• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disamping memproduksi produk olahan hasil perikanan, pelaku usaha perikanan DKI Jakarta biasanya langsung memasarkan sendiri produk olahannya. Hal ini terjadi karena usaha mereka sudah berada di tengah- tengah pasar potensial (DKI Jakarta), sehingga dapat dijual langsung tanpa perantara. Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa produk ikan asin yang banyak diolah dan pasar pelaku perikanan di sentra perikanan Muara Baru, Kalibaru dan Kamal Muara diantaranya ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin. Sedangkan untuk produk ikan pindang, yang banyak diolah dan dipasarkan, diantaranya ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang dan ikan etem pindang.

Kedelapan jenis usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut menjadi andalan rumah tangga nelayan (RTN) selama ini, terutama dari kalangan ibu-ibu dan anak nelayan. Kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran tersebut diharapkan dapat menjadi usaha yang sangat layak secara finansial untuk dikembangkan lebih luas sehingga dapat meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah produk perikanan yang berorientasi ke pasar baik jumlah, mutu, dan harganya, serta dapat meningkatkan kesejahteraan para pelakunya. Mengingat pentingnya peran usaha pengolahan dan pemasaran dalam ekonomi rumah tangga nelayan (RTN) maupun masyarakat pesisir di DKI Jakarta, maka kedepan usaha perikanan tersebut akan dianalisis tingkat kelayakannnya dalam penelitian ini.

Untuk memastikan hal tersebut, maka analisis kelayakan terhadap kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut perlu dilakukan menggunakan parameter finansial yang relevan. Dengan mengacu kepada Hanley dan Spash (1993), metode analisis kelayakan usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang yang digunakan adalah NPV, IRR, ROI, dan B/C Ratio.

1. Kelayakan Usaha Ikan Asin dan Pindang Berdasarkan Net Present Value (NPV)

Dalam analisis kelayakan menggunakan parameter NPV ini, usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang dan ikan etem pindang akan dikaji selisih antara nilai sekarang (present) dari penerimaan masing-masing dengan nilai sekarang dari pengeluaran masing-masing pada tingkat bunga tertentu yang berlaku yang terjadi selama menjalankan usaha ikan asin dan pindang tersebut. Sedangkan suku bunga yang digunakan dalam analisis, mengacu kepada Bank Umum (2010) tentang bunga kurs, yaitu 14%. Hasil analisis kelayakan kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang di DKI Jakarta ini berdasarkan NPV disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Kelayakan usaha ikan asin dan ikan pindang berdasarkan Net Present Value (NPV)

Jenis Usaha Pengolahan

dan Pemasaran Standar NPV Nilai NPV (Rp) Keterangan

Usaha ikan teri  0 976.976 Layak

Usaha ikan japuh asin 12.273.427 Layak

Usaha ikan pari asin 6.814.871 Layak

Usaha ikan jambal asin 21.865.625 Layak

Usaha ikan selar pindang 28.551.492 Layak

Usaha ikan tongkol pindang 44.617.477 Layak

Usaha ikan layang pindang 1.670.167 Layak

Usaha ikan etem pindang 23.036.901 Layak

Berdasarkan Tabel 8 tersebut, usaha ikan tongkol pindang mempunyai nilai NPV paling tinggi (Rp 44.617.477). Hal ini menunjukkan bahwa usaha ikan tongkol pindang dapat memberikan keuntungan bersih terbesar berdasarkan nilai sekarang selama masa operasinya (8 tahun). Dari hasil survai lapang, barang investasi utama seperti kuali, bak pencuci, dan gerobak dapat digunakan secara layak hingga delapan tahun kemudian

setelah dibeli/dibuat. Keuntungan bersih yang sangat tinggi dalam delapan tahun operasinya disebabkan penerimaan yang tinggi dari usaha ikan tongkol pindang yaitu mencapai Rp 273.750.00 per tahun, sementara biaya operasional relatif standar (Rp 261.869.500 per tahun). Hal ini terjadi lebih didukung oleh harga bahan baku / ikan segar yang relatif murah (Rp 11.000 per kg), intensitas produksi yang baik (3 hari sekali), dan skala pengusahaan yang menengah ke atas (200 kg per batch produksi). Terkait dengan ini, maka dari segi NPV, usaha ikan tongkol pindang mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan lanjut di DKI Jakarta.

