• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENILAIAN PERFORMA PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DENGAN INDIKATOR EAFM (Ecosystem Approach to Fishereis Management)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENILAIAN PERFORMA PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DENGAN INDIKATOR EAFM (Ecosystem Approach to Fishereis Management)"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

0

LAPORAN PENILAIAN PERFORMA

PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP

DENGAN INDIKATOR EAFM

(Ecosystem Approach to Fishereis Management)

Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara

Tim Kerja EAFM / Penyusun: Learning Center EAFM Universitas Halu Oleo

Kerja Sama Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Halu Oleo Dengan WWF-Indonesia

(2)

1 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Wakatobi berada dalam gugusan pulau-pulau di jazirah Tenggara Kepulauan Sulawesi Tenggara, tepatnya di sebelah Tenggara Pulau Buton. Secara astronomis Kabupaten Wakatobi terletak pada bagian selatan garis khatulistiwa, membentang dari Utara ke Selatan pada posisi garis lintang 5º12’ – 6º25’ Lintang Selatan (sepanjang kurang lebih 160 km) dan garis bujur 123º20’ – 124º39’ Bujur Timur (sepanjang kurang lebih 120 km).

Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45/2009. Dalam konteks adopsi hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.

Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001). Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi tersebut, di mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management, selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting.

Wakatobi sebagai wilayah kepulauan di Sulawesi Tenggara dikaruniai dengan ekosistem perairan tropis memiliki karakterstik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya sumberdaya ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika sumberdaya ikan ini tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan

(3)

2 yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu sendiri. Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran model sederhana dari kompleksitas sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan terpadu berbasis ekosistem menjadi sangat penting.

Kabupaten Wakatobi merupakan kawasan konservasi Taman Nasional terletak pada posisi geografis antara 50° 12´– 6° 10´ Lintang Selatan dan 123° 20´ - 124° 39´ Bujur Timur. Wilayah timur berbatasan dengan Laut Banda, barat berbatasan dengan Pulau Buton dan Laut Flores, utara berbatasan dengan laut Banda dan selatan berbatasan dengan laut Flores. Secara keseluruhan Kabupaten Wakatobi memiliki luas daratan 823 km², dengan panjang garis pantai kurang lebih 315 km dan memiliki 30 pulau terdiri 10 pulau terhuni dan 20 pulau tidak terhuni. Secara administrasi Kabupaten Wakatobi memiliki 5 Kecamatan dan 52 desa pantai dengan luas perairan diperkirakan 55.131 km².

Kabupaten Wakatobi merupakan kawasan konservasi Taman Nasional terletak pada posisi geografis antara 50° 12´– 6° 10´ Lintang Selatan dan 123° 20´ - 124° 39´ Bujur Timur. Wilayah timur berbatasan dengan Laut Banda, barat berbatasan dengan Pulau Buton dan Laut Flores, utara berbatasan dengan laut Banda dan selatan berbatasan dengan laut Flores. Secara keseluruhan Kabupaten Wakatobi memiliki luas daratan 823 km², dengan panjang garis pantai kurang lebih 315 km.

Kabupaten Wakatobi memiliki potensi sumberdaya perikanan baik ikan pelagis maupun ikan demersal termasuk ikan karang didalamnya. Kebijakan yang berdampak berkelanjutannya sektor kelautan dan perikanan sudah menjadi urgensi dalam setiap sendi kebijakan daerah. Melalui kajian EAFM yang bersifat komprehensif, meliputi domain Sumberdaya ikan, Teknologi Penangkapan, Habitat dan ekosistem, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan diharapkan dapat menggambarkan performa pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang diterapkan di kabupaten Wakatobi.

TNW memiliki keistimewaan yang terletak pada keindahan bawah laut, keanekaragaman biota laut dan terumbu karangnya, karena kawasan ini terletak di tengah kawasan segitiga karang dunia. Tercatat sebanyak 396 jenis karang keras berterumbu (scleractanian hermatripic), 10 spesies karang keras tak-berterumbu (scleractanian ahermatripic), 28 genera karang lunak, dan 31 spesies karang fungi di TNW. Sebanyak 590 spesies ikan ditemukan di Wakatobi, bahkan hasil ekstrapolasi menggunakan Coral Fish Diversity Index, diperkirakan ikan karang di Wakatobi mencapai 942 spesies (WWF-TNC, 2003). Keanekaragaman jenis lamun juga termasuk tinggi dengan ditemukan 11 spesies

(4)

3 lamun di perairan Wakatobi dari 12 spesies yang ada di Indonesia (Sahri dan Subhan, in prep). Dengan demikian, tidak mengherankan jika dilihat dari keragaman hayati lautnya, ukuran atau skala, serta kondisi terumbu karangnya, TNW termasuk dalam prioritas tertinggi dalam pelestarian laut di Indonesia.

