• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiskinan dan Ketidakadilan

Dalam dokumen EKONOMI KESEJAHTERAAN ekonomi SYARIAH docx (Halaman 49-59)

IMPLIKASI EKONOMI KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SYARIAH DALAM EKONOMI GLOBAL

2.1. Kemiskinan dan Ketidakadilan

Setiap masyarakat manusia menggunakan sumber daya yang tersedia untuk menghasilkan sejumlah produksi yang akan didistribusikan dalam berbagai cara diantara para anggota. Kesejahteraan yang berkeadilan dalam ketetapan pemerintah terhadap produksi barang-barang dan jasa serta pemerataan hasil kotor nasional menjadi pusat perhatian sepanjang sejarah manusia. Meskipun teratur, namun kurang lebih pemerataan pendapatan yang tidak adil, dapat diamati diseluruh bagian masyarakat setiap waktu. Uraian gagasan dan kebijakan terhadap pemecahan masalah kemiskinan dan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan menempati sebuah spektrum besar. Uraian ini tersusun mulai dari dukungan perizinan untuk berperan secara penuh dalam kekuatan pasar bebas dengan sedikit campur tangan terhadap perusahaan swasta sampai pada pengawasan pemerintah yang sempurna terhadap produksi dan distribusi. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menguraikan keunggulan pendekatan yang menyolok terhadap permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di masa lalu dan masa sekarang, dan bab ini diakhiri dengan sebuah identifikasi mengenai keunggulan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap masalah tersebut.

Sejak lama dalam sejarah manusia, sebagian besar proses produksi dan distribusi diatur oleh tradisi. Dalam masyarakat masa lalu yang terikat tradisi, adat istiadat dan keturunan merupakan faktor utama yang menentukan pembagian kerja masyarakat berkelompok terpaksa menjadi yang terpaksa menjadi masyarakat yang egalitar dikarenakan mereka harus memeperbaiki keadaan hidup sehari-hari dengan susah payah dan melalui usaha sendiri, dan mereka tidak mempunyai kemampuan memproduksi pertambahan ekonomi yang cukup besar sebagaimana yang tersedia oleh kelompok tertentu. Keadaan ini kemudian diikuti dengan masyarakat hortikultura sederhana yang sebagian besar berkembang di bagian Eropa, Timur Tengah, dan Asia tenggara. Kelompok mereka biasanya lebih besar, lebih produktif dan kurang egaliter (Lenski, 1966). Namun demikian, ketidakadilan jauh dari kenyataan jauh dari kenyataan karena tanah yang tersedia berlimpah-limpah dan sebagian besar materi yang diperlukan denagn mudah tersedia bagi semua.

Fakta pertama yang menandai ketidakadilan pendapatan dan kekayaan ditemukan dalam masyarakat holtikultura maju dimana awal perkembangan mereka dimulai di Timur Tengah sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu dan kemudian menyebar di lima benua terbesar. Karena kemajuan teknologi dalam holtikultura, maka besar kemungkinan untuk memproduksi lebih dari kebutuhan nafkah hidup seseorang. Pertambahan ini sebagian besar diambil oleh kepala suku yang secara relatif hidup dalam kesenangan yang lebih besar dan juga untuk membiayai sejumlah pegawai yang bergantung padanya. Lembaga perbudakan juga muncul dalam periode ini. Pelaksanaan pemberian hadiah istimewa oleh para kepala suku atau raja membangkitkan hak-hak yang istimewa bagi kaum

bangsawan. Adapun di lapisan bawah terdapat kelompok terbesar yang merupakan masyarakat biasa, yang memproduksi pertambahan itu, dimana kelas-kelas yang diistimewakan bergantung untuk memperoleh kemudahan dan kesenangan hidup. Uang, yang pada saat itu dalam bentuk kulit kerang, dan ternak merupakan jenis- jenis baru dari berbagai aset nyata yang memudahkan penimbunan harta kekayaan dan perpindahannya dari generasi ke generasi berikutnya.

