• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Tinjauan Teoritis Untuk Pendekatan Masalah

2.2.4 Kelembagaan Kakao

Bertemunya penawaran dan permintaan kakao biji asal Sulteng melalui proses distribusi difasilitasi oleh berbagai lembaga tataniaga di berbagai tingkatan. Dalam penelitian ini, istilah lembaga digunakan secara bergantian dalam merujuk pada istilah fisik seperti lembaga pemasaran, dan merujuk pada lembaga sebagai aturan main. Karena sebenarnya lembaga bukan organisasi. North (1999: 4 – 5) mengemukakan bahwa lembaga adalah aturan, dan organisasi adalah player (aktor). Kaseper dan Streit (1998: 258) mendefinisikan organisasi sebagai penataan yang direncanakan untuk mengumpulkan sumberdaya produktif dalam rangka pengejaran tujuan.

North (1999: 3) mendefinisikan lembaga sebagai aturan main dalam suatu masyarakat, atau lebih formal merupakan kendala-kendala yang direncanakan secara manusiawi dalam menyusun interaksi sosial, ekonomi, dan politik. Aturan ini, menurut (Lin, 2002: 187) berperan sebagai guides dalam arus dan transaksi barang (material dan simbolik) di antara aktor, termasuk individu dan organisasi. Ketika organisasi dan individu tunduk terhadap suatu kumpulan lembaga seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa mereka berada dalam suatu bidang kelembagaan. Dalam suatu bidang kelembagaan, aktor (termasuk individu, jaringan kerja, dan organisasi) mengakui, mendemonstrasikan, dan menyumbangkan kebiasaan-kebiasaan dan perilaku,

serta menyumbang kendala dan insentif sebagaimana yang didiktekan oleh lembaga-lembaga sosial.

Definisi lembaga yang dikemukakan oleh North (1999: 3), tampaknya mengikuti aliran functionalisme dan conflict perspectives, yaitu dua dari tiga perspektif teoritis yang paling penting akhir-akhir ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Giddens (2001: 17), kedua aliran ini menempatkan penekanan pada struktur yang menyokong masyarakat dan mempengaruhi perilaku manusia. Jadi, struktur (lembaga) yang mengatur interaksi. Kedua aliran ini bertentangan dengan teori-teori tindakan sosial, yang menekankan pada kepentingan interaksi dalam menciptakan struktur (lembaga).

Dalam penelitian ini, berdasarkan realitas pemahaman masyarakat luas atas istilah lembaga, penulis mengadopsi pandangan Malinowski tentang lembaga. Malinowski dalam membicarakan lembaga-lembaga sebagai bagian resmi dari analisis kebudayaan, memperluas penggunaan istilah ini, dan menempatkannya dalam kerangka aktivitas purposif yang terorganisir yang ditafsirkan sebagai perkumpulan-perkumpulan (Rex, 1985: 77). Meskipun tidak semua perkumpulan dapat dikatakan organisasi, karena sebagaimana dikemukakan oleh Gibson, Ivancevich dan Donnely (1994: 702) bahwa organisasi memiliki dan mengejar tujuan, tetapi perkumpulan-perkumpulan yang dimaksudkan oleh Malinowski adalah organisasi. Ini jelas dari pengertian kalimat kerangka aktivitas purposive yang terorganisir. Jadi, dalam penelitian ini, peneliti membedakan lembaga dan kelembagaan. Kelembagaan dalam penelitian ini adalah organisasi dan lembaganya (aturan mainnya).

Oleh karena organisasi memiliki karakteristik, yaitu perilaku, struktur dan proses (Gibson, Ivancevich dan Donnely (1994: 702), maka secara

common sense, suatu organisasi semestinya memiliki batas yurisdisi dan

property right. Konsekuensi dari hal ini, suatu kelembagaan juga semestinya memiliki kedua hal tersebut. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Shaffer and Schmid dalam Pakpahan (1989: 8) bahwa suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga hal utama, yaitu batas yurisdiksi, property rights, dan aturan

representasi (aturan main). Selanjutnya, perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut (Pakpahan, 1989: 8).