Penilaian EAFM merupakan salah satu alat pengukur dalam melihat kondisi pengelolaan perikanan disuatu daerah, terdapat 6 Domain yang terdiri atas 31 indikator. Melalui analisis indikator EAFM ini, diharapkan dapat memeberikan gambaran status dan kondisi perikanan, khususnya perikanan tuna dan perikanan karang sebagai baseline data bagi pemerintah baik itu di KKP pusat dan pemerintahKabupaten Wakatobi sebagai dasar pengelolaan perikanan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir dan sekitarnya.

Berikut merupakan gambaran status dan performa sumberdaya perikanan khususnya ikan karang dan tuna di Kabupaten Wakatobi berdasarkan hasil analisis indeks dekomposit indikator EAFM pada tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel.1. Status dan Performa Sumberdaya Perikanan Karang di Kabupaten Wakatobi Tahun 2012

Domain Nilai Komposit Deskripsi

Sumberdaya Ikan 180 Sedang

Habitat & ekosistem 257.5 Baik Sekali

Teknik Penangkapan Ikan 210 Baik

Sosial 200 Sedang

Ekonomi 185 Sedang

Kelembagaan 209.1 Baik

Aggregat 206.9 Baik *

* kategori baik.

Pada Tabel 1 terlihat bahwa performa perikanan karang tahun 2012 di Kabupaten Wakatobi secara keseluruhan dari domain dan indikator EAFM adalah dalam kondisi baik. Dari analisi indikator untuk setiap domain maka terlihat bahwa nilai komposit tertinggi terdapat pada domain habitat dan ekosistem dan terendah adalah domain: sumberdaya ikan, sosial dan ekonomi. Walaupun performa perikanan karang menunjukkan kondisi yang baik namun perlu ada perbaikan pengolaan perikanan karang khususnya pada setiap domain agar dapat ditingkatkan pada performa sangat baik untuk setiap domain.

(5)

4 Tabel.2. Status dan Performa Sumberdaya Perikanan Tuna di Kabupaten Wakatobi

Tahun 2012

Domain Nilai Komposit Deskripsi

Sumberdaya Ikan 270 Baik Sekali

Habitat & ekosistem 257.5 Baik Sekali

Teknik Penangkapan Ikan 235 Baik

Sosial 200 Sedang

Ekonomi 200 Sedang

Kelembagaan 209.1 Baik

Aggregat 228.6 Baik *

* kategori baik.

Pada Tabel 2 terlihat bahwa performa perikanan tuna tahun 2012 di Kabupaten Wakatobi secara keseluruhan dari domain dan indikator EAFM adalah dalam kondisi baik. Setiap domain yang berdasarkan kriteria masing-masing indikator domain pada domain habitat & ekosistem, sumberdaya ikan, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan menunjukkan bahwa nilai komposit tertinggi terdapat pada domain habitat dan ekosistem dan sumberdaya ikan dengan status sangat baik sedangkan nilai terendah adalah domain sosial dan ekonomi dengan status: sedang.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas WWF-South East Sulawesi Sub Seascape program akan dilaksanakan kegiatan survei lapangan untuk mengumpulkan infromasi terkini perihal data indikator baik data primer maupun sekunder untuk melihat perkembangan pengelolaan perikanan karang dan tuna sejak tahun 2012.

2. Tujuan

Tujuan kegiatan ini adalah :

1. Pembaharuan status penilaian indikator EAFM di Kabupaten Wakatobi 2. Sosialisasi hasil update data performa EAFM Kab.Wakatobi

3. Hasil

Adapun hasil yang diharapkan dari pertemuan ini adalah : 1. Adanya update hasil penilaian EAFM di Kab. Wakatobi.

2. Adanya Rencana kegiatan tindak lanjut untuk peningkatan performa EAFM dalam mendukung Pengelolaan Perikanan yang berkelanjutan di Kabupaten Wakatobi. 4. Sekilas Kondisi Perikanan Wakatobi

Kegiatan perikanan di kabupaten Wakatobi merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat pesisir. Kegiatan perikanan tangkap merupakan bidang perikanan yang utama, sedangkan kegiatan budidaya laut yang menonjol hanyalah budidaya rumput laut. Sumberdaya perikanan yang dimanfaatkan adalah ikan-ikan pelagis

(6)

5 kecil seperti layang, kembung, selar, tongkol, kuweh, terbang, dan julung-julung, dan pelagis besar seperti cakalang dan tuna, serta ikan demersal utamanya ikan-ikan karang. Beberapa jenis hewan lunak seperti gurita dan teripang juga memberi kontribusi yang cukup signifikan pada produksi perikanan. Produksi ikan laut di Kabupaten Wakatobi diperlihatkan pada Tabel 3

Tabel 3. Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Wakatobi Tahun 2012.

