• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengembangan Wilayah

Spesialisasi dalam nilai produksi kakao biji sebagaimana dikemukakan di atas bukan berarti bahwa kabupaten-kabupaten dalam propinsi kaksus tidak lagi memperhatikan pengembangan komoditi lain, tetapi ini berarti bahwa komoditi kakao biji akan dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) perekonomian kabupaten. Untuk kepentingan tersebut diperlukan suatu strategi yang menjadi bagian dari strategi pengembangan wilayah kabupaten-kabupaten tersebut.

Strategi didefinisikan sebagai suatu pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan-keputusan, atau alokasi sumberdaya yang mendefinisikan apakah suatu organisasi, apa yang dikerjakan oleh organisasi tersebut, dan mengapa itu dilakukannya. Strategi dapat berubah-ubah menurut level, fungsi, dan kerangka waktu. Strategi dikembangkan untuk menghadapi isu yang teridentifikasikan (Bryson, 1995: 32, 40).

Dalam pengembangan wilayah, terdapat dua strategi utama, yaitu strategi sisi permintaan dan strategi sisi penawaran. Strategi sisi permintaan ialah strategi pengembangan wilayah melalui upaya peningkatan taraf hidup penduduk. Peningkatan taraf hidup penduduk ini pada gilirannya akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non-pertanian, dan selanjutnya akan meningkatkan perkembangan industri dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah yang bersangkutan. Di Indonesia, peningkatan taraf hidup penduduk dilakukan dengan transmigrasi. Kedua,

strategi sisi penawaran ialah strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan produksi yang berorientasi pasar luar. Tujuan penggunaan strategi ini ialah untuk meningkatkan pasokan komoditi yang secara umum diproses dari sumberdaya lokal (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju, 2004: VII – 29, VII – 30).

Strategi penawaran ialah strategi yang mempertahankan dan bahkan meningkatkan kinerja sektor basis sebagai prime mover perekonomian wilayah yang bersangkutan. Metode paling umum dalam menentukan sektor basis suatu perekonomian wilayah adalah location quotient. Sebagaimana dikemukakan oleh O’Sullivan (2000: 154) bahwa location quotient suatu sektor adalah rasio dari jumlah yang diproduksikan oleh suatu wilayah dengan jumlah yang dikonsumsikan oleh wilayah tersebut. Oleh karena, keterbatasan data, maka koefisien tersebut sulit didapatkan secara langsung. Untuk itu, dikembangkan suatu proxy dari koefisien tersebut yang diformulasikan sebagai berikut :

) 204 . ...( ... ... ... ... ,... MT KK KK KK KK LQ r sr i si si =

Untuk mana LQsi adalah koefisien location quotient sektor s di kabupaten i; KKsi adalah kesempatan kerja di sektor s kabupaten i; KKi adalah total kesempatan kerja di kabupaten i;

KKsr adalah kesempatan kerja di sektor s Sulteng; KKr

, 1

si

LQ

adalah total kesempatan kerja di Sulteng.

Persamaan (MT.204) sama dengan persamaan (MT.204). Oleh karena itu kriterianya juga sama dengan persamaan sebelumnya, di mana maka sektor s di kabupaten i merupakan sektor basis sebagai prime mover

perekonomian kabupaten tersebut, dan dengan demikian mampu mengekspor komoditi yang dihasilkannya. Jadi, makin besar nilai LQ melewati satu, makin besar nilai bersih ekspor sektor tersebut. Sebaliknya, bila LQsi

Aktivitas ekonomi suatu wilayah dibagi ke dalam dua jenis. Pertama, aktivitas yang memenuhi permintaan dari luar wilayah tersebut, yaitu basis

< 1, maka sektor

s di kabupaten i tersebut bukan sektor basis, dan hanya mengimpor untuk kebutuhan kabupaten. Dengan demikian, makin jauh dari nilai satu, makin besar impor bersih sektor tersebut.

ekspor wilayah, yang disebut dengan aktivitas basis. Kedua, aktivitas yang terutama memasok barang dan jasa untuk penduduk lokal, yang disebut aktivitas non-basis. Aktivitas basis merupakan basis ekonomi wilayah, sedangan aktivitas non-basis diturunkan dari aktivitas basis, dan berkembang atau mundur tergantung pada kinerja aktivitas basis (Fujita, Krugman dan Venables, 2001: 27).

