• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Kapitalis Di negara-negara kapitalis yang berpendapatan tinggi, kelancaran jaminan

Dalam dokumen EKONOMI KESEJAHTERAAN ekonomi SYARIAH docx (Halaman 63-72)

IMPLIKASI EKONOMI KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SYARIAH DALAM EKONOMI GLOBAL

2.3. Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Kapitalis Di negara-negara kapitalis yang berpendapatan tinggi, kelancaran jaminan

sosial dan egalitarianisme memperhatikan kontras yang sangat dengan pembangunan kapitalis di abad ke 18 dan 19. Sebenarnya, awal keredupan negara persemakmuran dibeberapa negara dapat dirunut kembali pada akhir abad ke 19

ketika Bismarck Jerman mensponsori asuransi kesehatan dan asuransi lanjut usia, sebagai reaksi defensif terhadap perkembangan pemikiran sosialis. Perintis lain dari negara persemakmuran yang modern adalah program kesejahteraan sosial yang dicanangkan Pemerintahan Liberal Di Kerajaan Inggris, berkembang di tahun 1908, program ini memuat asuransi sosial untuk kesehatan dan pengangguran, pensiunan, dan tunjangan bagi pekerja yang berpendapatan rendah melalui ketetapan undang-undang upah minimum (Schnitzer, 1987:153-154). Pengangguran yang berskala besar selama masa depresi berat di tahun 1930-an, memacu kebangkitan negara persemakmuran di negara-negara Barat. Setelah tahun 1929 Partai Demokrasi Sosial menjadi unsur terbesar dalam sistem politik di sejumlah negara Skandinavia, dan di bawah pengaruh dan bimbingan mereka, kebijakan ekonomi dinegara-negara ini menekankan orientasi pada kesejahteraan. Corak politik dari partai yang berkuasa di negara-negara maju kapitalis lainnya menjadi faktor terpenting dalam mengatur langkah kebijakan kesejahteraan sosial dalam periode waktu yang berbeda. Meskipun demikian, seluruh negara kapitalis yang berpendapatan tinggi telah mengembangkan dengan baik sistem jaminan sosial yang memberikan perlindungan dari ketidakkokohan sistem kapitalisme.

Ciri-ciri terpenting dari program jaminan sosial di negara-negara kapitalis maju adalah bahwa pada umumnya ia dirancang untuk semua warga negara, terlepas dari posisi keuangan seseorang. Fakta yang ada membuktikan bahwa program semacam ini telah banyak melakukan sesuatu untuk mengurangi kemiskinan. Akan tetapi, bahkan di negara-negara yang paling maju pun, kemiskinan belum dapat diberantas secara sempurna. Di negara Amerika Serikat, misalnya menurut survey tahunan yang terakhir dari Biro Sensus, pada tahun 1988

secara resmi ditemukan sekitar 13 persen dari penduduk berada dibawah garis kemiskinan. Berdasarkan studi penelitian yang baik mengenai profil kemiskinan di empat negara maju, sekitar 10 persen dari penduduk di negara-negara ini yang berada dibawah garis kemiskinan pada tahun 1973.

Dengan perubahan sifat kapitalisme selama abad ini, pembagisn pendapatan nasional yang adil menjadi tujuan nasional yang dipertahankan secara luas di negara-negara kapitalis maju. Namun demikian, masing-masing negara mempunyai pandangan yang berbeda-beda terhadap sejauh mana mereka harus menjamin tujuan ini. Sebuah studi di 1976 yang dilakukan oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan mengenai ukuran pemerataan pengembalian pajak pendapatan pribadi disepuluh negara-negara industri, mengungkapkan bahwa Kerajaan Inggris dan negara-negara lainnya seperti Norwegia dan Swedia, yang mengikuti kebijakan-kebijaka yang lebih egaliter, memiliki sedikit ketidakadilan dalam pengembalian pajak pendapatan daripada negara-negara tertentu lainnya seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman. Tampak dalam banyak analisa bahwa bahkan setelah kedatangan ‘kapitalisme yang dikelola’, kebijakan ekonomi yang dikejar di banyak negara maju tidak menghasilkan kekuatan yang menyebabkan penurunan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang berarti. Menurut studi yang terperinci mengenai kecenderungan pemerataan pendapatan disejumlah negara, kelompok berpendapatan tinggi di dua negara maju yang berjumlah 20 persen berbagi 50 persen dari jumlah keseluruhan pendapatan negara. Menurut studi yang sama, kelompok berpendapatan renadah di 17 negara berkembang yang berjumlah 20

persen rata-rata berbagi 5,5 persen dari jumlah keseluruhan pendapatan negara (Kakwani, 1980:397-398).

