• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAWASAN INDUSTRI DAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM

B. Proses Basa

6.3. Metode Analisis Investasi Pengelolaan Limbah

6.4.4 Kelayakan Pengelolaan Limbah

Saat ini limbah baja yang merupakan hasil proses pabrik baja yang dihasilkan oleh PT. Krakatau Steel sudah dimanfaatkan melalui penjualan langsung baik untuk keperluan pabrik baja yang beroperasi di area Krakatau Group maupun dijual atas permintaan pabrik semen dengan pengiriman limbah baja sebanyak 300 ton/bulan, juga melakukan ekspor limbah baja dalam bentuk mill steel di negara China untuk keperluan pabrik baja.

Analisis kelayakan pengelolaan limbah dapat dilakukan dengan menganalisis hasil penilaian net present value ini dengan tujuan agar semua investasi, pengeluaran dan penerimaan dalam pengelolaan limbah baja yang berbentuk cash flow untuk periode waktu tertentu sampai kelayakan proyek dan nilai suatu proyek diubah ke dalam nilai sekarang dengan menggunakan tingkat suku bunga yang relevan. Untuk mengukur hasil analisis penilaian net present value dan benefit cost ratio ini menggunakan suku bunga yang berlaku pada akhir tahun 2007 yaitu suku bunga SBI sebesar 14 %, minimum attractive rate of return (MARR) sebesar 15 %, dan laju inflasi 6 %.

Estimasi nilai jual limbah yang dapat dimanfaatkan yaitu: limbah sludge senilai $22/ton, sedangkan limbah baja yang berasal dari debu EAF atau DR slurry

senilai $18/ton. Harga jual limbah tersebut tidak termasuk biaya transportasi. Biaya transportasi untuk pengiriman (shipping) ke China melalui Kapal laut sebasar $ 34/ton, sedangkan jika menggunakan kontainer biaya transportasinya sebesar $ 27/ton. Biaya lain yang menjadi beban industri yaitu biaya pengerukan limbah yang berada di sekitar pabrik untuk dipindahkan ke area penampungan limbah sebesar $9/ton.

Berikut ini besaran estimasi benefit dan cost pengelolaan limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon tahun 2007 dapat disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Estimasi benefit dan cost pengelolaan limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon.

Benefit-Cost Komponen Jumlah (ton)

Harga (USD/ton)

Nilai (USD) Benefit Debu EAF BSP

Debu EAF SSP1 Debu EAF SSP2 Sludge DR Sludge WRM Slurry CRM Shipping 6.423 12.062 9.969 2.503 1.300 11.196 43.453 18 18 18 22 22 22 24 115,614 217,116 179,442 55,066 28,600 246,312 1,042,872 Cost Area transport

43.453 9

391,077

Berdasarkan Tabel 19 di atas terlihat bahwa komponen limbah baja yang berasal dari debu EAF BSP, debu EAF SSP, dan debu EAF SSP2 memiliki benefit harga limbah sebesar 18 USD/ton, sedangkan komponen limbah baja yang berasal dari sludge DR, sludge WRM, dan slurry CRM memiliki benefit harga limbah sebesar 22 USD/ton, sehingga hasil pengelolaan limbah baja yang dapat dimanfaatkan sebesar 1,885,022USD, selanjutnya dilakukan perhitungan estimasi benefit dan cost pengelolaan limbah baja untuk 10 tahun yang disajikan pada lampiran 2 – 3. Untuk mengetahui hasil penilaian benefit dan cost serta matriks kriteria penilaian terhadap pengelolaan limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Penilaian benefit dan cost serta matriks kriteria penilaian terhadap pengelolaan limbah industri baja di Kawasan Industri Krakatau Cilegon

No. Pengelolaan Kriteria Nilai Peringkat

Limbah NPV (USD) BCR NPV(USD) BCR Opsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. Debu EAF BSP Debu EAF SSP1 Debu EAF SSP2 Sludge DR Sludge WRM Slurry CRM 10,929,328 20,722,145 17,087,813 4,588,718 2,275,133 21,306,917 3,6 3,6 3,6 3,7 3,7 3,7 480 911 751 202 100 937 100 100 100 103 103 103 290 506 426 153 102 520 4 2 3 5 6 1 Kriteria bobot 0,5 0,5

