• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKONOMI KESEJAHTERAAN ekonomi SYARIAH docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKONOMI KESEJAHTERAAN ekonomi SYARIAH docx"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

EKONOMI KESEJAHTERAAN SYARIAH

M. SUYANTO

www.msuyanto.com

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan

Ekonomi Kesejahteraan Syariah.

1.1.1. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional

Ekonomi Kesejahteraan merupakan cabang ilmu ekonomi yang menggunakan teknik ekonomi mikro untuk menentukan secara serempak efisiensi alokasi dari ekonomi makro dan akibat distribusi pendapatan yang berhubungan dengan itu (O’Connel, 1982). Ekonomi kesejahteraan adalah kerangka kerja yang digunakan oleh sebagian besar ekonom publik untuk mengevaluasi penghasilan yang diinginkan masyarakat (Rosen, 2005:99). Ekonomi kesejahteraan menyediakan dasar untuk menilai prestasi pasar dan pembuat kebijakan dalam alokasi sumberdaya (Besley, 2002). Definisi ini merupakan seperangkat alokasi nilai guna (utility) yang dapat dicapai dalam suatu subyek masyarakat terhadap kendala dari citarasa dan teknologi.

(2)

hakim terbaik bagi kesejahteraan mereka sendiri, yaitu orang-orang akan menyukai kesejahteraan lebih besar daripada kesejahteraan lebih kecil, dan kesejahteraan itu dapat diukur baik dalam terminologi yang moneter atau sebagai suatu preferensi yang relatif.

Kesejahteraan sosial mengacu pada keseluruhan status nilai guna bagi masyarakat. Kesejahteraan sosial adalah sering didefinisikan sebagai penjumlahan dari kesejahteraan semua individu di masyarakat. Kesejahteraan dapat diukur baik secara kardinal yang dalam dollar (rupiah) atau “utils”, atau diukur secara ordinal dalam terminology nilai guna yang relatif. Metoda kardinal adalah jarang digunakan sekarang ini oleh karena permasalahan agregat yang membuat ketelitian dari metoda tersebut diragukan. Ada dua sisi dari ekonomi kesejahteraan, yaitu efisiensi ekonomi dan distribusi pendapatan. Efisiensi ekonomi adalah positif lebih luas dan berhadapan dengan " ukuran dari kue". Distribusi Pendapatan adalah jauh lebih normatif dan berhadapan dengan " pembagian atas kue".

1.1.2. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Syariah

(3)

Ekonomi kesejahteraan syariah dapat didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu ekonomi yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan tujuan, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan keseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat. Tujuan mendorong kesejahteraan manusia akan membantu menyediakan suatu arah yang tegas baik bagi pembahasan teoritis maupun resep kebijakan (Chapra, 2001:108).

1.2. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan

Ekonomi Kesejahteraan Syariah.

1.2.1. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional

(4)
(5)

welfare economic, berbeda dengan lain-lain bentuk welfare, harus didekati dari

konsep harta atau “riches” ekonomi. Dengan pendekatannya ini ia lebih lanjut memperkukuhkan konsepsi yang telah dikenal sebagai “social optimum”, yaitu Paretian optimality (optimalitas ala Pareto dan Edgeworth), di mana economics

efficiency mencapai social optimum bila tidak seorangpun bisa lagi menjadi lebih

beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off). Dalam pada itu pemborosan (dalam konsepsi social optimum ini) masih terjadi bila seseorng masih bisa menolong orang lain tanpa merugi. Apa yang dikemukakan Boulding ini, dalam kaitan Vilfredo Pareto dan Francis Edgeworth, Alfried Marshall dan A.C. Pigou, pada dasarnya adalah “old utilitarian” dan tidak terlepas dari mekanisme perfect competition dalam pasar. Welfare dan competition menjadi dua sejoli diangkat di sini sebagai paradigma klasikal oleh kaum Smithian. Inilah “old welfare economics” yang berdasar pada utilitas, berorientasi harta atau kekayaan

ekonomi individu dan self-interest maximizalition, yang menegaskan tercapainya Pareto efficiency. Dengan demikian “social optimum” semacam ini

menggambarkan berlakunya institusi ekonomi berdasar paham individualisme dan liberalisme ekonomi (Swasono,2005).

(6)

(1970) kurang lebihnya melepaskan pendapat awalnya tentang social optimum yang sempit itu. Apa yang disebut sebagai “new welfare economics” mulai muncul, kemudian menjadi “contemporerary welfare economics” sejak Kenneth Arrow mengajukan “impossibility theorem”-nya, yaitu theorem yang ia kembangkan sebagai upaya menggabungkan preferensi-preferensi masing-masing anggota masyarakat menjadi preferensi sosial (social preference). Dari sini ditunjukkan secara teoritis bagaimana sulitnya menggabung dan mentransformasikan preferensi-preferensi individual menjadi preferensi sosial. sepanjang yang saya ketahui Arrow-lah yang mengawali secara teoritikal proses transformasi ini. Bila proses transformasi ini saya kaitkan dengan paham kebersamaan (mutualisme, bukan individualisme). Kesimpulan saya demikian itu karena dalam berpola interaksi sosial maka individu-individu sebagai makhluk sosial akan berprilaku berdasar pada kaidah-kaidah nonekonomi yang lebih kompleks. Dengan kata lain akan terjadi transformasi perilaku individu-individu dalam pola interaksi sosial, bahkan mungkin terjadi transformasi mind-set, terbentuk suatu coherent collective mind and behavior. Ada suatu possibility teoritikal bila dari preferensi-preferensi individual. Preferensi sosial adal secara

independent, sebagai kehendak individu yang hidup bermasyarakat karena “rasa bersama”. Di sinikah barangkali impossibility theorem-nya Arrow mendapatkan sambungan dan bagi saya mengagumkan (Swasono,2005).

(7)

Competition (1936) di mana elemen monopoli tidak lagi dipandang sebagai

sekedar kejadian sekali-kali eaktu ataupun deviasi dari persaingan bebas. Ia berkesimpulan bahwa masalah kebijaksanaan monopoli sejak lama merupakan masalah intellectual property of men whose faith is in competition. Sejak awal (1950) Galbraith memprihatinkan bahwa perkembangan monopoli dan konsentrasi merupakan penyalahgunaan (abuse) kekuasaan ekonomi. Dalam bukunya The affluent Society (1958) ia menggambarkan keterdiktean konsumen oleh iklan yang berlebih-lebihan. Iklan semacam itu merupakan pemborosan sosial. selanjutnya secara konsisten ia membela kepentingan masyarakat luas terhadap konsentrasi kekuatan ekonomi swasta, sebagaimana ia kemukakan (1992) “…. The privatization of social services and public enterprises are aimed at altering property relations and hence the distribution of wealrh and political power toward the greater empowerment of the rich, big business, and the rentiers at the cost of the underclass….”. (Privatisasi sarana-sarana dan perusahaan-perusahaan negara bertujuan merubah hubungan-hubungan pemilikan dan

selanjutnya pula distribusi kekayaan dan kekuasaan untuk lebih memperkuat

posisi kelompok kaya, kalangan bisnis besar dan kaum pemupuk rente ekonomi

atas korban masyarakat bawah).

Setelah dengan sangat brilian dan teliti menggambarkan hubungan antara welfare and competition (dianggap sebagi dua sejoli) akhirnya Tibor Scitovsky

(8)

mengobati kelemahan-kelemahan yang ada pada diri competition demi menjamin welfare. Negara, menurut Scitovsky, harus menyediakan jasa-jasa yang

masyarakat secara kolektif dapat mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust legislation dan menolak aggressive competition yang bertujuan menegakkan

monopoli. Namun ia pada dasarnya tetap berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki pembatasan terhadap kontrol oleh negara.

Setelah Reder dan Samuelson melemparkan kritik terhadap welfare economics-nya Boulding, Paul A. Baran lima tahun kemudian (1957) menegaskan

bahwa welfare economics barunya Reder dan Samuelson itu pun masih terbatas pada masalah perlu tidaknya makna dan dimensi welfare di luar ekonomi an sich perlu diperhitungkan. Baran secara kritis menunjukkan bahwa efisiensi ekonomi memang memberikan kontribusi kepada human welfare berdasar kriteria bahwa pada dirinya efisiensi ekonomi merupakan suatu orde sosial ekonomi yang hidup di dalam masyarakat. Namun bagi Prof. Baran, posisi welfare economics yang mengundang perdebatan teoritikal dan moral sesungguhnya terletak pada melencengnya orde sosial ekonomi dari tujuan kehidupan ekonomi yang lebih utuh dan mulia, dimana hubungan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada masyarakat kapitalis (yang mendewakan self interest, perfect individual liberty, consumers’ sovereignty dan stelsel laissez faire itu) telah menghalangi tercapainya

well being masyarakat sebagai tujuan kehidupan ekonomi masyarakat yang utuh, yaitu “… suatu masyarakat yang bebas dari keapatisan mental dan psikis (mental and psychic stupor) yang diakibatkan oleh ideology kapitalis yang melumpuhkan

(9)

A.C. Pigou yang terganggu oleh munculnya keraguan terhadap “the visible hand”. Baran memuji F. Bastiat dan J.B. Clark yang menempatkan welfare berdasar stelsel laissez faire sebagai “iron low” yang mengabaikan noble sentiments dan high ethical standards para protagon yang menghendaki prinsip-prinsip ekonomi yang sehat dalam orde ekonomi. Paretian optimum, kata Baran, mengundang suatu pemikiran untuk reformasi sosial. sedang “The new economics”-nya Keynes, meskipun dilihat oleh Baran (1952) sebagai dasar-dasar perencanaan untuk mencapai full employment dalam sistem kapitalisme, telah menegaskan tidak terjadinya otomatisme pasar atau tidak adanya mekanisme built in untuk menjaga aggregate effective demand dalam mempertahankan full employment. Namun Keynes tidak melihat kemerosotan aggregate demand itu sebagai masalah struktural dalam alokasi sumber-sumber ekonomi.