Koefisien location quotient selain sebagai indikator sektor basis dan bukan basis, komponen-komponen koefisien tersebut, yaitu pembilang dan penyebutnya, dapat digunakan untuk ukuran ketimpangan pendapatan. Itu dapat dilakukan sebagaimana dikemukakan oleh (Isard et al., 1998: 26 – 27) pertama, menghitung share industri referensi, yaitu industri s di tingkat kabupaten i. Jadi, dalam persamaan (MT.192), yaitu menghitung pembilang persamaan tersebut. Kedua, menghitung share industri reference di tingkat propinsi, yaitu penyebut dalam persamaan yang sama. Ketiga, menghitung selisih kedua persentase pembilang dan penyebut untuk setiap kabupaten. Keempat, menjumlahkan selisih menurut tanda nilainya. Jadi, yang positif dijumlahkan tersendiri, dan yang negatif juga dijumlahkan tersendiri. Terakhir, membagi salah satu total selisih dengan angka seratus. Hasilnya adalah koefisien lokalisasi. Makin tinggi nilai koefisien tersebut makin besar konsentrasi, makin timpang pendapatan.

Cara menghitung koefisien lokalisasi yang dikemukakan di atas, dapat diformulasikan dalam bentuk matematik sebagai berikut :

( ) ( )

[ ]

,...( .205) 1 / KK KK KK KK MT KL si i sr r m r − =

= +

Untuk mana KL adalah koefisien lokalisasi di Sulteng; i adalah kabupaten ke i; m adalah total kabupaten; dan s adalah industri referensi.

Kembali ke strategi pengembangan wilayah. Dengan arah pengembangan wilayah penciptaan spesialisasi berdasarkan daya saing, maka strategi pengembangan wilayah yang sebaiknya dijalankan adalah strategi sisi penawaran. Ini sejalan dengan Porter (1990: 73) bahwa daya saing wilayah

(negara) tergantung pada kapasitas industrinya untuk melakukan inovasi dan pembaharuan. Oleh karena basis persaingan makin bergeser ke penciptaan dan asimilasi pengetahuan, maka peranan wilayah (negara) makin menguat. Oleh karena itu, sejalan dengan Hadi dan Noviandi (1999: 15) pemerintah melalui program pengembangan wilayah harus mendorong keberhasilan perusahaan di wilayahnya melalui berbagai instrumen seperti pemberian insentif, pembangunan infrastruktur, serta pengembangan kemampuan sumberdaya manusia.

Dalam kaitan dengan penelitian ini, sejalan dengan model Dixon and Thirlwall, dorongan pemerintah harus ditujukan kepada peningkatan produktivitas usahatani dan tenaga kerja di sektor pertanian secara umum, dan subsektor perkebunan secara khusus. Karena peningkatan produktivitas tenaga kerja di subsektor tersebut akan meningkatkan daya saing komoditi-komoditi yang membangun subsektor tersebut, secara khusus komoditi kakao. Kaitan antara produktivitas tenaga kerja dan daya saing komoditi kakao, secara fungsional dapat dimodelkan sebagai berikut :

) 206 . ...( ... ... ... ),... (PBT 1 MT f DSKKit = it

Untuk mana DSKKit adalah daya saing komoditi kakao biji di kabupten ke i dalam tahun ke t; dan PBTit-1

Tenaga kerja (sumberdaya manusia) sebagaimana dikemukakan sebelumnya merupakan salah satu pilar pengembangan wilayah. Dengan sumberdaya manusia yang handal, maka keunggulan daya saing suatu wilayah dapat meningkat dari tahap yang rendah ke tahap yang lebih tinggi. Sebagaimana diilustrasikan oleh Porter dalam model tahap barunya bahwa

adalah produktivitas buruh tani perdesaan di kabupaten ke i dalam tahun ke t-1.

Produktivitas buruh tani dapat diukur dengan upah buruh tani perdesaan. Dalam konteks ekonomi wilayah produktivitas dapat diukur dengan pendapatan per kapita. Jadi, konsep produktivitas dalam persamaan (MT.206) adalah konsep parsial, bukan TFP sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya. C. Kompetensi Inti dan Keunggulan Daya Saing Wilayah

pertumbuhan kompetitif nasional (wilayah) melalui empat tahap. Pertama, tahap factor driven, yaitu keunggulan kompetitif internasional suatu negara (wilayah) diperoleh sepenuhnya dari faktor produksi dasar, seperti sumberdaya alam yang mendudukung, dan sumberdaya manusia yang berlimpah yang menjadi tenaga kerja semi terampil dan murah. Jadi, dalam tahap ini, kondisi faktor saja yang benar-benar merupakan keunggulan kompetitif. Kedua, tahap

investment driven, suatu tahap beriinvestasi merupakan keunggulan utama. Jadi, bukan karena produk yang unik. Dalam tahap ini, faktor-faktor ditingkatkan dari dasar menjadi lebih lanjut dengan penciptaan infrastruktur yang modern. Ketiga, tahap innovation driven, yaitu tahap di mana suatu negara (wilayah – perusahaan) tidak saja menyeseuaikan teknologi dari negara lain tetapi juga menciptakannya, dan terdapat investasi asing langsung di luar batas wilayah yang sifnifikan. Keempat, tahap wealth driven, yaitu tahap yang seluruhnya mengarah pada penurunan. Negara mulai kehilangan keunggulan kompetitifnya. Jadi, keunggulan faktor tidak dari tahap inovatif, tetapi dari tahap-tahap lama seperti merek dagang (Cho dan Moon, 2003: 211 -212).

