Penilaian Indikator EAFM
di Kabupaten Maluku Tenggara
Oleh:
James Abrahamsz
Frederik W. Ayal
30 April 2015
Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura
dengan
1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pengelolaan perikanan dinyatakan sebagai sebuah kewajiban seperti diamanatkan oleh Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikannya, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Kewajiban pengelolaan perikanan ini didasarkan pada pengertian tentang perikanan yang dirumuskan dalam peraturan perundangan itu, yaitu: “Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”. Hal ini membuktikan bahwa pembangunan perikanan Indonesia ditentukan oleh model pengelolaan perikanan yang dikembangkan dalam suatu sistem yang dinamis. Oleh sebab itu, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumber daya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumber daya ikan itu sendiri.
Dalam konteks sistem, pengelolaan perikanan menurut Charles (2001), terkait dengan dua skala pengelolaan yakni: (1) skala waktu pengelolaan, dan (2) skala ruang pengelolaan. Kedua skala pengelolaan ini memberikan jastifikasi tentang sangat dinamisnya pengelolaan perikanan. Dinamika pengelolaan perikanan menyebabkan adanya kebutuhan model pengelolaan sesuai dengan karakteristik kawasan dan sumber daya perikanan yang terdistribusi di setiap kawasan. Dinamika yang ditunjukan dalam konteks pengelolaan perikanan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap berbagai pendekatan pengelolaan, terutama untuk tujuan pengelolaan secara berkelanjutan.
Untuk menunjang keberlanjutan pengelolaan perikanan di dunia, FAO (2003) mengembangkan konsep pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (ecosystem approach to fisheries/
“An ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives,
by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”.
yang diterjemahkan sebagai:
“Suatu pendekatan yang berusaha untuk menyeimbangkan tujuan sosial yang beragam, dengan memperhatikan pengetahuan dan ketidakpastian yang terdapat pada sumber daya biotik, abiotik dan manusia sebagai komponen ekosistem dan interaksi mereka dan menerapkan pendekatan yang terintegrasi untuk perikanan di dalam batas-batas ekologis yang berarti”.
Secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumber daya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan (KKP-RI, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB, 2014). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan dimensi sumber daya perikanan dan ekosistem, dimensi pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan perikanan. Kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang menjadi wadah dari sumber daya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting.
Implementasi EAFM di Indonesia menggunakan pendekatan indikator yang digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem. Implementasi EAFM memerlukan perangkat indikator yang dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem. Selanjutnya, dalam konteks pengelolaan perikanan sebuah indikator dikatakan sebagai sebuah indikator yang baik apabila memenuhi beberapa unsur seperti (1) menggambarkan daya dukung ekosistem; (2) relevan terhadap tujuan dari ko-manajemen; (3) mampu dimengerti oleh seluruh
stakeholders (4) dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi; (5) long-term view
dan (5) menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen perikanan.
Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan pertama kali diinisiasi di Indonesia pada tahun 2010, dengan kerjasama antara Direktorat Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan; Pusat Kajian Perikanan dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), dan WWF-Indonesia (WWF-ID). Dalam perkembangannya, EAFM diperkenalkan kepada beberapa sekolah tinggi/ universitas yang memiliki jurusan kelautan dan perikanan, untuk kemudian bersama-sama menjadi tim penilai performa perikanan di lokasi/ wilayah dimana institusi mereka berada. Tim penilai ini kemudian bersama-sama dengan kelompok kecil penginisiasi membangun kelompok kerja EAFM yang bertujuan selain melakukan penilaian EAFM di lokasi mereka berada serta menjadi pusat pembelajaran terkait EAFM (learning center).
Pasca pelatihan penilaian Indikator EAFM pada Januari tahun 2012 di Bogor, WWF-ID bekerjasama dengan Universitas Pattimura, untuk melakukan penilaian pengelolaan perikanan menggunakan indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil penilaian yang dilakukan di Maluku Tengara ini juga menjadi salah satu komponen dalam penilaian Indikator EAFM di WPP 714, saat itu. Setelah dua tahun hasil penilaian itu, WWF-ID berinisiatif melakukan penilaian kembali terhadap indikator EAFM yang sebelumnya telah dinilai, dengan substansi penilaian yang sesuai dengan Modul Penilaian Indikator untuk Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem, versi terbaru (NWG-EAFM, Direktor SDI-KKP, 2014).
Kegiatan ini dilakukan melalui kerjasama WWF-ID dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura. Kerjasama ini diarahkan untuk melihat seberapa besar perubahan yang terjadi dalam komponen yang menjadi indikator, dan diharapkan kegiatan ini juga dapat menjadi tolok ukur pengelolaan perikanan.
Dalam waktu dua tahun berbagai langkah telah dilakukan terkait dengan upaya-upaya yang mendukung pengelolaan perikanan di wilayah ini. Pertama pengembangan kawasan konservasi di perairan Barat Kei Kecil (Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Maluku Tenggara) dengan luas kawasan 150.000 ha merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi yang cukup baik dalam perbaikan pengelolaan perikanan di wilayah ini.
Kedua pengembangan sistem zonasi pada kawasan konservasi perairan tersebut di atas
menjadi dasar untuk meningkatkan pemahaman di tingkat stakeholder maupun masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Meningkatnya pemahaman di tingkat stakeholder
maupun masyarakat ini sangat mungkin terjadi ketika proses-proses inisiasi sampai dengan sosialisasi tentang eksistensi dan status kawasan konservasi perairan yang dimaksud.
Ketiga perubahan orientasi pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis
pada kawasan konservasi untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan juga memberikan kontribusi cukup kuat dalam implementasi seluruh kebijakan perikanan di wilayah ini. Sosialisasi tentang pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan semakin meningkat, terutama dengan dukungan berbagai program pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tenggara maupun program-program yang diinsiasi oleh WWF-ID.
Keempat pengembangan mekanisme pengawasan di tingkat masyarakat lokal dan peningkatan
aktivitas pengawasan di wilayah pesisir dan laut, baik oleh DKP Kabupaten Maluku Tenggara maupun yang didukung oleh PSDKP merupakan upaya-upaya untuk membangun partisipasi masyarakat dalam mendukung pengelolaan perikanan di wilayah ini. DKP Kabupaten Maluku Tenggara juga memfasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat pengawas melalui program-program bidang pengawasan, dimana langkah ini sangat dibutuhkan pada tingkat pengguna kawasan yang paling dekat dengan lingkungan dan sumber daya di kawasan ini.
Kelima pelatihan-pelatihan bagi masyarakat tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan dan
peningkatan pemahaman tentang kondisi ekosistem di wilayah pesisir dan laut, telah dilakukan dalam dua sampai tiga tahun terakhir. Perubahan pola pikir akan sangat berpengaruh terhadap bentuk dan pola pemanfaatan sumber daya dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut.
Keenam pelatihan-pelatihan bagi stakeholder terkait pengelolaan kawasan konservasi perairan,
peningkatan pemahaman tentang kondisi ekosistem di wilayah pesisir dan laut, serta pendalaman proses zonasi kawasan konservasi perairan merupakan upaya-upaya dalam peningkatan kapasitas stakeholder terkait perikanan dalam mencermati persoalan dan kerangka strategis pengembangan perikanan secara berkelanjutan.
Ketujuh upaya-upaya pengembangan program mata pencaharian alternatif merupakan langkah
strategis untuk mengantisipasi tekanan yang diberikan oleh para pengguna kawasan, terkait dengan pemanfaatan sumber daya dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Peningkatan pemahaman tentang kegiatan ekonomi produktif yang tidak bersifat ekstraktif dan mendukung perikanan berkelanjutan termasuk dalam target utama setiap kegiatan yang terkait dengan mata pencaharian alternatif.
Hasil analisis terhadap perubahan yang diduga terjadi pada beberapa komponen dalam indikator EAFM, sebagai akibat intervensi program dan kegiatan di atas, mesti diketahui oleh seluruh stakeholder perikanan terkait di Kabupaten Maluku Tenggara. Langkah strategisnya adalah melalui proses desiminasi yang diarahkan untuk melihat secara bersama tentang kemajuan (atau kemunduran) pengelolaan perikanan di wilayah ini.
1.2 Tujuan dan Manfaat Studi
Kajian evaluatif terhadap indikator EAFM pada perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara dilakukan untuk mengimplementasi Fungsi Kunci “Melakukan Evaluasi Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem”, dengan tujuan sesuai fungsi utamanya, meliputi:
(1) Fungsi utama “Melakukan Penilaian Pengelolaan Perikanan Dengan Indikator EAFM”, dengan tujuan:
a. Menyiapkan data untuk menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator EAFM; b. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain sumber daya
ikan;
c. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain habitat;
d. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain teknik penangkapan;
e. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain sosial; f. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain ekonomi; g. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain kelembagaan. (2) Fungsi utama “Melakukan Desiminasi Laporan Evaluasi EAFM” dengan tujuan:
a. Melaporkan kesimpulan evaluasi agregat/ komposit semua domain EAFM; b. Merekomendasikan saran tindak lanjut EAFM.
Manfaat pelaksanaan Penilaian Pengelolaan Perikanan Dengan Indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara adalah dapat diketahuinya perubahan status pengelolaan yang terjadi dalam waktu dua tahun terkahir. Diseminasi hasil kajian ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman stakeholder tentang pentingnya melakukan penilaian untuk mendukung pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di wilayah ini.
