 15.. 48.

(51) yang merupakan satuan bidang yang terbatas yang merupakan objek dari pendaftaran tanah di Indonesia. 40. c. Pendaftaran Tanah. Dalam pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pendaftaran tersebut meliputi: a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah. b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut. c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 41 Peraturan Pemerintah (P.P) yang dimaksud dalam pasal 19 UUPA semula diatur dalam PP N0. 10 Tahun 1961, pada tanggal 8 Juli tahun 1997 dilakukan perubahan dengan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dalam pasal 1 (satu) menentukan bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya. 40 41. Ibid, h - 21 Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 19.. 49.

(52) bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik satuan atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Pasal 64 PP No. 24 Tahun1997 yang merupakan ketentuan peralihan, menentukan ayat (1): “Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah ada masih berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau diubah atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini”. Ayat (2): “Hak-hak yang didaftar serta hal-hal lain yang dihasilkan dalam kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tetap sah sebagai hasil pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah ini”. Sedangkan dalam ketentuan penutup dalam pasal 65, menentukan: “Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171) dinyatakan tidak berlaku. Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Apa yang diuraikan pada pasal 11 ini adalah pengulangan dari ketentuan pasal 19 UUPA tentang pengertian pendaftaran tanah dan seperti yang sudah diuraikan diatas bahwa pendaftaran tanah tersebut meliputi pendaftaran awal dari segala hak-hak yang harus didaftarkan pada awal berlakunya ketentuan PP 10 tahun 1961 yang diperbaiki dengan PP 24 tahun 1997, dalam peraturan tersebut menerangkan tentang tata cara pendaftaran tanah di Indonesia, diantaranya: Pasal 12 menegaskan bahwa :. 50.

(53) 1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi: a. pengumpulan dan pengelolaan data fisik. b. pembuktian hak dan pembukuannya. c. penerbitan sertifikat. d. penyajian data fisik dan data yuridis. e. penyimpanan daftar umum dan dokumen. 2. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi: a. pendaftaran peralihan dan pembebanan hak. b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. Pasal 13 PP No. 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah mengenai pendaftaran tanah pertama kali, meliputi : 1. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. 2. Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh menteri. 3. Dalam hal suatu desa/ kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana dimaksud ayat 2, pendaftaran tanah dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sporadik. 4. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan. Pendaftaran tanah menurut pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum dibidang pertanahan dalam sistem publikasinya adalah sistem negatif yang mengandung unsur positif,. 51.

(54) karena akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c, pasal 23 ayat 2, pasal 32 ayat 2 dan pasal 38 ayat 2 UUPA. Tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah dengan pembukuan bidangbidang tanah yang data fisik dan atau data yuridisnya belum lengkap atau masih disengketakan, walaupun untuk itu belum dikeluarkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Dalam rangka memberi kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (pasal 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997). Orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertifikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 tahun sejak dikeluarkannya sertifikat tidak ada pihak yang mangajukan gugatan di Pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh dari orang atau badan hukum lain dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya (badan hukum) yang mendapat persetujuannya (pasal 32 ayat 2 PP No. 24 tahun 1997). Dengan demikian makna dari pernyataan sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan tujuan dari pendaftaran tanah yang diselenggarakan. 52.

Referensi

Dokumen terkait

Waktu aktif belajar siswa khususnya dalam penjas merupakan waktu yang harus ditempuh selama kegiatan pendidikan jasmani itu berlangsung. Dimana anak dalam kondisi

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa bekatul mengandung gamma oryzanol dan asam ferulat yang berkhasiat memperbaiki profil lipid dengan cara menurunkan kadar kolesterol,

[r]

Analisis data dilakukan menggunakan analisi faktor untuk mengetahui faktor-faktor apa saja dan faktor dominan apa yang mempengaruhi kinerja karyawan pada PT.. Dari

– Thomas Alva Edison 1847-1931.. Permasalahan terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan hutan di Indonesia antara lain : Tingkat pembalakan melampaui tingkat pembalakan

Kehadiran teknologi Augmented Reality pada aplikasi pembelajaran sistem ekskresi pada manusia diharapkan dapat menyumbangkan inovasi dalam pembelajaran dan

Setelah beberapa bulan mereka akrab, Toni ingin mengutarakan perasaan yang selama ini ia pendam. Perasaan yang menyiksa dia. Ia berpikir, apakah sebaiknya ia menulis sepucuk surat

Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, pencerahan, bimbingan,