No Kecamatan Produksi Jumlah Ikan Tuna dan Jenis Ikan Laut Lain Udang dan Binatang Berkulit Keras Lainnya Cumi-Cumi dan Binatang Lunak Lainnya 1 Wangi-Wangi 1.538,0 0,7 64,6 1.603,3 2 Wangi-Wangi Selatan 1.551,9 2,5 173,8 728,2 3 Kaledupa 791,6 0,6 67,4 859,6 4 Kaledupa Selatan 737,9 0,5 43,5 781,9 5 Tomia 867,4 0,5 61,2 929,1 6 Tomia Timur 795,7 0,6 53,2 849,5 7 Binongko 442,1 0,2 16,1 458,4 8 Togo Binongko 295,9 0,2 17,6 313,7 Total 7.020,5 5,8 497,4 7.523,7 Sumber : Kab. Wakatobi dalam Angka Tahun 2013

Produksi perikanan tangkap pada tahun 2012 mencapai 7.523,7 ton dengan produksi tertinggi terdapat di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan yang mencapai 1.603,3 ton atau sekitar 23 persen dari total produksi Kabupaten, dan Kecamatan Wangi-Wangi sebanyak 1.603,3 ton atau 21,3 persen. Secara keseluruhan, produksi ikan tuna dan jenis ikan laut lainnya lebih dominan dari produksi jenis komoditas lain yakni sebanyak 7.020,5 ton sedangkan produksi udang dan binatang berkulit keras lainnya, cumi-cumi dan binatang lunak lainnya masing-masing sebanyak 5,8 ton dan 497,4 ton.

Berdasarkan data statistik, pada tahun 2013, jumlah nelayan tangkap di Kabupaten Wakatobi adalah 5.894 KK atau sekitar 23,9 persen dari total rumah tangga penduduk yang tersebar pada seluruh pulau dan kecamatan se Kabupaten Wakatobi. Persebaran mayoritas nelayan tangkap diidentifikasi berdasarkan lokasi desa yang dapat dilihat pada Tabel 4. di bawah ini.

(7)

6 Tabel 4. Persebaran Nelayan Tangkap dan Jenis Hasil Tangkapan di Kabupaten

Wakatobi.

No. Kecamatan Desa/Kelurahan Jenis Hasil Tangkapan 1. Wangi-Wangi - Wandoka - Sombu - Waha - Patuno - Waelumu - Pelagis Besar - Pelagis Kecil

2. Wangi-Wangi Selatan - Liya Mawi - Liya Togo - Mola Selatan - Mola Utara - Wisata Kolo - Mola Samaturu - Mola Bahari - Mola Nelayan - Bakti - Kabita Togo - Pelagis Besar - Pelagis Kecil - Demersal

3. Kaledupa - Sama Bahari

- Mantigola makmur - Waduri - Balasuna - Balasuna Selatan - Sombano - Ollo - Horuo - Pelagis Besar - Pelagis Kecil - Demersal

4. Kaledupa Selatan - Tanomeha - Darawa - Tanjung

- Pelagis Besar - Pelagis Kecil - Demersal

5. Tomia - Waitii Barat

- Lamanggau - Onemay - Waha - Kollo Soha - Pelagis Kecil - Demersal

6. Tomia Timur - Tongano Barat - Tongano Timur - Timu - Kulati - Wawotimu - Pelagis Kecil - Demersal 7. Binongko - Taipabu - Wali - Lagongga - Kampo-Kampo - Makoro - Jaya Makmur - Pelagis Kecil - Demersal

8. Togo Binongko - Waloindi - Popalia - Sowa

- Pelagis Kecil - Demersal Sumber : Wakatobi Dalam Angka dan Hasil Survay Tahun 2014.

(8)

7 Wilayah persebaran nelayan tangkap seperti disajikan pada Tabel 4. adalah wilayah dimana nelayannya mayoritas melakukan penangkapan baik jenis ikan pelagis besar (Tuna, Cakalang, tongkol, Tengiri, dsb.) dan pelagis kecil (layang, kembung, sardin, dll) maupun jenis ikan demersal atau ikan dasar seperti kerapu, kakap, dan sebagainya. Nelayan yang mayoritas menagkap ikan pelagis besar tersebar di beberapa kecamatan seperti Wangi (Wandoka, Waha, Sombu, Patuno dan Waelumu), Kecamatan Wangi-Wangi Selatan (Mola Samaturu, Mola Bahari, Mola Nelayan Bakti, Mola Selatan, Mola Utara), Kecamatan Kaledupa (Sama bahari, Mantigola Makmur), dan Kaledupa Selatan (Desa Tanjung). Sedangkan desa-desa lainnya seperti tercantum dalam Tabel 4. adalah mayoritas sebagai nelayan tangkap ikan demersal atau ikan dasar.