1.3 Keluaran
Sesuai dengan tujuan yang berbasis pada fungsi kunci dan fungsi utamanya, kajian evaluatif ini dilakukan untuk menghasilkan beberapa luaran sebagai berikut:
(1) Laporan Penilaian Indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara;
(2) Laporan pelaksanaan workshop diseminasi hasil penilaian indikator EAFM;
(3) Adanya komitmen dari Kabupaten Maluku Tenggara untuk melanjutkan hasil penilaian indikator EAFM
(4) Hasil penilaian EAFM menjadi dasar kajian kademik dalam mendukung pembuatan peraturan daerah untuk pengelolaan perikanan.
2 Perkembangan Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara
Gambaran tentang perkembangan perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara dalam periode evaluasi ini tidak dapat diberikan seperti pada periode analisis sebelum dalam Tahun 2012. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem penanganan data perikanan tangkap. Jika pada periode sebelum, perkembangan data perikanan tangkap dapat diekstraksi untuk setiap wilayah kecamatan, maka pada periode evaluasi ini tidak dapat dilakukan karena beberapa faktor sebagai berikut: (1) adanya perubahan sistem penanganan dan pengolahan data akibat perubahan staf di tingkat dinas; (2) adanya perubahan jumlah kecamatan yang tidak dapat diantisipasi dalam penanganan dan pengolahan data; serta (3) diduga peran tenaga lapangan dalam penanganan data semakin menurun.Kondisi tersebut di atas menyebabkan pendekatan deskripsi dan analisis dilakukan secara agregat. Data yang digambarkan dan diolah seluruhnya pada bagian ini, menggunakan pendekatan data total untuk Kabupaten Maluku Tenggara.
2.1 Perkembangan Nelayan
Dalam dokumen penilaian kinerja pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2012 telah disebutkan bahwa dinamika pengelolaan perikanan sangat ditentukan oleh eksistensi sumber daya manusia pengelola. Dalam konteks sistem perikanan berkelanjutan, komponen sistem manusia yang paling dekat dengan pengelolaan perikanan adalah nelayan (Abrahamsz dan Manuputty, 2012). Eksistensi nelayan dalam sistem ini sering disebut sebagai aktor utama pengelolaan perikanan.
Perkembangan jumlah nelayan di wilayah ini ditunjukkan dengan rata-rata pertumbuhan dari tahun 2007 sampai dengan 2014 sebesar -1,84%. Hasil ini menunjukkan secara agregat, terjadi penurunan jumlah nelayan sejak tahun 2007 sampai dengan 2014 sebanyak 1.570 orang. Pertumbuhan yang ditunjukkan secara agregat ini terkait dengan perkembangan jumlah nelayan pada tahun-tahun utama, dan
menjadi indikator dalam mencermati
perkembangannya di wilayah ini.
-2.88 -1.08 -9.11 0.12 0.04 0.02 0.01 -10.00 -8.00 -6.00 -4.00 -2.00 0.00 2.00 1 2 3 4 5 6 7 Pertumbuhan (%) (2007-2008) (2008-2009) (2009-2010) (2010-2011) (2011-2012) (2012-2013) (2013-2014)
Gambar 2 Pertumbuhan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, Tahun 2007-2014
Pertama pada periode tahun 2009 sampai dengan 2010 terjadi penurunan yang cukup tajam,
yakni sebesar 9,11%. Pada periode ini perkembangan usaha budidaya rumput laut meningkat cukup tajam, dan menyebabkan beralihnya usaha ekonomi produktif nelayan ke pembudidaya. Kecenderungan ini dimulai sejak tahun 2006 dan 2007, sejak meningkatnya harga rumput laut dan dukungan kebijakan budidaya rumput laut oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara melalui Dinas Kelautan dan Perikanannya.
Kedua pada periode tahun 2010 sampai dengan 2014 terjadi peningkatan jumlah nelayan yang
cukup lambat, berkisar antara 0,01% sampai dengan 0,12%. Pertumbuhan yang lambat ini terjadi karena bertambahnya jumlah nelayan dari rumah tangga perikanan tangkap yang masih mengembangkan usaha penangkapan ikan.
Jika evaluasi dilakukan untuk periode pembangunan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2011 sampai dengan 2014 (sesuai periode evaluasi EAFM), rata-rata pertumbuhan nelayan sebesar 0,02% atau terjadi peningkatan jumlah nelayan sebanyak tujuh orang. Perkembangan jumlah nelayan pada periode ini, sesuai dengan alasan kedua yang dikemukakan di atas, dan beberapa penyebab sebagaimana ditemukan dalam hasil penelusuran data untuk tahun 2013 dan 2014.
Pertama dinamika yang ditunjukkan melalui perkembangan jumlah nelayan juga disebabkan
karena adanya perekrutan tenaga kerja pada perikanan tangkap akibat kebijakan pengembangan alat penangkapan ikan. Pada tahun 2013 dan 2014, dua jenis usaha perikanan tangkap yang berkembang cukup cepat yakni perikanan bagan dan mini purse seine Kedua jenis usaha perikanan ini memiliki kecenderungan perekrutan tenaga kerja yang cukup tinggi, untuk usaha bagan antara empat sampai enam orang, sedangkan usaha mini purse seine antara 15 25 orang.
Kedua pada periode tahun 2013-2014, terjadi peningkatan jumlah nelayan ditunjukkan pada
usaha perikanan pancing, yang dikembangkan untuk mendukung perikanan usaha ekonomi produktif berbasis perikanan kerapu. Sebagian nelayan pancing yang masih eksis pada perikanan tangkap mulai meningkatkan pendapatan mereka berbasis pada perikanan kerapu.
2.2 Perkembangan Alat Penangkapan Ikan
Distribusi jumlah alat penangkapan ikan di wilayah ini menunjukkan adanya perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ditunjukkan
dengan penurunan jumlah unit alat
penangkapan ikan. Dalam periode
pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2007 sampai dengan 2014, penurunan yang ditunjukkan secara agregat sebesar 1,80%.
Laju penurunan ini disebabkan oleh
penurunan jumlah alat penangkapan ikan yang bersifat tradisional, seperti alat pengumpul kerang, alat pengumpul teripang, jaring insang lingkar, dan jaring insang tetap, serta bubu. Kelompok-kelompok alat penangkapan ikan ini mulai ditinggal dengan alasan dikembangkannya alat penangkapan ikan yang lebih produktif, peningkatan pendapatan dan adanya pilihan terhadap pengembangan produk untuk komoditas-komoditas utama seperti kerapu hidup.
Dalam periode evaluasi (tahun 2012 2014) dengan menggunakan perkembangan data dari tahun 2011-2014, terjadi peningkatan jumlah alat penangkapan ikan sebesar 0,01%. Kontribusi pertumbuhan positif pada periode ini disebabkan meningkatnya jumlah alat tangkap pada tahun 2012. Pada tahun 2013 dan 2014 jumlah alat tangkap cenderung menurun, namun laju penurunan ini masih di bawah peningkatan jumlah pada tahun 2012.
Sejauhmana pengaruhnya terhadap produksi tergambar dalam perkembangan produksi yang disampaikan berikut ini. Hal ini sesuai dengan penurunan dan atau peningkatan jenis alat penangkapan ikan.
2.3 Perkembangan Produksi
Perkembangan produksi perikanan tangkap pada periode analisis (2007 2014) juga menunjukkan adanya fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Laju penurunan yang sangat tajam terjadi pada periode 2007 2008 dan periode 2009 2010, masing-masing sebesar 44,64% dan 52,03%. 16,719 13,500 14,171 13,559 14,371 14,913 14,781 14,359 0 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 12,000 14,000 16,000 18,000 1 2 3 4 5 6 7 8
Alat Tangkap (unit)
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 2 Perkembangan alat penangkapan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara, Tahun 2007-2014
Pada periode tahun 2010 2011, terjadi peningkatan sebesar 68,70% dan termasuk peningkatan produksi yang sangat tinggi sepanjang periode analisis ini. Tahun 2011
kegiatan perikanan tangkap mulai
berkembang lagi setelah kurang lebih tiga tahun sebelumnya menurun akibat peralihan perhatian pada kegiatan ekonomi produktif untuk kegiatan perikanan budidaya.
Pada periode tahun 2011 2014, kurang ada
fluktuasi. Rata-rata pertumbuhan pada
periode ini sebesar 1,20%. Pertumbuhan
positif pada periode ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan produksi pada tahun 2014, padahal sejak tahun 2011 terjadi penurunan produksi yang lambat sampai dengan tahun 2013.
15 9, 57 3. 00 88 ,3 41 .9 0 79 ,9 41 .9 0 38 ,3 50 .0 0 64 ,6 96 .1 0 63 ,5 46 .9 0 61 ,9 95 .1 0 66 ,8 35 .7 1 0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 160,000 180,000 1 2 3 4 5 6 7 8 Produksi (ton) 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 3 Perkembangan volume produksi ikan di Kabupaten Maluku Tenggara, Tahun 2007-2014
3 Evaluasi Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem
3.1 Domain Sumber Daya Ikan3.1.1 CPUE Baku
CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandardisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. CPUE Baku digunakan apabila terdapat pola multi fishing gears untuk menangkap satu spesies di unit perikanan yang dikaji. Jika CPUE Baku sulit untuk digunakan, bisa digunakan CPUE dominan. Penentuan nilai CPUE baku dalam evaluasi pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara ini juga dilakukan melalui perhitungan nilai Fishing Power Index (FPI), sebagai langkah awal. Perhitungan FPI berdasarkan nilai rata-rata CPUE dilakukan untuk juga dilakukan 10 jenis alat penangkapan ikan utama seperti analisis sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2012. Sepuluh jenis alat tangkap utama yang dimaksudkan, masing-masing: sero tancap, pukat cincin, jaring insang hanyut, bagan apung, pancing tegak, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bubu, pancing ulur dan dan pancing tonda.
