• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan ekonomi umumnya dipakai untuk mengukur pembangunan ekonomi suatu wilayah. Adapun istilah pembangunan umumnya dikonotasikan dengan istilah pengembangan. Dalam penelitian ini, istilah pengembangan dibedakan dengan istilah pembangunan. Karena pengembangan, sejalan dengan Rustiadi et al. (2004: VII – 1) ialah melakukan sesuatu yang sudah ada sebelumnya (bukan mulai dari “nol”), tetapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan. Jadi, sebagaimana dikemukakan oleh Zen (1999: 3 – 4) bahwa pengembangan harus diartikan sebagai keinginan untuk memperoleh perbaikan, serta kemampuan dalam merealisasikannya. Tampak bahwa masalah dasarnya adalah motivasi, sehingga pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan daripada kekayaan. Dengan demikian,

pengembangan wilayah ialah usaha mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan, yang kesemuanya disebut memberdayakan masyarakat. Ini berarti bahwa pengembangan wilayah, sejalan dengan Nelson (1993: 27), merujuk pada perubahan dalam produktivitas wilayah yang diukur dengan penduduk, kesempatan kerja, pendapatan dan nilai tambah manufaktur. Pengembangan wilayah juga berarti pembangunan sosial, seperti kualitas kesehatan dan kesejahteraan publik, kualitas lingkungan, dan kreativitas.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara sederhana indikator berkembangnya suatu wilayah dalam aspek ekonomi adalah produktivitas wilayah. Di wilayah-wilayah dengan sektor basis adalah sektor pertanian, maka secara teoritis, lahan merupakan faktor produksi utama. Oleh karena itu, secara common sense produktivitas relatif suatu wilayah diukur dengan perbandingan antara share ekonomi wilayah tersebut terhadap total ekonomi nasional, dengan share luas wilayah tersebut terhadap luas wilayah nusantara. Ini dapat diformulasikan sebagai berikut :

) 203 . .( ... ... ... ... ... ,... MT L L Y Y PRW N i N i i =

Untuk mana PRWi adalah produktivitas relatif wilayah i; Yi adalah total aktivitas ekonomi di wilayah i; YN adalah total aktivitas ekonomi nasional; Li adalah luas daratan wilayah i; dan LN

adalah luas daratan nusantara.

Nilai harapan PRWi adalah satu, bila PRWi ≥1, maka wilayah tersebut memiliki tingkat produktivitas relatif yang tinggi, dan bila PRWi < 1, maka tingkat produktivitas relatif wilayah tersebut adalah rendah. Persamaan tersebut telah dimanfaatkan oleh Yantu (1997b:16) dalam menggambarkan kinerja ekonomi Sulawesi Utara. Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki produktivitas yang rendah, karena PWi

Pengertian-pengertian pengembangan yang dikemukakan di atas sejalan dengan pengertian pengembangan wilayah menurut versi BAPPENAS (Riyadi, 2000: 20). Pengembangan wilayah ialah pendekatan pengembangan yang

< 1, (0,80/1,41). Sebenarnya, konsep produktivitas tersebut merupakan konsep yang parsial, karena didasarkan atas input faktor lahan.

berbeda dengan pengembangan/pembangunan sektoral, karena pertama pendekatan ini berorientasi pada isu pokok wilayah secara saling terkait. Kedua, pendekatan ini dapat pula menekankan pada konotasi kerjasama/koordinasi antar yurisdiksi administratif yang berlangsung pada tingkat supra kabupaten, antar-propinsi maupun negara. Kerjasama ini merupakan kerjasama ekonomi dan upaya mengurangi dampak eksternalitas.

Sejalan dengan pengertian-pengertian pengembangan wilayah di atas, BAPPENAS (Haeruman JS, 2000: xi) menetapkan tiga indikator keberhasilan pengembangan wilayah yang dapat dilihat sebagai kesuksesan pembangunan wilayah. Pertama, produktivitas yang dapat diukur dari perkembangan kinerja suatu institusi beserta aparatnya. Kedua, efisiensi yang terkait dengan meningkatnya kemampuan teknologi/sistem dan kualitas sumberdaya manusia dalam pelaksanaan pembangunan. Ketiga, partisipasi masyarakat yang dapat menjamin kesinambungan pelaksanaan suatu program di suatu wilayah.

Ada tiga model pengembangan wilayah dalam jangka panjang. Pertama, model growth pole di mana pengembangan didasarkan pada (i) produksi untuk pertukaran ekonomi; (ii) pengembangan benefit melalui pengaruh reaksi dari investasi yang terkonsentrasi; dan (iii) keterkaitan berbasis ekspor dari titik tumbuh wilayah ke kota utama. Kedua, model integrasi fungsional di mana pengembangan didasarkan pada (i) produksi untuk pertukaran ekonomi; (ii) pengembangan benefit melalui keterkaitan intra-wilayah yang perkembangannya dibantu oleh investasi yang tersebar; dan (iii) berbagai macam keterkaitan fungsional dengan wilayah lain. Terakhir, model integrasi teritorial yang terdesentralisasi di mana pengembangan di dasarkan pada (i) produksi untuk kebutuhan domestik; (ii) pengembangan benefit melalui kemampuan sendiri dari sub-wilayah yang pengembangannya dibantu oleh investasi yang ditentukan secara lokal; dan (iii) tertutup secara selektif (Bendavid-Val, 1991: 11).