Kita perlu pula mencatat apa yang dikemukakan oleh Abramovitz (1952), bahwa “….Our interest in economic growth stems from, and is relevant to, our interest in long term changes in economics welfare. But the two subjects are not equivalents….” (Kepentingan kita pada pertumbuhan ekonomi bermula dari, dan relevan dengan, kepentingan kita pada perubahan kesejahteraan ekonomi dalam

jangka panjang. Tetapi kedua subjek itu tidaklah sama). Dengan penegasannya ini

ia sepaham dengan Clark. Sampai saat ini kiranya masih berlaku, yaitu bahkan saat ini banyak di antara kita yang berbicara mengenai growth namun mengabaikan economic welfare pada tataran sosialnya (dalam dimensi societal welfare).

(10)

Lindblom dalam buku Politics, Political Economics and Welfare (1963). Sementara itu, Oscar Lange melepaskan diri dari percaturan mengenai apakah welfare economics hanya berdasar kriteria ekonomi sempit ataukah harus

mengandung nilai-nilai etikal, apakah welfare economics berlandaskan pada ilmu ekonomi “positif” atau “normatif”, apakah berdasar pada proposisi “what there is” atau “what there ought to be “. Lange menegaskan bahwa lingkup ilmu

ekonomi adalah menentukan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan ekonomi yang telah ditentukan secara politik. Tujuan ekonomi yang ia maksudkan itu adalah dalam tatarannya sebagai social preference dan social choice.

Dahl dan Lindblom menyayangkan bahwa istilah “political economy” tidak bisa digunakan saat ini tanpa memainkan trik-trik mistik rohnya Adam Smith, David Ricardo dan Stuart Mill. Berikut ini ia kemukakan dalam mengawali bukunya yang terkenal itu : Dalam teori formal, ilmu politik dan ilmu ekonomi acapkali dianggap sebagai kerabat jauh dan tidak begitu bicara satu sama lain. Dahl dan Lindblom berusaha mencari jalan untuk menyatukan aspek-aspek tertentu dari politik dan ekonomi ke dalam teori utuh yang konsisten. Pada ujud pertamanya, pertanyaannya terpusat ke dalam masalah etika daripada masalah ilmu. Kedua tokoh ini menegaskan bahwa tidak akan ada teori yang dapat menyatukan ilmu politik dan ilmu ekonomi kecuali teori ini mengeksplisitkan premis-premis sosiologi dan psikologi yang dikandung oleh masing-masing ilmu politik dan ilmu ekonomi. Akhirnya dari situ perlu dapat ditarik suatu “rational sosial action” untuk mencapai maksimisasi tujuan-tujuan good life, yang harus

(11)

Makna welfare akhirnya bukan lagi sekedar tercapainya economic gain secara optimal belaka. Efisiensi berdimensi sosial, politik, psikologi dan filosofi, menjangkau tujuan humanisasi dan humanisme. Akhirnya dahl dan Lindblom membuka jalan untuk suatu diskusi public yang lebih pelik, suatu yang open ending dan mungkin akan makin membingungkan kaum ekonom konvensional.

Selanjutnya masalah welfare, lebih mengemuka lagi, setelah Amartya Sen mengedepankan masalah etika dalam bukunya On Ethics and Economics (Oxford : Basel Blakwell, 1987) dan demikian pula Amitai Etziomi, seorang sosiolog terkemuka, dengan buku monumentalnya The Moral Dimensions: Toward a New Economics (New York : Free Press, 1988).

Dalam relevansi dengan Orasi ini barangkali Hatta (negarawan), Baran (idelog), Galbraith (reformis), Myrdal (reformis), Sen (ekonom), dan Etzioni (sosilog) yang melihat bahwa preferensi sosial itu ada secara indpenden, di mana individu-individu hidup di dalam suatu masyarakat sebagai kenyataan yang given. Amartya Sen a.l. dalam bukunya Rationality and Freedom (Cambride: Berknap of Harvard University Press, 2002), bertitik tolak dari social preference, social choice dan impossibility theorem-nya Kenneth Arrow, menuju social welfare

judgements dan mekanisme social decision. Selanjutnya theorem-nya Arrow

makin berkembang canggih (memerlukan ketekunan dan kedalaman teoritikal serta subtilitas nilai-nilai untuk memahaminya) berkat pencerahan lebih lanjut oleh Sen, yang memberi makna lebih pada well being (kesejahteraan dalam arti luas) dengan freedom (kebebasan) sebagai lawan dari unfreedom.

Welfare economic-nya Sen menjadi suatu gambaran dan proses rasional ke

(12)

(unfreedom) selanjutnya dengan mencari kriteria yang lebih luas (ecletic) diharapkan dapat lebih memberi makna well being yang lebih mapan, dengan ukuran-ukuran (performance criteria) barunya seperti “tingkat kehidupan” (levels of living), “pemenuhan kebutuhan pokok” (basic needs fulfillment), “kualitas

kehidupan” (quality of life) atau “pembangunan manusia” (human development). Sedangkan Bornstein secara normatif (“The Comparations of Economics System”, 1994) mengajukan “performance criteria” untuk social welfare yang makin luas, sekaligus makin sulit menentukan batasannya, meliputi output, growth, efficiency, stability, security, inequality dan freedom yang harus dikaitkan dengan suatu

social preference (Swasono,2005).

1.2.2. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional

Karena penekanan pada keadilan inilah, para fuqaha telah meletakkan sejumlah qaidah ushul (legal maxim) yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan

untuk semua dalam cara yang seimbang dan adil. Diantara kaidah-kaidah ini adalah sebagai berikut :

 Suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik, dan suatu maslahat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan maslahat yang lebih besar

(13)

 Penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan.

 Bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin.

Semua qaidah ushul di atas jelas bertentangan dengan konsep Pareto Optimal yang tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari sekelompok kecil (orang-orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan yang lebih banyak (orang-orang miskin). Karena itu, konsep ini dalam keadaan apapun, tidak mungkin mendapatkan kedudukan tinggi dalam paradigma ilmu ekonomi kesejahteraan syariah, seperti yang didapatkannya dalam ekonomi kesejahteraan konvensional (Chapra, 2001:59).

1.3. Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional dan Efisiensi

Ekonomi Syariah

1.3.1. Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional

(14)

dengan semua perusahaan yang memproduksi suatu barang) Rata-rata marginal substitusi konsumsi harus sama dengan rata-rata marginal transformasi dalam produksi. (proses produksi harus sesuai dengan keinginan konsumen) Ada sejumlah kondisi-kondisi yang, kebanyakan ahli ekonomi setuju, boleh tidak efisien meliputi: struktur pasar yang tidak sempurna ( seperti monopoli, monopsoni, oligopoli, oligopsoni, dan persaingan monopolistik) alokasi faktor tidak efisien ( lihat dasar-dasar teori produksi), kegagalan pasar dan eksternalitas ( lihat juga biaya sosial), diskriminasi harga (lihat juga skimming harga), penuruanan biaya rata-rata jangka panjang (lihat monopoli alami), beberapa jenis pajak dan tariff. Untuk menentukan apakah suatu aktivitas sedang menggerakkan ekonomi ke arah efisiensi Pareto, dua uji kompensasi yang telah dikembangkan, setiap perubahan pada umumnya membuat sebagian orang lebih baik selagi membuat orang yang lain tidak lebih buruk, maka uji ini menanyakan apa yang akan terjadi jika pemenang mengganti kompensasi kepada yang kalah. Menggunakan kriteria Kaldor suatu aktivitas akan memberi kontribusi untuk Pareto optimal jika jumlah maksimum pemenang siap membayar lebih besar dari jumlah minimum yang siap diterima oleh yang kalah.

(15)

baik pemenang maupun yang kalah akan setuju bahwa aktivitas yang diusulkan akan menggerakkan ekonomi ke arah Pareto optimal. Ini adalah dikenal sebagai efisiensi Kaldor-Hicks atau kriteria Scitovsky.