Perhitungan rata-rata nilai CPUE yang belum distandarisasi (bukan CPUE baku) menggambarkan adanya variasi antar setiap jenis alat tangkap. Nilai rata-rata CPUE tertinggi sebesar 0,7021 ton/trip per tahun (perbandingan tahun 2012 sebesar 0,7218 ton/trip per tahun) pada alat tangkap pukat cincin mini, dan terendah pada alat tangkap bubu sebesar 0,0040 ton/trip per tahun (perbandingan tahun 2012 sebesar 0,0058 ton/trip per tahun). Hasil ini memberikan gambaran tentang adanya pergeseran nilai CPUE untuk setiap jenis alat penangkapan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara.
Hasil perhitungan tersebut memberikan arahan bahwa pukat cincin mini merupakan alat penangkapan ikan standar yang harus digunakan dalam perhitungan FPI. Sesuai dengan distribusi rata-rata nilai CPUE tersebut, maka nilai FPI tertinggi pada pukat cincin sebesar 1,0000 dan terendah pada alat tangkap bubu sebesar 0,0057. Rincian perhitungan rata-rata nilai CPUE dan FPI dinyatakan dalam Lampiran 1.
Hasil perhitungan rata-rata nilai CPUE dan FPI menjadi referensi untuk melakukan standarisasi upaya tangkap. Hasil perhitungan menunjukkan distribusi nilai upaya tangkap standar yang beragam (Lampiran 2).
-0,0008x 1,2413 0.0000 0.2000 0.4000 0.6000 0.8000 1.0000 1.2000 0 500 1000 CP U E Upaya Standar -0.0006x 1.1287 0.0000 0.2000 0.4000 0.6000 0.8000 1.0000 1.2000 0 500 1000 CP U E Upaya Standar
Sesuai dengan hasil standarisasi untuk upaya tangkap, terjadi perubahan pada nilai CPUE yang disebut sebagai CPUE Baku. Hasil perhitungan CPUE Baku dinyatakan dalam Tabel 14 dan memberikan gambaran tentang adanya tendensi perubahan yang berkonsekuensi terjadi pada hubungan CPUE Baku dengan upaya standar sesuai hasil perhitungan.
Hasil analisis regresi menunjukkan nilai koefisien sebesar 1,1287 (tahun 2012:
1,2413) dan sebesar -0,8E-03
(tahun 2014: -0,6E-03). Hubungan
CPUE dan upaya standar dalam analisis ini membentuk persamaan regresi yang
ht 1,1278 0,0006Et (tahun 21012: ht 1,2413 0,0008Et). Hubungan tersebut dapat
dinyatakan secara grafis seperti pada Gambar 9, yang menunjukkan terjadi sedikit perubahan pada periode analisis tahun 2001 2011 (gambar “a”) ke periode analisis tahun 2001 2014 (gambar “b”).
Perubahan tersebut ditunjukkan dengan pergeseran garis ke arah atas. Artinya, laju pertumbuhan mengarah ke arah semakin mendatar. Walaupun demikian, pola yang ditunjukkan masih memberikan gambaran tentang adanya penurunan CPUE sepanjang peningkatan upaya penangkapan. Jika pada periode tahun 2001-2011 terjadi penurunan dengan laju sebesar 3,08%, maka pada periode analisis tahun 2001-2014 juga terjadi penurunan dengan laju
Gambar Hasil OLS Hubungan Upaya dan CPUE
Standar (a) penilaian tahun 2012; dan (b) penilaian tahun 2014
Tabel 14 Upaya dan CPUE Standar
Tahun Catchi StandarUpaya StandarCPUE
2001 321,30 357 0,9003 2002 345,03 344 1,0029 2003 365,36 413 0,8841 2004 387,76 379 1,0243 2005 402,70 517 0,7788 2006 417,63 656 0,6370 2007 432,56 794 0,5447 2008 454,96 759 0,5991 2009 473,29 829 0,5711 2010 495,00 816 0,6067 2011 500,82 797 0,6281 2012 518,76 842 0,6163 2013 578,27 871 0,6641 2014 601,31 885 0,6798 (a) (b)
sebesar 1,38%. Walaupun terjadi peningkatan pada periode tahun 2012 sampai dengan 2014, namun secara agregat CPUE baku masih menunjukkan laju penurunan yang lambat
3.1.2 Ukuran ikan
Dalam evaluasi ini, tren ukuran yang dimaksudkan adalah perubahan ukuran panjang ikan yang tertangkap dalam dua tahun terkahir (tahun 2013 dan 2014). Perubahan ukuran panjang ikan ini dibandingkan dengan panjang ukuran ikan pada tahun-tahun sebelum waktu evaluasi ini. Evaluasi terhadap indikator ini dilakukan dengan asumsi adanya data poor fisheries Dengan demikian pengkuran dilakukan berdasarkan pada hasil interview kepada responden yang berpengalaman dalam kegiatan perikanan, terutama untuk spesies dominan yang secara total memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan. Empat pilihan pertanyaan yang diberikan kepada responden meliputi: (a) tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; (b) tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap relatif tetap; (c) tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin besar; serta (d) tidak tahu atau tidak memperhatikan tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap.
Sesuai dengan empat pilihan pertanyaan yang diberikan, terdapat pernyataan berbeda sesuai pilihan-pilihan yang diberikan. Pertama pilihan-pilihan responden terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap semakin kecil sebanyak 27,50%. Alasan yang diberikan sesuai pilihan tersebut antara lain: (1) semakin meningkatnya jumlah alat tangkap yang beroperasi, khususnya untuk penangkapan ikan kerapu hidup menyebabkan ukuran ikan yang tertangkap semakin
kecil; (2) adanya dugaan perubahan ukuran alat penangkapan ikan seperti pada ukuran mata jaring untuk alat tangkap bagan; dan (3) hadirnya alat penangkapan ikan seperti mini purse
seine menyebabkan ukuran ikan yang tertangkap, baik pada jaring isang maupun bagan
semakin kecil.
Kedua pilihan responden terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap relatif sama sebanyak
62,50%. Alasan yang sama pada kajian kinerja pengelolaan perikanan tahun 2012 masih diberikan terkait dengan pola ini, yakni: penggunaan jenis alat penangkapan ikan yang sama sekali tidak berubah sejak mereka beraktivitas sebagai nelayan, nelayan bagan perahu, pancing tonda, pancing tegak merupakan penyebab utama tidak berubahnya ukuran ikan. Walaupun demikian, ada juga responden yang memberikan alasan lain, yakni: sesuai dengan target ukuran
Semakin besar 7.50% Relatif sama 62.50% Semakin kecil 27.50% Tidak tahu 2.50%
ikan yang diperdagangkan, seperti pada perikanan kerapu hidup. Syarat ini menyebabkan nelayan harus melakukan kegiatan penangkapan ikan pada lokasi yang lebih jauh untuk menemukan ukuran ikan yang sesuai dengan permintaan perusahaan yang menampung ikan kerapu hidup. Batasan ukuran ikan yang layak dibeli adalah yang berukuran berat lebih dari atau sama dengan 0,5 dan/atau 0,6 ons.
Ketiga pilihan terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap semakin besar, dinyatakan oleh
7,50% responden. Pernyataan seperti ini masih ditemukan pada nelayan yang menjalankan usaha perikanan pancing tonda dan pancing tegak. Dengan bantuan motorisasi, kelompok-kelompok nelayan dari jenis perikanan tersebut dapat mengakses darerah penangkapan ikan yang lebih jauh. Hal ini berkaitan dengan semakin jauhnya daerah penangkapan ikan dengan ukuran yang lebih besar. Pandangan bahwa ukuran ikan semakin besar, diikuti dengan adanya jarak daerah penangkapan ikan yang jauh menunjukkan adanya suatu range collaps yang semakin meningkat. Kondisi ini belum disadari sebagai dampak dari tekanan terhadap eksistensi sumber daya ikan.
Keempat masih ada responden yang memberikan pernyataan bahwa tidak tahu bahkan belum
memahami secara baik tentang adanya perubahan ukuran ikan yang tertangkap. Hal ini dinyatakan oleh sekitar 2,50% responden yang umumnya menjalankan usaha perikanan pancing tegak dan jaring insang. Alasan yang diberikan terkait dengan pilihan tersebut adalah adanya keraguan nelayan terhadap adanya perubahan ukuran ikan hasil tangkapan. Hasil penelusuran data menunjukkan kelompok nelayan yang memberikan pernyataan ini juga termasuk dalam kelompok nelayan baru saja menggeluti pekerjaannya sebagai nelayan, rata-rata usaha baru dijalankan dalam waktu tiga sampai dengan lima tahun.
Penentuan nilai pada kriteria yang diberikan sesuai dengan pilihan-pilihan responden tersebut di atas, mengacu pada distribusi nilai tertinggi. Dalam periode evaluasi ini, pilihan terbanyak adalah pada ukuran rata-rata ikan yang tertangkap relatif sama. Hal ini tergambar dari tingginya pilihan responden, yakni sebesar 62,50%. Hasil tersebut memberikan dasar penetapan kriteria yang terpilih adalah tren ukuran relatif sama
Jika hasil penilaian ini dibandingkan dengan hasil penilaian pada tahun 2012, sebanyak 57,14% responden, maka ada indikasi peningkatan jumlah responden yang memiliki kriteria itu. Perubahan ini diduga terjadi karena adanya pergeseran jumlah pilihan akibat distribusi jumlah responden yang berbeda, dimana pada penilaian tahun 2012 jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 28 responden, sedangkan dalam periode evaluasi ini, jumlah
responden sebanyak 40 orang. Perubahan jumlah responden inilah yang turut memberikan pergeeseran jumlah pilihan responden. Walaupun demikian, kisaran penilaiannya masih berada dalam konteks pilihan terhadap kriteria tren ukuran relatif sama
3.1.3 Proporsi Ikan Yuwana (Juvenile yang Ditangkap
Penilaian terkait dengan indikator ini, dilakukan untuk mengetahui persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity). Penilaian ini dilakukan dengan dua pendekatan, yakni pendekatan wawancara dengan pertimbangan masih adanya data poor
fisheries pada perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara, dan pengukuran spesimen
ikan yang dominan tertangkap.
