• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keunggulan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Syariah Setelah meninjau kembali berbagai pendekatan terkemuka terhadap

Dalam dokumen EKONOMI KESEJAHTERAAN ekonomi SYARIAH docx (Halaman 72-96)

IMPLIKASI EKONOMI KESEJAHTERAAN DAN KEADILAN SYARIAH DALAM EKONOMI GLOBAL

2.4. Keunggulan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Syariah Setelah meninjau kembali berbagai pendekatan terkemuka terhadap

permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di masa lalu dan masa sekarang, maka dianjurkan sekarang untuk mengalihkan pandangan pada pengidentifikasian keistimewaan pendekatan Islam yang khas terhadap masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Kerangka kerja kebijaksanaan terhadap upaya memberantas kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan,

sebagaimana disimpulkan dari ajaran-ajaran Islam, telah dikemukakan pada bab sebelumnya. Berbagai komponen yang beragam dari kerangka kerja kebijaksanaan ini beriisikan konsep-konsep keTuhanan yang secara langsung berkaitan dengan struktur dasar masyarakat yang memperlihatkan skema pemerataan dan distribusi yang nyata di dalam masyarakat.Jika seorang mencari ciri-ciri yang istimewa dari struktur dasar masyarakat, maka elemen-elemen yang dominan bersandar pada konsep manusia tentang ‘perwalian’. Melalui konsep perwalian ini, Islam mencoba untuk mengilhami para pengikutnya dengan rasa tanggung jawab yang kuat terhadap kesejahteraan setiap orang dimasyarakat. Inti dari konsep perwalian ini adalah bahwa Tuhan adalah pemilik segala sesuatu yang ada di dunia, dan apa yang dipegang oleh manusia sebagai barang milik mempunyai sifat sebagai titipan yang diberikan atas kehendak Tuhan. Jika konsep ini mengendap dalam jiwa manusia maka akan jelas akan mendatangkan tatanan sosio-ekonomi yang adil dan kesamarataan. Betapapun, Islam tidak hanya membatasi pada pengajaran prinsip-prinsip etika. Islam memanfaatkan kekuasaan negara, sepanjang dianggap perlu, untuk menjamin keadilan di seluruh hubungan manusia, dan hal ini termasuk keadilan ekonomi, dalam pengertian dimana masyarakat terbebas dari kemiskinan dan kekacauan akibat ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Garis-garis pedoman untuk semua perbuatan individu dan negara diambil dari Al Qur’an dan perkataan dan perbuatan Nabi SAW yang dikenal sebagai sunnah. Pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap pemberantasan kemiskinan dan penahanan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan dalam batas-batas tertentu dengan demikian merupakan paduan elemen- elemen etika, sosial-politik dan yuridiksi, yang diambil dari sumber-sumber

agama, yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan lainnya yang tidak dikelilingi oleh ajaran-ajaran agama tertentu.

Fakta bahwa pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap upaya pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidaladilan pendapatan dan kekayaan didasarkan pada ajaran-ajaran agama, sedangkan pendekatan-pendekatan lainnya menggambarkan hasil pemikiran keduniaan tidak berarti bahwa tidak ada hal-hal tertentu yang sama antara pendekatan Islam dengan pendekatan-pendekatan lainnya. Apabila tujuan akhirnya adalah sama, maka terdapat beberapa kesamaan antar sistem. Beberapa uraian kebijaksanaan pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan sebagaimana disimpulkan dari ajaran-ajaran Islam, mendapatkan imbangan dari pendekatan-pendekatan lainnya. Betapapun, meski ada beberapa kesamaan, namun pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah memiliki kekhasan tersendiri, dan merupakan sistem yang berdiri sendiri.

Islam berbagi dengan sosialisme dalam permasalahan pemerataan pendapatan dan kekayaan yang adil (merata). Akan tetapi, sangatlah ditentang beberapa alat-alat kebijakan yang dianjurkan oleh filosofi sosialis pada penghapusan harta milik pribadi dan pengsosialisasian alat-alat produksi tidak seimbang dengan keunggulan perusahaan swasta dalam sistem Islam. Islam melekatkan kepentingan yang besar terhadap kebebasan individu dan perlindungan terhadap kehormatan manusia. Hal ini mengharuskan alat-alat produksi tidak dimonopoli oleh negara dan masyarakat bebas untuk menggunakan seluruh kegiatan yang diizinkan menurut kecenderungan dan pilihan mereka sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara sosialis itu sendiri mulai

menyadari kekurangan dari penghapusan harta milik pribadi, dan dalam hal ini berbagai perubahan yang berarti disejumlah negara tercipta dengan meliberalisasikan kebijakan-kebijakan mereka.