1.3.2. Pengertian Efisiensi Ekonomi Syariah

(16)

Dengan demikian, penggunaan sumber-sumber daya yang paling efisien dalam ilmu ekonomi konvensioanl dapat didefinisikan menurut Optimum Pareto, sementara dalam suatu perekonomian Islam akan ditentukan berdasarkan maqashid. Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqashid harus

(17)

mendapatkan kemaslahatan public yang lebih besar. Umumnya para ulama memandang bahwa syariat, dengan strategi dan nilai-nilai moral yang disediakan untuk menanamkan nilai-nilai ini secara efektif dalam masyarakat, bukan saja akan membantu menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua, melainkan juga mendorong kemajuan manusia. Al-Mawardi mengindikasikan bahwa ajaran-ajaran Islam telah terbukti menjadi fondasi yang solid bagi peningkatan dan stabilitas di dunia. Ibnu Khaldun juga menekankan bahwa sebuah negara tidak dapat mencapai kemajuan dan kekuatan kecuali dengan menerapkan syariat (Chapra, 2001:61).

1.4. Distribusi Pendapatan Konvensional dan Dstribusi

Pendapatan Syariah

1.4.1. Distribusi Pendapatan Konvensional

(18)

pribadi. Fungsi kesejahteraan sosial adalah suatu cara secara matematika yang menyatakan kepentingan relative individu-individu yang ada dalam masyarakat.

Suatu fungsi kesejahteraan nilai guna (juga disebut suatu fungsi kesejahteraan Benthamite) menjumlahkan nilai guna dari tiap individu dalam rangka memperoleh kesejahteraan keseluruhan masyarakat. Semua orang diperlakukan yang sama, bukan masalah pada tingkat awal nilai guna mereka. Satu unit nilai guna tambahan untuk seorang yang miskin tidaklah dilihat untuk segala nilai lebih besar dibanding suatu unit tambahan dari nilai guna untuk seorang jutawan yang mempunyai semua kekayaan yang ia pernah belanjakan.

Pada ekstrim yang lain adalah fungsi Max-Min yang diusulkan oleh John Rawls. Menurut kriteria Max-Min, kesejahteraan maksimalkan jika nilai guna anggota masyarakat itu yang mempunyai nilai guna paling kecil adalah yang terbesar. Tidak ada kegiatan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan sosial kecuali jika kegiatan itu meningkatkan posisi dari anggota masyarakat yang lebih buruk (merugi). Kebanyakan ahli ekonomi menetapkan fungsi kesejahteraan sosial itu adalah pertengahan antara dua ekstrim tersebut.

(19)

Bentuk antara dari kurva indiferensi sosial dapat ditafsirkan sebagai peningkatan ketidakseimbangan, suatu peningkatan semakin besar nilai guna dari individu yang secara relatif kaya diperlukan untuk mengganti kerugian nilai guna dari individu yang secara relatif miskin. Suatu fungsi kesejahteraan sosial yang kasar dapat dibangun dengan mengukur nilai dolar subyektif dari barang dan jasa yang didistribusikan ke pemain di dalam ekonomi ( lihat juga surplus konsumen). 1.4.2. Distribusi Pendapatan Syariah

Beberapa alasan yang menjadi dasar pemikiran distribusi pendapatan diantara berbagai faktor produksi. Pertama, pembayaran sewa, umumnya pengacu pada pengertian surplus yang diperoleh suatu unit tertentu dari suatu factor produksi melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk mempertahankan factor itu dalam posisi yang sekarang, tampaknya hal ini tidaklah bertentangan dengan jiwa Islam. Dijelaskan bahwa sewa dan bunga sangatlah berbeda.

Kedua, perbedaan upah akibat perbedaan bakat dan kesanggupan diakui oleh Islam. Syarat-syarat pokonya ialah para majikan tidak akan mengisap para pekerja dan dia harus membayar hak mereka sedangkan para pekerja tidak akan mengeksploitir majikan mereka melalui serikat buruh, dan mereka juga harus melaksanakan tugasnya dengan tulus dan jujur.

(20)

sejauh sumbangan yang akan ditentukan sebagai persentase berubah dari laba daripada suatu persentase yang ditetapkan dari modal itu sendiri. Penulis cukup yakin bila para pemimpin kaum Muslimin melakukan upaya yang tulus, maka sangatlah mungkin untuk memiliki perekonimian yang bebas bunga. Tidak dapat disangkal lagi bahwa karena bungalah tumbuh kapitalisme dengan segala kejahatan yang menyertainya dalam masyarakat. Bunga menimbulkan masalah pengangguran, memperlambat proses kepulihan depresi menyebabkan masalah pelunasan utang bagi negeri-negeri terbelakang, juga menghancurkan prinsip pokok kerja sama, saling bantu, dan menjadikan orang mementingkan diri sendiri.

Keempat, Islam memperkenankan laba biasa – bukan laba monopoli atau laba yang timbul dari spekulasi. Akhirnya, telah kami jelaskan beberapa prinsip yang umumnya diterima dari hukum waris Islam, yang dewasa ini merupakan suatu system tetap, ilmiah dan indah lagi harmonis. Sumbangan paling positif dari hukum waris Islam ialah bahwa ia mengakui peran serta wanita dalam proses kegiatan ekonomi yang rumit.

1.5. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Konvensional dan

Kesejahteraan Sosial Syariah

1.5.1. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Konvensional

(21)

yang paling sederhana ini bisa dilakukan dengan memecahkan tujuh penyamaan secara serempak. Dalam persamaan Ekonomi yang sederhana ini misalnya hanya mempunyai dua konsumen ( konsumen 1 dan konsumen 2), hanya dua produk ( produk X dan produk Y), dan hanya dua faktor-faktor produksi yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K)). Model dapat dinyatakan sebagai berikut :

Memaksimalkan kesejahteraan sosial: W=F(U1 U2) tunduk kepada terhadap kendala : K= Kx+ Ky (Jumlah modal yang digunakan untuk produksi dari barang

X dan Y)

L= Lx+ Ly (Jumlah tenaga kerja yang digunakan di produksi barang X dan Y) X= X(Kx Lx) ( Fungsi produksi untuk produk X)

Y= Y(Ky Ly) ( Fungsi produksi untuk produk Y)

U1= U1(X1 Y1) ( Preferensi (pilihan) dari konsumen 1) U2= U2(X2 Y2) ( Preferensi dari konsumen 2)

(22)

Hubungan antara Produksi dan Konsumsi dalam sebuah model 7 persamaan sederhana (model 2x2x2) dapat ditunjukkan secara grafik. Dalam Gambar 1.1, batas yang mungkin produksi agregat, diberi label PQ menunjukkan seluruh titik dari efisiensi dalam produksi barang X dan Y. Jika ekonomi menghasilkan kombinasi barang X dan Y ditunjukkan di titik A, kemudian rata-rata marginal transformasi (MRT), X funtuk Y sama dengan 2.

Gambar 1.1.

Efisiensi Produksi dan Konsumsi

(23)

rata-rata narginal substitusi (MRS) sama dengan 2, sementara di titik C rata-rata marginal substitusi sama dengan 3. Hanya di titik B konsumsi seimbang dengan produksi (MRS=MRT). Kurva 0BCA di dalam kotak Edgeworth (kadangkala disebut sebuah kurva kontrak) mendefinisikan tempat titik-titik efisiensi dalam konsumsi (MRS1=MRS2). Sebagaimana yang kita bergerak sepanjang kurva, kita mengubah kobinasi barang X dan Y yang individu 1 dan individu 2 memilih untuk mengkonsumsi. Data nilai guna yang menghubungkan dengan masing-masing titik pada kurva ini dapat digunakan untuk membuat fungsi nilai guna. Fungsi nilai guna (utility function) dapat diturunkan dari titik-titik pada kurva kontrak (contract curve). Beberapa fungsi nilai guna dapat diturunkan, satu untuk masing-masing titik pada garis batas kemungkinan produksi (pada diagram di atas PQ). Sebuah garis batas nilai guna (juga disebut sebuah garis batas nilai guna utama) dapat diperoleh dari selubung luar seluruh fungsi nilai guna ini. Masing-masing titik pada sebuah garis batas nilai guna sosial menggambarkan suatu alokasi efisiensi sumberdaya ekonomi yang merupakan Pareto optimal dalam alokasi faktor produksi, konsumsi dan interaksi produksi dan konsumsi (permintaan dan penawaran).

(24)

efisiensi Pareto, hanya satu titik yang menunjukkan kesejahteraan sosial maksimum. Titik tersebut adalah titik Z (kadangkala disebut titik kebahagiaan) dimana garis batas nilai guna sosial MN menrupakan tangent terhadap kurna indiferen sosial yang mungkin yang tertinggi yang diberi label SI.

Gambar 1.2.

Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial

1.5.2. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Syariah

(25)

fungsi nilai guna ordinal. Mereka telah mengusulkan pengertian lain dari pengukuran “well-being” sebagai suatu alternative untuk menetan indeks harga, fungsi “ketidakmauan untuk membayar” dan ukuran yang berorientasi pada harga lain. Ukuran yang berbasis pada harga ini terlihat sebagai peningkatan konsumerisme dan produktivisme dengan banyak. Ukuran yang berbasis pada harga akan dicatat bahwa itu mungkin untuk melaksanakan ekonomi kesejahteraan tanpa menggunakan harga , meskipun ini tidak selalu dilaksanakan.