Hasil interview terhadap 40 responden menunjukkan hanya 55,00% responden yang tahu tentang adanya penangkapan ikan yuwana. Berdasarkan hasil ini, maka penilaian tertangkapnya ikan yuwana dilakukan pada 22 responden yang tahu. Pertama sebanyak 22,73% responden menyatakan tertangkapnya ikan yuwana kurang dari 30%. Pilihan ini umumnya dinyatakan oleh nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan spesies target ikan kerapu dan ikan tenggiri.
Kedua proporsi ikan yuwana yang tertangkap banyak yang dinyatakan dengan kriteria kisaran
hasil tangkapan ikan yuwana 30-60%, dinyatakan oleh 72,73% responden. Ketiga sebanyak 22,73% menyatakan proporsi ikan yuwana yang tertangkap banyak sekali yang dinyatakan dengan kriteria kisaran hasil tangkapan ikan yuwana 60%.
Untuk membuktikan hasil wawancara yang disampaikan itu, dilakukan juga pengukuran terhadap spesimen ikan dari lima kelompok jenis ikan yang dominan tertangkap, masing-masing: layang, tembang, teri, kerapu dan tenggiri (Tabel 15). Hasil penilaian ini merupakan hasil perbandingan dengan ukuran ikan yang pertama kali matang gonad atau disebut sebagai Length of Maturity (Lm) dari setiap kelompok jenis ikan.
30% 22.73% 30 -60% 72.73% 60% 4,54%
Tabel 15 Distribusi proporsi ikan yuwana Kelompok Jenis Ikan Jumlah spesimen yang diukur (ekor) Jumlah ikan yuwana (ekor) Proporsi ikan yuwana (%) Layang 100 51 51,00 Tembang 200 117 58,50 Teri 200 93 46,50 Kerapu 30 23 76,67 Tenggiri 30 0 0,00
Hasil pengukuran menunjukkan untuk setiap jenis ikan yang dominan tertangkap, masing-masing: (1) ikan layang sebanyak 51,0% dari 100 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau kurang dari 16,21 cm; (2) ikan tembang sebanyak 58,5% dari 200 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau kurang dari 11,95 cm; (3) ikan tenggiri sebanyak 0% dari 30 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau kurang dari 40-45 cm; (4) ikan teri sebanyak 46,5% dari 200 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau kurang dari cm; serta (5) ikan kerapu sebanyak 76,7% dari 30 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau kurang dari 39 cm.
Agregasi pengukuran panjang ikan yang dominan tertangkap menghasilkan nilai rata-rata sebanyak 46,53% kurang dari umur dewasa. Hasil ini menunjukkan distribusi nilai rata-rata yang masih masuk dalam kriteria kisaran hasil tangkapan ikan yuwana 30-60%. Artinya jumlah ikan yuwana yang tertangkap, khususnya pada jenis-jenis ikan yang dominan tertangkap termasuk dalam kriteria banyak
3.1.4 Komposisi Spesies
Komposisi spesies yang dimaksudkan dalam penilaian kinerja pengelolaan perikanan adalah spesies target yang dimanfaatkan, serta spesies non target yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan. Penilaian ini didasarkan pada hasil wawancara terhadap responden yang berpengalaman dalam kegiatan penangkapan ikan, dan didukung dengan hasil observasi. Untuk membantu penilaian pada indikator ini, dipetakan distribusi spesies target dan non target per jenis alat tangkap. Penilaian dilakukan terhadap sembilan jenis alat penangkapan ikan utama yang digunakan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, meliputi: pukat cincin mini, jaring insang hanyut, bagan perahu, pancing tegak, jaring insang lingkar, jaring insang tetap, bubu, pancing ulur dan pancing tonda (Tabel 16).
Penilaian ini merupakan lanjutan dari proses yang dilakukan pada tahun 2012, dan ditemukan adanya perubahan untuk beberapa jenis alat tangkap pada tahun 2014. Perubahan yang terjadi terutama pada jumlah jenis ikan non target yang tertangkap pada setiap jenis alat penangkapan ikan yang dominan digunakan oleh nelayan.
Tabel 16 Distribusi jenis dan jumlah jenis ikan target dan non target yang tertangkap
Alat tangkap Jenis ikan target Jumlah non targetJenis ikan 2012 Jenis ikan non target 2014 Jumlah 2012 Jumlah2014 Non target 2012 Non target 2014 Pukat cincin cakalang, tongkol,
layang, selar, kembung, tembang, lemuru, sunglir --- --- 100,00 100,00 Jaring insang
hanyut kembung, julung-julung, terbang, tembang, belanak
buntal
durian --- 0 83,33 100,00 Bagan
perahu layang, selar,kembung, tembang, lemuru, sunglir, teri, japuh
--- --- 0 100,00 100,00 Pancing
tegak layang, selar,kembung, kerapu, lencam, kakap, lemuru, sunglir
--- --- 0 100,00 100,00 Jaring insang
lingkar layang, selar,tembang, lemuru, japuh, belanak, sunglir
buntal
durian --- 0 87,50 100,00 Jaring insang
tetap layang, selar, ekorkuning, lencam, lemuru, sunglir
buntal
durian, --- 0 85,71 100,00 Bubu kerapu, lencam,
kakap, kurisi, kepe-kepe --- 0 80,00 100,00 Pancing ulur kerapu, lencam,
kakap, kuwe --- --- 100,00 100,00 Pancing
tonda tuna, cakalang,tongkol --- --- 100,00 100,00
Rata-rata 92,95 100,00
Sumber: Hasil Lapangan (2012, 2014), diolah
Jika pada penilaian tahun 2012, lima alat tangkap tidak menunjukkan adanya tangkapan spesies non target, maka pada penilaian tahun 2014 sesuai hasil wawancara sama sekali tidak terdapat jenis ikan non target yang tertangkap pada setiap jenis alat penangkapan ikan. Dua jenis ikan non target yang tidak muncul lagi dalam evaluasi ini.
Faktor-faktor yang diduga menyebabkan tidak adanya kedua ikan non target antara lain: (1) khusus untuk ikan buntal durian, observasi lapangan pada saat evaluasi ini bukan merupakan waktu atau musim dimana ikan jenis ini hadir dalam jumlah banyak dan umumnya sudah sulit ditemukan dalam setiap operasi penangkapan ikan; (2) ikan kepe-kepe mulai jarang ditemukan pada alat tangkap bubu, karena jumlah bubu yang dioperasikan mulai berkurang disamping perubahan daerah penangkapan pada perairan tubir yang lebih dalam dari biasanya juga diduga menjadi penyebab tidak hadirnya ikan jenis ini dalam operasi penangkapan ikan.
Seluruh jenis ikan dikelompokkan sebagai ikan target oleh nelayan didasarkan pada pertimbangan bahwa jenis-jenis tersebut termasuk dalam jenis-jenis ikan ekonomis penting, dan memiliki harga jual di pasar dan dikonsumsi oleh masyarakat, baik keluarga nelayan maupun konsumen yang membeli di pasar.
Hasil observasi lapangan yang dilakukan untuk beberapa jenis alat tangkap yang umum digunakan seperti mini purse
seine pancing tonda, pancing dasar, jaring insang hanyut
dan bagan, juga menunjukkan tidak hadirnya ikan non target pada hasil tangkapan. Seluruh hasil tangkapan dapat dimanfaatkan, baik untuk konsumsi maupun dijual sehingga
Hasil tersebut menunjukkan terjadi peningkatan rata-rata proporsi ikan target yang tertangkap sebanyak 92,95% pada penilaian tahun 2012 menjadi 100,00% pada evaluasi tahun 2014. Sesuai dengan kriteria penilaian pada indikator ini maka, hasil evaluasi ini termasuk dalam kriteria proporsi ikan
target lebih banyak 3.1.5 Range Collapse
Range collapse yang dimaksudkan range collapse sumber daya ikan yang dinyatakan dengan
pergeseran daerah penangkapan ikan yang semakin jauh. Penilaian terhadap indikator ini masih menggunakan eksistensi data poor fisheries sehingga proses pengumpulan dilakukan melalui wawancara terhadap nelayan yang berpengalaman. Untuk memberikan gambaran yang lebih baik, digunakan pendekatan pemetaan partisipatif untuk beberapa jenis usaha perikanan tangkap, seperti bagan, mini purse seine dan pancing kerapu hidup.
Penilaian awal untuk menemukenali range collaps sumber daya ikan adalah melalui penilaian tingkat kesulitan untuk mendapatkan hasil tangkapan sesuai target spesies yang menjadi target penangkapkan. Hasil evaluasi menunjukkan adanya pergeseran pada penilaian perkembangan hasil
Semakin sulit 82.50% Relatif tetap 17.50% Semakin mudah 0.00%
tangkapan. Pertama responden yang menyatakan semakin sulit untuk mendapat hasil tangkapan yang menjadi target penangkapan sebanyak 82,50%. Hasil ini menunjukkan peningkatan dari penilaian pada tahun 2012 sebesar 71,43%.