Taman Nasional Laut Wakatobi

Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan di sekitarnya seluas ± 1.390.000 Ha ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menhut No. 393/Kpts-VI/1996, tanggal 30 Juli 1996 dan telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002, tanggal 19 Agustus 2002, terdiri dari 4 (empat) pulau besar (Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau) yang terbagi menjadi 5 (lima) kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

Taman Nasional Wakatobi (TNW) dikelola dengan sistem zonasi, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 198/Kpts/DJVI/1997 tanggal 31 Desember 1997, terdiri atas: zona inti, zona pelindung, zona rehabilitasi, zona pemanfaatan, dan zona pemanfaatan tradisional. Rumusan zonasi TNW diuraikan sebagai berikut:

1. Zona Inti (Core Zone), bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

Zona inti yang hanya terdapat di sebagian Pulau Moromaho memiliki potensi dan keterwakilan sumberdaya penting yaitu ekosistem mangrove, habitat burung, dan pantai peneluran penyu yang mutlak dilindungi dan tertutup dari berbagai macam aktivitas manusia untuk menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem asli dan fungsi ekologisnya. Zona inti TNW meliputi wilayah perairan dan sebagian daratan Pulau Moromaho seluas ± 1.300 ha (0,09 persen).

2. Zona Perlindungan Bahari (No Take Zone), adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.

(9)

8 Zona perlindungan bahari di TNW memiliki potensi dan keterwakilan sumberdaya penting yaitu ekosistem mangrove, daerah pemijahan ikan (SPAGS), pantai peneluran penyu, keterwakilan ekosistem karang penghalang (barrier reef), keterwakilan ekosistem karang cincin (atoll) yang harus dilindungi untuk menjaga keutuhan dan kelestarian keterwakilan ekosistem asli dan fungsi ekologisnya serta mendukung zona inti.

Zona perlindungan bahari TNW meliputi sebagian wilayah karang penghalang bagian timur Pulau Wangi-Wangi, karang Pasiroka, bagian Utara dan Timur Pulau Kaledupa, perairan bagian Selatan Pulau Lentea Utara, perairan bagian Utara Pulau Darawa, bagian Selatan Karang Tomia/Kaledupa, pantai dan perairan Pulau Anano, perairan bagian Tenggara Pulau Runduma, karang Runduma, perairan Pulau Kenteole, perairan Pulau Cowo-Cowo/Tuwu-Tuwu, karang Koko dan perairan Pulau Moromaho (di luar zona inti) seluas ± 36.450 ha (2,62 persen).

3. Zona Pariwisata (Tourism Zone), adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.

Zona pariwisata di TNW memiliki potensi dan keterwakilan sumberdaya penting yang merupakan daya tarik wisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan lainnya berupa ekosistem mangrove, daerah pemijahan ikan (SPAGS), pantai pasir putih Pulau Hoga, keterwakilan ekosistem karang penghalang (barrier reef), keterwakilan ekosistem karang cincin (atoll) dan keterwakilan ekosistem karang tepi (fringing reef) yang harus dilindungi untuk menjaga keutuhan dan kelestarian keterwakilan ekosistem asli dan fungsi ekologisnya serta mendukung zona inti.

Zona pariwisata TNW meliputi wilayah perairan bagian Timur Pulau Wangi-Wangi (barrier reef), perairan dan pantai bagian Barat Pulau Hoga, perairan Tanjung Sombano, mangrovedi pesisir Sombano-Mantigola Pulau Kaledupa, mangrove di pesisir Pulau Darawa, perairan bagian Barat Waha Pulau Tomia, perairan sekitar Pulau Tolandono Tomia (Onemobaa), dansebagian wilayah bagian Tengah ke arah Selatan karang Koromaho, karang bagian Barat,Utara dan Selatan karang Tomia, bagian Tenggara karang Kapota, perairan bagian Utaradan Selatan Pulau Binongko serta Karang Otiolo yang merupakan lokasi di wilayah perairan Kepulauan Wakatobi yang selama ini telah menjadi daerah tujuan wisata serta menjadi sasaran pengembangan pariwisata Kabupaten Wakatobi seluas 6.180 ha (0,44%).

4. Zona Pemanfaatan Lokal (Local Using Zone) adalah zona yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan terbatas secara tradisional untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat sekitarnya yang biasanya menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam laut.