Secara eksplisit asumsi nilai dalam fungsi kesejahteraan dan seca implicit dalam pemilihan criteria efisiensi, membuat ekonomi kesejahteraan bidang yang sangat subyektif dan normatif. Ini dapat membuat controversial. Jika asumsi-asumsi nilai ini tersembunyi atau diterima secara tidak kritis, ekonomi kesejahtn akan menjadi berbahaya. Teknik ekonomi kesejahteraan merupakan pegangan untuk posisi awal permulaan. Maksimalisasi kesejahteraan merupakan optimum secara relatif terhadap posisi awal permulaan.

Dalam salah satu doanya, Rasulullah saw. Memohon perlindungan kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaaat. Mengacu kepada doa ini, tes untuk menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu cabang ilmu pengetahuan adalah sejauh mana konmtribusi langsung atau tidak langsung dari sains tersebut terhadap realisasi kesejahteraan manusia yang secara jelas merupakan target maqashidusy syariah yang akan dibahas dalam bab ini. Ilmu ekonomi pun tidak

(26)

keadaan optimum. Hanya ekuilibrium pasar yang harmoni, atau apaling tidak mengandung konflik dengan maqashid yang dapat dipandang sebagai optimum dan bisa diterima. Mengingat optimum Pareto selalu dikaitkan dengan tiap-tiap ekulibrium pasar, maka perlu menggantikannya dengan konsep optimum Islam, yang berarti bahwa ekulibrium pasar yang merefleksikan realisasi serentak tingkat optimalitas aspek efisiensi dan pemerataan yang selaras dengan maqashid.

Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai tingkat efisiensi optimum jika telah mampu menggunakan keseluruhan potensi sumberdaya material dan manusianya dalam suatu cara di mana barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dapat diproduksi dalam jumlah maksimal dengan tingkat stabilitas ekonomi yang masuk akal dan dengan laju pertumbuhan masa depan yang berkesinambungan. Uji untuk efisiensi demikian terletak dalam ketidakmampuan untuk mencapai suatu keadaan yang secara sosial lebih dapat diterima tanpa menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan atau tanpa merusak institusi keluarga dan keharmonisan sosial atau jaringan moral masyarakat. Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai pemerataan (keadilan) optimal jika barang dan jasa yang diproduksi dapat didistribusikan dalam suatu cara di mana kebutuhan individu (tanpa memandang apakah mereka kaya atau miskin, pria atau wanita, muslim atau nonmuslim) dapat dipenuhi secara memadahi dan juga terdapat distribusi kekayaan dan pendapatan yang adil tanpa berdampak buruk pada motivasi kerja, menabung, investasi dan melakukan usaha (Chapra, 2001:100).

1.6.

Mengukur Kesejahteraan Sosial Konvensional dan

(27)

1.6.1. Mengukur Kesejahteraan Sosial Konvensional

Bagaimana kesejahteraan diukur ? Ini tidak adak jawaban yang telah disepakati terhadap pertanyaan tersebut baik dalam disiplin ataupun lintas disiplin tersebut. Meskipun demikian ada dua pendekatan untuk mengukur kesejahteraan tersebut, yaitu pendekatan pengukuran secara obyektif dan pendekatan pengukuran secara obyektif.

Sebagian besar yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan ekonomi adalah pendapatan nyata rumah tangga yang dimiliki orang, yang disesuaikan dengan perbedaan ukuran rumah tanggga dan komposisi demografi (Ravallion dan Lokshin, 2000). Ini dapat didefinisikan sebagai pendapatan total rumah tangga dibagi dengan sebuah garis kemiskinan yang memberikan biaya dari tingkat nilai guna (utility) beberapa referensi pada harga yang berlaku dan demografi rumah tangga. Di bawah kondisi tertentu, rasio ini dapat diintepretasikan sebagai metrik uang yang nyata dari nilai guna yang mendefinisikan konsumsi yang lebih (Blackorby dan Donaldson, 1987).

Praktek yang standar adalah mengkalibrasi fungsi biaya dari perilaku permintaan konsumen. Parameter-parameter fungsi biaya adalah dapat dikenali secara umum dari perilaku permintaan pada saat atribut-atribut rumah tangga berubah (Pollack dan Wales, 1979). Masalah ini masih mengganggu jika diaplikasikan dalam dunia nyata dan intepretasi kebijakan data pada kesejahteraan ekonomi meliputi profil kemiskinan mengarahkan untuk memberikan ukuran kemiskinan yang konsisten melwati subkelompok dari masyara.

(28)

yang terkenal adalah Human Development Index dari United Nations. Untuk membangun masing-masing indeks, membutuhkan subindikator untuk dipilih. Pilihan ini bergantung pada dimensi yang dipertimbangkan relevan, misalnya pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan pendapatan (Carbonell,2002).

Beberapa ekonom telah mengubah data pada persepsi kesejahteraan itu sendiri sebagai sumber informasi tambahan untuk merlakukan idendifikasi. Ada beberapa pendekatan, Van Praag (1968,1971) memperkenalkan the Income Evaluation Question (IEQ) yang bertanya apakah pendapatan dianggap “sangat

jelek”,”jelek”, “tidak baik”, “tidak jelek”,”baik”, dan “sangat baik”. Metode yang lain didasarkan pada the Minimum Income Question (MIQ) yang bertanya apakah pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar mencukupi.

Garis kemiskinan subyektif dapat dikalibrasikan terhadap jawaban (Kapteyn, 1988). Dengan pendekatan ini, indikator kesejahteraan masih diambil untuk mengukur pendapatan secara obyektif atau pengeluaran yang dinormalisasi dengan (subyektif) garis kemiskinan. Carbonell (2000), menggunakan Subjective Well-Being (SWB) atau General Satisfaction (GS) individu untuk menjawab

pertanyaan kesejahteraan subyektif. Welfare menggambarkan kepuasan individu dalam arti yang sempit, yaitu kepuasan financial, sedangkan well-being merupakan kepuasan individu dalam arti yang luas, yaitu kepuasan individu dalam kehidupan. Tanggapan terhadap pertanyaan subyektif mengenai kepuasan dengan domain yang kongkrit dari kehidupan merujuk pada Domain Satisfactions (DS), yang dalam literature ekonomi terdiri dari Financial Satisfaction (FS), Job Satisfaction (JS) dan Health Satisfaction (HS).

(29)
(30)

indeference pada keputusan individu didasarkan barangkali dianggap sebagai fungsi kesejahteraan social dan moral Islam (Manna, 1984).

Konsep nilai guna dalam Islam merupakan sebuah konsep yang lebih luas daripada konsep nilai guna dalam ekonomi kesejahteraan konvensional. (maslahah-al-Ibad). Bentuk maslahah merujuk pada kesejahteraan yang luas dari

manusia. Menurut Al-Shatibi, maslahah merupakan kepenilikan atau kekuatan barang atau jasa yang menguasai elemen dasar dan sasaran kehidupan manusia di dunia. Ada lima elemen dasar kehidupan di dunia, yaitu kehidupan (al-nafs), kepemilikan mal), kebenaran (ad-din), kecerdasan aql) dan keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mempunyai kekuatan untuk menaikkan lima

elemen dasar ini yang dikatakan mempunyai maslahah dan barang dan jasa yang mempunyai maslahah akan dinyatakan sebagai kebutuhan. Keinginan dalam ekonomi konvensional ditentukan oleh konsep nilai guna sementara kebutuhan dalam Islam ditentukan oleh konsep maslahah (Khan, 1989).

Konsep barang juga berbeda dalam Islam. Dalam Islam barang merupakan karunia yang terbaik dari Tuhan pada manusia. Menurut Al-Qur’an barang konsumsi adalah barang yang melambangkan nilai moral dan ideologi mereka (manusia). Dalam Al-Qur’an, barang dinyatakan dalam dua istilah, yaitu al-tayyibat dan al-rizq. Kata al-al-tayyibat digunakan 18 kali, sedangkan kata al-rizq

(31)

dikonsumsi yang bermanfaat yang bernilai guna yang menghasilkan perbaikan material, moral, spiritual bagi konsumen. Sesuatu yang tidak berdaya guna dan dilarang dalam Islam bukan merupakan barang dalam pengertian Islam. Dalam barang ekonomi konvensional adalah barang yang dapat dipertukarkan. Tetapi barang dalam Islam adalah barang yang dapat dipertukarkan dan berdaya guna secara moral (Choudhury, 1991).

Kriteria kesejahteraan akan bekerja dalam kondisi untuk memilih di antara proyek-proyek investasi yang berbeda untuk mengalokasikan sumberdaya dengan dasar Syariah secara Islam. Memanglah, sebagian besar kriteria ini tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Meskipun, kriteria yang disebutkan tersebut merupakan kriteria yang hanya indikatif, tetapi tidak yang mendalam. Kriteria kesejahteran tersebut, antara lain peningkatan ideologi, efisien penggunaan sumberdaya, keadilan dalam distribusi pendapatan, baik secara kolektif, prioritas terhadap kebutuhan yang mendesak, stabilitas, kepastian, keberlangsungan, produktivitas, pertimbangan manusia, universal, etikan dan moral (Choudhury, 1991).