Kedua responden yang menyatakan relatif tetap untuk mendapat hasil tangkapan yang menjadi
target penangkapan, sebanyak 17,50%. Hasil ini menunjukkan adanya penurunan dari penilaian pada tahun 2012, sebesar 21,43%. Ketiga responden yang menyatakan semakin sulit untuk mendapat hasil tangkapan yang menjadi target penangkapan, sebanyak 00,00%. Artinya dalam mencapai hasil tangkapan yang diharapkan, sesuai dengan target spesies, tidak semudah yang didapatkan pada lima sampai dengan sepuluh tahun lalu.
Jika pada hasil penilaian tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa ada indikasi gejala tekanan terhadap sumber daya ikan di wilayah ini, maka pada hasil evaluasi ini (tahun 2014) dapat diberikan gambaran bahwa upaya pencapaian target spesies yang menjadi tujuan penangkapan terdapat kesulitan. Hal ini disebabkan karena dua faktor: (1) adanya dugaan semakin berkurangnya ikan pada daerah penangkapan ikan yang selama ini menjadi target operasi penangkapan; dan (2) semakin jauhnya daerah penangkapan ikan untuk menghasilkan target spesies yang menjadi tujuan penangkapan. Kedua faktor ini jugalah yang diduga menjadi indikator adanya tekanan terhadap target spesies yang menjadi tujuan tangkap.
Evaluasi terhadap range collaps sumber daya ikan juga dilakukan melalui penilaian indikator aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan (fishing ground). Hasil evaluasi ini juga memberikan gambaran tentang adanya perubahan dibanding penilaian tahun 2012. Perubahan pola pikir nelayan, diduga memberikan pengaruh terhadap penilaian dalam evaluasi ini. Beberapa pendapat dari nelayan yang sebelumnya dinilai pada tahun 2012, memberikan penilaian yang berbeda sehingga menunjukkan adanya pergeseran pemahaman secara makro tentang adanya range collaps sumber daya ikan.
Evaluasi range collaps sumber daya ikan pada indikator aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan (fishing
ground menghasilkan beberapa hasil penilaian sesuai degan
kategori yang telah ditentukan. Pertama daerah penangkapan ikan sangat jauh dinyatakan oleh 37,50% responden. Hal ini dibuktikan dengan adanya pergeseran daerah penangkapan ikan yang harus dijangkau dari periode sebelum tahun 2012 ke tahun 2013 dan 2014. Sangat jauh 37.50% Jauh 57.50% Tetap 5.00%
Kedua sebanyak 57,50% responden menyatakan bahwa daerah penangkapan ikan sangat jauh.
Hal ini dibuktikan dengan jarak tempuh yang dapat dijangkau dalam waktu antara satu setengah sampai dengan empat jam, sebagaimana dikemukakan dalam hasil pemetaan partisipatif.
Pernyataan pertama dan kedua lebih banyak diekspresikan oleh nelayan yang menjalankan usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap mini purse seine bagan, pancing tonda dan usaha pancing ikan kerapu hidup. Ketiga jenis usaha perikanan ini merupakan kegiatan perikanan tangkap yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap produksi perikanan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Kontribusi yang tinggi ini memberikan konsekuensi adanya peningkatan produksi dari waktu ke waktu, sehingga tekanan pada daerah-daerah penangkapan ikan tertentu akan semakin meningkat, dan menyebabkan semakin bertambahnya
range collaps
Ketiga responden yang menyatakan daerah penangkapan ikan tetap atau tidak berubah
sebanyak 5,00%. Pernyataan ini umumnya diberikan oleh nelayan-nelayan yang menjalankan usaha penangkapan ikan dengan bantuan alat tangkap jaring insang, pancing tegak dan pancing ulur, dengan kondisi armada penangkapan ikan yang hanya menggunakan mesin ketinting, bahkan menggunakan dayung.
Ketiga hasil penilaian perspektif terhadap range collaps di atas membutuhkan justifikasi yang kuat, sehingga pendekatan pemetaan partisipatif menjadi dasar untuk memberikan gambaran tentang kondisi yang dinyatakan dan dipersepsikan oleh nelayan di wilayah kajian ini. Pemetaan partisipatif dilakukan untuk tiga kelompok usaha perikanan, masing-masing: perikanan bagan, mini purse seine dan usaha pancing kerapu hidup (Gambar 17).
Pertama daerah penangkapan ikan untuk perikanan bagan pada periode sebelum tahun 2012
terkonsentrasi di kawasan perairan Timur Kei Kecil, khususnya di perairan Selat pada wilayah petuanan desa Sathean sampai dengan Ibra dan perairan sekitarnya. Daerah penangkapan ikan untuk perikanan bagan bergeser sesudah tahun 2012, dengan distribusinya yang bervariasi mulai dari bagian Tengah perairan Selat Nerong, antara Kei Kecil dan Kei Besar, sampai dengan perairan Barat Kecamatan Kei Besar dan Kei Besar Selatan. Di sisi lain, pada musim Timur, teridentifikasi dua pemilik bagan menempatkan alat tangkap bagan pada perairan antara Pulau Er dan Pulau Ngodan, di bagian Barat Laut Pulau Kei Kecil.
G am ba r 17 Pe ta Pa rt is ip at if R an ge Co lla ps Su m be r D ay a Ik an K ab up at en M al uk u T en gg ar a, T ah un 20 14
Hasil ini membuktikan bahwa range collaps pada perikanan bagan ditunjukkan dengan pergeseran waktu pencapaian atau aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan antara satu sampai dengan empat jam. Dalam konteks jarak secara fisik, range collaps yang digambarkan ini mencapai jarak yang lebih jauh dengan kisaran pergeseranantara .... sampai dengan .... mil laut.
Kedua untuk perikanan mini purse seine daerah penangkapan ikan pada periode sebelum tahun
2012 tersebar di kawasan perairan Timur Pulau Dullah serta perairan Timur Kei Kecil dan Kei Kecil Timur. Hasil evaluasi untuk periode sesudah tahun 2012 menunjukkan adanya pergeseran daerah penangkapan ikan untuk usaha perikanan ini. Pergeseran daerah penangkapan ikan cenderung mengelompok ke arah Selatan Selat Nerong, pada bagian Barat perairan Kecamatan Kei Kecil Selatan Barat. Daerah penangkapan ikan untuk usaha perikanan mini purse seine tidak terbatas pada perairan ini saja, namun meluas dan mengelompok pada perairan bagian Timur Kecamatan Kei Besar Selatan.
Hasil pemetaan partisipatif memberikan gambaran range collaps untuk perikanan mini purse
seine bergeser cukup cepat. Dalam waktu dua sampai dengan tiga tahun, range collaps
mencapai jarak fisik antara .... sampai dengan .... mil laut Pergeseran range collaps ini menyebabkan waktu tempuh dalam satu trip penangkapan mencapai waktu tiga sampai dengan lima jam.
Ketiga pergeseran daerah penangkapan ikan pada perikanan kerapu hidup juga menunjukkan
adanya pergeseran range collaps Kawasan Barat perairan pulau-pulau kecil, sebelum tahun 2012 merupakan daerah penangkapan ikan kerapu yang cukup potensial. Pada periode sebelum tahun 2012, Daerah tubir dan terumbu karang di bagian Barat perairan pulau Er merupakan lokasi paling Utara merupakan salah satu daerah penangkapan ikan kerapu yang sering dikunjungi. Daerah penangkapan ikan kerapu lainnya yang teridentifikasi dalam periode penangkapan ikan sebelum tahun 2012, meliputi: daerah tubir dan terumbu karang di bagian Barat Pulau Nai, Pulau Hoat, Pulau Lea, Pulau Tangwain dan Labulin, Pulau Warbal, Pulau Ur dan Witir, Pulau Nuhuta dan Far, serta daerah tubir dan terumbu karang di perairan Barat Laut dan Selatan Pulau Tanimbar Kei.
Dalam tahun 2012 sampai dengan 2014, daerah penangkapan ikan kerapu mulai bergeser ke daerah tubir dan terumbu karang di perairan pulau-pulau kecil yang termasuk dalam wilayah adinistrasi Kota Tual. Kawasan pulau-pulau kecil yang sering disebut sebagai kepulauan Tam Tayando ini, sekarang menjadi lokasi alternatif penangkapan ikan kerapu hidup bagi masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, khususnya nelayan di pesisir Barat pulau
Kei Kecil. Konsentrasi daerah penangkapan ikan tidak hanya terbatas pada satu sisi perairan kepulauan Pulau Tam Tayando, namun menyebar pada seluruh bagian perairan, khususnya di daerah tubir dan terumbu karang.
Pergeseran yang ditunjukkan pada hasil pemetaan tentang daerah penangkapan ikan kerapu pada periode sebelum tahun 2012 dan setelahnya, memberikan justifikasi adanya perubahan
range collaps pada perikanan kerapu. Pergeseran ini ditunjukkan melalui perubahan akses
secara fisik oleh nelayan di pesisir Barat Kei Kecilantara .... sampai dengan .... mil laut Hal ini memberikan konsekuensi terhadap adanya perubahan waktu tempuh dalam satu trip penangkapan, yakni mencapai waktu satu setengah sampai dengan empat jam.