(10)

9 Zona pemanfaatan lokal memiliki kekayaan sumberdaya alam laut berupa ikan karang, ikan pelagis dan biota laut ekonomis lainnya yang dapat dikembangkan untuk usaha perikanan karang dan perikanan tangkap laut dalam bagi masyarakat Wakatobi berdasarkan ketentuan yang berlaku. Zona pemanfaatan lokal TNW meliputi sebagian besar wilayah perairan pesisir pulau-pulau di Kepulauan Wakatobi selain peruntukan zona lainnya dalam radius ± 4 mil dari Pulau Wangi-Wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Binongko, Pulau Runduma, Pulau Kapota, Pulau Komponaone, Pulau Nuabalaa, Pulau Nuaponda, Pulau Matahora, Pulau Sumanga, Pulau Oroho, Pulau Ndaa dan serta sebagian besar wilayah karang Kapota, karang Kaledupa/Tomia, dan bagian Tengah ke arah Utara karang Koromaho seluas 804.000 ha (57,84 persen). 5. Zona Pemanfaatan Umum (Common Using Zone) adalah zona yang diperuntukan

bagi pengembangan dan pemanfaatan perikanan laut dalam. Zona pemanfaatan umum memiliki kekayaan sumberdaya alam laut berupa ikan pelagis yang dapat dikembangkan untuk usaha perikanan tangkap laut dalam bagi masyarakat Wakatobi maupun bagi nelayan atau pengusaha perikanan dari luar Wakatobi berdasarkan ketentuan yang berlaku.

Zona pemanfaatan umum TNW meliputi sebagian besar wilayah perairan di luar radius ± 4 mil dari pulau-pulau dan gugusan terumbu karang di Wakatobi seluas 495.700 ha (35,66 persen).

6. Zona Daratan/Khusus (Land Zone) adalah wilayah daratan berupa pulau-pulau yang berpenduduk dan telah terdapat hak kepemilikan atas tanah oleh masyarakat atau kelompok masyarakat yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional dimana pengaturannya akan dilakukan lebih lanjut melalui rencana tata ruang wilayah kabupaten. Cakupan zona daratan/khusus meliputi Pulau Wangi-Wangi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Binongko, Pulau Runduma, Pulau Anano, Pulau Kapota, Pulau Komponaone, Pulau Hoga, Pulau Lentea, Pulau Darawa, Pulau Lentea Selatan, Pulau Sawa, Pulau Kenteole, Pulau Tuwu-Tuwu, dan sebagian Pulau Moromaho seluas± 46.370 ha (3,34 persen).

Peta Pembagian zonasi Taman Nasional Kabupaten Wakatobi sebagaimana diuraikan di atas dapat dilihat pada Gambar 1.

(11)

10 Gambar 1

. Peta Zonasi Taman Nasional Kabupaten Wakatobi.

5. Metode Penilaian Performa Indikator EAFM 5.1. Pengumpulan data

Lokasi pelaksanaan pilot test EAFM di laksanakan di Kabupaten Wakatobi dan untuk pengumpulan data dilakukan mulai tanggal 14 Mei – 27 Mei 2016. Pengumpulan data primer dilakukan melalui survei dan pengamatan langsung serta wawancara di lapangan pada sejumlah responden yang berkaitan dengan aktivitas perikanan ikan karang dan ikan tuna. Pengumpulan data sekunder perikanan yanng dimaksud lebih diprioritaskan di Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tenggara, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Balai Taman Nasional Wakatobi, WWF-TNC Wakatobi.. Data sekunder yang dikumpulkan berupa Laporan Tahunan dan Statistik Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi sejak tahun 2012 – 2014. Sedangkan data-data lain yang tidak dapat diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan khususnya yang terkait dengan ketujuh domain EAFM berupa laporan hasil-hasil penelitian yang telah di publish oleh WWF Wakatobi, Hasil Penelitian Universitas Haluoleo sejak tahn 2012 – 2015.

Pengumpulan data yang berkaitan dengan Domain Habitat dan Ekosistem bersumber dari hasil-hasil penelitian baik telah terpublikasi dalam bentuk jurnal maupun

(12)

laporan-11 laporan penelitian dan dokumen yang relevan khusunya yang mengkaji mengenai sumberdaya perikanan dan perairan pesisir dan laut Kabupaten Wakatobi.