1.7. Keadilan Konvensional dan Keadilan Syariah

1.7.1. Keadilan Konvensional dan Keadilan Syariah

(32)
(33)

Sumber: Greenberg,1996:31

GAMBAR 1.3.

(34)

atas penilaian-penilaian ini memunculkan dua faktor (yaitu, faktor-faktor penentu prosedural dan faktor-faktor penentu distributif) yang diperhitungkan hampir 95 % dari nilai varian.

Faktor keadilan distributif terdiri dari dua determinan yang diteorisasikan untuk mencerminkan alokasi hasil-hasil organisasional yang adil dalam sebuah konteks performa penilaian-penilaian (Greenberg, 1987b : 7), yaitu menerima penilaian-penilaian atas dasar performa yang dicapai dan membuat rekomendasi-rekomendasi bagi gaji dan promosi atas dasar penilaian-penilaian. Temuan-temuan ini secara kuat menunjukkan bahwa para manajer sadar dan peduli terhadap determinan-determinan keadilan distributif dan prosedural. Hal itu juga mendukung tuntutan teoritis yang berkenaan dengan keberadaan berbagai elemen yang beragam dari keadilan prosedural (misalnya, Leventhal, 1980; Thibaut dan Walker, 1975 dalam Greenberg, 1996:32).

(35)

distributif maupun prosedural adalah penting, meskipun masing-masing mungkin menjadi penduga bagi tindakan-tindakan yang berbeda. Gagasan ini sesuai dengan hasil penelitian Tyler yang dilakukan tahun 1984 terhadap evaluasi-evaluasi para terdakwa terhadap pengalaman-pengalaman ruang pengadilan mereka. Temuan-temuan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa keadilan prosedural secara kuat berhubungan dengan tindakan-tindakan terdakwa terhadap sistem pengadilan, sedangkan keadilan distributif secara kuat berhubungan dengan kepuasan terdakwa terhadap putusan-putusan. Meramalkan kemungkinan dari temuan-temuan semacam itu, beberapa ahli menyimpulkan bahwa “keadilan prosedural secara khusus mempunyai pengaruh-pengaruh yang kuat terhadap tindakan-tindakan yang berkaitan dengan institusi atau otoritas sebagai yang berlawanan dengan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hasil-hasil khusus”. Gagasan bahwa kepuasan sistem berhubungan dengan keadilan prosedural, sedangkan kepuasan hasil berhubungan dengan keadilan distributif adalah logis, sepanjang ini adalah sistem yang mempergunakan prosedur-prosedur dan hasil-hasil yang membentuk dasar bagi distribusi.

(36)

prosedur-prosedur untuk menentukan upah menaikkan secara khas kontribusinya terhadap faktor-faktor semacam itu sebagai komitmen organisasional dan kepercayaan terhadap pengawasan, sedangkan persepsi-persepsi keadilan distributif secara unik berkaitan dengan kepuasan upah miik seseorang.

(37)

persepsi-persespsi keadilan prosedural cenderung dihubungkan dengan penilaian-penilaian sistem organisasioal (khususnya di antara para pegawai yang secara tidak sengaja berhubungan dengan sistem), persepsi-persepsi keadilan distributif cenderung dihubungkan dengan hasil-hasil yang diterima.

1.7.2. Keadilan Syariah

(38)

Islam memerintahkan keadilan dalam seluruh persoalan yang berhubungan dengan masyarakat manusia. Ajaran-ajaran Islam yang mendasar terkandung di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada masa Rasulullah dan Kulafaur Rasyidin, memberikan gambaran hidup mengenai pelaksanaan ajaran-ajarannya secara praktis. Pandangan Islam terhadap sebuah tatanan sosio-ekonomi dapat disimpulkan berkenan dengan ajaran-ajaran dasar tersebut dan catatan sejarah dari periode Islam yang pertama.

Menurut Al-Qur’an, tujuan utama Tuhan memberikan petunjuk melalui utusan-Nya adalah agar umat manusia mampu mendirikan keadilan, seperti firman Allah :

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa

bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca

(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS. 57:25).

Tuhan telah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi, seperti dalam firmanNya :

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS.

2:30)

Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil pada setiap orang, seperti dalam firman-Nya :

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah

kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

(QS.5:8).

(39)

(syariah), yaitu Al-Qur’an, meletakkan elemen-elemen yang fundamental dari sebuah piagam hak-hak asasi manusia yang mana memiliki kekuatan mengikat, baik tanggungjawab moral maupun sistem hukum. Dan lebih lanjut, dilengkapi dengan sumber hukum Islam yang kedua, yaitu perkataan dan perbuatan Nabi SAW, yang biasa dikenal dengan sebutan Sunnah. Dengan menggabungkan keduanya, mereka menjanjikan penghilangan segala bentuk eksploitasi, penindasan, dan ketidakadilan (Iqbal, 1994).

Seluruh hak-hak asasi manusia yang diberikan oleh Islam didasarkan pada prinsip ‘kemaslahatan umum’ (al-maslahah-al-‘ammah). Hak-hak asasi manusia yang diberikan oleh Islam didasarkan pada prinsip ‘Kemaslahatan umum’ (al-maslahah al-‘ammah). Hak-hak asasi tersebut yang memiliki hubungan khusus dengan permasalahan kajian ini adalah sebagai berikut :

a. Hak untuk hidup. Kehidupan manusia adalah suci dan tidak dapat diganggu gugat, serta setiap usaha (karya) diciptakan untuk melindungi kehidupan manusia itu sendiri.

b. Kebebasan profesi (pekerjaan). Ada kebebasan untuk memasuki semua profesi yang diperkenankan oleh Islam.

c. Semua orang adalah sama di hadapan hukum dan berhak terlindungi oleh hukum sesuai dengan syariah.

(40)

e. Kaum miskin berhak atas kekayaan kaum kaya sedemikian sehingga kebutuhan dasar setiap orang dalam masyarakat dapat dipenuhi.

f. Eksploitasi manusia pada tingkat tertentu, atau bentuk tertentu, ataupun dalam keadaan bagaimanapun juga adalah anti Islam dan harus diakhiri. Kesejahteraan yang berkeadilan adalah komponen yang terpenting dalam tatanan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah.. Segi yang paling patut diperhatikan dalam skema kesejahteraan yang berkeadilan sebagaimana dipertimbangkan oleh Islam adalah adanya jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat, terlepas dari tahapan pembangunan sebuah negara. Hal ini menyiratkan secara tidak langsung pemberantasan yang sempurna terhadap apa yang disebut dalam literatur perekonomian mutakhir sebagai ‘kemiskinan absolut’. Aspek yang kedua dari kesejahteraan yang berkeadilan yang adalah berkaitan dengan pola umum pemerataan pendapatan di dalam masyarakat. Dalam hal ini, tinjauan Islam lebih fleksibel di mana garis pedoman untuk pola pemerataan pendapatan dan kekayaan yang diharapkan terkandung dalam AL Qur’an dan Sunnah, yang tertulis dalam ketentuan-ketentuan umum dan memperkenankan banyak sekali kebijaksanaan dalam menghadapi persoalan ini.

(41)

seluruh sumber-sumber daya yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan dasar umat manusia, apapun yang diciptakan di surga dan bumi, telah diciptakan untuk tunduk pada manusia. Sumber-sumber daya tersebut diciptakan oleh-Nya sebagai hadiah untuk seluruh umat manusia dan apa saja yang menjadi milik seorang individu akan diperlukan sebagai ’titipan’. Titipan ini tidak dapat dikatakan untuk dilepas kecuali jika masing-masing atau setiap orang cukup mendapatkan kepuasan sedikitnya kebutuhan dasarnya.

Kepercayaan agama Islam memberi tekanan pada sifat tidak kekalnya kehidupan manusia di bumi dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan yang baik demi keselamatannya di Akhirat. Namun demikian, amatlah ditentang penolakan terhadap dunia ini demi memperoleh kebahagiaan di Akhirat. Dengan jelas Al Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menginginkan kemudahan bagi umat manusia dan bukannya kesukaran. Demikian sabda Nabi SAW dengan jelas menyatakan bahwa kemiskinan dan deprivasi (perampasan) bukanlah merupakan suatu kebaikan yang patut dihargai oleh Islam, dan setiap usaha mesti dilakukan untuk menghilangkan kemiskinan dan deprivasi tersebut.

(42)

memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan melalui usaha mereka sendiri, maka mereka berhak atas penghasilan dan kekayaan anggota-anggota lain.