Perbedaan Islam dan sosialisme tidak hanya pada kepemilikan dan pengontrolan alat-alat produksi; keduanya juga memiliki perbedaan yang tajam dalam pusat kekuasaan perekonomian, sistem motivasional dan proses-proses social untuk mengkoordinasikan perekonomian. Negara sosialis memiliki kebebasan yang tak terkekang dalam merancang kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Namun, dalam Islam, kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara tidaklah tidaklah mutlak. Menurut Islam, kedaulatan adalah milik Tuhan. Dengan demikian, kekuasaan negara hanya bisa dilaksanakan berdasarkan norma-norma yang digariskan oleh shari’ah. Berkaitan dengan hal ini, beberapa ukuran yang telah diadopsi dari sejarah sosialisme untuk memberantas kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan gagal mendapatkan legimitasi dalam kerangka kerja Islam. Misalnya, cara hidup yang digunakan oleh negara sosialis tertentu untuk mengakhiri pengangguran dan kemiskinan tidak bisa dibuat sebagai bagian dari strategi Islam untuk memberantas kemiskinan karena Islam menentangnya. Demikian pula, pemerataan pendapatan fungsional, yang dalam negara yang berdasarkan system Islam pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan pasar meski negara diharapkan untuk campur tangan setiap kali mempertimbangkan keadilan social memerlukan intervensi tertentu.

Filosofi sosialis tidak banyak bersandar pada instink filantropi manusia untuk membantu upaya pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan

pendapatan. Sosialisme tanpa ragu-ragu menyatakan secara langsung penerimaan tanggungjawab kolektif untuk memberantas kemiskinan dan menyetujui prioritas yang tinggi terhadap keringanan penderitaan dan ketidakberuntungan masyarakat. Akan tetapi, secara eksklusif ia bersandar pada alat negara untuk mencapai tujuan ini. Di lain pihak, Islam mewajibkan peranan infaq yang menonjol (pemberian sukarela demi kesejahteraan kaum miskin) dalam memperkuat pola pemerataan pendapatan. Islam menerpakan system yang menitikberatkan motivasi yang tajam, berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, untuk menciptakan dorongan terhadap kelompok masyarakat yang berlebih untuk memberi amal kesejahteraan. Selain menolong mengatasi masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan, pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan rasa solidaritas social, sedangkan tujuan pendekatan sosialisme adalah murni mekanisitik dan impersonal.

Proses-proses sosial untuk mengkoordinasikan ekonomi juga menandai perbedaan antara kedua system. Negara sosialis mempengaruhi kebijaksanaan mereka melalui system perencanaan terpimpin yang komprehensif dan mengembangkan mesin birokratis yang terperinci, walau ada juga beberapa contoh sosialisme desentralisasi dan mereka banyak melakukan upaya memperbarui system untuk memindahkan kekuasaan dan menyebarluaskan kekuatan dan tanggungjawab. Komoditas produksi campuran ditentukan secara umum oleh kekuasaan negara dan dapat berbeda-beda tergantung dari pilihan- pilihan konsumen. Harga komoditas dikontrol. Perbedaan upah didalam masyarakat sosialis juga ditentukan oleh para penguasa negara, dan dengan demikian tidak banyak diperlukan kebijakan fiscal dan moneter untuk memberi perubahan yang diinginkan dalam pola pemerataan pendapatan. Di lain pihak,

dalam system Islam keputusan produksi pada dasarnya tidak diatur oleh kekuatan perencanaan yang terpusat, tetapi meresponsi permintaan konsumen meskipun mungkin ‘kedaulatan konsumen’ agak terbatas jika perintah-perintah Islam sangat dituntut. Harga- harga komoditas ditentukan oleh factor-faktor persediaan dan permintaan, dan pemakaian control harga tidaklah disukai kecuali dalam keadaan yang luar biasa. Perbedaan upah secara umum ditentukan oleh kekuatan pasar. Kekuatan pasar diperkenankan untuk beroperasi dalam komponen pasar yang lain meskipun negara diharapkan untuk campur tangan bila pasar menghasilkan penderitaan bagi kelompok penduduk miskin dan berjalan berlawanan dengan tujuan-tujuan sosio-ekonomi yang lain. Berbeda dengan kedudukannya dalam negara sosialis, maka kebijakan mengenai moneter dan fiscal dalam perekonomian Islam diharapkan memainkan peranan penting dalam menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan terhadap pola pemerataan pendapatan.