Masyarakat agraris, yang merupakan masyarakat yang lebih maju dari masyarakat holtikultura maju, bercirikan peningkatan yang lebih besar pada spesialisasi diperlukan untuk menunjukan secara tidak langsung adanya perkembangan perdagangan dan perniagaan, serta munculnya kelas pedagang yang khas. Masyarakat agraris di kebanyakan daerah banyak sekali memperlihatkan dengan jelas ketidakadilan sosial. Penguasa agraria kenyataanya menikmati hak-hak properti terhadap seluruh tanah dan bisnis yang berada dalam wilayahnya. Pelaksanaan hak-hak properti ini, melalui pengumpulan pajak, uang upeti, sewa dan jasa pelayanan, menjadi sumber penghasilan utama bagi kebanyakan penguasa agraria. Diperkirakan oleh berbagai cendekiawan bahwa sekelompok kecil penduduk yaitu tidak lebih dari 2 persen dari jumlah penduduk berbagi tanggung jawab pemerintah dengan mereka. Seringkali para penguasa menghadiahi anggota-anggota kelas pemerintahan sejumlah tanah milik yang luas atau pendapatan yang sesungguhnya diambil dari sekelompok kecil penduduk itu. Menurut barbagai kajian penelitian tertentu, ‘Keliahatan bahwa kelas-kelas pemerintahan di masyarakat agraria sedikitnya menerima seperempat pendapatan nasional negara –negara agraria, dan biasanya kelas pemerintah dan penguasa sama-sama menerima tidak kurang dari separoh. Dalam keadaan tertentu,

gabungan pendapatan antara keduanya bisa mendekati dua pertiga dari jumlah keseluruhan (Lenski, 1966). Para petani, yang membentuk kelompok terbesar dari jumlah penduduk, hidup hampir mendekati tingkat yang cukup untuk menyambung hidup. Mereka juga menjadi sasaran dari kerja rodi atau kerja paksa. Di berbagai daerah tertentu, para petani dibatasi tanah oleh hukum dan adat kebiasaan. Para bangsawan feodal mengikat mereka dalam batasan-batasan yang menyeluruh, dalam sejarah ekonomi keadaan ini dikenal dengan perbudakan.

Keadaan ekonomi kaum miskin yang menyedihkan didalam masyarakat agraria menimbulkan berbagai protes dari para pembaharu sosial pada saat itu (Heilbroner, 1975:32). Ajaran agama-agama samawi seperti Yahudi, Nasrani dan Islam menyediakan dasar kritikan moral yang tegas terhadap keberadaan tatanan perekonomian. Pengaruh kemanusiaan yang kuat dari agama bervariasi dari abad ke abad dan dari daerah ke daerah. Implementasi pelaksanaan ajaran-ajaran Islam di jazirah Arab dan di antara wilayahnya pada periode Islam pertama, yang termasuk di dalamnya pengenalan sistem jaminan sosial Islam, telah menghasilkan perubahan yang menyolok terhadap nasib kaum miskin. Masyarakat Muslim memelihara bias egalitarian yang tegas untuk beberapa waktu tertentu (Taleqani, 1983:76-77), tetapi kemudian sehubungan dengan pengabaian ajaran Islam yang dilakukan oleh kedua kelompok baik penguasa maupun yang dikuasai, maka tanggungjawab pertama terhadap perbaikan penderitaan kaum miskin sangat berkurang dan sistem jaminan sosial yang diatur oleh negara menjadi tidak bermanfaat (Ahmad, 1998:68).

Zaman pertengahan memperlihatkan peningkatan ketidakpuasan para petani atas nasibnya dan perjuangan yang terus menerus untuk membebaskan

mereka dari genggaman perbudakan. Para ahli sejarah mencatat ribuan pemberontakan petani pada periode ini di negara-negara Eropa dan daerah lainnya dimana mereka mendapat perlakuan penindasan yang kejam (Braudel, 1982:251- 255).

