• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBERIAN KUASA

3. Sifat pemberian kuasa

Pada asasnya pemberian kuasa bersifat cuma-cuma tidak diperjanjikan adanya upah, akan tetapi bukan berarti penerima kuasa tidak diperkenankan sama sekali untuk menuntut upah atau dilarang menuntut upah dari pemberi kuasa melainkan penerima kuasa diberikan hak untuk menuntut upah, hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 1794 KUH Perdata :

“Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjiakan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam Pasal 411 KUH Perdata untuk Wali.”

Pasal 411 KUH Perdata ditegaskan :

“Semua wali, kecuali bapak atau ibu dan kawan wali diperbolehkan memperhitungkan sebagai upah tiga per seratus dari pada pendapatan, dua per seratus daripada segala pengeluaran dan satu setengah per seratus dari jumlah modal yang diterima. Kecuali apabila lebih suka menerima upah yang kiranya baginya dengan surat wasiat atau dengan akta otentik tersebut dalam Pasal 355 KUH Perdata ; dalam hal demikian tidak boleh memperhitungkan upah yang lebih rinci.”

d. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Kewajiban-kewajiban kuasa dapat dilihat dalam Pasal 1800-1806 KUH Perdata. Secara terperinci kewajiban-kewajiban kuasa adalah sebagai berikut :

1. Melaksanakan seluruh kuasa yang diberikan dan bertanggung jawab terhadap biaya, bunga dan ganti rugi yang timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa tersebut.

2. Bertanggung jawab terhadap kelalaian dalam kuasa tersebut yang menyangkut kerugian pemberian kuasa tanggung jawab bagi seorang yang dengna cuma-cuma dalam menerima kuasa, tidak begitu berat seperti yang dapat diminta dari seorang yang menerima kuasa dengan upah.

3. Memberikan laporan tentang apa yang telah diperbuat dan memperhitungkan kepada pemberi kuasa tentang segala apa yang diterimanya berdasarkan

kuasanya, sekalipun yang diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada pemberi kuasa. Kata melapor sebenarnya kurang tepat, karena seolah-olah antara pemberi kuasa dan yang menerima kuasa terdapat hubungan yang seimbang dan sejajar. Oleh karena itu lebih tepat digunakan “memberikan keterangan” maka akan lebih menunjukkan kenyataan dalam praktek.

4. Bertanggung jawab terhadap kuasa limpahan yang dibuat dalam pelaksanaan pemberian kuasanya. Hak pemberi kuasa untuk menunjuk orang lain akan menggantikan dirinya untuk melaksanakan kuasa yang diterima dari pemberi kuasa dinamakan “hak subtitusi”. Dalam pemberian kuasa diberikan hak subtitusi dengan menyebutkan orangnya, maka penerima kuasa bebas dari tanggung jawab mengenai pelaksanaan kuasa tersebut, jika ada hak subtitusi dan tidak menyebutkan nama orangnya maka penerima kuasa hanya dapat bertanggung jawab apabila penggantiannya yaitu yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa ternyata terbukti tidak cakap melaksanakan kuasa subtitusinya.

5. Bertanggung jawab secara pribadi kecuali ditentukan atau diperjanjikan secara tegas adanya tanggung jawab secara tanggung renteng.

6. Bertindak dalam batas-batas kewenangannya.

Adakalannya penerima kuasa bertindak diluar batas kewenangannya, dalam hal yang demikian maka segala tindakannya menjadi tanggungan penerima kuasa itu sendiri, dan pemberi kuasa dapat menuntut penggantian kerugian kepada penerima kuasa apabila merugikan pemberi kuasa, serta dapat pula dilakukan pembatalan perjanjian tersebut.

Mengenai kewajiban-kewajiban pemberi kuasa dapat dilihat dala Pasal 1807-1812 KUH Perdata, secara terperinci kewajiban-kewajibannya adalah sebagai berikut: 1. Memenuhi perikatan-perikatan yang telah diperbuat oleh penerima kuasa

menurut kekuasaan yang telah diberikan kepadanya. Kewajiban yang demikian ini memang sudah selayaknya mengikat bahwa penerima kuasa dalam melaksanakan perbuatan hukum adalah atas nama dan untuk kepentingan pemberi kuasa, dengan kata lain yang mempunyai kehendak atau sebagai pihak dalam perbuatan hukum yang dibuat oleh penerima kuasa adalah bukan penerima kuasa melainkan pemberi kuasa.