Pendekatan ekonomi kesejateraan dan keadilan syariah terhadap pemberantasan kemiskinan dan penahanan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan dalam ‘batasan-batasan yang diterima’ memiliki keunggulan tertentu yang membedakannya dengan pendekatan yang diterapkan dalam sistem perekonomian kapitalis untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan dan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Keunggulan yang paling membedakan adalah bahwa pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap pemberantasan kemiskinan merupakan sifat perintah dari sistem jaminan sosial Islam. Al Qur’an menyatakan:

Artinya : “Ambillah zakat dari kekayaan mereka, dimana dengannya akan membersihkan dan membuat kekayaan mereka bertambah…” (QS . 9 : 103)

Keunggulan sistem jaminan sosial Islam yang utama, sebagaimana mengambil bentuk dari masa periode Islam yang pertama, yaitu masa Rasulullah dan Kulafaur Rasyidin. Para ahli hukum menyetujui bahwa, terlepas dari tahap pembangunan sebuah negara dan income per kapitanya, ajaran-ajaran Islam mengikatkan negara untuk mengelola sistem jaminan sosial dengan suatu pandangan yang dapat memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tetap tercabut dari keperluan hidup yang mendasar. Tidak ada kekuatan tertentu yang memaksa didalam filosofi kapitalis mengenai pembangunan. Sejarah kapitalisme memperlihatkan bahwa hingga seperempat abad ini, negara-negara kapitalis yang berkembang bahkan tidak berpikiran untuk membuat sistem jaminan sosial yang komprehensif. Malahan sekarang perasaan umum yang nampak adalah bahwa hal tersebut merupakan kemewahan yang hanya dapat dicapai oleh negara-negara yang sangat kaya saja. Dan meskipun berkembang perhatian yang semakin besar terhadap kaum miskin, namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa negara- negara kapitalis tetap tidak memiliki ‘perlindungan yang aman’ bagi kaum miskin. Sistem jaminan sosial yang telah dilembagakan dinegara-negara yang sangat berkembang selama abad ini memperoleh sejumlah dukungan pada saat itu. Akan tetapi, tidak seperti sistem Islam (Syariah), sistem jaminan sosial tersebut tidak berdasarkan pada kesucian agama apapun sehingga manfaat yang mengalir kepada kelompok masyarakat yang miskin tidak diterima dengan sebenarnya. Pada kenyataannya, berbagai lobi muncul dari kelompok yang lebih menyukai adanya penghentian sistem jaminan sosial. Kelompok-kelompok politik yang

berpengaruh disejumlah Negara industri yang berkembang mendukung penurunan jangkauan bahwa disejumlah Negara yang memiliki system jaminan sosial yang baik tidak ditemukan komitmen pemerintah yang tegas bahwa setiap orang yang membutuhkan akan memperoleh jaminan penghasilan minimum. Bertentangan dengan hal ini, dalam system Islam, setiap manusia harus mendapat jaminan tingkat kehidupan minimum, dan banyak ahli hukum mempunyai pandangan bahwa perlindungan yang sah harus diberikan sesuai dengan prinsip pemenuhan kebutuhan sehingga setiap warganegara bisa mengadu ke pengadilan untuk memperoleh pelaksanaan prinsip ini.

Keistimewaan sistem jaminan sosial Islam yang khas lainnya adalah bahwa syariah menitikberatkan secara khusus pemberantasan kemiskinan, sedangkan program-program jaminan sosial negara-negara kapitalis maju dirancang untuk seluruh warga negara, tanpa memperhatikan posisi keuangan mereka masing-masing. Barangkali karena alasan inilah sehingga meskipun bentuk program-program jaminan sosial tersebut berukuran luas, akan tetapi kemiskinan tidak terberantas secara sempurna dinegara-negara ini. Program jaminan sosial dinegara-negara kapitalis maju secara umum terstruktur sebagai sebuah sistem yang bersifat kesejahteraan dan jaminan. Dalam kebanyakan permasalahan, sifat jaminan jauh lebih berbobot daripada sifat kesejahteraan. Banyak analis memiliki pandangan bahwa dinegara-negara kapitalis maju, kaum miskin menerima transaksi yang relative sedikit dari masyarakat, dan sejumlah uang yang sangat besar diredistribusi oleh tindakan pemerintah yang mencerminkan transaksi ‘ulang alik’ diantara kelompok berpendapatan menengah (Siddiqi, 1988:251-286).

