• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi dan Penawaran Kakao Biji Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Hasil-hasil Penelitian Kakao

2.1.1 Produksi dan Penawaran Kakao Biji Indonesia

Belum banyak studi yang mempelajari kakao dari aspek produksi, konsumsi, dan perdagangan domestik dan internasional, yang dikaitkan dengan kinerja ekonomi wilayah. Dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir ini, beberapa studi yang dapat dikemukakan di antaranya Situmorang dan Andriati (1989). Kedua peneliti ini telah menyelenggarakan penelitian yang bertujuan mengkaji sistem produksi budidaya kakao, tahapan-tahapan pengolahan, dan pemasaran serta keterkaitan harga di antara rantai perdagangannya. Analisis yang digunakan meliputi analisis deskriptif-tabulasi, analisis biaya dan analisis regresi sederhana. Meskipun, penelitian ini menggunakan data primer dengan lokasi penelitian Propinsi Sulawesi Tenggara dan Propinsi Lampung, namun penelitian ini tidak mengaitkan kinerja ekonomi wilayah kedua propinsi tersebut dengan dampak produksi dan perdagangan kakao.

Situmorang dan Andriati (1989: 155) menemukan bahwa peningkatan produksi kakao nasional sangat potensial dilakukan melalui peningkatan produktivitas kakao usaha rakyat dan swasta, serta dengan perluasan areal baru dari lahan-lahan potensial kakao yang baru ditemukan. Berbagai kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah dalam rangka peningkatan produksi kakao pada umumnya masih dari sisi penawaran di tingkat usahatani, seperti program penyuluhan, saprodi, dan perluasan areal.

Dalam tahun 1990, Gonarsyah et al. telah melaporkan hasil studi yang mengkaji perilaku penawaran dan permintaan kakao di negara-negara produsen utama, negara konsumen utama, dan pasar dalam negeri (Indonesia). Dalam penelitian tersebut, tim peneliti menitikberatkan pada analisis deskripsi yang dikonfirmasi dengan analisis ekonometrik (regresi). Tim peneliti belum membangun model ekonomi makro komoditi kakao yang didasarkan atas analisis

simultan. Analisis ekonomi wilayah (Propinsi Sulawesi Tenggara) dilakukan hanya untuk mengidentifikasikan deskripsi mikro. Salah satu rekomendasi penelitian tersebut ialah bahwa perluasan areal kakao di Indonesia perlu didasari dengan kajian yang lebih spesifik lagi mengenai sampai seberapa jauh “batas aman” luas areal maupun produksi yang harus dicapai.

Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Gonarsyah et al. (1990: 5 – 20) bahwa pola tanam kakao perkebunan rakyat di Indonesia (kasus Sulawesi Tenggara) terdiri atas dua bentuk, yaitu monokultur dan tumpangsari. Pola tanam monokultur dilakukan oleh petani di tegalan, sementara pola tanam tumpangsari dilakukan oleh petani di kebun kelapa. Ini mengindikasikan bahwa pengusahaan tanaman kakao pada awalnya dilakukan di kebun kelapa, setelah itu baru dilakukan dilakukan di tegalan secara monokultur. Ini mengartikan bahwa pengembangan tanaman kakao memperoleh respon positif dari pekebun. Keberhasilan tersebut, pada hakekatnya lebih banyak dikarenakan adanya respon positif pekebun terhadap relatif tingginya harga biji kakao kering yang diterima pekebun pada pertengahan tahun 1980-an. Selain itu, instruksi pemerintah daerah untuk mengusahakan komoditi kakao di wilayah tersebut cukup menonjol.

Sama dengan studi yang diselenggarakan oleh Gonarsyah et al. (1990), Sudaryanto dan Susilowati (1991) telah mengusahakan studi yang bertujuan mengemukakan ulasan mengenai perkembangan ekonomi kakao di dunia, baik di negara-negara produsen lain, maupun di negara-negara konsumen. Studi ini hanya menggunakan data sekunder (agregat) di tingkat makro, dan tidak memanfaatkan data primer di tingkat mikro. Studi ini sepenuhnya didasarkan atas analisis tabulasi (deskriptif), dan tidak mengaitkan dengan ekonomi wilayah. Salah satu rekomendasi penting dari studi ini, sama sebagaimana studi sebelumnya bahwa pengembangan kakao di Indonesia perlu dilandasi dengan hasil kajian mendalam tentang seberapa jauh pangsa produksi dan ekspor yang layak untuk dicapai. Selain itu, untuk memperoleh mutu hasil yang mampu bersaing di pasar internasional, pengembangan kakao selayaknya dibatasi hanya pada daerah-daerah yang memenuhi persyaratan teknis.

Muharminto, Abbas dan Lubis (1996) telah menyelenggarakan studi yang bertujuan mengetahui peluang pasar kakao Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri. Analisis dilakukan secara deskriptif, sedangkan yang menyangkut analisis prospek pasar internasional menggunakan hasil-hasil proyeksi yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional seperti UNCTAD, FAO, dan World Bank. Meskipun, studi ini dilakukan di empat propinsi, yaitu Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, namun studi tidak mengaitkan analisisnya dengan kinerja ekonomi wilayah. Rekomendasi utama studi ini sama sebagaimana dua studi sebelumnya, yaitu pengendalian perluasan tanaman kakao.