2. Membayar jasa yang telah diperjanjikan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa sekalipun urusannyatidak berhasil kecuali apabila penerima kuasa telah bertindak diluar kewenangannya ataupun jika terbukti penerima kuasa telah lalai, disini penerima kuasa bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pemberi kausa.

3. Memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa tentang kerugian-kerugian yang telah diderita sewaktu menjalankan kuasanya, asalkan dalam hal ini penerima kuasa telah berbuat hati-hati dalam melaksanakan tugas kuasanya. 4. Membayar bunga atas persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh

penerima kuasa terhitung mulai hari dikeluarkan persekot itu. Dalam hal yang dimaksud adalah bunga maratoir yang besarnya 6 % setahun.

5. Terhadap penerima kuasa yang diangkatoleh lebih dari satu orang pemberi kuasa untuk mewakili urusannya bersama, mereka dipertanggung jawabkan secara tanggung renteng.

Kewajiban yang demikian ini apabila diperbandingkan dengan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 1804 KUH Perdata, dalam hal ini satu orang pemberi kuasa berhadapan dengan beberapa orang penerima kuasa sedangkan menurut Pasal 1811 KUH Perdata, satu orang penerima kuasa berhadapan dengan beberapa orang pemberi kuasa.

Dalam hal kewajiban penerima kuasa, undang-undang tidak mengatur adanya tanggung jawab secara tanggung renteng dari beberapa orang pemberi kuasa terhadap penerima kuasa. Sebagai pertimbangan pembentuk undang-undang untuk mempermudah penerima kuasa dalam menuntut hak-hak yang berkaitan dengan adanya pemberian kuasa, misalnya honorarium bagi penerima kuasa.37

6. Melunasi segala kewajiban yang belum dibayarkan.

Kewajiban yang demikian ini tersimpulkan dalam Pasal 1812 KUH Perdata, yaitu mengenai hak penerima kuasa untuk menahan segala kepunyaan pemberi kuasa yang ada di tangan penerima kuasa sampai dengan dipenuhinya hak penerima kuasa.

Hak penerima kuasa ini dikenal dengan istilah “hak retensi”, yaitu hak kreditur untuk menahan barang milik debitur sebagai jaminan atas pelunasan piutangnya.

Adapun hak-hak pemberi kuasa adalah :

37

1. Hak untuk mendapatkan upah atau honorarium. Hak ini sudah barang tentu tidak akan ada jika telah ditentukan bahwa pemberian kuasa dilaksanakan dengan cuma-cuma.

2. Hak untuk mendapatkan bunga persekot tentang ganti rugi perhitungan bunga dimulai dari saat dikeluarkannya persekot, tentang ganti rugi baru dapat dituntut apabila dapat dibuktikan bahwa betul-betul telah terjadi kerugian, dan kerugian itu merupakan akibat langsung dari akibat pihak lain.

e. Pengaturan Pemberian Kuasa

Pengaturan mengenai pemberian kuasa yang terdapat dalam Buku III Titel XVI Pasal 1792-1819 KUH Perdata masih belum lengkap, hal ini dapat dilihat dari peraturan mengenai hak dan kewajiban para pihak masih sedikit sekali, sehingga memungkinkan timbulnya perselisihan-perselisihan mengingat hukum yang ada didalam masyarakat semakin komplek dan perkembangan masyarakat menuntut adanya kepastian hukum.

Pasal 1338 alenia 1 KUH Perdata menegaskan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”.

Kebebasan untuk mengadakan perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 1338 alenia 1 KUH Perdata ini bukanlah berarti bebas sebebasnya melainkan dibatasi oleh undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH Perdata).

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 alenia 1 KUH Perdata tersebut berlaku juga pada pemberian kuasa, sehingga dalam pemberian kuasa, para pihak diberi kebebasan menentukan isi perjanjian. Hal seperti itu dikenal sebagai : “Asas Kebebasan Berkontrak”.