Islam menggunakan baik peringatan moral maupun aturan hukum untuk menghilangkan kemiskinan dan deprivasi, sehingga kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat dapat dipenuhi sebagaimana mestinya. Sejumlah ayat dalam Al Qur’an menekankan kebaikan infaq, yaitu pemberian sukarela untuk kesejahteraan kaum miskin. Sebagai contoh, telah dinyatakan bahwa tidak ada perkara dimana manusia akan mencapai kesalehan kecuali jika ia dengan rela mengeluarkan kekayaannya dengan cara yang diatur oleh Tuhan untuk mereka yang melarat dan kaum fakir miskin. Bagi mereka yang melakukan infaq telah dijanjikan menjadi orang-orang pilihan yang memperoleh kenikmatan di surga. Nabi SAW sendiri menjadikan dirinya sebagai contoh teladan dalam banyak memberi untuk kesejahteraan kaum miskin. Beliau mendesak para pengikutnya agar saling mengungguli dalam memberi pertolongan kepada kaum miskin. Beliau juga tiada henti-hentinya mengingatkan para pengikutnya bahwa sebuah masyarakat yang gagal memelihara kebutuhan kaum fakir miskin tidak dapat dipandang Islami. Demikian beliau pun memberi peringatan kepada para pengikutnya apabila ada suatu tempat dimana seorang masih kelaparan di malam hari maka Tuhan akan meninggalkan mereka.

(43)

tidak membiarkan mereka mengulurkan tangan untuk meminta. Al Qur’an juga memberi peringatan bahwa derma menjadi kurang bernilai di hadapan Tuhan apabila derma tersebut diikuti dengan suatu tindakan yang melukai perasaan si penerima.

Islam mengakui bahwa masyarakat tidak berperilaku seragam dalam berbuat sesuai dengan ajaran moral untuk menolong kaum fakir miskin melalui sebuah sistem jaminan sosial yang sangat kuat. Islam memerintahkan negara bertugas menghimpun retribusi wajib yang dikenal dengan zakat dari hasil pendapatan bagian masyarakat yang mampu diperuntukkan bagi tujuan-tujuan tertentu dalam rangka menolong kaum fakir miskin yang dapat diperhitungkan secara jelas. Sistem jaminan sosial ini diatur dijaman Nabi SAW. dan berfungsi secara efektif pada periode Islam pertama dan dalam beberapa waktu tertentu pada periode berikutnya. Pada kenyataannya, catatan sejarah memperlihatkan bahwa terdapat beberapa contoh dalam periode ini dimana pada daerah-daerah tertentu tidak ditemukan seorang fakir miskin yang dipandang bisa memperoleh derma.

(44)

membayar zakat. Khalifah kedua, Umar, juga sangat menyadari tanggungjawab ini sehingga ia mengumumkan: ‘Jika seekor unta mati tanpa perawatan di tepi sungai Eufrat, saya takut Allah akan meminta pertanggungjawaban saya terhadap hal itu. Para ahli fiqh Islam telah menulis secara mendalam mengenai prinsip pemenuhan kebutuhan. Mereka semua setuju bahwa secara umum pemenuhan kebutuhan merupakan kewajiban masyarakat bersama sehingga tak seorangpun yang dijumpai masih merasa kehilangan keperluan hidup yang mendasar. Sejumlah ahli fiqh Islam mempunyai suatu pandangan bahwa perlindungan hukum harus diberikan sesuai dengan prinsip pemenuhan kebutuhan sehingga setiap warga negara bisa melapor ke pengadilan agar mendapat jaminan pelaksanaan atas prinsip tersebut.

(45)

hal-hal yang berkaitan dengan usaha untuk menjaga nafs (fisik luar manusia) melainkan juga hal-hal yang dapat melindungi din (agama), ‘Aql (intelek atau pikiran), nas (keturunan) dan mal (harta kekayaan). Hajiyyat meningkatkan kualitas kehidupan dan menghilangkan, baik penderitaan maupun kesukaran sementara tahsiniyyat menambah keindahan dan kecantikan hidup tanpa melampaui batas-batas yang berlebihan. Adalah pandangan para ahli hukum Islam bahwa merupakan tanggung jawab masyarakat bersama untuk menjamin pemenuhan daruriyyat dalam perkara apapun dan juga hajiyyat apabila sumber-sumber dayanya memungkinkan. Telah diakui bahwa karena perubahan-perubahan keadaan maka pembatasan terhadap tiga jenia kebutuhan yang disebutkan tadi tidak dapat berlaku secara terus menerus dari waktu ke waktu. Yang terpenting adalah jaminan pemenuhan kebutuhan dasar harus tersedia bagi setiap individu, bahkan ketentuan yang jelas terhadap kebutuhan dasar tersebut dan unsure-unsur pokok dim luar itu yang beragam dapat dipuaskan dalam waktu kapan saja, harus diputuskan sesuai dengan kondisi yang nyata dan standar hidup rata-rata sebuah Negara.

(46)

meninggikan kehidupan dan derajat social beberapa orang di atas orang-orang lain sedemikian sehingga ‘beberapa orang tersebut dapat menggunakan jasa orang-orang lain dalam pekerjaan mereka. Dalam perkataan lain, Islam menghargai perbedaan pendapatan tertentu sebagaimana mestinya demi kepentingan laju ekonomi yang lancar.

(47)
(48)
(49)

BAB 2

IMPLIKASI EKONOMI KESEJAHTERAAN DAN

KEADILAN SYARIAH DALAM EKONOMI GLOBAL

2.1. Kemiskinan dan Ketidakadilan

(50)

Sejak lama dalam sejarah manusia, sebagian besar proses produksi dan distribusi diatur oleh tradisi. Dalam masyarakat masa lalu yang terikat tradisi, adat istiadat dan keturunan merupakan faktor utama yang menentukan pembagian kerja masyarakat berkelompok terpaksa menjadi yang terpaksa menjadi masyarakat yang egalitar dikarenakan mereka harus memeperbaiki keadaan hidup sehari-hari dengan susah payah dan melalui usaha sendiri, dan mereka tidak mempunyai kemampuan memproduksi pertambahan ekonomi yang cukup besar sebagaimana yang tersedia oleh kelompok tertentu. Keadaan ini kemudian diikuti dengan masyarakat hortikultura sederhana yang sebagian besar berkembang di bagian Eropa, Timur Tengah, dan Asia tenggara. Kelompok mereka biasanya lebih besar, lebih produktif dan kurang egaliter (Lenski, 1966). Namun demikian, ketidakadilan jauh dari kenyataan jauh dari kenyataan karena tanah yang tersedia berlimpah-limpah dan sebagian besar materi yang diperlukan denagn mudah tersedia bagi semua.

(51)

bangsawan. Adapun di lapisan bawah terdapat kelompok terbesar yang merupakan masyarakat biasa, yang memproduksi pertambahan itu, dimana kelas-kelas yang diistimewakan bergantung untuk memperoleh kemudahan dan kesenangan hidup. Uang, yang pada saat itu dalam bentuk kulit kerang, dan ternak merupakan jenis-jenis baru dari berbagai aset nyata yang memudahkan penimbunan harta kekayaan dan perpindahannya dari generasi ke generasi berikutnya.

(52)

gabungan pendapatan antara keduanya bisa mendekati dua pertiga dari jumlah keseluruhan (Lenski, 1966). Para petani, yang membentuk kelompok terbesar dari jumlah penduduk, hidup hampir mendekati tingkat yang cukup untuk menyambung hidup. Mereka juga menjadi sasaran dari kerja rodi atau kerja paksa. Di berbagai daerah tertentu, para petani dibatasi tanah oleh hukum dan adat kebiasaan. Para bangsawan feodal mengikat mereka dalam batasan-batasan yang menyeluruh, dalam sejarah ekonomi keadaan ini dikenal dengan perbudakan.

Keadaan ekonomi kaum miskin yang menyedihkan didalam masyarakat agraria menimbulkan berbagai protes dari para pembaharu sosial pada saat itu (Heilbroner, 1975:32). Ajaran agama-agama samawi seperti Yahudi, Nasrani dan Islam menyediakan dasar kritikan moral yang tegas terhadap keberadaan tatanan perekonomian. Pengaruh kemanusiaan yang kuat dari agama bervariasi dari abad ke abad dan dari daerah ke daerah. Implementasi pelaksanaan ajaran-ajaran Islam di jazirah Arab dan di antara wilayahnya pada periode Islam pertama, yang termasuk di dalamnya pengenalan sistem jaminan sosial Islam, telah menghasilkan perubahan yang menyolok terhadap nasib kaum miskin. Masyarakat Muslim memelihara bias egalitarian yang tegas untuk beberapa waktu tertentu (Taleqani, 1983:76-77), tetapi kemudian sehubungan dengan pengabaian ajaran Islam yang dilakukan oleh kedua kelompok baik penguasa maupun yang dikuasai, maka tanggungjawab pertama terhadap perbaikan penderitaan kaum miskin sangat berkurang dan sistem jaminan sosial yang diatur oleh negara menjadi tidak bermanfaat (Ahmad, 1998:68).

(53)

mereka dari genggaman perbudakan. Para ahli sejarah mencatat ribuan pemberontakan petani pada periode ini di negara-negara Eropa dan daerah lainnya dimana mereka mendapat perlakuan penindasan yang kejam (Braudel, 1982:251-255).