Massa terbesar dari masyarakat yang dilanda kemiskinan hidup dalam yang dikenal dengan sebutan Dunia Ketiga. Kolonialisme adalah faktor terpenting yang mempertahankan masyarakat miskin di negara-negara Dunia Ketiga berada di bawah dominasi luar negeri. Setelah memperoleh kemerdekaan, negara-negara yang sedang

berkembang mengalami konfrontasi dengan ‘revolusi harapan yang memuncak’ sehingga mereka menggunakan usaha yang berani untuk mengatasi kemunduran ekonomi dan kemiskinan untuk memenuhi harapan-harapan itu. Beberapa negara ini mengikuti model pembangunan sosialis sementara negara lainnya mengkuti jalan kapitalisme yang dikelola. Pengalaman pembangunan negara-negara sosialis telah diceritakan sebelumnya. Pembangnan ekonomi dalam kerangka kerja kepitalis telah memberikan hasil yang beragam. Beberapa negara-negara yang sedang berkembang mencapai keberhasilan yang berarti dalam menurunkan angka dan proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan dalam memperbaiki pola pemerataan pendapatan. Jenis pembangunan yang dijalankan oleh sejumlah besar negara, bagaimanapun, belum memberikan pengaruh yang kuat terhadap kemiskinan dan malah kenyataannya menghasilkan pemerataan pendapatan yang buruk (Griffin dan Khan, 1978).

Fakta yang ada memperlihatkan bahwa dalam periode setelah Perang Dunia ke 2 negara-negara sedang berkembang telah mencatat keberhasilan yang gemilang dalam usaha mereka untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan hasil kotor nasional. Telah dilaporkan bahwa ‘GNP per kapita negara-negara sedang

berkembang tumbuh dengan tingkat rata-rata 3,4 persen setahun selama 1950- 1975 atau 3 persen jika Republik Rakyat Cina diabaikan. Keadaan ini lebih cepat daripada negara-negara berkembang atau negara sedang berkembang yang tumbuh dalam periode sebelumnya yang sebanding dengan tahun1950, dan melampaui baik tujuan-tujuan yang remi maupun harapan-harapan pribadi’. Betapapun, disejumlah besar negara, pertumbuhan disertai dengan peningkatan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Disalah satu penelitian, yang meneliti data yang berkaitan dengan 43 negara-negara non sosialis setelah periode Perang Dunia ke 2, telah ditemukan bahwa sebagaiman dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi, bagian 60 persen dari kelompok penduduk miskin menurun secara relatif. Juga telah ditemukan bahwa di negara-negara yang lebih miskin pendapatan kelompok penduduk miskin yang berjumlah 40 persen turun secara absolut, dan bahwa penduduk ini mempunyai pendapatan yang rendah sebagaimana ketentuan yang absolut pada akhir dua dekade pembangunan daripada yang mereka miliki pada awal pembangunan. Data crosssectional mengenai pola pemerataan pendapatan di sejumlah negara yang dikumpulkan oleh Bank Dunia, telah beberapa kali memperlihatkan kembali ketidakadilan pendapatan yang menyolok. Menurut angka-angka ini, bagian 20 persen dari kelompok rumah tangga yang paling miskin dalam jumlah keseluruhan pendapatan berkisar antara 1,9 sampai 7,5 persen di 14 negara yang diliputi oleh studi sementara bagian 20 persen ari kelompok rumah tangga yang paling kaya berkisar antara 43,4 sampai 66,6 persen. Keterangan mengenai dimensi kuantitatif dari kemiskinan agak sedikit. Terdapat sangat sedikit perkiraan tentang ‘jurang kemiskinan’ dan perkiraan mengenai jumlah pensduduk dibawah ‘garis

kemiskinan’ yang berbeda dari studi yang satu ke studi lainnya. Menurut salah satu studi, 35,6 persen dari penduduk di sembilan negara Asia yang meliputi oleh studi hidup dibawah garis kemiskinan. Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan di tujuh negara Afrika yang diliputi oleh studi adalah sekitar 36 persen sedangkan angka untuk limabelas negara Amerika Latin adalah 13 persen. Angka rata-rata ini sedapat mungkin menyembunyikan perbedaan antar negara. Kemudian, di negara-negara Asia, proporsi penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan berkisar antara 1,21 sampai 41,33 persen dan di negara-negara Amerika Latin antara 0,93 dan 27,46 persen.