Lembaga sebagai aturan main beroperasi pada tingkat lingkungan kelembagaan. Definisi lain yang lebih mikroanalitik, yaitu tingkat di mana ilmu ekonomi kelembagaan bekerja adalah tingkat lembaga pedagang pengumpul. Perbedaan antara lingkungan kelembagaan dan lembaga pedagang pengumpul adalah pertama bahwa lingkungan kelembagaan membatasi lingkungan lembaga pedagang pengumpul. Kedua, tingkat analisis sangat berbeda. Lembaga pedagang pengumpul beroperasi pada tingkat transaksi individual, sementara lingkungan kelembagaan lebih memperhatikan tingkat komposit dari aktivitas. Ketiga, keduanya beroperasi secara berbeda dengan respek terhadap intensionalitas (Williamson, 1996: 4 – 5).

Dalam penelitian ini, kelembagaan yang dipertimbangkan adalah lingkungan kelembagaan dengan reference variabel adalah infrastruktur kelembagaan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa menurut Norton (2004: 470), infrastruktur kelembagaan merujuk pada lemahnya penelitian dan pengembangan pertanian (sistem agribisnis), sistem keuangan perdesaan yang belum berkembang, aturan main yang belum memadai dalam mendefinisikan property rights, dan memecahkan konflik atas hak-hak tersebut, penyelenggaraan kontrak yang masih lemah, dan lain-lain. Ini berarti bahwa infrastruktur kelembagaan yang dikaji dalam strategi pengembangan perdagangan kakao melibatkan bukan saja lembaga pedagang pengumpul, tetapi juga semua stakeholders yang terkait dalam aktivitas perkakaoan, termasuk ASKINDO dan APIKCI. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Marangos (2002: 267) bahwa proses pengembangan kelembagaan tidak hanya bersandar pada pedagang pengumpul, tetapi juga aktor eksternal untuk proses keseluruhan.

Kelembagaan menjadi penting dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan nilai tambah perdagangn kakao. Pertimbangan ini terkait dengan 4 faktor penggerak pembangunan pertanian sebagaimana dikemukakan oleh

Johnson (1985) dalam Pakpahan (1989: 1), yaitu sumberdaya alam (SDA), sumberdaya manusia (SDM), teknologi, dan kelembagaan. Keempat faktor tersebut merupakan syarat kecukupan untuk mencapai kinerja pembangunan yang dikehendaki.

Tiga faktor dari empat faktor penggerak pembangunan pertanian, yaitu SDA, SDM, dan teknologi, meminjam istilah Alkadri, Muchdie dan Suhandojo (1999) merupakan pilar-pilar pengembangan wilayah. Dalam jangka pendek, ketiga faktor tersebut tidak berubah, maka kelembagaan memegang peranan penting dalam menggerakkan pembangunan pertanian. Ini bukan berarti bahwa kelembagaan hanya penting dalam jangka pendek, karena sebenarnya, kelembagaan justru sangat penting dalam jangka panjang. Ini diilustrasikan oleh North (1999: 7) bahwa lembaga bersama-sama kendala teori ekonomi standar menentukan oportunitas dalam suatu masyarakat. Organisasi diciptakan untuk mengambil oportunitas tersebut, dan oleh karena organisasi berkembang, maka mereka mengubah lembaga.

Dasar logika pentingnya kelembagaan dalam jangka panjang, sebenarnya didasari oleh teori-teori tindakan sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Giddens (2002: 17 – 18), teori-teori ini memberikan perhatian yang lebih besar terhadap tindakan dan interaksi anggota masyarakat dalam membentuk struktur yang menyokong masyarakat dan mempengaruhi perilaku manusia. Jadi, struktur diciptakan melalui tindakan manusia. Pandangan ini dikembangkan paling sismatis dalam symbolic interactionism, yaitu suatu aliran pemikiran yang menjadi terkemuka secara khusus di AS. Aliran pemikiran ini mengarahkan perhatian manusia ke rincian interaksi antar-individu, dan bagaimana rincian tersebut digunakan dalam menciptakan pengertian apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain. Para sosiolog yang dipengaruhi oleh aliran ini sering memfokuskan pada interaksi face-to-face

dalam konteks kehidupan sehari-hari. Para sosiolog tersebut menekankan interaksi seperti ini dalam menciptakan masyarakat dan lembaga-lembaganya.