Berdasarkan Tabel 20 di atas, pengukuran hasil penilaian investasi analisis net present value (NPV) untuk 10 tahun dapat diketahui dengan total nilai sebesar 76,910,054USD dan benefit cost ratio (BCR) dengan nilai rasio > 3, yang berarti bahwa investasi menguntungkan. Selanjutnya dilakukan analisis untuk menentukan kriteria, nilai opsi, dan peringkat dari masing-masing jenis limbah. Dari hasil analisis kriteria dan opsi pengelolaan diperoleh urutan nilai 520, 506, 426, 290, 153, 290, dan 102, maka berdasarkan urutan pengelolaan tersebut diperoleh peringkat terbaik (1) yakni limbah baja yang berasal dari limbah slurry CRM, hal ini berarti limbah slurry CRM merupakan opsi pengelolaan yang dinilai paling layak untuk melakukan investasi pengelolaan limbah baja. Meskipun demikian, jenis limbah baja lainnya juga perlu pengelolaan secara berkelanjutan agar semua limbah dapat dimanfaatkan, sehingga limbah tersebut mempunyai nilai tambah (added value) bagi perusahaan dan masyarakat sekitar dapat menerima manfaaatnya.

6.5 Kesimpulan dan Saran

6.5.1 Kesimpulan

Hasil menganalisis investasi pengelolaan limbah dapat disimpulkan:

1. Pemanfaatan keterpaduan wilayah pesisir dilakukan secara berkelanjutan, agar Kawasan Industri Krakatau Cilegon tetap lestari sesuai harapan.

2. Penilaian pemanfaatan wilayah pesisir dapat diketahui dengan melakukan kelayakan pengelolaan limbah melalui pengukuran hasil pengolahan limbah baja yang dapat dimanfaatkan sebesar 1,885,022USD dan benefit cost ratio dengan nilai rasio > 3 berarti investasi menguntungkan.

3. Hasil analisis penilaian net present value dan benefit cost ratio berdasarkan nilai kriteria dan opsi pengelolaan, maka jenis limbah baja slurry CRM merupakan opsi yang dinilai paling layak dalam pengelolaan limbah baja.

6.5.2 Saran

Sebagai saran dalam analisis investasi pengelolaan limbah ini adalah:

1. Perlu perusahaan mengelola limbah baja secara optimal, agar limbah yang ada saat ini dapat dimanfaatkan kembali, baik untuk kebutuhan perusahaan sendiri maupun perusahaan lainnya.

2. Agar perusahaan mencari alternatif penggunaan lain dari limbah baja yang bernilai lebih layak, sehingga masyarakat sekitar dapat merasakan manfaat hasil pengelolaan limbah.

Daftar Pustaka

Clark, J.R. 1998. Coastal Zone Management for The New Century. Ocean & Coastal Management. 37(2): 191.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Fauzi, A. dan Buchary, E. 2002. A Socio-Economic Perspective of Environmental Degredation at Kepulauan Seribu Nasional Marine Park. Coastal Management Journal. Vol. 30 (2): 167 – 181.

Heal, G. (1988). Valuing the Future: Economic Theory and Sustainability. Colombia University Press. New York.

Newnan, D. G. 1990. Engineering Economic Analysis. Third Edition. Engineering Press Inc. California.

Mulyowahyudi, A. 2005. KS-Review: Steel as National Power. PT. Krakatau Steel. Cilegon

Sjaifuddin. 2008. Cost-Benefit Analysis Pengelolaan Sumberdaya Alam Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan.Biodidaktika, Jurnal Biologi dan Pembelajaran Vol.3 No.1.

Pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan menjadi sektor unggulan dalam membangun perekonomian nasional. Kebijakan yang mampu memayungi semua kebijakan tata ruang perairan mampu bersinergi dengan pembangunan dan mensejahterakan masyarakatnya. Tujuan model strategi pengelolaan lingkungan ini yaitu: mengelola limbah baja berdasarkan aktivitas penduduk, industri sekitar, pesisir laut, dan dampak sosial; menganalisis baku mutu limbah; menentukan pengelolaan limbah dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi submodel penduduk, pesisir laut, dan limbah industri. Metode yang digunakan dalam model strategi pengelolaan lingkungan ini, yaitu model analisis faktor, metode AHP Cdplus3.0, metode ISM VAXO, dan dinamic modeling (powersim). Hasil analisis model strategi pengelolaan lingkungan: Pengelolaan limbah berdasarkan aktivitas penduduk sebanyak 42.846.944 jiwa, aktivitas industri sebanyak 74 industri dengan luas lahan kawasan industri 1.500 ha., dampak sosial, dan pengelolaan limbah terhadap pesisir laut. Model pengelolaan limbah baja dapat dilakukan dengan penentuan pemilihan prioritas menggunakan AHP, penentuan parameter kunci menggunakan ISM, dan pengembangan model sebagai skenario pengelolaan dengan menggunakan dynamic modeling. Hasil analisis baku mutu limbah baja terhadap kesehatan masyarakat dan degradasi pesisir masih memenuhi nilai ambang batas (NAB). Sedangkan model strategi kebijakan dalam pengelolaan limbah baja dapat dilakukan dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi submodel penduduk, pesisir laut, dan limbah industri yang digambarkan dengan diagram sebab akibat (cause loop) dan struktur model dengan bantuan program powersim.