Hasil penilaian melalui perspektif nelayan dan hasil pemetaan partisipatif terhadap pergeseran daerah penangkapan ikan dalam tiga tahun terakhir memberikan gambaran tentang range
collaps rata-rata untuk kegiatan penangkapan ikan di wilayah Maluku Tenggara. Sesuai dengan
hasil penilaian ini, kisaran pergeseran daerah penangkapan ikan termasuk dalam kategori
daerah penangkapan ikan jauh, tergantung pada spesies target 3.1.6 Spesies ETP
Penilaian terhadap indikator ini didasarkan pada eksistensi spesies ETP yang tertangkap dalam suatu kegiatan penangkapan ikan. Spesies ETP adalah kelompok-kelompok spesies ikan yang termasuk dalam kategori Endangered, Threatened dan Protected Hal ini disesuaikan dengan kriteria yang dibangun oleh CITES.
Pengembangan penilaian untuk indikator ini masih menggunakan pendekatan asumsi data poor
fisheries Sebagai konsekuensi dari asumsi ini, maka penilaian dilakukan berdasarkan perspektif
nelayan terhadap eksistensi spesies ETP. Hal inilah yang menyebabkan proses penilaian harus dilakukan melalui wawancara terhadap nelayan yang berpengalaman dalam menjalankan usaha mereka.
Hasil wawancara menunjukkan hanya dua kelompok sumber daya ikan yang meliputi empat spesies merupakan spesies ETP. Dua kelompok sumber daya ikan yang dimaksudkan adalah: ikan napoleon dan penyu. Jika pada kelompok ikan napoleon yang teridentifikasi hanya satu jenis, maka pada kelompok penyu teridentifikasi tiga spesies ETP, masing-masing: penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu belimbing (Dermochelys
Hasil identifikasi memberikan gambaran tentang adanya spesies ETP yang tertangkap melalui kegiatan penangkapan ikan, namun frekuensi kehadirannya semakin kecil dibanding lima sampai sepuluh tahun lalu. Pertama hasil tangkapan ikan, khususnya ikan napoleon sangat sedikit dan jarang ditemukan. Sebagian besar nelayan pada perikanan kerapu mulai menerapkan proses rilis untuk hasil tangkapan napoleon. Proses ini mulai diterapkan oleh nelayan di pesisir Barat Kei Kecil, dalam tiga tahun terakhir. Diduga, pemahaman nelayan tentang status ikan napoleon sebagai ikan yang dilindungi menjadi pemicu dilakukanya proses tersebut. Hal ini juga didukung dengan adanya pengembangan kawasan konservasi di bagian Barat Kei Kecil, sehingga proses-proses sosialisasi tentang pentingnya konservasi kawasan maupun konservasi sumber daya ikan.
Kedua sebagian besar upaya pelepasan penyu hijau dan sisik yang tertangkap telah dilakukan
oleh nelayan di pesisir Barat Pulau Kei Kecil. Hasil tangkapan untuk kedua jenis penyu dengan menggunakan jaring insang dasar maupun pancing dasar atau pancing tegak. Pengetahuan tentang perlindungan kedua spesies penyu ini, semakin meningkat di kalangan nelayan karena adanya berbagai aktivitas yang memberikan penguatan terhadap konservasi jenis sumber daya ikan tertentu. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud, antara lain: adanya pelatihan dan penguatan kapasitas masyarakat yang dilakukan oleh WWF Indonesia selama empat tahun terakhir, serta kegiatan atau aksi konservasi yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara melalui perlindungan daerah-daerah peteluran penyu dan perlindungan terhadap tukik penyu.
Ketiga penyu belimbing masih digunakan untuk kebutuhan upacara adat, namun
pemanfaatannya sangat terbatas. Untuk kepentingan upacara adat, dibutuhkan satu ekor penyu belimbing per tahun. Di sisi lain, penangkapan penyu belimbing tidak pernah lagi dilakukan oleh masyarakat atau nelayan di Maluku Tenggara. Hal ini ini disebabkan semakin sulitnya menemukan spesimen penyu belimbing karena kehadirannya semakin sedikit di perairan ini, disamping semakin sedikitnya aktivitas penangkapan ikan pada kawasan-kawasan potensial yang menjadi feeding ground dari penyu belimbing. Bulan Oktober merupakan waktu di mana potensi hadirnya penyu belimbing di perairan Maluku Tenggara sebagai akibat tingginya populasi atau blooming-nya ubur-ubur. Waktu-waktu ini telah dipahami sebagai waktu-waktu dimana kegiatan penangkapan ikan dengan jaring insang hanyut harus dikurangi.
Hasil penilaian melalui pendekatan perspektif masyarakat atau nelayan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara memberikan justifikasi tentang status domain ini. Dengan perilaku yang sering melepaskan spesies-spesies ETP tersebut di atas pada saat kegiatan penangkapan ikan, dan meningkat pemahaman tentang pentingnya perlindungan terhadap spesies-spesies ETP,
maka dalam konteks penilaian pada indikator ini, kriteria yang terpenuhi adalah terdapat
individu ETP yang tertangkap tetapi dilepas 3.2 Domain Habitat Ekosistem
3.2.1 Kualitas Perairan
Evaluasi terhadap indikator ini dilakukan melalui penilaian pada tiga parameter, masing-masing: (1) eksistensi limbah termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3); (2) tingkat kekeruhan dan padatan suspensi total; serta (3) eutrofikasi. Ketiga parameter yang dinilai ini menjadi dasar dalam penentuan status domain kualitas perairan.
a. Limbah yang teridentifikasi
Komponen pertama dalam penilaian indikator ini adalah limbah yang teridentifikasi, baik secara secara klinis, audio dan atau visual, contohnya limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Pendekatan untuk melakukan perbandingan kondisi perairan melalui kualitas perairan ini, menggunakan parameter dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut Lampiran 3.
Dalam evaluasi ini, tidak dilakukan sampling terhadap tingkat ketercemaran lingkungan perairan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, sehingga tidak dilakukan pengukuran secara klinis maupun audio. Untuk menjawab kebutuhan penilaian atau evaluasi pada komponen ini, maka penilaian dilakukan dengan pendekatan visual.
Secara umum, seluruh perairan pesisir dan laut di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara tidak menunjukkan adanya gejala tercemar ringan sampai dengan berat. Beberapa lokasi yang diduga memiliki tingkat ketercemaran yang sangat rendah adalah pusat-pusat aktivitas perhubungan laut. Untuk memberikan gambaran tentang kondisi ini, lokasi-lokasi seperti pelabuhan laut Ohoijang yang melayani bongkar muat dan distribusi orang antar pulau dikunjungi untuk membuktikan tingkat ketercemaran secara visual. Hasil pemantauan lapangan menunjukkan perairan sekitar pelabuhan ini tidak menunjukkan adanya indikasi tercemar minyak. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena flushing di Selat Rosenberg cukup baik sehingga tidak terdapat konsentrasi bahan cemar di kawasan ini. Hasil pantauan pada lokasi lain seperti pelabuhan laut di desa Debut juga tidak memberikan gambaran ketercemaran perairan sekitarnya.
Hasil ini memberikan gambaran bahwa perairan Kabupaten Maluku Tenggara secara umum berada pada kondisi tidak tercemar Sedikitnya aktivitas industri di wilayah ini, tidak memberikan kontribusi yang berarti terhadap ketercemaran perairan. Temuan pada kegiatan
evaluasi tahun 2014 ini menunjukkan belum adanya perubahan yang berarti jika dibandingkan dengan hasil pada tahun 2012.
b. Tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total
Komponen penilaian kedua untuk kualitas perairan adalah tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total. Pengukuran dalam kegiatan evaluasi ini hanya dilakukan pada dua lokasi yang diasumsikan mewakili dua Kecamatan, masing-masing: pada perairan Pulau Ngaf untuk Kecamatan Kei Kecil dan perairan Dian Pulau untuk Kecamatan Kei Kecil Barat.
Hasil pengukuran tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total dalam kegiatan evaluasi ini dibandingkan dengan baku mutu air laut yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, dengan acuan penilaian sesuai distribusi nilai Baku Mutu Air Laut pada Lampiran II untuk Wisata bahari dan pada Lampiran III untuk Biota Laut (Tabel ..) Hasil pengukuran ini menunjukkan adanya perbedaan yang tidak terlalu besar antara tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total pada kedua lokasi pengamatan.
Tabel ..Distribusi tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total pada perairan Kei Kecil dan Kei Kecil Barat
Parameter Baku MutuAir Laut Kei KecilTahun 2014Kei Kecil Barat KesesuaianKriteria
Tingkat kekeruhan (ntu)
a. Wisata Bahari 5
0,8 1,02 Di Bawah
Baku Mutu
b. Biota Laut 5
Padatan Tersuspensi Total (mg/l)
a. Wisata Bahari 20
0,08 0,98 Di Bawah
Baku Mutu
b. Biota Laut di Terumbu Karang 20
c. Biota Laut di Mangrove 80
d. Biota Laut di Lamun 20
Hasil pengukuran pada tabel ini menunjukkan nilai kedua parameter di perairan Kei Kecil masih di bawah perairan Kei Kecil Barat. Kondisi ini didukung dengan distribusi lokasi perairan Dian Pulau pada Kecamatan Kei Kecil Barat sangat dipengaruhi perairan sekitar yang cukup didominasi oleh ekosistem mangrove yang umumnya memiliki substrat dasar pasir berlumpur. Walaupun lokasi ini masih agak jauh dari lokasi ekosistem mangrove, namun dinamika perairan pantai yang cukup tinggi sangat mempengaruhi distribusi partikel tersuspensi. Di sisi lain, lokasi perairan Pulau Ngaf termasuk perairan yang memiliki tingkat kekeruhan yang sangat
rendah karena flushing di kawasan ini sangat cepat, sementara subtrat yang doniman di wilayah ini adalah pasir dan patahan karang.