Pada mulanya Revolusi Industri yang terjadi di negara-negara Eropa diiringi dengan keyakinan yang besar terhadap sifat baik perekonomian pasar bebas sebagaimana yang dicontohkan dalam filosofi laisses-faire. Inti dari filosofi ini adalah bahwa peranan kekuatan bersaing yang bebas dalam komoditi dan komponen pasar, tidak dirintangi oleh pengaruh hak masyarakat untuk bertindak, merupakan resep yang terbaik untuk kemajuan ekonomi. Pertumbuhan pasar kapitalis yang bersaing dalam fase-fase pertamanya ditandai oleh penderitaan masyarakat yang dahsyat. Nasib orang-orang tidak bekerja bahkan lebih buruk lagi. Dominasi laisses-faire meningkatkan sikap acuh tak acuh yang tidak berperasaan terhadap keadaan kaum miskin yang menyedihkan (Samuelson dan Nordhaus, 1985:49). Para ahli ekonomi terkemuka masa itu memperlakukan buruh dalam pandangan mereka sebagai bentuk komoditi lain yang harganya (upahnya) ditentukan oleh peranan kekuatan pasar yang bebas terhadap persediaan dan permintaan. Sikap umum terhadap kemiskinan pada masa-masa itu digambarkan dalam kata-kata sebagai berikut:

…kaum miskin dipandang sebagai obyek yang memalukan atau hina,

bergantung pada kemanusiaan si pengamal, tetapi tidak pernah dipandang

sebagai subyek peningkatan ekonomi melalui tindakan sosial. Beberapa orang

memandang kaum miskinsebagai penderita yang tak disengaja dan dikarenakan

(54)

mempermasalahkan diri mereka sendiri terhadap tingkat kehidupan mereka yang

rendah…Malthus (seorang ahli ekonomi terkemuka) bahkan mengusulkan

penghapusan bentuk keringanan kaum miskin yang terbatas (yang muncul pada

masa itu) dan menganjurkan agar kepala keluarga dididik…bahwasanya ia tidak

mempunyai hak untuk menuntut porsi makanan terkecil dari masyarakat, kecuali

untuk membayarkan usaha (kerja)nya secara adil. Sementara Malthus

berkeinginan untuk menghentikan keringanan kaum miskin sehingga bisa

menghapuskan jalan menuju kelaparan dan dengan demikian mengesahkan cara

berpikirnya bahwa kaum miskin tak berguna, maka ahli lainnya melihat

kemiskinan sebagai pemacu efisiensi buruh dan rangsangan untuk konformitas

sosial…Sikap negatif yang sama diimpor oleh negara Amerika Serikat dimana

para pengamat memandang kemiskinan sebagai hasil dari perbuatan jahat atau

kemalangan individu, dan tidak pernah dipandang sebagai penderitaan ekonomi

yang tersebar luas yang dihasilkan dari pelaksanaan sistem sosio-ekonomi itu

sendiri sehingga diperlukan tindakan-tindakan sosial untuk menanggulanginya

(Perlman, 1976:4-5).

(55)

Abad ke 20 menampilkan batasan yang besar dalam sejarah manusia sehingga masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan merupakan permasalahan terpenting yang menjadi perhatian di seluruh dunia. Abad ke 19 menjadi saksi ketidakpuasan pertumbuhan akibat kebijakan laisseez-faire gagal memberikan pemecahan yang efektif terhadap masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Filosofi laisseez-faire hampir ditinggalkan secara menyeluruh di seluruh dunia selama abad 20. dan memberikan jalan pada dua pendekatan besar terhadap pembuatan kebijakan perekonomian yang digambarkan sebagai ‘sosialisme’ dan ‘kapitalisme yang dikelola’ dalam literatur ekonomi terakhir. Meski kedua pendekatan ini memiliki perbedaan yang substantif akan tetapi keduanya mewakili usaha perbaikan sosial melalui intervensi negara yang aktif (Ahmad, 1998:71).

(56)

oleh sosialisme dimana seluruh alat-alat produksi dinasionalisasikan, seluruh pendapatan pribadi kecuali upah dihapuskan, dan para pekerja akan menerima upah dengan nilai yang penuh terhadap apa yang mereka produksi sedikit dari apa saja yang dicadangkan untuk simpanan masyarakat. Produksi dan distribusi barang-barang dan jasa akan dilaksanakan dengan cara yang direncanakan oleh badan-badan pemerintah. Menurut Marx, sosialisme, akhirnya akan memberikan jalan bagi komunisme dimana negara akan mengarah dan individu akan berperan dalam kehidupan umum, membangkitkan pendapatan masyarakat menurut kebutuhan daripada menurut kemampuan individu untuk memproduksi (Marx dan Engels, 1937).

Pandangan Marx terhadap pendirian sebuah masyarakat sosialis melalui penggulingan tatanan kapitalis secara revolusioner oleh kaum buruh tidak didukung oleh semua pemikir sosialis. Sebagai contoh, sosialis Fabian mempercayai bahwa sebuah masyarakat sosialis dapat dihidupkan melalui kemauan demokrasi dari masyarakat yang tidak puas terhadap cara kerja sistem kepitalisme (Shaw, 1908).

(57)

bahwasanya perekonomian pasar yang bersaing telah terpasang dengan mekanisme yang memperbaiki sendiri sehingga dapat menghindari periode ledakan dan kemerosotan ekonomi yang berkepanjangan. Masa Depresi Berat di tahun 1930-an menghadapi pukulan terakhir terhadap keyakinan tersebut dan mengancam kelangsungan hidup kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi. Makro-ekonomi Keynes, yang mengganti peranan positif kebijakan moneter dan fiskal pemerintah sebagai pengganti leisse-faire, merupakan salah satu penyelamat kapitalisme. Para ahli ekonomi mengidentifikasikan sejumlah kasus lainnya, yang dijabarkan sendiri, tidak bisa beroperasi sebaik-baiknya untuk menghasilkan keuntungan sosial. Peranan yang tepat bagi pemerintah untuk menghadapi kegagalan-kegagalan tersebut juga menjadi bagian dari pemikiran ekonomi baru. Pengetahuan juga digunakan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang berupa kemiskinan yang terus menerus dan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang nmenyolok serta perhatian yang meningkat diperlihatkan untuk mencari jalan dan cara yang lebih adil dalam membagi keuntungan pembangunan dibawah rezim kapitalisme yang dikelola.

(58)

secara aktif untuk mengurangi ketidak adilan pendapatan dan kekayaan, serta program-progarm kesejahteraan umum dan jaminan sosial yang memadai. Bias redistribusi yang ditekankan dalam kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut dan kecemasan yang jelas terhadap kaum miskin menjadikan mereka memperoleh julukan ‘negara-negara persemakmuran’.

Negara-negara yang sedang berkembang atau dunia ke tiga yang mempunyai penduduk miskin terbesar di dunia, juga mengikuti sejumlah strategiyang beragam untuk mngurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. ‘ Kapitalisme yang dikelola’ menjadi kerangka kerja untuk perilaku kebijakan ekonomi di kebanyakan negra-negara ini. Secara umum dapat dikatakan, negara-negara Dunia Ketiga yang mengikuti model ‘kapitalisme yang dikelola’ tidak memiliki sistem jaminan sosial sebagaimana ditemui di negara-negara maju. Beberapa negara di Dunia Ketiga tidak mempunyai sistem jaminan sosial yang baik, sementara negara-negara lainnya mempunyai sistem jaminan sosial yang memberi batasan-batasan keuntungan tertentu terhadap kelompok-kelompok penduduk tertentu. Beberapa negara sedang berkembang memilih untuk mengikuti model pembangunan sosialis.

(59)

sosial yang berkembang baik semuanya merupakan negara-negara berkembang yang berpendapatan tinggi. Tidak ada negara-negara kapitalis yang berpendapatan rendah dan menengah yang mempunyai sistem jaminan sosial yang baik. Juga penting untuk dicatat bahwa bahkan diantara negara-negara yang dianggap kapitalis dan negara-negara yang dianggap sosialis pun, terdapat perbedaan besar dalam jenis-jenis kebijakan ekonomi dan pola pemerataan pendapatan.

2.2. Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Sosialis

(60)

untuk membentuk langkah dan arah perubahan ekonomi. Dorongan kebijakan-kebijakan telah berhasil membuat Uni Soviet sebagai salah satu dari dua kekuatan terbesar di dunia dan menjadi negara yang sangat industrialisasi. Dengan menggunakan perencanaan yang komprehemsif memungkinkan negara menyediakan tingkat pekerjaan yang tinggi dan jaminan pendapatan pada masyarakatnya. Sistem jaminan sosial menjamin pendidikan yang gratis, pelayanan medis yang gratis, dan tunjangan pensiun bagi penduduk usia lanjut. Informasi mengenai perubahan pemerataan pendapatan di Uni Soviet agak sedikit. Sebagaimana diharapkan oleh negara yang sepenuhnya sosialis, maka penghapusan pendapatan dari para pemilik yang banyak harta kekayaannya menghasilkan penurunan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang berarti. Akan tetapi masih banyak perbedaan-perbedaan yang muncul diantara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah. Menurut seorang analis, kesenjangan antara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah di Uni Soviet pada tahun 1971 adalah satu berbanding tiga setengah (1:3,5), dan hampir satu pertiga dari keluarga-keluarga mempunyai pendapatan dibawah garis kemiskinan (Grutchy, 1977:523).