Selain melakukan pengumpulan data sekunder tersebut, dilakukan pula pengumpulan informasi melalui wawancara. Wawancara ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kelembagaan dan sebagai respondennya adalah Kepala Bidang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kepala Bidang Pengawasan, Coremap II Dinas Kelautan dan Perikanan Wakatobi, Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi, Kepala Desa di lingkungan lokasi target survei di Kabupaten Wakatobi. Kelompok kedua yang menjadi responden adalah nelayan sebagai sumber informasi dilapangan pada setiap desa nelayan atau penduduknya mayoritas sebagai nelayan, dimana responden nelayan ini mewakili tiga kelompok nelayan yaitu nelayan ikan tuna, nelayan ikan karang dan nelayan umum atau lainnya. Setiap kelompok nelayan di tentukan respoden sejumlah 5 orang. Pelaksanaan wawancara tersebut didukung dan dilaksanakan oleh rekan-rekan dari WWF Kabupaten Wakatobi yang dilaksanakan sejak tanggal 14 Mei – 27 Mei 2016. Adapun sebaran jumlah responden pada setiap desa pesisir target tertera pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Jumlah Responden Berdasarkan Desa Nelayan Target Setiap Kecamatan

Kecamatan Desa RTP Nelayan

Jumlah Responden Wangi-Wangi 1. Mola Bahari 219 5

2. Mola Nelayan Bakti 5

3. Mola Samaturu 5 4. Mola Selatan 5 5. Mola Utara 5 6. Kapota/Kollo 5 Wangi-Wangi Selatan 7. Wapia-pia 309 5 8. Waha 5 9. Koroe 5 10. Waelumu 5 11. Patuno 5 12. Sombu/Wandoka 5 13. Longa 5 14. Sousu 5 15. Matahora 5 Kaledupa dan Kaledupa Selatan 16. Sama Bahari 705 5 17. Mantigola 5 18. Tanomeha 5 19. Balasuna 5 20. Darawa 5 21. langge 5 22. Lentea 5 23. Lewuto 5

(13)

12

Kecamatan Desa RTP Nelayan

Jumlah Responden

24. Peropa 5

25. Sombano 5

Tomia dan Tomia Timur 26. Lamanggau 326 5 27. Kolosoha 5 28. Onemay 5 29. Waha 5 30. Tongano Barat 5 31. Waitii 5 32. Waitii Barat 5 33. Kulati 5 34. Patipelong 5 35. Timu 5 36. Teemoane 5

Tomia dan Tomia Timur 37. Runduma 10 38. Patua 1/2 5 39. Tongano Timur 5 40. Kahianga 5 41. Wawo Timu 5 42. Dete 5

Binongko dan Togo Binongko 43. Lagongga 102 5 44. Kampo-Kampo 5 45. Jaya Makmur 5 46. Wali 5 47. Rukua 5 48. Palahidu 5 49. Makoro/Taipabu 5 50. Waloindi 5 51. Oihu 5 52. Sowa/Popalia 5 53. Palahidu Barat 5 54. Haka 5 Jumlah 1830 275

Adapun pengumpulan data untuk penilaian status indikator setiap domain yang menjadi fokus penilaian ini, sebagai berikut :

a. Indikator Domain Sumberdaya Ikan

Indikator Sumber data Kriteria

CPUE Baku

(Standarize CPUE)

Kondisi Perikanan Di Wilaya Coremap II Kab. Wakatobi Tahun 2011 dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = CPUE baku menurun tajam 2 = CPUE baku menurun sedikit 3 = CPUE baku stabil atau meningkat

Ukuran Ikan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil

2 = trend ukuran relatif tetap 3 = trend ukuran semakin besar

(14)

13

Indikator Sumber data Kriteria

Proporsi Ikan Yuwana (Juvenile) yang ditangkap

Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = banyak sekali (> 60 %) 2 = banyak (30 – 60 %) 3 = sedikit (<30 %)

Komposisi Spesies Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dengan

non-target

3 = proporsi target lebih banyak

"Range Collapse" sumberdaya Ikan

DKP Kab. Wakatobi 2010 dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = semakin Sulit 2 = relatif tetap 3 = makin mudah

1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2 = fishing ground jauh

3 = fishing ground relatif tetap jaraknya.

Spesies ETP Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = banyak tangkapan spesies ETP 2 = sedikit tangkapan spesies ETP 3 = tidak ada spesies ETP yang

tertangkap

b. Indikator Domain Habitat dan Ekosistem

Indikator Sumber data Kriteria

Kualitas perairan

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

Limbah yang reidentivikasi secara klinis, audio/visual 1 = tercemar 2 = tercemar sedang 3 = tidak tercemar Tingkat kekeruhan 1 = > 20 mg/m3 konsentrasi tinggi 2 = 10 – 20 mg/m3 konsentrasi sedang 3 = < 10 mg/m3 konsentrasi rendah Eutrofikasi

1 = konsentrasi klorofil a > 10 mg/m3 terjadi

eutrofikasi.

2 = konsentrasi klorofil a 1 - 10 mg/m3 potensi

terjadi eutrofikasi.