Sehubungan dengan proses distribusi kakao biji dari petani pemasok sampai ke eksportir di pusat Kota Palu, kelembagaan menjadi penting dalam mengimbangi keterbatasan-keterbatasan petani pemasok dalam menghadapi pedagang pengumpul. Meskipun menurut teori ekonomi standar bahwa pelaku ekonomi (termasuk petani) bertindak rasional. Sebenarnya, analog dengan apa yang dikemukakan oleh Saussier (2000: 378) bahwa agen ekonomi (termasuk petani kakao) mampu memprakirakan semua kemungkinan-kemungkinan yang bisa mempengaruhi kontrak (kesepakatan harga kakao biji), tetapi ini tidak dilakukan oleh petani, karena keterbatasan informasi (informasi asimetri). Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Frank (2003: 202), informasi asimetri terjadi di mana pedagang pengumpul mengetahui lebih banyak dibandingkan dengan petani tentang perkembangan harga, dan kriteria mutu kakao biji yang diminta oleh pasar dunia.

Informasi asimetri menyebabkan rasionalitas petani terbatas (bounded rationality), sehingga petani bertindak seakan-akan tidak rasional. Simon 1961: xxiv) dalam Williamson (1996: 6) mendefinisikan bounded rationality sebagai perilaku yang mendekati rasional (intendedly rational), tetapi hanya sangat terbatas.

Secara common sense, bounded rationality menyebabkan petani merasa menghadapi ketidak-pastian (uncertainty). Hirshleifer dan Riley (1993: 2 – 3) mengemukakan ada dua jenis ketidak-pastian, yaitu ketidak-pastian pasar (endogenous) dan ketidak-pastian kejadian (exogenous). Sebenarnya, ketidakpasatian pasar muncul karena pasar tidak sempurna. Petani kakao yang

bounded rationalitiy selalu menghadapi kedua ketidak-pastian tersebut. Ketidak-pastian kejadian dalam usahatani kakao dalam penelitian ini didefinisikan sebagai serangan hama dan penyakit kakao.

Kedua ketidak-pastian yang dikemukakan di atas memiliki konsekuensi risiko. Dalam menghadapi risiko ketidakpastian tersebut, sejalan dengan Hirshleifer dan Riley (1993: 25), sikap petani kakao dapat dimasukkan ke dalam tiga kategori, yaitu (i) risk-averter, yaitu perilaku menghindari risiko;

(ii) risk-preferer, yaitu perilaku berani mengambil risiko; dan (iii) risk neutral,

yaitu perilaku indiferens di antara kejadian-kejadian yang pasti dan tidak pasti. Petani memiliki kepekaan dalam menghadapi resiko, sehingga mencoba menghindari resiko sejauh mungkin (risk averter), atau setidak-tidaknya bersikap mengamankan resiko lebih dahulu (safety first) (Anwar dan Siregar, 1993: 9). Perilaku menghindari risiko (risk-averter) dalam menghadapi situasi ketidakpastian (yang disebabkan oleh informasi asimetri) bisa mendorong petani bekerjasama dengan pedagang dalam kelembagaan pemasaran hasil usahataninya (kakao biji). Dalam kelembagaan tersebut, petani bisa meminjam uang kepada pedagang, meskipun terjadi kegagalan panen kakao. Ini sejalan dengan Takane (2000: 375) bahwa pada saat pasar tidak sempurna, maka produksi dan pertukaran bisa terkendala oleh berbagai biaya transaksi. Dalam keadaan seperti ini, kelembagaan bisa berperan sebagai pelengkap pasar yang tidak sempurna dengan aturan-aturan representasi dalam memfasilitasi produksi dan pertukaran.

Meskipun petani dalam keadaan bounded rationality, namun kelembagaan yang dipilih dalam rangka menghindari resiko adalah kelembagaan yang meminimumkan biaya transaksi.. Adapun pilihan kelembagaan tataniaga oleh petani kakao dapat dipelajari dengan mengembangkan model ekonometrik fungsi logit, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya dalam persamaan (MT.41) – (MT.43). Hobbs (1977) telah memanfaatkan model logit dalam mengukur kepentingan biaya transaksi dalam tataniaga sapi.

2.2.5 Game Theory untuk Kelembagaan Pemasaran Kakao, Prinsipel-