(61)

memperkenalkan prinsip-prinsip perdagangan/pemasaran tertentu dalam kerangka kerja sosialis secra menyeluruh. Yugoslavia juga membuat sebuah permulaan yang penting dari sebuah sistem terpusat (sentraisasi) di tahun 1950-an dengan memperkenalkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan secara kolektif oleh para pekerja (Elliott, 1985:408-429). Meski data-data mengenai perubahan-perubahan pola pemerataan pendapatan sedikit, informasi-informasi terbatas yang tersedia menunjukkan bahwa bagian kelompok miskin yang berjumlah 20 persen dari penduduk di negara-negara ini berkisar antara 6,6 sampai 11,2 persen sementara itu bagian kelompok kaya yang berjumlah 20 persen dari penduduk berkisar antara 34,3 sampai 40,7 persen. Juga telah dilaporkan bahwa dorongan kebijakan-kebijakan di negara-negara ini telah membantu menurunkan dan dalam perkara tertentu menghapuskan bentuk-bentuk yang buruk dari kemiskinan dan degradasi (Griffin, 1989:218-219).

(62)

organisasi ekonomi yang bervariasi, dengan beberapa perusahaan negara desewakan kepada perorangan atau kelompok. Kebijakan yang lebih aktif didorong untuk menarik investor luar negeri untuk melakukan joint venture atau investasi yang eksklusif ke dalam perusahaan yang diperlukan untuk modernisasi ekonomi. Sebagai hasil dari penekanan pembatasan upah dan perbedaan gaji, maka pemerataan pendapatan di Cina lebih adil daripada di kebanyakan negara-negara sosialis lainnya. Meskipun negara-negara ini tetap memiliki pendapatan perkapita yang rendah, akan tetapi kebijakan pemerataannya berusaha untuk menjamin kecukupan jumlah bahan makanan dan pelayanan sosial yang banyak ragam (Grutchy, 1977:628).

Filosofi sosialis telah mempengaruhi pengambilan keputusan ekonomi di sejumlah negara sedang berkembang. Meskipun, hanya sedikit diantara mereka yang memiliki sifat tatanan ekonomi sosialis yang pokok. Menurut seorang analis, hanya enam negara di Dunia Ketiga yang bisa diklasifikasikan sebagai sosialis ‘yang tak dapat dibantah lagi’. Negara-negara ini adalah Cina, Kuba, Kamboja, Mongolia, Korea Utara dan Vietnam. Fakta yang ada membuktikan bahwa, dibandingkan dengan negara sedang berkembang lainnya, maka negara-negara yang disebutkan tadi tercatat menampilkan prestasi yang lebih baik, berkaitan dengan pengurangan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan (Griffin, 1989:194-225).

(63)

Tingkat pertumbuhan yang menurun, memperlambat langkah perubahan teknologi, birokrasi yang tidak efisien dalam cara kerja negara yang mengandalkan industri, dan ketidakpuasan konsumen terhadap persediaan barang-barang yang digunakan sehari-hari yang sedikit dan tidak tentu merupakan bidang perhatian terbesar. Walaupun beraneka ragam permasalahan individu di berbagai negara berbeda-beda, akan tetapi sesuatu telah muncul dalam pola pembaharuan ekonomi yang umum. Hal ini terdiri dari pergerakan yang menjauh dari pepengawasan ekonomi terpimpin yang sangat ketat menuju ekonomi yang berorientasi pasar desentralisasi yang meningkatkan hasil perusahaan dan manajemen pabrik, pemakaian yang lebih efektif terhadap insentif individu, dan perhatian yang lebih besar pada kesejahteraan konsumen. Pada saat yang sama, dikebanyakan negara-negarasosialis, masyarakat memperlihatkan ketidakpuasan terhadap sifat sistem polotik mereka yang otoriter yang telah mengingkari hak dan kebebasan polotik mereka sebagaimana ditemui dalam masyarakat yang pluralistik demokrasi. Hal ini diketahui merupakan ekspresi yang paling konkrit pada pergolakan polotik yang dapat disaksikan di beberapa negara Eropa Timur selama tahun 1989 terakhir dan awal tahun 1991. Perekonomian negara-negara ini sedang dalam keadaaan yang terus berubah dan jalannya peristiwa yang dipakai di masa depan masih belum ada kepastian.

2.3.Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Kapitalis

(64)

ketika Bismarck Jerman mensponsori asuransi kesehatan dan asuransi lanjut usia, sebagai reaksi defensif terhadap perkembangan pemikiran sosialis. Perintis lain dari negara persemakmuran yang modern adalah program kesejahteraan sosial yang dicanangkan Pemerintahan Liberal Di Kerajaan Inggris, berkembang di tahun 1908, program ini memuat asuransi sosial untuk kesehatan dan pengangguran, pensiunan, dan tunjangan bagi pekerja yang berpendapatan rendah melalui ketetapan undang-undang upah minimum (Schnitzer, 1987:153-154). Pengangguran yang berskala besar selama masa depresi berat di tahun 1930-an, memacu kebangkitan negara persemakmuran di negara-negara Barat. Setelah tahun 1929 Partai Demokrasi Sosial menjadi unsur terbesar dalam sistem politik di sejumlah negara Skandinavia, dan di bawah pengaruh dan bimbingan mereka, kebijakan ekonomi dinegara-negara ini menekankan orientasi pada kesejahteraan. Corak politik dari partai yang berkuasa di negara-negara maju kapitalis lainnya menjadi faktor terpenting dalam mengatur langkah kebijakan kesejahteraan sosial dalam periode waktu yang berbeda. Meskipun demikian, seluruh negara kapitalis yang berpendapatan tinggi telah mengembangkan dengan baik sistem jaminan sosial yang memberikan perlindungan dari ketidakkokohan sistem kapitalisme.

(65)

secara resmi ditemukan sekitar 13 persen dari penduduk berada dibawah garis kemiskinan. Berdasarkan studi penelitian yang baik mengenai profil kemiskinan di empat negara maju, sekitar 10 persen dari penduduk di negara-negara ini yang berada dibawah garis kemiskinan pada tahun 1973.

(66)

persen rata-rata berbagi 5,5 persen dari jumlah keseluruhan pendapatan negara (Kakwani, 1980:397-398).

Massa terbesar dari masyarakat yang dilanda kemiskinan hidup dalam yang dikenal dengan sebutan Dunia Ketiga. Kolonialisme adalah faktor terpenting yang mempertahankan masyarakat miskin di negara-negara Dunia Ketiga berada di bawah dominasi luar negeri. Setelah memperoleh kemerdekaan, negara-negara yang sedang

berkembang mengalami konfrontasi dengan ‘revolusi harapan yang memuncak’ sehingga mereka menggunakan usaha yang berani untuk mengatasi kemunduran ekonomi dan kemiskinan untuk memenuhi harapan-harapan itu. Beberapa negara ini mengikuti model pembangunan sosialis sementara negara lainnya mengkuti jalan kapitalisme yang dikelola. Pengalaman pembangunan negara-negara sosialis telah diceritakan sebelumnya. Pembangnan ekonomi dalam kerangka kerja kepitalis telah memberikan hasil yang beragam. Beberapa negara-negara yang sedang berkembang mencapai keberhasilan yang berarti dalam menurunkan angka dan proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan dalam memperbaiki pola pemerataan pendapatan. Jenis pembangunan yang dijalankan oleh sejumlah besar negara, bagaimanapun, belum memberikan pengaruh yang kuat terhadap kemiskinan dan malah kenyataannya menghasilkan pemerataan pendapatan yang buruk (Griffin dan Khan, 1978).

(67)

Gambar

Gambar 1.1.Efisiensi Produksi dan Konsumsi
Gambar 1.2.Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial

Referensi

Dokumen terkait

Motivasi siswa putri SMP Negeri 1 Cerme dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bolavoli yang tergolong sangat tinggi adalah agar badan kuat, agar kemampuan

Penelitian yang dilakukan pada burung Familia Columbidae untuk membedakan jenis kelamin yaitu dengan mendesain primer baru OPAV 17F dan 17R berasal dari seleksi beberapa jenis

Tentu akibat dari tidak terpenuhinya prestasi yang telah diperjanjikan antara developer residence dan pembeli perumahan tersebut mengakibatkan kerugian materiil

SP2TP adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan data umum, sarana, tenaga dan upaya pelayanan kesehatan di Puskesmas yang bertujuan agar didapatnya semua data hasil kegiatan Puskesmas

Peni tidak ada kesenjangan antara teori dan kasus dalam menegakkan diagnosis kebidanan kerana sudah mencakup paritas, usia kehamilan, dalam minggu, keadaan

Devi Indah Haryani : The Correlation between The Students‟ Response of The Application of The Total Physical Response (TPR) and The Students‟ Achievement in

Značajnost razlike u trajanju studija testiramo Kruskal-Wallis testom koji je dao negativan odgovor- razlika u duljini trajanja preddiplomskog studija između

Telah dilakukan studi eksperimental flapping wing sebagai mekanisme passive-variable pitch pada turbin 3 straight-blade tipe Darrieus untuk sudut pitch 10˚ dan