Pada kehidupan bermasyarakat apabila akan mengadakan perjanjian pemberian kuasa, kepada para pihak diberi kebebasan oleh undang-undang untuk menentukan isinya, dengan siapa mereka mengadakan perjanjian pemberian kuasa, menentukan bentuknya maupun syarat-syarat di dalamnya. Hanya saja kiranya akan lebih baik jika dibuat secara tertulis dengan disebutkan klausula-klausula didalamnya. Hal ini akan memudahkan dalam pembuktian apabila kemudian hari ada pihak yang melakukan wanprestasi. Dengan kata lain untuk lebih menjamin adanya kepastian hukum.Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan atau ketidak lengkapan didalam KUH Perdata yang mengatur pemberian kuasa, Mahkamah Agung mengeluarkan beberapa surat edaran yang berhubungan dengan pelaksanaan pemberian kuasa.

Adapun beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang mengatur surat kuasa yaitu:

1. SEMA No. 2 tahun 1959, tentang Surat Kuasa Khusus

2. SEMA No. 5 tahun 1962, tentang Penyempurnaan Surat Kuasa Khusus

3.` SEMA No. 1 tahun 1971, tentang pencabutan SEMA No. 2 tahun 1959 dan SEMA No. 5 tahun 1962

4. SEMA No. 6 tahun 1994, tentang Surat Kuasa Khusus.38

ad. 1. Dalam SEMA No. 2 tahun 1959 ditegaskan bahwa surat kuasa khusus yang kurang memenuhi syarat sebagai surat kuasa khusus, supaya Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Pengadilan Negeri mengembalikan untuk diperbaiki, yang dimaksud dengan syarat-syarat itu adalah untuk perkara perdata dalam surat kuasa khususnya

38

disebutkan mengenai para pihak dan pokok persoalannya. Untuk perkara pidana disebutkan pasal-pasal yang dituduhkan.

ad. 2. Dalam SEMA No. 5 tahun 1962 ditegaskan apabila dalam pemeriksaan baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Tinggi surat kuasa khususnya tidak memenuhi syarat sebagai surat kuasa khusus, dapat disempurnakan dengan cara memanggil sendiri orang yang memberi kuasa untuk ditanyakan mengenai kebenarannya bahwa telah memberikan kuasa kepada orangyang namanya tersebut dalam surat kuasa itu untuk mewakili atau membantunya dalam perkara yang sedang diperiksa. Bila orang yang memberi kuasa bertempat tinggal dilain wilayah Pengadilan Negeri namun dalam Pengadilan Tinggi yang sama, pengadilan yang sedang memeriksa perkaranya dapat meminta bantuan kepada Pengadilan Negeri yang dimana termasuk dalam wilayah tempat tinggal pemberi kuasa. Dalam hal pemberi kuasa tidak harus menghadap sendiri melainkan dapat mewakilkan kepada orang lain.

ad. 3. Dalam SEMA No. 1 tahun 1971 menegaskan bahwa pada pokoknya mencabut kembali SEMA No. 2 tahun 1959 dan SEMA No. 5 tahun 1962.

Dasar pertimbangan pencabutan ini adalah karena Mahkamah Agung beranggapan bahwa yang berkepentingan sudah sampai saatnya mengetahui serta mengindahkan syarat-syarat tentang surat kuasa khusus sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.

ad. 4. Dalam SEMA No. 6 tahun 1994 menegaskan bahwa :

1) Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya :

(a) Dalam praktek perdata harus jelas disebutkan antara A sebagai penggugat dan B sebagai tergugat, misalnya dalam perkara warisan atau hutang piutang tertentu atau sebagainya.

(b) Dalam perkara pidana harus dengan jelas menyebutkan pasal-pasal KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang didakwakan kepada terdakwa yang ditunjuk dengan lengkap.

2) Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding, kasasi maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah berlaku hingga dalam pemeriksaan dalam kasasi tanpa diperlukan surat kuasa yang baru.

Dokumen terkait