Keunggulan daya saing suatu wilayah (propinsi dan kabupaten) dapat diciptakan melalui kompetensi inti dari wilayah tersebut. Artinya, suatu wilayah memiliki keunggulan daya saing, jika wilayah tersebut memiliki kompetensi inti. Hamel dan Prahalad (2003: 317) mendefinisikan kompetensi inti sebagai pembelajaran kolektif dalam organisasi, secara khusus bagaimana mengkoordinasikan kemampuan produksi yang bermacam-macam dan mengintegrasikan berbagai arus teknologi.

Berdasarkan definisi kompetensi inti yang dikemukakan di atas, maka apabila wilayah dipandang sebagai suatu sistem organisasi, dalam penelitian ini, sejalan dengan Widiati, Riyadi dan Arlianto (1999: 25), kompetensi inti ialah kemampuan dalam mengkoordinasikan dan mengintegrasikan sektor-sektor yang membangun pereknomian wilayah. Makin baik koordinasi dan integrasi sektor-sektor tersebut, terutama sektor basis (unggulan) wilayah, makin tinggi tingkat kompetensi ekonomi wilayah yang bersangkutan.

Berdasarkan paparan di atas, maka perkembangan kompetensi inti dalam manajemen perkakaon di Sulteng diidentifikasikan melalui perkembangan daya saing komoditi kakao. Secara matematik, ini dapat dilakukan dengan mengintroduksikan peubah waktu sebagai peubah penjelas dalam persamaan (MT.206), sehingga persamaan tersebut dapat dituliskan kembali menjadi sebagai berikut :

) 207 . ( ... ... ... ... ),... , (PBT 1 TT MT f DSKKit = it t Untuk mana TTt

Kompetensi inti secara organisasional tersebut, sebenarnya secara individu, yaitu perencana dan pelaku dalam manajemen perkakaoan adalah menggambarkan komitmen dan kompetensi dari setiap pribadi yang terlibat dalam manajemen tersebut. Bila kompetensi inti organisasional menunjukkan tingkat yang rendah dan cenderung menurun, maka hal yang paling penting adalah menelusuri ke komitmen dan kompetensi para pelaku dalam manajemen tersebut. Ini berarti pengembangan kemampuan yang dikenal dengan program permberdayaan pelaksana manajemen perkakaon menjadi penting dipertimbangkan. Blanchard, Carlos dan Randolph (1999: 24 – 29) mengemukakan bahwa ada 4 tingkat pengembangan, yaitu (i) memulai, (ii) mengubah, (iii) mengadopsi, dan (iv) tujuan pemberdayaan. Empat level pengembangan tersebut merupakan kombinasi dari dua peubah, yaitu komitmen dan kompetensi. Pada level pertama, komitmen tinggi, tetapi kompetensi sangat rendah. Oleh karena itu, komitmen mulai menurun, dan kompetensi mulai ditingkatkan. Pada level kedua, kedua peubah tersebut bertemu. Pada level ketiga, kedua peubah tersebut mulai meningkat, dan komitmen berada di atas kompetensi. Pada level terakhir, kedua peubah

adalah tahun ke t.

Persamaan (MT.207) dapat memberikan gambaran bagaimana kompetensi inti secara organisasional menggambarkan daya saing kakao biji kabupaten-kabupaten di Sulteng. Koefisien harapan dari peubah kecenderungan tahun adalah positif yang mengartikan bahwa daya saing sementara meningkat, dan dengan demikian kompetensi inti juga sementara meningkat.

tersebut mencapai titik tertinggi di mana tujuan pemberdayaan tercapai, dan komitmen tetap berada di atas kompetensi.

Tampak bahwa komitmen merupakan faktor yang sangat penting dalam level pengembangan. Komitmen sebagaimana dikemukakan oleh Blanchard, Carlos dan Randolph (1999: 24) sebenarnya merupakan suatu kombinasi motivasi individu dan kepercayaan dirinya dalam suatu tujuan tertentu. Ini merupakan konfirmasi dari apa yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa masalah dasar dalam pengembangan wilayah adalah motivasi. Jadi, tugas pemerintah yang paling mendasar adalah memotivasi semua stakeholder yang bergerak dalam perkakaon dengan program-program pemberdayaan, agar para stakeholder memiliki komitmen yang tinggi dalam meningkatkan daya saing kakao biji Sulteng.

2.2.9 Model Ekonometrik untuk Hubungan Nilai Produksi Kakao Biji, Kinerja Ekonomi Wilayah, Pendapatan Per Kapita dan Kemiskinan