Pada mulanya Revolusi Industri yang terjadi di negara-negara Eropa diiringi dengan keyakinan yang besar terhadap sifat baik perekonomian pasar bebas sebagaimana yang dicontohkan dalam filosofi laisses-faire. Inti dari filosofi ini adalah bahwa peranan kekuatan bersaing yang bebas dalam komoditi dan komponen pasar, tidak dirintangi oleh pengaruh hak masyarakat untuk bertindak, merupakan resep yang terbaik untuk kemajuan ekonomi. Pertumbuhan pasar kapitalis yang bersaing dalam fase-fase pertamanya ditandai oleh penderitaan masyarakat yang dahsyat. Nasib orang-orang tidak bekerja bahkan lebih buruk lagi. Dominasi laisses-faire meningkatkan sikap acuh tak acuh yang tidak berperasaan terhadap keadaan kaum miskin yang menyedihkan (Samuelson dan Nordhaus, 1985:49). Para ahli ekonomi terkemuka masa itu memperlakukan buruh dalam pandangan mereka sebagai bentuk komoditi lain yang harganya (upahnya) ditentukan oleh peranan kekuatan pasar yang bebas terhadap persediaan dan permintaan. Sikap umum terhadap kemiskinan pada masa-masa itu digambarkan dalam kata-kata sebagai berikut:

…kaum miskin dipandang sebagai obyek yang memalukan atau hina, bergantung pada kemanusiaan si pengamal, tetapi tidak pernah dipandang sebagai subyek peningkatan ekonomi melalui tindakan sosial. Beberapa orang memandang kaum miskinsebagai penderita yang tak disengaja dan dikarenakan nasib buruk...Yanglainnya berpendapat bahwa kaum miskin hanya dapat

mempermasalahkan diri mereka sendiri terhadap tingkat kehidupan mereka yang rendah…Malthus (seorang ahli ekonomi terkemuka) bahkan mengusulkan penghapusan bentuk keringanan kaum miskin yang terbatas (yang muncul pada masa itu) dan menganjurkan agar kepala keluarga dididik…bahwasanya ia tidak mempunyai hak untuk menuntut porsi makanan terkecil dari masyarakat, kecuali untuk membayarkan usaha (kerja)nya secara adil. Sementara Malthus berkeinginan untuk menghentikan keringanan kaum miskin sehingga bisa menghapuskan jalan menuju kelaparan dan dengan demikian mengesahkan cara berpikirnya bahwa kaum miskin tak berguna, maka ahli lainnya melihat kemiskinan sebagai pemacu efisiensi buruh dan rangsangan untuk konformitas sosial…Sikap negatif yang sama diimpor oleh negara Amerika Serikat dimana para pengamat memandang kemiskinan sebagai hasil dari perbuatan jahat atau kemalangan individu, dan tidak pernah dipandang sebagai penderitaan ekonomi yang tersebar luas yang dihasilkan dari pelaksanaan sistem sosio-ekonomi itu sendiri sehingga diperlukan tindakan-tindakan sosial untuk menanggulanginya (Perlman, 1976:4-5).

Meskipun terdapat dominasi filosofi laisseez-faire pada periode itu namun beberapa suara bangkit menentang ketidakadilan sistem yang berdasarkan filosofi ini, dan terhitung berbagai reformasi sporadis terjadi dari waktu ke waktu. Di Inggris, misalnya, seorang tokoh pembangunan di tahun 1795 menyusun Hukum Speenhamland yang memberikan jaminan bahwa subsidi bantuan upah harus diberikan sesuai dengan skala harga roti, sehingga pendapatan minimum kaum miskin terjamin, terlepas dari penghasilan mereka (Polanyi, 1957:77-80). Namun demikian, hukum ini tidak lama bertahan dan telah dihapus pada tahun 1834.