Disamping usaha ikan tongkol pindang, usaha pengolahan dan pemasaran lainnya yang mempunyai nilai NPV tinggi diantaranya usaha ikan selar pindang (Rp 28.551.492), usaha ikan etem pindang (Rp 23.036.901), dan usaha ikan jambal asin (Rp 21.865.625). Namun bila mengacu kepada standar yang dipersyaratkan (NPV > 0), maka usaha usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang mempunyai NPV jauh di atas persyaratan minimal tersebut, sehingga dari segi NPV usaha kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut layak untuk dilanjutkan. Hanley dan Spash (1993) menyatakan bahwa nilai NPV merupakan cerminan keuntungan bersih yang didapat pelaku usaha pada kondisi terakhir saat keuntungan dihitung.

Terhadap kondisi tersebut, maka usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang yang dikembangkan di DKI Jakarta saat ini tidak perlu diragukan lagi keuntungan bersihnya berdasarkan nilai sekarang terutama bagi pemilik, meskipun operasi kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran tersebut terkadang berhenti pada musim paceklik. Hal ini tentu sangat baik, mengingat usaha pengolahan dan pemasaran tersebut telah menyatukan dengan kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir DKI Jakarta, terutama dari kalangan ibu rumah tangga dan anak-anak.

2. Kelayakan Usaha Ikan Asin dan Pindang Berdasarkan IRR

Paramater IRR penting untuk mengetahui batas untung rugi suatu usaha pengolahan dan pemasaran, yang ditunjukkan oleh suku bunga maksimal yang menyebabkan NPV = 0. Bagi usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang dijalankan di sentra perikanan DKI Jakarta, hasil analisis ini membantu usaha tersebut dalam mengelola uang yang dimiliki, sehingga keputusan pemanfaatannya lebih baik. Tabel 9, menyajikan hasil analisis kelayakan kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang di DKI Jakarta ini berdasarkan IRR.

Tabel 9 Kelayakan usaha ikan asin dan ikan pindang berdasarkan IRR Jenis Usaha Pengolahan

dan Pemasaran

Standar

IRR Nilai IRR (%) Keterangan

Usaha ikan teri > 14 % 4,22 Tidak Layak

Usaha ikan japuh asin 52,24 Layak

Usaha ikan pari asin 24,31 Layak

Usaha ikan jambal asin 72,04 Layak

Usaha ikan selar pindang 104,21 Layak

Usaha ikan tongkol pindang 131,86 Layak

Usaha ikan layang pindang 9,13 Tidak Layak

Usaha ikan etem pindang 77,90 Layak

Berdasarkan Tabel 9, usaha ikan tongkol pindang, usaha ikan selar pindang, usaha ikan etem pindang, dan usaha ikan jambal asin termasuk kelompok usaha pengolahan dan pemasaran produk olahan dengan IRR besar (persentase keuntungan besar). Nilai IRR keempat usaha pengolahan dan pemasaran produk olahan tersebut masing-masing mempunyai nilai IRR 131,86%, 104,21%, 77,90%, dan 72,04%. Usaha ikan tongkol pindang mempunyai nilai IRR paling tinggi (131,86%). Nilai IRR 131,86% ini menunjukkan bahwa menginvestasikan uang pada usaha ikan tongkol pindang di DKI Jakarta akan mendatangkan keuntungan sekitar 131,86% per tahunnya. Kondisi ini tentu sangat baik, dan hal ini

bisa jadi merupakan penyebab rumah tangga nelayan (RTN) yang mempunyai uang berlebih selalu mendorong isteri dan anaknya supaya dapat mengembangkan usaha pemindangan, terutama pada musim puncak atau bila hasil tangkapan ikan tongkol banyak. Hyndman, et. al (2008) dan Mustaruddin (2009) menyatakan bahwa ada kecenderungan pelaku usaha perikanan lebih termotivasi untuk mengembangkan usaha perikanan sampingan yang dapat menopang ekonomi keluarga daripada mengembangkan usaha lainnya di luar perikanan, dan pelibatan yang tinggi keluarga nelayan pada usaha/industri perikanan dapat mempercepat pertumbuhan dan kestabilan ekonomi pesisir.

Nilai IRR untuk usaha ikan japuh asin dan usaha ikan pari asin juga termasuk bagus, karena suku bunga bank yang berlaku hanya 14% (bunga komersial). Terkait dengan ini, maka menginvestasikan uang pada kedua usaha ini jauh lebih baik daripada menyimpan uang tersebut di bank, karena bank hanya akan memberikan bunga 14% per tahun, sedangkan usaha ikan japuh asin dan usaha ikan pari asin memberikan bunga yang berlipat ganda. Hal yang sama juga terjadi dan bahkan lebih tinggi bila uang diinvestasikan pada usaha ikan tongkol pindang, usaha ikan selar pindang, usaha ikan etem pindang dan usaha ikan jambal asin