3 = konsentrasi klorofil a < 1 mg/m3tidak

terjadi eutrofikasi

Status lamun

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

1 = tutupan rendah, 29,9 % 2 = tutupan sedang, 30–49,9 %. 3 = tutupan tinggi 50 %

1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1)

(15)

14

Indikator Sumber data Kriteria

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)

Status Mangrove

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

1 = kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%;

2 = kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%;

3 = kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%

1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1)

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)

Kriteria Luasan :

1= luasan mangrove berkurang dari data awal;

2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data

awal 1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi; Status Terumbu Karang

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

1 = tutupan rendah, < 25 % 2 = tutupan sedang, 25 – 49,9 %. 3 = tutupan tinggi > 50 %

1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1)

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) Habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling).

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

1 = tidak diketahui adanya habitat unik/khusus;

2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik;

3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik

Status dan

produktivitas Estuari

dan perairan

sekitarnya

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

1 = produktivitas rendah; 2 = produktivitas sedang; 3 = produktivitas tinggi Perubahan iklim

terhadap kondisi perairan dan habitat

1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim;

(16)

15

Indikator Sumber data Kriteria

2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;

3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi

c. Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan

Indikator Sumber data Kriteria

Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal

Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan) dan Laporan hasil pengawas perikanan

1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun

2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun

3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun

Modifikasi alat penangkapan ikan dan

alat bantu

penangkapan.

Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm

2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm Fishing capacity dan

Effort

Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan) 1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1 Selektivitas penangkapan

Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010 dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ;

3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)

Kesesuaian fungsi dan

ukuran kapal

penangkapan ikan dengan dokumen legal

Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal);

2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tdk sesuai dgn dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari

30%) sampel tidak sesuai dgn dokumen legal

Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.

Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi dan Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1= Kepemilikan sertifikat <50%; 2= Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%

(17)

16 d. Indikator Domain Ekonomi

Indikator Sumber data Kriteria

Kepemilikan aset Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)

Nilai Tukar Nelayan (NTN)

Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan) 1 = kurang dari 100, 2 = 100, 3 = lebih dari 100 Pendapatan rumah tangga (RTP)

Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = kurang dari rata-rata UMR, 2 = sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR

Saving rate Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman;

3 = lebih dari bunga kredit pinjaman

e. Domain Sosial

Indikator Sumber data Kriteria

Partisipasi pemangku kepentingan

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 %

Konflik perikanan

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1= lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun

Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = tidak ada;

2 = ada tapi tidak efektif;

(18)

17 f. Domain Kelembagaan

Indikator Sumber data Kriteria

Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)

Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan)

1 = lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan;

2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum;

3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum

Non formal

1 = lebih dari 5 informasi pelanggaran,

2 = lebih dari 3 informasi pelanggaran,

3 = tidak ada informasi pelanggaran

Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan

Wawancara (DKP Kab., TNL Wakatobi dan Nelayan)

1 = tidak ada;

2 = ada tapi tidak lengkap;

3 = ada dan lengkap Elaborasi untuk poin 2

1 = ada tapi jumlahnya berkurang; 2 = ada tapi jumlahnya tetap; 3 = ada dan jumlahnya bertambah Mekanisme Kelembagaan Laporan tahunan DKP Kab.

Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan),

1 = tidak ada penegakan aturan main;

2 = ada penegakan aturan main namun tidak efektif;

3 = ada penegakan aturan main dan efektif

1 = tidak ada alat dan orang; 2 = ada alat dan orang tapi tidak ada

tindakan;

3 = ada alat dan orang serta ada tindakan

1 = tidak ada teguran maupun hukuman;

2 = ada teguran atau hukuman; 3 = ada teguran dan hukuman Mekanisme Kelembagaan Laporan tahunan DKP Kab.

Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan), dan

1 = tidak ada mekanisme kelembagaan;

2= ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif;

3 = ada mekanisme kelembagaan dan berjalan efektif

1 = ada keputusan tapi tidak dijalankan;

(19)

18

Indikator Sumber data Kriteria

2 = ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan;

3 = ada keputusan dijalankan sepenuhnya

Rencana pengelolaan perikanan

Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP Kab. Wakatobi dan Nelayan).

1 = belum ada RPP;

2 = ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan;

3 = ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya

Tingkat sinergisitas

kebijakan dan

kelembagaan pengelolaan perikanan

Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP, TNL Kab. Wakatobi dan Nelayan

1 = konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan);

2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif;

3 = sinergi antar lembaga berjalan baik

1 = terdapat kebijakan yang saling bertentangan;

2 = kebijakan tidak saling mendukung;

3 = kebijakan saling mendukung Kapasitas pemangku

kepentingan

Laporan tahunan DKP Kab. Wakatobi, Statistika Perikanan Kab. Wakatobi 2010, Wawancara (DKP, TNL Kab. Wakatobi dan Nelayan

1 = tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan

5.2 Analisa Komposit

Penilaian indikator EAFM merupakan sebuah sistem multikriteria yang berujung pada indeks komposit terkait dengan tingkat pencapaian sebuah pengelolaan perikanan sesuai dengan prinsip EAFM. Dalam Pilot Test ini disajikan dua jenis “tools” yang digunakan untuk mengubah indikator parsial menjadi indikator komposit yaitu (1). Teknik Flag Modeling; dan (2) Teknik Rapfish (Direktorat SDI-KKP, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB, 2012).