Presentasi yang sangat tidak seimbang dari negara-negara yang berbeda dalam upaya mengurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan menjadi permasalahan pokok dalam berbagai diskusi yang mendalam diantara para ahli ekonomi dan sosiologi dalam tahun-tahun terakhir. Sampai pada tahun 1960-an telah diyakini secara luas bahwa harapan yang terbaik untuk penurunan kemiskinan yang segera adalah dengan memusatkan perhatian pada upaya mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi yang menyeluruh. Akan tetapi, analisa terhadap pelaksanaan pembangunan di sejumlah negara menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak memberikan suatu jaminan bahwa keuntungan pertumbuhan tersebut akan turun mengalir kepada rakyat banyak. Hal ini membangkitkan pemikiran baru terhadap alternatif strategi pembangunan tetapi sedemikian jauh tidak ada kebulatan suara mengenai jalan terbaik yang sebaiknya diikuti.

Beberapa ahli ekonomi memiliki pandangan bahwa terdapat kekuatan sistematis yang mengatur perubahan pola pemerataan pendapatan seiring dengan

pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. ‘Hipotesa-U’ menyatakan bahwa pemerataan pendapatan akan memperburuk dalam tahapan pertama pertumbuhan tetapi akan memperbaiki tahapan selanjutnya. Alasan dibalik hipotesa ini adalah sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi melibatkan pergantian kegiatan-kegiatan dari sektor tradisional ke sektor moderen. Ketidak adilan dalm sektor tradisional lebih sedikit dari pada dalam sektor moderen. Sebagai mana sektor berkembang luas seiring dengan pembangunan, maka peningkatan berat badan pada bagian penduduk sektor moderen akan mempunyai arti peningkatan ketidak adilan pendapatan secara keseluruhan. Kemudian,pada tahapan pertumbuhan yang lebih tinggi, kecenderungan ini dibalikan dimana terdapat arus pendapatan yang lebih besar kepada kelompok yang berpendapatan rendah dengan makin bertambahnya sektor modern yang lebih luas. Berdasarkan hipotesa ini, diusulkan bahwa perhatian terpenting dalam strategi pembangunan seharusnya adalah untuk menekan akibat-akibat yang dihasilkan oleh proses modernisasi dengan tanpa terlalu banyak memperhatikan pola pemerataan pola pendapatan pada tahap awal pertumbuhan. Namun demikian, pendekatan ini kehilangan dukungan yang banyak dalam tahun-tahun terakhir. Telah dikemukakan bahwa ‘Hipotesa-U’ bukanlah sebuah hukum alam. Ia kurang memiliki dasar teori yang kuat dan memberikan perhatian yang tidak cukup terhadap peranan kebijakan untuk mempengaruhi lintasan waktu ketidakadilan. Banyak analis mengemukakan bahwa dorongan strategi pembangunan dan hasil struktur ekonomi lebih jauh mempengaruhi pemerataan pendapatan daripada income per kapita, dan ‘Hipotesa-U’ tidak membenarkan pengejaran kebijakan pemerataan pendapatan yang netral sebagai hasil pertumbuhan (Papanek, 1978).

Pembahasan strategi pembangunan yang luas dengan memusatkan perhatian pada permasalahan pemerataan pendapatan dikenal sebagai ‘redistribusi pertumbuhan’. Intisari dan strategi ini adalah untuk menggantikan tekanan pembangunan dari pembangunan yang menekankan pada pembagian manfaat- manfaat pertumbuhan yang lebih adil. Sebuah kerangka kerja kebijakan untuk strategi semacam ini telah lama dibahas dalam lingkungan akademis akan tetapi gagasan ini menjadi populer ketika pusat pembangunan penelitian Bank Dunia dibawah pimpinan Hollis Chenery menghasilkan kajian yang terperinci terhadap permasalahan tersebut. Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa perbaikan yang sangat berharga bagi sekelompok penduduk miskin yang berjumlah 40 persen selama periode waktu yang terus menerus adalah memungkinkan melalui sebuah kebijakan pola pengalihan investasi menurut kebutuhan mereka. Selama pendapatan yang rendah dihasilkan dari kurangnya modal fisik, akses pada infra struktur, dan masukan yang beraneka ragam, maka kebijakan pemerintah harus diarahkan untuk mengatasi rintangan-rintangan ini.