Usaha ikan teri dan usaha ikan layang pindang mempunyai nilai IRR yang lebih rendah daripada bunga bank (14%). Terkait dengan ini, maka menginvestasikan uang pada kedua usaha ini tidak lebih bermanfaat daripada menyimpan uang tersebut di bank. Terkait dengan ini, maka dari segi IRR usaha ikan teri dan usaha ikan layang pindang tidak layak dikembangkan di DKI Jakarta. Usaha pengelolahan dan pemasaran produk olahan ini tidak dapat memberi kesejahteraan yang lebih baik bagi rumah tangga nelayan maupun masyarakat pesisr yang menjalankannya. Menurut Nikijuluw (2005), usaha ekonomi berbasis perikanan yang dilakukan oleh nelayan hendaknya dapat memberi kesejahteraan yang layak bagi keluarga tersebut, serta jika tidak maka kemiskinan dan konflik sosial akan terus terjadi di kawasan pesisir, sehingga menganggu aktivitas ekonomi lebih besar di lokasi.

Bila dilihat lebih detail ketidakmampuan kedua usaha ikan teri untuk memberikan keuntungan yang layak (IRR > 14%), dapat disebabkan oleh intensitas produksi yang rendah (rataan hanya 5 hari sekali) dan skala pengusahaan yang rendah (sekitar 80 kg per batch produksi). Hal ini terjadi karena bahan baku ikan teri tidak mudah diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di pesisir utara DKI Jakarta. Untuk usaha ikan layang pindang, IRR yang rendah lebih disebabkan oleh harga bahan baku yang tinggi relatif tinggi (Rp 11.000 per kg), sedangkan harga jualnya relatif sama dengan ikan etem yang harga bahan bakunya jauh lebih murah (Rp 7.500 per kg).

3. Kelayakan Usaha Ikan Asin dan Pindang Berdasarkan ROI

Parameter ROI penting untuk mengetahui tingkat pengembalian investasi dari benefit (penerimaan) yang diterima pemilik usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang. Usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang layak dilanjutkan bila mempunyai nilai ROI > 1 (satu). Hasil analisis kelayakan terhadap kedelapan (8) usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang ini berdasarkan parameter ROIdisajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Kelayakan usaha ikan asin dan ikan pindang berdasarkan ROI Jenis Usaha Pengolahan

dan Pemasaran

Standar

ROI Nilai ROI (%) Keterangan

Usaha ikan teri > 1 163,36 Layak

Usaha ikan japuh asin 179,75 Layak

Usaha ikan pari asin 178,84 Layak

Usaha ikan jambal asin 211,01 Layak

Usaha ikan selar pindang 262,39 Layak

Usaha ikan tongkol pindang 178,86 Layak

Usaha ikan layang pindang 249,82 Layak

Berdasarkan Tabel 10 tersebut, maka dari ROI, usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang layak dilanjutkan di sentra perikanan DKI Jakarta karena mempunyai nilai ROI >1. Secara umum, nilai ROI kedelapan usaha tersebut termasuk sangat tinggi. Hal ini terjadi karena biaya investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha ikan asin dan ikan teri ini sangat rendah, sehingga dengan penerimaan darai beberapa kali produksi sebenarnya sudah dapat ditutupi. Menurut Hanley and Spash (1993) dan Muslich (1993), nilai ROI suatu usaha ekonomi menunjukkan kelipatan jumlah investasi yang bisa dikembalikan bila usaha ekonomi tersebut dijalankan. Usaha ikan tongkol pindang misalnya hanya membutuhkan biaya investasi sekitar Rp 7.100.000, padahal penerimaan usaha mencapai Rp 273.750.000 per tahun, sehingga hanya dalam beberapa saja, karena biaya investasi sudah bisa dikembalikan.

Oleh karena kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut, mempunyai nilai ROI yang lebih dari yang dipersyaratkan, maka usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang tidak akan bermasalah dalam pengembalian investasinya, bila dikembangkan lanjut di DKI Jakarta. Namun demikian, nilai ROI harus diperiksa dengan hasil analisis paramteer lainnya, sehingga keputusan kelayakan pengembangan lanjut usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang lebih tepat, memberi kesejahteraan bagi pelakunya, dan menjamin keberlanjutan usaha di masa mendatang.

4. Kelayakan Usaha Ikan Asin dan Pindang Berdasarkan B/C Ratio Hasil analisis parameter B/C Ratio ini penting untuk melihat perimbangan antara penerimaan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut dengan pembiayaan yang dikeluarkan untuk mengoperasikan usaha tersebut. Nilai B/C Ratio ini diharapkan lebih besar dari 1 (satu), yang berarti penerimaan usaha pengolahan dan

pemasaran ikan asin dan pindang dapat menutupi pembiayaan. Tabel 11 menyajikan hasil analisis kelayakan usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang di DKI Jakarta berdasarkan parameter B/C Ratio.