Sifat yang sangat istimewa dari sistem jaminan sosial Islam adalah bahwa ia mencoba untuk memberantas kemiskinan melalui sebuah pendekatan yang multi cabang dan tidak hanya membatasi dirinya pada mendermakan uang kepada kaum miskin untuk penyambung hidup belaka. Pada kenyataannya, system ini dirancang menurut sifat alamiah dan apat menggunakan cara-cara yang beragam untuk mencegah kemiskinan dan menghilangkan penderitaan yang disebabkan oleh kemiskinan. Sejarah masa periode Islam yang pertama memperlihatkan bahwa system jaminan social bahkan dibayarkan untuk biaya perkawinan bagi orang-orang yang benar-benar dalam kesusahan dan juga untuk membayarkan hutang seseorang yang sudah meninggal. Penekanan dititikberatkan pada pemanfaatan sistem jaminan social untuk menolong orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan dengan memberikan aset modal kepada mereka agar mereka memperoleh penghasilan hidup. Berbagai studi tentang program system jaminan social di negara-negara kapitalis maju menunjukkan bahwa penekanan utama dari program-program tersebut adalah pada ‘pemberian kompensasi bagi orang-orang yang tidak bekerja’ daripada menolong orang-orang yang secara tak sengaja menganggur dengan memberi pekerjaan yang menguntungkan (Ornati. 1966:115-119).

Bagian terbaik dari program sistem jaminan sosial yang dilaksanakan dinegara-negara kapitalis maju adalah ia dibiayai oleh pajak penghasilan. Untuk kebanyakan ahli waris, bagian yang terbaik pada dasarnya adalah program pension, yang baik pengusaha maupun pekerja turut mengambil andil dalam pembiayaan program. Pajak yang dibayarkan oleh kelompok kerja digunakan untuk membayar para pensiunan. Artinya bahwa, setiap generasi dari pekerja

memberikan bantuan pada kelompok non-kerja atau yang tidak memenuhi syarat untuk bekerja secara mutlak menginginkan perlakuan yang sama. Sifat system jaminan social Islam mempunyai cirri yang berbeda. Unsur pension sama sekali tidak diperhitungkan. Ataupun sifatnya sebagai rencana simpanan sumbangan wajib bagi masa depan. Sistem jaminan sosial Islam hanya mencerminkan dana solidaritas dimana dana tersebut diperoleh dari bagian kelompok penduduk yang berlebih (kaya) dan diperuntukkan membantu mereka yang fakir miskin. Kebaikan yang memenuhi syarat dari system jaminan sosial Islam tidaklah bergantung pada seseorang yang lazim memberikan sumbangan terhadap pembiayaan system ataupun kebaikan yang diterima tidak berkaitan dengan sumbangan utama seseorang.

Sistem jaminan sosial Islam bertujuan untuk mencegah dan mengatasi kemiskinan. Akan tetapi, hanya ada satu unsur dari kerangka kerj kebijaksanaan yang dilaksanakan Islam untuk menghadapi permasalahan ini. Beberapa unsur dari paket kebijaksanaan yang dibahas, semuanya bertujuan untuk menolong upaya memberantas kemiskinan.

Selain memberantas kemiskinan, memelihara pemerataan yang adil juga berada dalam urutan yang paling tinggi dalam prioritas social dari ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah. Keistimewaan pendekatan ekonomi kesejateraan dan keadilan syariah yang paling khas adalah memuat ‘batasan- batasan yang diterima’ dalam ketidakadilan pendapatan dan kekayaan dimana ukuran pemerataan atau redistribusi dirinci secara tegas menurut syariah (pedoman yang diberikan oleh Al Qur’an dan Sunnah) yang wajib dilaksanakan, ukuran lainnya yang dipakai harus tidak melanggar ajaran-ajaran Islam dan harus

tidak melanggar ajaran-ajaran Islam dan harus memenuhi persyaratan al-adl (keadilan). Juga patut diperhatikan bahwa untuk mencapai tujuan pemerataan yang adil, Islam tidak mengandalkan badan pemerintahan sendiri tetapi mencoba untuk mengaktifkan kesadaran moral manusia untuk bertindak adil terhadap sesamanya dan menolong orang-orang yang membutuhkan dengan semangat persaudaraan yang universal.