Distribusi nilai tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total seperti ini masih termasuk dalam kisaran baku mutu air laut yang sesuai dengan kriteria baku mutu air laut untuk wisata bahari maupun biota laut. Bahkan kisaran nilai ini jauh di bawah tetapan nilai maksimum yang ada. Dengan demikian, untuk penilaiannya sesuai kriteria yang ditetapkan yakni Kurang dari
Baku Mutu Air Laut Sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 c. Eutrofikasi
Komponen penilaian lainnya yang terkait dengan indikator kualitas perairan adalah tingkat eutrofikasi. Dalam penilaian ini, tingkat eutrofikasi dinilai dengan pendekatan distribusi kandungan klorofil-a. Beberapa pendapat memberikan penjelasan bahwa tingginya distribusi kandungan klorofil-a menunjukkan terjadinya eutrofikasi di suatu perairan.
Dalam evaluasi ini, penilaian eutrofikasi dilakukan dengan pendekatan distribusi temporal dari kandungan klorofil-a di perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Distribusi temporal yang dimaksudkan adalah distribusi klorofil-a secara musiman, dengan cuplikan data pada empat bulan yang mewakili setiap musim.
Sesuai hasil ekstraksi dari Citra MODIS, ditemukan adanya variasi distribusi kandingan klorofil-secara musiman (Gambar 5). Pertama untuk cuplikan bulan April 2014 yang mewakili musim Peralihan Barat ke Timur, kisaran kandungan klorofil-a antara 0,05 g/l sampai dengan 2,34 g/l. Rata-rata kandungan klorofil pada musim ini sebesar 0,10 g/l, dengan standar deviasi sebesar 0,06 (Tabel ..) Pada musim ini, konsentrasi kandungan klorofil-a tertinggi ditemukan pada perairan pulau sepuluh di bagian Barat Kei Kecil. Distribusi nilai ini menunjukkan bahwa pada musim Peralihan Barat ke Timur, perairan Maluku Tenggara memiliki kandungan klorofil-yang cukup tinggi, dibandingkan musim-musim lainnya, kecuali pada Musim Timur klorofil-yang memiliki distribusi kandungan klorofil-a yang sangat tinggi. Kondisi demikian terjadi karena masih ada pengaruh dinamika musim Barat yang terakumulasi pada bagian perairan yang agak tertutup di kawasan ini. Di sisi lain, kandungan klorofil-a pada kawasan perairan ini juga berasal dari kontribusi hutan mangrove yang terdistribusi di pesisir Barat Kei Kecil.
Kedua cuplikan bulan Agustus 2014 yang mewakili musim Timur menggambarkan distribusi
kandungan klorofil-a yang mencapai nilai maksimum dari seluruh musim. Nilai minimum kandungan klorofil pada musim ini sebesar 0,26 g/l, sedangkan nilai maksimumnya sebesar
4,00 g/l. Sesuai distribusi kandungan klorofil-a secara agregat yang dapat ditangkap melalui cuplikan pada musim ini, nilai rata-rata kandungannya mencapai 0,80 g/l, dimana standar deviasi untuk hasil cuplikan ini sebesar 0,41.
g/l) Gambar 5. Distribusi kandungan klorofil-a di perairan Maluku Tenggara
Pemetaan hasil cuplikan kandungan
klorofil-a ini menunjukkan seluruh perairan cenderung memiliki nilai yang tinggi. Kisaran kandungan klorofil-a yang cukup tinggi disebabkan adanya upwelling yang selalu terjadi pada musim ini. Di samping itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan
adanya sumbangan unsur hara terhadap peningkatan kandungan klorofil-a di perairan.
132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3 Bujur Timur -6.1 -5.9 -5.7 -5.5 -5.3 Bu ju r T im ur April 2014 132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3 Bujur Timur -6.1 -5.9 -5.7 -5.5 -5.3 Li nt an g Se la ta n Agustus 2014 132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3 Bujur Timur -6.1 -5.9 -5.7 -5.5 -5.3 Li nt an g Se la ta n November 2014 132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3 Bujur Timur -6.1 -5.9 -5.7 -5.5 -5.3 Li nt an g Se la ta n Pebruari 2015
Tabel .. Distribusi nilai klorofil- secara musiman di perairan Maluku Tenggara
Indikator Nilai
Distribusi nilai musiman g/l)
Apr-14 Agust-14 Nop-14 Feb-15
Min 0,05 0,26 0,06 0,08
Max 2,34 4,00 0,59 0,40
Rerata 0,10 0,80 0,21 0,13
Ketiga distribusi kandungan klorofil-a pada musim Peralihan Timur ke Barat yang diwakili oleh
cuplikan data pada bulan Nopember 2014 memiliki variasi yang cukup kecil dibanding kedua musim lainnya, Peralihan Barat ke Timur dan musim Timur. Nilai minimum kandungan klorofil-a sebesar 0,06 g/l, sedangkan nilai maksimum sebesar 0,59 g/l dengan rata-rata sebesar 0,21 g/l. Standar deviasi untuk seluruh hasil cuplikan pada musim sebesar 0,08. Distribusi kandungan klorofil-a seperti ini tidak didukung dengan adanya peningkatan kandungannya di perairan baik akibat upwelling maupun karena sumbangan hara yang tinggi ke perairan.
Keempat pola yang mirip dengan musim Peralihan Timur ke Barat juga ditemukan pada musim
Barat yang diwakili oleh cuplikan data pada bulan Pebruari 2015. Walaupun terindikasi pola distribusi yang mirip, namun musim ini menunjukkan distribusi kandungan klorofil-a dengan variasi nilai yang sangat kecil. Hal ini terbukti dari kandungan klorofil-a minimum sebesar 0,08 g/l dan maksimum hanya sebesar 0,40 g/l. Sesuai dengan distribusi secara agregat, maka nilai rata-rata kandungan klorofil-a pada musim ini hanya sebesar 0,13 g/l, dengan standar deviasi 0,03. Pola distribusi dengan kandungan klorofil-a yang rendah tidak didukung dengan proses upwelling maupun sumbangan unsur hara.
Hasil analisis distribusi kandungan klorofil-a untuk setiap musim secara agregat pada perairan Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan bahwa tingkat eutrofikasi di wilayah ini termasuk
rendah Tingkat eutrofikasi dalam kategori sedang, berpeluang terjadi pada musim Peralihan
Barat ke Timur dan musim Timur.
3.2.2 Status Ekosistem Lamun
Status lamun juga menjadi salah satu indikator evaluasi EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara. Evaluasi status lamun dilakukan melalui pendekatan dua parameter yaitu tingkat tutupan dan keanekaragaman. Lokasi-lokasi awal yang menjadi titik penilaian EAFM Kabupaten Maluku Tenggara pada tahun 2012, juga dijadikan sebagai lokasi sampel evaluasi status lamun di kawasan ini. Hal ini dilakukan agar evaluasi yang dilakukan dapat menjawab kebutuhan pengelolaan.
a. Tutupan
Hasil pengamatan dan analisis menunjukkan adanya perbedaan tutupan lamun antar lokasi pengamatan. Walaupun demikian, secara agregat distribusi lamun di Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan pola tutupan yang hampir seragam, kecuali pada beberapa jenis
tertentu. Distribusinya secara spasial pada keempat lokasi pengamatan dinyatakan dalamTabel 9
Tabel 9. Jenis, kerapatan, frekuensi kehadiran dan persen tutupan lamun di Kecamatan Kei Kecil
No Jenis Jumlah Tegakan Kerapatan
Frekuensi
Kehadiran Persen Tutupan 2012 2014 2012 2014 2012 2014 2012 2014 Lokasi 1: Desa Ohoililir
1 Cymodocea rotundata 130 124 11,82 11,36 0,91 0,88 65 64 2 Thalassia hemprichii 113 115 10,27 10,45 0,91 0,93 65 65 3 Enhalus acoroides 72 69 6,55 6,54 0,91 0,91 75 75 4 Halodule pinifolia 43 41 3,91 3,63 0,09 0,06 55 54 5 Halophila ovalis 64 62 5,82 5,45 0,64 0,60 60 57 6 Halodule uninervis 107 105 9,72 9,54 0,64 0,60 65 65 7 Halophila minor 4 5 0,36 0,45 0,09 0,07 15 15 Rata-Rata 57,14 56,43 Lokasi 2: Pulau Ngaf
1. Cymodocea rotundata 468 462 18,72 18,4 0,88 0,80 65 63 2. Thalassia hemprichii 378 353 15,12 14 0,76 0,68 65 60 3. Halophila ovalis 83 81 3,32 3,2 0,28 0,28 60 58 4. Halodule uninervis 74 75 2,96 3 0,16 0,16 65 65 5. Thalassodendron ciliatum 297 281 11,88 11,2 0,4 0,37 70 66 Rata-Rata 65,00 62,4 Lokasi 3: Tanjung Najun
1 Halophila decipiens 43 41 4,3 4,1 0,2 0,2 45 44 2 Thalassia hemprichii 245 224 24,5 22,4 0,8 0,56 75 68 3 Enhalus acoroides 50 41 5,0 4,1 0,5 0,5 75 72 4 Halodule pinifolia 55 59 5,5 5,9 0,2 0,3 45 50 5 Halophila ovalis 77 81 7,7 8,1 0,3 0,3 55 55 6 Halodule uninervis 232 239 23,2 23,9 0,9 0,95 70 70 7 Syringodium isoetifolium 128 119 12,8 11,9 0,4 0,3 75 73 Rata-Rata 62,86 61,71 Lokasi 4: Pulau Ohoiwa
1. Cymodocea rotundata 344 340 20,24 34 0,88 0,86 75 74 2. Thalassia hemprichii 391 380 23,0 38 0,82 0,76 75 70 3. Enhalus acoroides 235 221 13,82 22,1 1 0,80 75 70 4. Halodule pinifolia 41 38 2,41 3,8 0,06 0,06 50 48 5. Halophila ovalis 103 101 6,06 10,1 0,47 0,47 65 65 6. Halodule uninervis 35 35 2,06 3,5 0,06 0,06 45 45 7. Syringodium isoetifolium 137 128 8,06 12,8 0,35 0,40 60 56 Rata-Rata 63,57 61,14 Rata-Rata seluruh lokasi 62,14 60,42
Sumber: Laporan Penilaian EAFM 2012, Data Lapangan 2014, diolah
Pertama pengambilan sampel lamun tahun 2014 yang dilakukan pada perairan pantai Desa
Ohoililir masih menemukan sebanyak tujuh jenis lamun, meliputi E. acoroides, Halodule
uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, H. minor, C. rotundata dan T. hemprichii Jenis-jenis yang hadir
dengan jumlah tegakan terbanyak (lebih dari 100 tegakan), masing-masing: C. rotundata sebanyak 124 tegakan, T. hemprichii 115 tegakan dan H. uninervis 105 tegakan. Sesuai dengan tingginya jumlah tegakan ketiga jenis itu, cukup berpengaruh terhadap tingginya tingkat
kerapatan jenis, masing-masing: 11,36 tegakan/m2untuk C. rotundata, 10,45 tegakan/m2pada
T. hemprichii dan H. uninervis 9,54 tegakan/m2 Hasil ini juga menunjukkan bahwa H. minor
merupakan satu-satunya jenis yang tingkat kerapatan jenis yang terendah, yakni 0,45 tegakan/m2 Sesuai dengan hasil analisis itu, maka teridentifikasi juga frekuensi kehadiran jenis
lamun yang tertinggi pada jenis T. hemprichii sebesar 0,93, sedangkan frekuensi kehadiran terendah pada jenis H. minor dengan nilai sebesar 0,07.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa
E. acoroides tetap memiliki nilai tutupan yang
sangat besar yakni 75 %, sedangkan tutupan terendah pada jenis H. minor (15%). Keberadaan jenis E. acoroides dengan persen tutupan tertinggi disebabkan morfologinya yang memungkinkannya
untuk memiliki persen tutupan yang besar. Sementara jenis H. minor memiliki persen tutupan terendah karena sifat penyebarannya yang biasanya bersifat individual atau tidak mengelompok dan distribusinya tidak merata. Secara agregat, rata-rata nilai persen tutupan lamun di perairan ini sebesar 56,43%, yang berarti bahwa nilai persen tutupan lamun pada tahun 2014 telah menurun hampir 1% dibandingkan tahun 2012.