Abad ke 20 menampilkan batasan yang besar dalam sejarah manusia sehingga masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan merupakan permasalahan terpenting yang menjadi perhatian di seluruh dunia. Abad ke 19 menjadi saksi ketidakpuasan pertumbuhan akibat kebijakan laisseez-faire gagal memberikan pemecahan yang efektif terhadap masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Filosofi laisseez-faire hampir ditinggalkan secara menyeluruh di seluruh dunia selama abad 20. dan memberikan jalan pada dua pendekatan besar terhadap pembuatan kebijakan perekonomian yang digambarkan sebagai ‘sosialisme’ dan ‘kapitalisme yang dikelola’ dalam literatur ekonomi terakhir. Meski kedua pendekatan ini memiliki perbedaan yang substantif akan tetapi keduanya mewakili usaha perbaikan sosial melalui intervensi negara yang aktif (Ahmad, 1998:71).

Tujuan-tujuan sosialisme yang terkenal adalah menghapuskan kemiskinan dan mencipatakan sebuah negara yang melayani masyarakat, mengurangi ketidakadilan pendapatan dan kekayaan secara tegas serta perencanaan ekonomi yang memberi kesempatan kerja penuh dan stabilitas. Menurut Karl Marx, seseorang yang mempunyai reputasi baik dalam menjabarkan doktrin sosialis, tujuan-tujuan ini hanya dapat dicapai jika kapitalisme telah dirobohkan. Marx percaya bahwa sistem kapitalisme memiliki sifat kontradiksi yang berbelit-belit yang tak dapat dielakkan akan mengakibatkan kematiannya. Marx tidak meragukan kemampuan sistem kapitalis memprodksi peningkatan jumlah barang- barang dan jasa tetapi merasa bahwa akibat exploitasi kapitalis terhadap buruh, maka keadaan rakyat menjadi tak tertahankan lagi sehingga membangkitkan pemberontakan dan penggulingan sistem kapitalis. Kapitalisme akan diambil alih

oleh sosialisme dimana seluruh alat-alat produksi dinasionalisasikan, seluruh pendapatan pribadi kecuali upah dihapuskan, dan para pekerja akan menerima upah dengan nilai yang penuh terhadap apa yang mereka produksi sedikit dari apa saja yang dicadangkan untuk simpanan masyarakat. Produksi dan distribusi barang-barang dan jasa akan dilaksanakan dengan cara yang direncanakan oleh badan-badan pemerintah. Menurut Marx, sosialisme, akhirnya akan memberikan jalan bagi komunisme dimana negara akan mengarah dan individu akan berperan dalam kehidupan umum, membangkitkan pendapatan masyarakat menurut kebutuhan daripada menurut kemampuan individu untuk memproduksi (Marx dan Engels, 1937).

Pandangan Marx terhadap pendirian sebuah masyarakat sosialis melalui penggulingan tatanan kapitalis secara revolusioner oleh kaum buruh tidak didukung oleh semua pemikir sosialis. Sebagai contoh, sosialis Fabian mempercayai bahwa sebuah masyarakat sosialis dapat dihidupkan melalui kemauan demokrasi dari masyarakat yang tidak puas terhadap cara kerja sistem kepitalisme (Shaw, 1908).

Para pendukung ‘kapitalisme yang dikelola’ mempunyai pandangan bahwa ketidakcakapan kapitalisme leisse-faire dapat diatasi dengan intervensi negara yang tepat tetapi tanpa mengorbankan segi-segi fundamental dari sistem kapitalisme. Mereka mengakui bahwa ada hal-hal tertentu dalam cara kerja mekanisme pasar bebas yang dapat mengakibatkan kegagalan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dari masyarakat. Lingkaran siklus dari ‘ledakan dan kemerosotan ekonomi’ yang dialami oleh negara-negara industri pada abad ke 19 telah mengguncang keyakinan terhadap postulasi dasar ekonomi klasik

