3.6 Domain Kelembagaan
3.6.2 Kelengkapan Aturan Main Dalam Pengelolaan Perikanan
Indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan dinilai untuk mengetahui tingkat ketersediaan regulasi (peraturan), peralatan, petugas dan infrastruktur pengelolaan perikanan lainnya dan ada tidaknya penegakan aturan main serta efektifitasnya dalam pengelolaan perikanan. Secara teoritis, peraturan yang lengkap akan menjadi dasar dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Namun demikian, kelengkapan peraturan tidak secara otomatis dapat terimplementasi dengan baik, karena harus diikuti dengan penegakan aturan tersebut. Dengan demikian ketersediaan aturan saja tidak cukup dan menjamin terlaksananya aturan dengan baik, namun harus diikuti dengan penegakan hukum yang nyata, agar aturan yang ditetapkan itu bisa bersifat fungsional.
Pada setiap daerah dan wilayah pengelolaan perikanan, dibutuhkan kesiapan regulasi yang mencukupi terkait dengan penggunaan alat, operasi penangkapan, kewenangan wilayah pengelolaan, perijinan, jalur-jalur penangkapan dan kewenangan pengelolaan. Meskipun faktanya masih seringkali terlihat banyak pelanggarannya, sebagaimana dianalisis dan dibahas pada indikator Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang Bertanggung Jawab di atas. Penilaian terhadap indikator dari kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan dibagi menjadi dua bagian, meliputi: kelengkapan regulasi serta penegakan aturan dan efektivitasnya
(a) Kelengkapan regulasi
Pada bagian ini, penilaian dilakukan pada sejauhmana kelengkapan aturan main yang dinilai berdasarkan ketersediaan dan kelengkapan aturan main. Hal ini dapat dibuktikan dari sejauhmana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan tersedia, untuk mengatur praktek pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan domain EAFM, yaitu; regulasi terkait keberlanjutan sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan.
Hasil identifikasi lapangan membuktikan bahwa di tingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara, belum ada regulasi daerah yang secara khusus mengatur tentang seluruh domain secara holistik. Dua regulasi daerah yang ditetapkan, dan dipandang memiliki keterkaitan kuat dengan pengelolaan perikanan, terutama setiap domain EAFM, meliputi:
(1) Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara; dan
(2) Surat Keputusan Bupati Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 162 Tahun 2013 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Kabupaten Maluku Tenggara.
Kedua regulasi di tingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara ini, tidak menunjukkan dan mengatur secara khusus tentang domain-domain dalam EAFM, namun demikian keterkaitannya sangat kuat dengan domain kelembagaan. Hasil ini memberikan gambaran tentang kondisi dimana eksistensi regulasi daerah tentang pengelolaan perikanan masih harus dikembangkan. Sesuai dengan kriteria penilaian, maka kondisi yang ditemukan di Maluku Tenggara termasuk dalam kriteria penilaian dimana tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan
perikanan yang mencakup dua domain
Kondisi yang dinilai tersebut, jika dibandingkan dengan penilaian pada tahun 2012, yang memanfaatkan kondisi eksisting sebelum tahun 2012, maka telah ada dua regulasi daerah yang ditetapkan dan bertambah. Kondisi ini termasuk dalam kriteria penilaian regulasi daerah ada
dan jumlahnya bertambah
Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan belum lengkap, namun telah ada upaya-upaya untuk memperhatikan pengelolaan perikanan di tingkat daerah. Walaupun demikian, regulasi yang ada ini belum menjawab kebutuhan pengelolaan perikanan secara holistik, karena belum seluruh domain EFM yang terakomodasi dalam pengaturan di tingkat daerah. Kebutuhan utama pengembangan regulasi di
daerah ini adalah bagaimana mengakomodasi seluruh domain EAFM dalam berbagai peraturan daerah atau regulasi lainnya setingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara.
(b) Penegakan aturan dan efektivitasnya
Bagian ini dikembangkan untuk menilai sejauhmana tingkat penegakan aturan mainnya, yang dibuktikan dengan ada atau tidaknya penegakan aturan main dan efektivitasnya. Untuk mengetahui ada dan tidaknya penegakan aturan main dapat dilihat dari dua hal yaitu ketersediaan alat dan orang serta keberadaan bentuk dan intensitas penindakan. Di sisi lain, untuk melihat bentuk dan intensitas penindakan maka unit yang digunakan adalah ada atau tidaknya teguran dan hukuman.
Hasil identifikasi lapangan membuktikan bahwa penegakan aturan main masih menggunakan regulasi nasional. Sesuai dengan laporan Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara (2014), dua regulasi nasional yang dimanfaatkan sebagai dasar dalam penegakan aturan main antara lain:
(1) UU No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan acuan pasal 21 ayat (2) dan pasal 40 ayat (2). Pemberlakuan aturan main ini pernah digunakan sebagai langkah penegakan aturan untuk kasus Pengambilan Tukik Penyu Hijau pada perairan sekitar Pulau Hoat Kecamatan Kei Kecil, dalam tahun 2013;
(2) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam UU No. 45 Tahun 2009, dengan acuan pasal ayat (1) dan (2) serta pasal 84 ayat (1) dan (2). Pemberlakuan aturan main ini digunakan sebagai langkah penegakan aturan untuk kasus penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom ikan) dalam tahun 2013 dan 2014.