Secara khusus sistem ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah mengamanatkan negara untuk melembagakan pungutan khusus yang dikenal dengan zakat yang diperolehnya hanya dapat digunakan untuk tujuan-tujaun yang telah ditetapkan. Selama ruang lingkup zakat adalah pada kelompok penduduk yang kaya dan perolehannya diutamakan dikeluarkan untuk memberantas kemiskinan selama masih ada kemiskinan, hal ini berlaku sebagai tujuan redistribusi. Secara luas, zakat dikeluarkan untuk bentuk aset-aset yang produktif, sehingga perolehan zakat membri peningkatan pendapatan bagi kelompok penduduk miskin.

Pemerataan harta kekayaan orang yang meninggal sesuai dengan hukum warisan secara tegas dinyatakan dalam syariah berjasa untuk menurunkan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan setiap waktu dalam masyarakat Islam. Keistimewaan hukum warisan Islam bersandar pada kenyataan bahwa, jika dibandingkan dengan hukum warisan dan adat istiadat yang lazim dibanyak masyarakat lainnya, maka hokum warisan Islam menghasilkan penyebaran penumpukan kekayaan yang meluas.

Ajaran-ajaran Islam sangatlah melarang semua bentuk transaksi yang berdasarkan bunga. Pelarangan ini menyingkirkan kemungkinan bentuk

pertambahan kekayaan apapun terhadap pemilik modal uang, kecuali jika pemakaian modal tersebut menciptakan pertambahan kekayaan. Eksploitasi terhadap kelompok penduduk yang lemah oleh penyewa uang pribadi, yang memungut tingkat bunga yang sangat tinggi, tidak dapat dibenarkan dalam ekonomi kesejateraan dan keadilan syariah yang harus mengadakan ketetapan alternative untuk memenuhi kebutuhan keuangan dari seluruh bagian masyarakat sesuai dengan cita-cita Islam yang ideal terhadap keadilan sosial.

Islam menguraikan sejumlah keistimewaan hukum keluarga, yang diantara hukum-hukum lainnya berbeda, memberikan hak yang sah bagi kerabat dekat tertentu untuk menuntut bantuan pemeliharaan dari mereka yang berada dalam posisi baik untuk menolong. Ajaran-ajaran Islam mendorong manusia untuk membantu secara sukarela kerabat-kerabat mereka yang miskin dan apabila ajaran ini diabaikan, maka pengadilan berwenang untuk menyelenggarakan bantuan perlindungan yang layak.

Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menerapkan pendekatan yang khas dalam mengatur hasil keuntungan dari berbagai faktor-faktor produksi untuk meningkatkan pemerataan yang adil. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menolak keuntungan apapun yang diperoleh dari modal uang kecuali jika pemilik modal bersedia berbagi resiko bisnis (usaha) yang berasal dari modal tersebut. Berbagi laba/rugi dipandang sebagai sistem yang lebih adil. Ajaran-ajaran Islam menekankan bahwa buruh harus dijamin dengan ‘upah yang adil’ yang melindungi martabat manusia. Negara diharapkan untuk turut campur tangan setiap kali pemilik factor produksi tampak mengeksploitasi pihak yang lemah dalam proses produksi.

Ajaran-ajaran Islam menguraikan dengan agak terperinci pedoman- pedoman yang mengatur praktek-praktek bisnis dan mempercayakan negara dengan tanggung jawab untuk menjamin praktek-praktek nyata sesuai dengan pedoman-pedoman tersebut. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan pihak yang lemah dan mencegah keuntungan yang tidak patut dalam transaksi bisnis apapun. Pada masa periode Islam yang pertama sebuah lembaga khusu dibuat yang dikenal dengan hisbah, selain hal-hal lainnya, yang memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan praktek-praktek bisnis yang adil.

Islam memperkenankan sejumlah fleksibilitas bagi penguasa negara yang dalam hal tertentu tidak diperintahkan oleh syariah. Pada kenyataannya, syariah hanya menguraikan elemen-elemen penting dari dasar strategi, sedangkan ukuran kebijaksanaan yang terperinci mesti disusun oleh para penguasa negara sesuai dengan keadaan masing-masing negara. Satu-satunya persyaratan adalah bahwa berbagai kebijaksanaan yang diadopsi harus memberikan kontribusi yang positif terhadap realisasi maqasid (tujuan-tujuan) tanpa menyebabkan pelanggaran apapun terhadap prinsip-prinsip syariah. Unsur-unsur utama dari kerangka kerja kebijaksanaan yang memuat ketidakadilan pendapatan dan kekayaan menurut ‘batasan yang diterima’ dalam keadaan sekarang, sebagaimana disimpulkan dari ajaran-ajaran Islam.