Kata kunci: Model AHP, metode ISM, dynamic modeling, NAB, cause loop, struktur model.

7.1 Pendahuluan

7.1.1 Latar Belakang

Pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan menjadi sektor unggulan dalam membangun perekonomian nasional, Untuk itu diperlukan suatu kebijakan yang mampu memayungi semua kebijakan tata ruang perairan yang mampu bersinergi dengan pembangunan dan mensejahterakan masyarakatnya, khususnya Kota Cilegon. Hal ini juga, dikarenakan pendayagunaan sumberdaya kelautan sebagai basis dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Menurut Sjaifuddin (2007), sampai saat ini banyak teori pengembangan wilayah yang dapat dijadikan acuan dalam konteks pengelolaan lingkungan pesisir dan teluk Banten. Teori tersebut dibangun atas dasar atas dasar dan tujuan yang berbeda-beda. Kelompok pertama adalah toeri-teori yang memberi penekanan pada kerjasama wilayah (regional prosperty). Kelompok kedua memberi penekanan pada

sumberdaya alam dan lingkungan yang dinilai mempengaruhi keberlanjutan sistem produksi (sustainable production) atau kelompok yang peduli pada pembangunan berkelanjutan. Kelompok ketiga teori ini memberikan implikasi yang berbeda dalam fokus pengembangan wilayah. Penerapan teori ini didasarkan pada masalah utama yang dihadapi masyarakat/wilayah dengan sasaran tertentu.

Menurut Dahuri (1998), dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti wilayah pesisir dan lautan, langkah pertama yang harus dikerjakan oleh para perencana dan pengambil keputusan adalah menentukan batas-batas (boundaries) dari wilayah yang akan dikelolanya sebagai suatu satuan pengelolaan (management unit). Dengan mengetahui batas-batas dari suatu wilayah pesisir dan lautan sebagai satuan pengelolaan lingkungan, maka komponen-komponen beserta segenap interaksi antar komponen tersebut di dalam sistem pengelolaan lingkungan dan interaksi antar satuan wilayah pengelolaan dengan satuan wilayah pengelolaan lingkungan lainnya dapat diketahui dengan baik.

Menurut para pakar, diantaranya Brown (1997), bahwa penentuan batas-batas wilayah pesisir di dunia pada umumnya berdasarkan pada tiga kriteria berikut: (1) Garis linier secara arbiter tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau shoreline). Republik Rakyat Cina, misalnya, mendefinisikan wilayah pesisirnya sebagai suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan lautan, ke arah darat mencakup lahan darat sejauh 15 km dari garis pantai, dan ke arah laut meliputi perairan laut sejauh 15 km dari garis pantai (Zhijie, 1990); (2) Batas-batas adiministrasi dan hukum. Negara bagian Washington, Amerika Serikat; Australia Selatan; dan Queensland, misalnya, batas ke arah laut dari wilayah pesisirnya adalah sejauh 3 mil laut dari garis dasar (coastal baseline) (Sorensen, 1990); (3) Karakteristik dan dinamika ekologis (biofisik), yakni atas dasar sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural features) atau kesatuan proses-proses ekologis (seperti aliran air sungai, migrasi biota, dan pasang surut). Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesisir menurut kriteria ketiga ini adalah: batasan menurut Daerah Aliran Sungai.

Di dalam pengelolaan limbah baja ini terdapat upaya-upaya yang dapat dilakukan saat ini yaitu meminimasi jumlah limbah yang dihasilkan dan tersimpan di sumber penimbunan, pewadahan, pengumpulan dan lebih diutamakan pengolahan kembali untuk kebutuhan di lingkungan sendiri maupun dijual di luar lingkungan perusahaan. Oleh karena itu pengelolaan limbah harus tetap mengedepankan kelestarian wilayah dan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk menghadapi

permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan model-model yang secara komprehenship dan integral dapat menyelesaiakan permasalahan tersebut.

7.1.2 Tujuan dan Lingkup Bahasan

Tujuan dan lingkup bahasan pada model strategi pengelolaan lingkungan ini yaitu: (1) Mengelola limbah baja berdasarkan aktivitas penduduk, industri sekitar, pesisir laut, dan dampak sosial; (2) Menganalisis baku mutu limbah; (3) Menentukan pengelolaan limbah dengan membuat submodel penyelesaian masalah meliputi submodel kependudukan, pesisir laut, dan limbah industri.

7.2 Tinjauan Pustaka