Acuan-acuan penegakan aturan main yang dikemukakan di atas merupakan fakta tentang masih digunakannya regulasi nasional di tingkat lokal, dan berjalan cukup efektif. Namun demikian, aturan turunan di tingkat daerah masih belum dikembangkan sesuai kebutuhan dan kearifan lokal di daerah. Hal ini menjadi kebutuhan di tingkat Kabupaten Maluku Tenggara, khususnya dalam pengembangan regulasi daerah tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan, yang dapat mengakomodasi domain-domain EAFM.
Di sisi lain, pada tingkat ohoi (desa) telah berkembang aturan ohoi seperti yang ditemukan pada ohoi Tanimbar Kei yang menerapkan penegakan aturan main di tingkat lokal ohoi. Hal ini terbukti dengan adanya penegakan aturan main untuk pelaku penangkapan ikan dengan menggunakan bahwan peledak (bom ikan). Pemberlakuan aturan tingkat ohoi ini merupakan manifestasi kepedulian masyarakat lokal terhadap pengelolaan perikanan berbasis kearifan
lokal. Penegakan aturan yang menjadi inisiatif masyarakat lokal ini sangat membutuhkan dukungan stakeholder pengelolaan perikanan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan, sekaligus menghindari adanya penegakan hukum yang berlawanan dengan aturan formal di tingkat nasional maupun daerah.
Walaupun demikian, penegakan aturan di wilayah ini dinilai cukup efektif. Catatan Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara menunjukkan adanya: (1) tindakan penertiban; dan (2) penangkapan pelaku dan diberlakukan hukuman sesuai aturan yang berlaku. Hasil ini sesuai dengan kriteria penilaian dimana ada penegakan aturan main dan
efektif
Penilaian terhadap ketersediaan alat pengawasan dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah pengawas perikanan dan kelompok masyarakat pengawas perikanan. Hasil identifikasi menemukan beberapa hasil terkait ketersediaan dalat pengawasan, antara lain:
(1) Pada tingkat DKP Kabupaten Maluku Tenggara, terdapat tiga orang yang bersertifikasi Pengawas Perikanan.
(2) Untuk mendukung pekerjaan pengawasan perikanan, DKP Kabupaten Maluku Tenggara membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) pada enam ohoi dalam tahun 2014. Keanggotaan Pokmaswas pada setiap ohoi berjumlah 10 orang, dengan demikian total jumlah tenaga pengawas perikanan di tingkat ohoi sebanyak 60 orang.
(3) Eksistensi Stasiun Pengawasan PSDKP Tual juga berpotensi mendukung proses pengawasan perikanan di wilayah ini.
(4) Masyarakat ohoi yang telah mengembangkan aturan ohoi seperti pada ohoi Tanimbar Kei telah memberikan perhatian yang baik dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikaan di wilayah mereka.
Beberapa tindakan teridentifikasi dengan baik melalui peran alat-alat pengawasan ini, antara lain:
(1) tindakan penertiban;
(2) tindakan penetiban diikuti dengan proses pembinaan;
(3) penangkapan pelaku dan diberlakukan hukuman sesuai aturan yang berlaku oleh pengawas DKP Maluku Tenggara;
(4) penangkapan pelaku dan alat bukti diberlakukan hukuman sesuai aturan yang berlaku di tingkat ohoi oleh masyarakat dan pemerintah ohoi.
Hasil penilaian ini menggambarkan adanya kelengkapan alat pengawasan dan selalu diikuti dengan tindakan-tindakan. Sesuai krietria penilaian, hasil penilaian menunjukkan kondisi dimana ada alat dan orang serta ada tindakan Sejalan dengan ketersediaan alat pengawasan dan efektfitasnya, maka ada proses teguran dan hukuman yang diberkakukan, walaupun sebenarnya teguran dan hukuman yang diberikan belum dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku pelanggaran.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, eksistensi aturan tidak cukup jika tidak ada penegakan hukum. Hasil penilaian di atas menunjukkan bahwa perlu juga dilihat sejauhmana tingkat penegakan hukumnya dilaksanakan dengan baik, terutama jika diharapkan adanya efek jera pada diri setiap pelaku pelanggaran. Hasl ini sesuai dengan hasil lapangan yang membuktikan bahwa pada beberapa kelompok masyarakat tertentu yang umumnya menjadi pelaku pelanggaran adalah mereka yang juga pernah melakukan pelanggaran yang sama.
Keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan terkait dengan indikator kelengkapan aturan main yang dapat diindikasikan dengan keberadaan aturan dan perkembangannya, mesti ditingkatkan efektivitasnya, terutama dalam proses penerapan aturan dan pemberian hukum. Tindakan tegas masih sangat dibutuhkan untuk menimbulkan efek jera di tingkat pelaku pelanggaran.