Tabel 11 Kelayakan usaha ikan asin dan ikan pindang berdasarkan B/C Ratio Jenis Usaha Pengolahan

dan Pemasaran Standar B/C Nilai B/C Keterangan

Usaha ikan teri > 1 1,00 Tidak Layak

Usaha ikan japuh asin 1,01 Layak

Usaha ikan pari asin 1,01 Layak

Usaha ikan jambal asin 1,02 Layak

Usaha ikan selar pindang 1.02 Layak

Usaha ikan tongkol pindang 1,04 Layak

Usaha ikan layang pindang 1,00 Tidak Layak

Usaha ikan etem pindang 1,02 Layak

Berdasarkan Tabel 11, usaha ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang dan ikan etem pindang di DKI Jakarta, karena mempunyai nilai B/C Ratio yang lebih dari 1 (satu). Untuk usaha ikan tongkol pindang misalnya, setiap 1 (satu) satuan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan usaha pengolahan dan pemasaran ikan tongkol pindang di DKI Jakarta, maka akan mendatangkan penerimaan bersih sekitar 1,04 satuan. Hal yang sama juga untuk usaha ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, dan ikan etem pindang, dimana setiap 1 satuan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan usaha, maka akan mendatangkan penerimaan bersih masing-masing 1,01 satuan, 1,01 satuan, 1,02 satuan, 1,02 satuan dan 1,02 satuan.

Secara sepintas, jumlah penerimaan bersih berdasarkan analisis B/C Ratio ini tidak terlalu besar. Hal ini karena pembandingnya merupakan

akumulasi biaya yang dikeluarkan selama menjalankan usaha pengolahan dan pemasaran produk olahan tersebut (8 tahun). Setiap rumah tangga nelayan (RTN) yang melakukan usaha ikan asin dan pindang, maka sebagian dari penerimaan yang didapat, digunakan kembali menjadi biaya operasional dan diawal operasi, mereka juga sudah mengeluarkan biaya untuk investasi. Oleh karena semua biaya tersebut diperhitungkan, maka sangat wajar bila rasio penerimaan dikatakan baik dengan hanya lebih beberapa satuan dari akumulasi biaya tersebut. Menurut Safi’i (2007), bila rasio penerimaan dengan biaya dikonversi kepada nilai riil satuan mata uang yang digunakan dalam operasional usaha (satuan rupiah), maka nilai kelebihan penerimaan akan terlihat jelas, dan kelebihan tersebut menjadi keuntungan bagi pemilik usaha. Usaha ikan teri dan ikan layang pindang mempunyai nilai B/C ratio 1,00, yang berarti bahwa penerimaan bersih kedua usaha ikan asin dan pindang tersebut sama dengan biaya yang dikeluarkan (tidak ada keuntungan). Dengan demikian, usaha ikan teri dan ikan layang pindang tidak layak dikembangkan lanjut di sentra perikanan DKI Jakarta.

Bila mengacu kepada semua parameter finansial yang digunakan, maka hanya ada enam usaha pengelolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang yang layak dikembangkan lanjut (diteruskan) di DKI Jakarta, yaitu usaha ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, dan ikan etem pindang. Sedangkan usaha ikan teri dan ikan layang pindang tidak layak dikembangkan lanjut karena mempunyai nilai IRR dan B/C ratio yang lebih rendah dari standar yang dipersyaratkan.

Menurut Cahyono (1997) dan Yusron, et. al (2001), penggabungan analisis parameter finansial ini dapat membantu menetapkan keputusan pengembangan yang lebih tepat pada suatu proyek atau kegiatan ekonomi, karena diantara parameter finansial tersebut dapat saling cek silang. Suatu proyek atau kegiatan ekonomi dikatakan layak dikembangkan bila standar yang dipersyaratkan oleh setiap paramater tersebut dapat dipenuhi dengan baik, dan ini mengindikasikan bahwa proyek atau kegiatan ekonomi

tersebut akan memberi manfaat nyata pelakunya, baik ditunjau dari penerimaan bersih, kemampuan pengembalian investasi, maupun kewajaran keuntungan yang didapat pelakunya. Pengembangan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang di DKI Jakarta harus dilakukan dengan konsep ini, sehingga keberadaannya dapat secara nyata meningkatkan kesejahteraan rumah tangga nelayan dan masyarakat pesisir, serta percepatan pembangunan ekonomi perikanan di DKI Jakarta.

4.4 Perumusan Strategi Pengembangan Produk Olahan Hasil Perikanan

Dokumen terkait