Di Indonesia ketiga model pengembangan wilayah jangka panjang di atas telah diterapkan sebagai model pendekatan pengembangan wilayah dalam

aspek penataan ruang. Bahkan Model desentralisasi makin menguat di Indonesia dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 juncto UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Wilayah, dan UU No. 25 Tahun 1999 juncto UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Wilayah. Selanjutnya, menurut Hadi dan Noviandi (1999: 8 – 9), konsep pusat pertumbuhan di Indonesia diimplementasikan dalam bentuk kawasan andalan. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) telah ditetapkan 111 kawasan andalan. Meskipun istilah kawasan andalan tidak sepenuhnya sama dengan konsep pusat pertumbuhan, namun penentuan kawasan andalan dimaksudkan sebagai kawasan yang dapat menggerakkan perekonomian wilayah belakangnya melalui pengembangan sektor-sektor unggulan. Selanjutnya, perencanaan kota di Indonesia banyak menganut konsep integrasi fungsional, namun integrasi yang dilakukan bukan berdasarkan pada potensi produksi tetapi lebih pada fungsi administratif pedagang pengumpul.

Selain Kawasan Andalan, Kawasan Pengembangan Ekonmi Terpadu juga merupakan program pengelolaan kawasan berorientasikan pada konsep pusat pertumbuhan. Di Sulteng terdapat Kapet Batui yang terletak di Kabupaten Banggai.

Beberapa program pengembangan wilayah dan ekonomi wilayah yang telah dikembangkan selama ini di Indonesia antara lain adalah (i) Program Pengembangan Wilayah Terpadu (PPWT), (ii) Program Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP); (iii) Program Pengembangan Kawasan Andalan (KADAL); (iv) Program Pengembangan Kawasan Tertinggal (KATING), Program Pengelolaan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (PPKAPET); (v) Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Wilayah (PPEMD), dan Poverty Alleviation Through Rural Urban Linkage (PARUL) (Haeruman JS, 2000: xiii).

Yantu et al. (2001) melaporkan studi kelayakan pengelolan pembangunan wilayah terpadu (PPWT) untuk kawasan pantai utara Kabupaten Gorontalo. Kawasan tersebut kini telah menjadi kabupaten tersendiri, yaitu

Kabupaten Gorontalo Utara. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kawasan tersebut layak dikelola dengan pendekatan PPWT. Kelayakan pendekatan tersebut didasarkan atas hasil analisis SWOT wilayah, di mana koefisien

Internal Factor Evaluation dan koefisien External Factor Evaluation, kedua-duanya lebih besar daripada 2, yaitu angka minimum suatu wilayah bisa merespon perubahan lingkungan baik eksternal maunpun internal.

Riyadi (2000: 21) mengemukakan bahwa telah terjadi pergeseran paradigma dan kecenderungan global tentang pengembangan wilayah. Adapun pergeseran-pergeseran tersebut adalah pertama, dari fungtional integration

menuju territorial integration. Konsep yang terakhir ini lebih cenderung menekankan ke arah pemberdayaan masyarakat lokal dengan pemanfaatan sumberdaya lokal. Kedua, dari regional develompment menuju local development. Menurut konsep local development bahwa pengembangan wilayah di masa mendatang seyogyanya merupakan suatu kerangka tindakan-tindakan bagi terbentuknya suatu pembangunan lokal. Ketiga, dari rural and urban dichotomy menuju rural urban linkages. Menurut konsep rural urban linkages bahwa pengembangan wilayah di masa mendatang seyogyanya melihat keterikatan antara desa dan kota sebagai suatu mata rantai pengembangan ekonomi wilayah yang saling mempengaruhi. Keempat, dari orientasi daratan menuju orientasi daratan dan kepulauan. Menurut konsep orientasi daratan dan kepulauan bahwa pengembangan wilayah di masa mendatang seyogyanya mempertimbangkan (i) akses dari simpul ke simpul; (ii) sumberdaya alam di laut yang bersifat dinamis; dan (iii) keterkaitan antara pemanfaatan sumberdaya alam dan kewenangan masyarakat lokal.

Berdasarkan pergeseran paradigma dan kecenderungan global, maka arah pengembangan wilayah adalah penciptaan spesialisasi. Dengan spesiaslisasi ini, setiap wilayah (wilayah) harus memiliki keunggulan daya saing yang spesifik. Untuk itu, aksesibiltas wilayah atas teknologi menjadi sangat penting. Pendekatan ini meminjam istilah yang dikemukakan oleh

(Hadi dan Noviandi, 1999: 19) adalah pendekatan pengembangan wilayah berbasis teknologi (technology-based regional development).

Dalam kaitan dengan penelitian ini, maka keunggulan komparatif kabupaten-kabupaten dalam komoditi kakao diharapkan menjadikan kabupaten-kabupaten tersebut memiliki keunggulan daya saing dalam komoditi tersebut. Dengan demikian arah pengembangan wilayah (kabupaten-kabupaten) tersebut adalah spesialisasi dalam nilai produksi kakao biji.