Kedua pengambilan data lamun pada perairan pulau Ngaf dalam tahun 2014 ini, juga
menemukan sebanyak lima jenis lamun pada habitat yaitu jenis H. uninervis, H. ovalis, T.
ciliatum, C. rotundata dan T. hemprichii Jenis C. rotundata masih merupakan jenis dengan
jumlah tegakan paling tinggi yaitu 462 tegakan, sedangkan H. uninervis merupakan jenis lamun dengan jumlah tegakan terendah (75 tegakan). Sebagaimana dikemukakan pada lokasi pertama, distribusi jumlah tegakan diikuti oleh tingkat kerapatan lamun, dimana kerapatan tertinggi pada jenis C. rotundata sebanyak 18,4 tegakan/m2
sedangkan H. uninervis dengan tingkat kerapatan
terendah, sebanyak tegakan/m2 Jenis C.
rotundata memiliki frekuensi kehadiran tertinggi
sebesar 0,80, diikuti jenis T. hemprichii sebesar 0,68, sedangkan frekuensi kehadiran terendah pada jenis H. uninervis sebesar 0,16.
Persen tutupan lamun tertinggi pada lokasi pengamatan ini pada jenis T. ciliatum sebesar 66%. Tipe substrat yang terdiri dari pasir dan patahan karang merupakan tipe substrat yang disenangi oleh jenis lamun ini untuk tumbuh dan berkembang. Penyebarannya yang
berkelompok dan ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak, menyebabkan lamun jenis ini memiliki persen tutupan yang tinggi. Secara umum, nilai rata-rata persen tutupan lamun pada lokasi pengamatan ini sebesar 62,4% yang berarti berkurang sekitar 2,6% dari tahun 2012. Menurunnya tutupan lamun dalam kurun waktu evaluasi dua tahun ini belum dapat dikemukakan sebagai adanya tekanan yang terjadi pada ekosistem ini karena hal ini bisa saja terjadi akibat proses pengamatan lapangan pada titik yang sedikit berbeda.
Ketiga pengamatan potensi lamun di perairan pantai Tanjung Najun menunjukkan
distribusinya diwakili oleh tujuh jenis. Kondisi perairan yang agak terlindung menjadi penyebab jenis lamun di lokasi ini lebih banyak daripada yang ditemukan di lokasi sebelumnya (Pulau Ngaf). Padahal secara geografis, letak kedua lokasi ini cukup berdekatan. Ketujuh jenis lamun tersebut yaitu E. acoroides, H. decipiens, H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, S. isoetifolium dan T.
hemprichii Jumlah tegakan terbanyak ditemukan pada jenis H. uninervis yaitu sebanyak 239
tegakan, sedangkan jumlah tegakan terendah pada jenis H. decipiens dan E. acoroides yaitu sebanyak 41 tegakan. Distribusi jumlah tegakan seperti ini turut memberikan pengaruh terhadap tingkat kerapatan lamun dimana H. uninervis memiliki kerapatan tertinggi yaitu 23,9 tegakan/m2 sedangkan terendah pada jenis H. decipiens dan E. acoroides dengan kerapatan
jenis masing-masing 4,1 tegakan/m2
Frekuensi kehadiran tertinggi ternyata ditemukan pada jenis H. uninervis dengan nilai 0,95. Hal ini diduga masih dipengaruhi oleh kondisi substrat perairan ini yang terdiri dari pasir dan patahan karang yang memang merupakan preferensi dari jenis lamun ini untuk hidup, berkembang dan membentuk koloni tunggal. Di sisi lain, frekuensi
kehadiran lamun terendah ditemukan pada jenis H. decipiens Persen tutupan tertinggi pada jenis S. isoetifolium sebanyak 73%, sedangkan dua jenis lainnya H. decipiens dan H. pinifolia memiliki persen tutupan terendah. Hasil perhitungan nilai persen tutupan lamun rata-rata pada perairan ini sebesar 61,71%.
Keempat Pulau Ohoiwa merupakan salah satu pulau yang agak unik dibandingkan lokasi-lokasi
lain yang dijadikan titik pengambilan sampel lamun. Hal ini dikarenakan pada pulau ini terjadi tekanan antropogenik manusia cukup tinggi dan juga karena perairannya dimanfaatkan sebagai lokasi budidaya mutiara. Sesuai hasil survey, ditemukan sebanyak tujuh jenis lamun pada lokasi ini, masing-masing: E. acoroides, H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, S. isoetifolium, C. rotundata
dan T. hemprichii Dua jenis lamun yang disebutkan terakhir merupakan jenis lamun dengan jumlah tegakan tertinggi yaitu masing-masing 340 dan 380 tegakan. Sementara jenis H.
uninervis memiliki jumlah tegakan terendah yaitu 35 tegakan. Sesuai dengan distribusi jumlah
tegakan, nilai kerapatan lamun pada lokasi ini didominasi oleh jenis T. hemprichii dengan nilai kerapatan 38 tegakan/m2 sementara yang terendah oleh jenis H. uninervis yaitu sebanyak 3,5
tegakan/m2
Jenis E. acoroides merupakan jenis lamun dengan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada walaupun dilihat dari jumlah tegakan, jenis ini bukan merupakan jenis dengan jumlah tegakan yang dominan. Hal ini dikarenakan jenis ini hampir selalu ditemukan pada setiap kotak pengamatan. Jenis substrat yang agak berlumpur, memang menjadi lokasi yang ideal bagi lamun jenis ini. Sementara jenis H. pinifolia sekalipun merupakan jenis lamun pioner, merupakan jenis lamun dengan frekuensi kehadiran paling rendah. Sementara untuk persen tutupan, yang paling tinggi tetap didominasi oleh E. acoroides sedangkan yang terendah diwakili oleh jenis H. uninervis
Hasil penilaian secara agregat pada tahun 2014 memberikan gambaran variasi yang rata-rata persen penutupan lamun yang tidak terlalu berbeda jauh dari hasil penilaian pada tahun 2012. Variasi secara spasial juga tidak memberikan perbedaan yang berarti antar lokasi pengamatan, kecuali pada pesisir desa Ohoililir yang lebih rendah dibanding ketiga lokasi pengamatan lainnya. Agregasi untuk seluruh persen penutupan menunjukkan bahwa perairan Kabupaten Maluku Tenggara memiliki nilai tutupan lamun rata-rata sebesar 60,42%. Hasil penilaian ini menunjukkan status lamun sesuai parameter tutupan lamun kriteria persen tutupan tinggi
karena atau 60% b. Keanekaragaman
Penilaian keanekaragaman sebagai salah satu parameter status lamun yang dimaksudkan adalah keanekaragaman spesies lamun yang didasarkan pada hasil perhitungan yang menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Hasil perhitungan menunjukkan distribusi nilai keanakeragaman spesies lamun di perairan ini memiliki variasi yang tidak terlalu besar. Distribusi nilai keanakeragaman spesies lamun yang didapat dalam survey tahun 2014 ini tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dengan hasil survey tahun 2012.