Beberapa kebijaksanaan dari paket kebijaksanaan yang menyerupai sejumlah kebijaksanaan yang dipakai oleh negara-negara kapitalis setelah menanggalkan kebijakan laissez-faire dibawah rezim ‘kapitalis yang dikelola’. Akan tetapi, bahkan dalam masalah-masalah ini sering terdapat perbedaan penekanan dan nuansa kebijaksanaan. Khususnya, hal ini dapat diketahui dalam

hal peranan ‘kedaulatan konsumen’ dan kebijakan moneter, fiscal dan kebijakan perintah lainnya yang menentukan pengalokasian sumber-sumber daya.

Komposisi hasil di negara-negara kapitalis secara umum ditentukan oleh pilihan-pilihan konsumen. Dalam sistem Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah juga, pilihan-pilihan konsumen memberikan ruang lingkup yang luas tetapi ‘kedaulatan konsumen’ tunduk pada pengendalian sesuai dengan kepentingan keadilan sosial. Filosofi kapitalis adalah bahwa manusia bebas mengeluarkan penghasilannya denagn cara apapun yang ia sukai dan struktur produksi haruslah menanggapi permintaan konsumen terlepas dari karakter dari permintaan ini. Pengalokasian sumber daya yang dihasilkan dari interaksi antara permintaan dan persediaan ini dianggap optimal. Dilain pihak, ajaran-ajaran Islam menilai optimalitas alokasi sumber daya berasal dari sudut pandang al’adl (adil). Para ahli hukum menggariskan perbedaan antara tiga jenis kebutuhan manusia yang digolongkan sebagai daruriyyat (keperluan mendesak), hajiyyat (kesenangan hidup) dan tahsiniyyat (budi pekerti). Para ahli hukum juga mengindikasikan bahwa merupakan tanggungjawab masyarakat bersama untuk mengutamakan pemenuhan daruriyyat terlebih dulu dari pada kedua kategori lainnya. Lebih lanjut, dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah, komposisi hasil tidak bisa dibiarkan untuk menentukan sendiri kekuatan pasar tetapi harus diatur menurut kepentingan keadilan sosial.

Untuk alasan yang sama, kebijakan moneter, fiskal dan kebijakan pemerintah lainnya tidak dapat menjadi nilai netral dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah. Dinegara-negara kapitalis kebijakan moneter pada umumnya berkaitan dengan stabilitas moneter dan pertumbuhan ekonomi, sedang tujuan-

tujuan keadilan dalam pemerataan tidak diperhitungkan secara jelas sebagai tujuan kebijakan moneter. Pada kenyataannya, penyelenggaraan sistem perbankan tampak menjadi faktor yang penting dalam mempertajam ketidakadilan pendapatan dan kekayaan disejumlah negara. Bank-bank dalam negara-negara kapitalis menyediakan uang terutama pada para pengusaha ‘creditworthy’ yang umumnya sudah memiliki kekayaan pribadi yang besar jumlahnya dan kemampuan menawarkan jaminan yang disyaratkan oleh bank. Bank juga mempraktekkan ‘diskriminasi harga’ dengan memungut tingkat bunga yang lebih rendah kepada klien kaya yang mengambil kredit dalam jumlah yang besar. Kedua faktor ini cenderung mempertambah ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Di lain pihak, kebijakan moneter diharapkan memainkan peranan yang penting dalam upaya mencapai tujuan-tujaun egaliter dari Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah (Chapra, 1985:173-174).

Kebijakan fiskal dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah dibatasi oleh sejumlah norma yang diuraikan dalam syariah. Negara tidak bisa menerima pinjaman yang didasarkan bunga untuk menutupi anggaran belanja defisit. Ajaran-ajaran Islam menekankan perekonomian sepenuhnya pada pengeluaran pemerintah. Banyak ahli hukum yang mengkaitkan hal ini dengan ketegasan Al Qur’an mengenai pemborosan yang dilakukan oleh individu maupun

Dalam dokumen EKONOMI KESEJAHTERAAN ekonomi SYARIAH docx (Halaman 72-96)