bahwasanya perekonomian pasar yang bersaing telah terpasang dengan mekanisme yang memperbaiki sendiri sehingga dapat menghindari periode ledakan dan kemerosotan ekonomi yang berkepanjangan. Masa Depresi Berat di tahun 1930-an menghadapi pukulan terakhir terhadap keyakinan tersebut dan mengancam kelangsungan hidup kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi. Makro-ekonomi Keynes, yang mengganti peranan positif kebijakan moneter dan fiskal pemerintah sebagai pengganti leisse-faire, merupakan salah satu penyelamat kapitalisme. Para ahli ekonomi mengidentifikasikan sejumlah kasus lainnya, yang dijabarkan sendiri, tidak bisa beroperasi sebaik-baiknya untuk menghasilkan keuntungan sosial. Peranan yang tepat bagi pemerintah untuk menghadapi kegagalan-kegagalan tersebut juga menjadi bagian dari pemikiran ekonomi baru. Pengetahuan juga digunakan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang berupa kemiskinan yang terus menerus dan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang nmenyolok serta perhatian yang meningkat diperlihatkan untuk mencari jalan dan cara yang lebih adil dalam membagi keuntungan pembangunan dibawah rezim kapitalisme yang dikelola.

Kebangkitan politik liberalisme di negara-negara Barat yang berekonomi maju menjadi faktor penting dalam masalah-masalah kemiskinan dan ketidakadilan pendapatan. Setelah peralihan abad, pemerintah dari negara ini tidak lagi berkeinginan untuk berkeinginan untuk membiarkan kekuatan pasar menentukan sendiri tingkat kesempatan kerja, produksi dan pendapatan. Mereka mendapatkan perlunya campur tangan dalam urusan-urusan ekonomi pada bagian yang cukup luas. Intervensi negara mengambil bentuk yang bragam seperti kepemilikan umum terhadap alat-alat produksi, pemanfatan kebijakan pajak

secara aktif untuk mengurangi ketidak adilan pendapatan dan kekayaan, serta program-progarm kesejahteraan umum dan jaminan sosial yang memadai. Bias redistribusi yang ditekankan dalam kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut dan kecemasan yang jelas terhadap kaum miskin menjadikan mereka memperoleh julukan ‘negara-negara persemakmuran’.

Negara-negara yang sedang berkembang atau dunia ke tiga yang mempunyai penduduk miskin terbesar di dunia, juga mengikuti sejumlah strategiyang beragam untuk mngurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. ‘ Kapitalisme yang dikelola’ menjadi kerangka kerja untuk perilaku kebijakan ekonomi di kebanyakan negra-negara ini. Secara umum dapat dikatakan, negara-negara Dunia Ketiga yang mengikuti model ‘kapitalisme yang dikelola’ tidak memiliki sistem jaminan sosial sebagaimana ditemui di negara-negara maju. Beberapa negara di Dunia Ketiga tidak mempunyai sistem jaminan sosial yang baik, sementara negara-negara lainnya mempunyai sistem jaminan sosial yang memberi batasan-batasan keuntungan tertentu terhadap kelompok-kelompok penduduk tertentu. Beberapa negara sedang berkembang memilih untuk mengikuti model pembangunan sosialis.

Dari sudut pandang manajeman ekonomi, dan khususnya dari sudut kebijakan untuk mengurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan, maka negara-negara di dunia saat ini secara kasar dapat diklasifikasikan menurut tiga kelompok besar: (1) negara-negara kapitalis dengan sistem jaminan sosial yang baik, (2) negara-negara kapitalis tanpa sistem jaminan sosial atau mempunyai sistem jaminan sosial yang kurang baik, (3) negara-negara sosialis. Patut diperhatikan bahwa negara-negara yang memiliki sistem jaminan

sosial yang berkembang baik semuanya merupakan negara-negara berkembang yang berpendapatan tinggi. Tidak ada negara-negara kapitalis yang berpendapatan rendah dan menengah yang mempunyai sistem jaminan sosial yang baik. Juga penting untuk dicatat bahwa bahkan diantara negara-negara yang dianggap kapitalis dan negara-negara yang dianggap sosialis pun, terdapat perbedaan besar dalam jenis-jenis kebijakan ekonomi dan pola pemerataan pendapatan.

2.2. Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Sosialis

Dalam dokumen EKONOMI KESEJAHTERAAN ekonomi SYARIAH docx (Halaman 49-59)