Pendekatan lain yang dibahas secara luas untuk memecahkan masalah kemiskinan dikenal sebagai pendekatan ‘kebutuhan dasar’. Intisari dari pendekatan ini adalah prioritas secara definitif terhadap pemenuhan kebutuhan dasar kaum miskin. Pendekatan ini dengan tegas dikemukakan oleh Organisasi Buruh se-Dunia (international Labout Organization/ ILO) pada tahun 1970-an. ILO telah menetapkan kebutuhan dasar dengan memasukkan ‘kebutuhan- kebutuhan minimum dari sebuah keluarga untuk dikonsumsi secara pribadi’, khususnya makanan, tempat berlindung (rumah) dan pakaian (sandang), serta ‘pelayanan-pelayanan penting lainnya yang disediakan oleh dan untuk masyarakat

luas, seperti air minum yang sehat, kebersihan transportasi umum, serta sarana- sarana kesehatan dan pendidikan. Selain menguraikan pendekatan ini, ILO mengakui bahwa tujuan pemenuhan kebutuhan dasar dikebanyakan negara-negara yang sedang berkembang tidak bisa tercapai jika tanpa redistribusi pendapatan dan kekayaan yang substansial.

Meskipun terdapat perhatian yang lebih besar terhadap permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di negara-negara yang sedang berkembang selama dua dekade terakhir bahkan lebih, namun kenyataannya kemajuan-kemajuan yang dicapai tetap saja mengecewakan. Walau beberapa negara telah mengubah berbagai cara dengan mengadopsi strategi pembangunan yang redistributif, akan tetapi berbagai perubahan dalam kebijakan-kebijaka sangatlah terbatas untuk memberikan hasil-hasil yang berarti. Besarnya usaha yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah kemiskinan dapat dinilai dari hasil- hasil pelaksanaan simulasi yang diadakan oleh ILO pada tahun 1970-an dan diterbitkan pada tahun 1976. Dalam salah satu perhitungannya, diperkirakan bahwa nilai GNP akan naik secara terus menerus sebesar 6 persen setiap tahun dan jumlah penduduk diberbagai daerah akan meningkat secara lamban sesuai dengan perkiraan PBB. Diketahui bahwa bahkan untuk memuaskan kebutuhan- kebutuhan dasar yang ditaksir secara hati-hati selama periode 30 tahun, maka bagian dari 20 persen kelompok paling miskin dari penduduk akan lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan bagian dari mereka pada tahun 1970-an di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang, dan pada umumnya di negara-negra tropis Afrika bagian dari kelompok miskin akan meningkat 3-4 kali. Keseluruhan jumlah redistribusi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan dasar akan menjadi semakin lebih besar jika tingkat pertumbuhan GNP dipastikan kurang dari 6 persen setiap tahunnya.

Perdebatan mengenai bentuk dan cara penanggulangan masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan masih berlanjut tetapi sekarang secara umum diakui bahwa tidak akan ada harapan untuk memberantas kemiskinan jukalau strategi pembangunan menetapkan redistribusi yang bias. Beberapa analis menyatakan sikap pesimis mereka tentang kemungkinan mengadopsi strategi- strategi tertentu, karena mereka sangat meragukan kesediaan kelompok berpendapatan tinggi untuk melakukan pengorbanan yang dibutuhkan. Beberapa analis lainnya menaruh harapan pada kekuatan ‘koalisi berbagai kepentingan’ karena mereka melihat beberapa keuntungan yang dicapai dalam melaksanakan strategi distribusi, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa beberapa bagian diantaranya menghasilkan kegagalan yang relatif. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF mengenai masalah-masalah pembangunan, juga memperlihatkan kebutuhan terhadap komitmen pemerintah yang kuat untuk mencari solusi yang efektif dalam upaya memecahkan masalah kemiskinan.

2.4. Keunggulan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Syariah

Dalam dokumen EKONOMI KESEJAHTERAAN ekonomi SYARIAH docx (Halaman 63-72)