Akiyama dan Nishio (1997) telah menguji kebijakan pemerintah yang mempengaruhi perluasan produksi kakao di Indonesia, dan mengidentifikasikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengembangan kakao. Penelitian ini memanfaatkan analisis deskriptif, dan sama seperti studi-studi yang dikemukakan sebelumnya, studi ini belum mengaitkan dengan kinerja ekonomi wilayah. Salah satu kesimpulan penting dari penelitian ini ialah bahwa perluasan produksi kakao yang cepat disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang membatasi intervensi. Oleh karena itu, peneliti merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan (non-intervensi) perdagangan kakao terhadap komoditi lainnya.

Untuk menganalisis dampak globalisasi terhadap perdagangan dan kebijakan kakao Indonesia, Susila et al. (1998) telah membangun model ekonomi kakao Indonesia. Model tersebut secara keseluruhan terdiri atas 13 sub-model, yaitu satu sub-model dunia, tujuh sub-model negara produsen/eksportir utama, empat negara konsumen/importir utama, serta satu sub-model sisa dunia. Model tersebut diharapkand dapat mengakomodasikan komitmen yang berkaitan dengan industri kakao dalam PU. Model yang dibangun oleh Susila et al. (1998) tersebut belum memasukkan sub-model wilayah. Meskipun, penelitian tersebut menggunakan data primer yang diambil dari petani perkebunan rakyat kakao yang berlokasi di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Salah satu implikai kebijakan yang dihasilkan oleh penelitian tersebut ialah bahwa laju perluasan areal kakao Indonesia seyogyanya sekitar 13,5 persen per tahun untuk periode 1995 –

2005. Laju perluasan tersebut bersifat dinamis dalam artian perlu disesuikan dengan hasil negosiasi dalam forum WTO, kebijakan-kebijakan negara pesaing, serta situasi industri kakao yang terkini.

Studi yang mempelajari perilaku areal tanam dan produktivitas kakao Indonesia berdasarkan kawasan, penawaran ekspor Indonesia, perdagangan internasional, dan dampak kebijakan pemerintah serta perubahan eksternal terhadap pasar domestik dan internasional telah diselenggarakan oleh Lolowang (1999). Sama dengan studi yang diselenggarakan oleh Susila et al. (1998), studi ini menggunakan pendekatan ekonometrika dengan model persamaan simultan. Model yang dibangun terdiri atas 16 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas. Model ekonometrika diduga dengan menggunakan metode Three Stage Least Squares, sementara analisis kebijakan menggunakan simulasi kebijakan historik dalam periode tahun 1985 – 1996. Meskipun studi ini didasarkan atas kawasan, yaitu KBI dan KTI, namun studi ini belum terkait dengan kinerja ekonomi wilayah di kedua kawasan tersebut. Peneliti mendefinisikan KBI ialah Propinsi-propinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, dan KTI ialah propinsi-propinsi diluar kedua pulau tersebut.

Hasil studi yang diselenggarakan oleh Lolowang (1999: 119) menemukan bahwa perilaku areal tanam di KBI dan KTI, dalam jangka pendek, tidak responsif terhadap perubahan harga kakao domestik, harga kopi domestik, upah tenaga kerja, dan tingkat suku bunga bank. Dalam jangka panjang, areal tanam di KBI responsif terhadap perubahan harga kopi domestik, sedangkan di KTI responsif terhadap perubahan harga kakao dan harga kopi domestik. Selanjutnya, produktivitas kakao di kedua kawasan tersebut, dalam jangka pendek, tidak responsif terhadap harga kakao domestik, harga pupuk dan areal tanam. Dalam jangka panjang, perilaku produktivitas di dua kawasan tersebut adalah relatif berbeda, di mana produktivitas di KBI akan responsif terhadap harga pupuk, sedangkan di KTI tetap tidak responsif terhadap semua peubah penjelas.

Bafadal (2000) telah menyelenggarakan studi yang menganalisis produksi dan respon penawaran kakao rakyat dengan studi kasus Propinsi Sulawesi

Tenggara. Penelitian tersebut deselenggarakan dengan menggunakan metode survai, dan memanfaatkan analisis ekonometrika. Sebagaimana penelitian-penelitian lainnya, meskipun penelitian-penelitian ini mengambil kasus Propinsi Sulawesi Tenggara, namun penelitian ini belum mengaitkan komoditi kakao dengan kinerja ekonomi wilayah. Penelitian ini dititik beratkan pada aspek aspek usahatani. Penelitian ini menemukan bahwa luas areal dipengaruhi oleh harga riel kakao dan harga riel pupuk urea. Selanjutnya, produktivitas dipengaruhi oleh harga riel cengkeh, harga riel pupuk urea dan luas areal. Luas areal lebih respon dibandingkan dengan produktivitas terhadap perubahan harga riel kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang. Penawaran (produksi) kakao dalam jangka pendek dan jangka panjang responsif terhadap perubahan harga riel kakao dan harga riel pupuk urea, tetapi penawaran tersebut tidak responsif terhadap perubahan upah riel tenaga kerja.

Dalam tahun 2004, Gonarsyah menyelenggarakan studi kasus yang bertujuan menguji kendala-kendala kunci dan isu-isu pemerintahan tentang perluasan integrasi vertikal usahatani, perusahaan dan konsumen dalam industri kakao di Indonesia. Isu utama yang diadres ialah bagaimana memperbaiki sistem di mana pemerintah dapat membantu menciptakan sistem tersebut bekerja atas kepentingan petani untuk keuntungan bagi semua stakeholder dalam sistem tersebut. Kesimpulan utama dari studi kasus tersebut ialah pertanyaan mendasar tentang bagaimana kebijakan yang terkait dengan jenis industri kakao. Apakah jenis industgri kakao yang seharusnya dikembangkan dalam jangka panjang, apakah industri kakao biji, atau industri chocolate (Gonarsyah, 2004: 1, 10).