5.3. Teknis Flag Modeling

Teknis Flag Modeling dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-criteria analysis (MCA) di mana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM) melalui pengembangan indeks komposit dengan tahapan sebagai berikut (Adrianto, Matsuda, and Sakuma, 2005) :

(20)

19 Tentukan kriteria untuk setiap indikator masing-masing aspek EAFM (habitat,

sumberdaya ikan, teknis penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan) Kaji keragaan masing-masing WPP untuk setiap indikator yang diuji

Berikan skor untuk setiap keragaan indikator pada masing-masing WPP (skor Likert berbasis ordinal 1,2,3)

Tentukan bobot untuk setiap indikator

Kembangkan indeks komposit masing-masing aspek untuk setiap WPP dengan model fungsi :

CAi = f (CAni….n=1,2,3…..m)

Kembangkan indeks komposit untuk seluruh keragaan EAFM pada masing-masing WPP dengan model fungsi sebagai berikut :

C-WPPi = f (CAiy……y = 1,2,3……z; z = 11)

Dari tiap indikator yang dinilai, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk model bendera (flag model) dengan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 8-7 berikut ini.

Tabel 7. Visualisasi Model Bendera untuk Indikator EAFM Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia

Nilai Skor

Komposit Model Bendera Deskripsi

100-125 Buruk

126-150 Kurang Baik

151-200 Sedang

201-250 Baik

256-300 Baik Sekali

Template Flag Modeling ini diperoleh di Learning Center EAFM PKSPL-IPB dan WWF Indonesia dalam bentuk file MS Excel.

(21)

20 5.3. Teknik Rapfish

RAPFISH menggunakan scoring yang sederhana dan mudah untuk atribut yang luas dari berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat menghasilkan penilaian secara cepat dan menggunakan biaya yang efektif pada bidang kelestarian sumberdaya perikanan serta sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (Alder et al., 2000). Dalam analisis RAPFISH, MDS digunakan untuk membangun peta yang menggambarkan hubungan antar sejumlah objek berdasarkan tabel jarak antar beberapa objek (Manly, 1994 dalam Alder et al., 2000). Peta tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih dimensi, hanya saja bila dimensi tersebut lebih dari tiga, maka akan kesulitan untuk menggambarkan dan menginterpretasikannya.

MDS dalam RAPFISH didasarkan pada meta distantance, dalam aplikasi MDS digunakan kuadrat jarak Euclidean (Gambar 8-7). Normalisasi nilai hasil skoring akan digunakan terhadap Kuadrat Jarak Euclidean. Dalam analisis MDS, analisis tersebut digunakan formula sebagai berikut :

Z = (x- )/

(22)

21 Gambar 2. Tahapan Analisis Aplikasi MDS Dalam Teknik RAPFISH (Diadaptasi dari Alder

et al., 2000 dalam Taryono, 2002).

Sedangkan untuk melakukan analisis dalam masing-masing dimensi analisis multivariat ke dalam peta layang-layang, dapat diilustrasikan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Analisis Multivariate dalam Teknik RAPFISH (Alder et al., 2000 dalam Taryono, 2002). E tik a E k o lo g is E k o n o m is T ek n is S o s ial P erik an a n A P erik an a n B B a d G o o d G o o d Start Review Atribut Dalam Beberapa Kriteria dan Kategori

Penyusunan Nilai Skor dan Penentuan Titik Referensi Nilai Tengah, Bad dan Good

Simulasi Monte Carlo Untuk Mengecek

Ketidakpastian dari Analisis

Analisis Leverage Untuk Mengidentifikasi Anomali Atribut yang Dianalisis

Penilaian Kelestarian

Identifikasi Data dan Penentuan Jenis Perikanan

Berdasar Kriteria yang Ditentukan

Ordinasi MDS untuk Tiap Set Atribut, Rotasi Plot Ordinasi Bad dan Good dalam Garis Horisontal

(23)

22 Keseluruhan kelompok atribut tersebut merupakan satu indikator untuk setiap dimensi tertentu yang direpresentasikannya. Dengan teknik ordinasi horizontal, maka keseluruhan nilai masing-masing atribut akan diekstrak menjadi satu vektor skalar, yang merupakan titik dalam skala 0-100% pada aksis horizontal.

6. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan

6.1 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan Berbasis Ikan Karang 6.1.1 Domain Sumberdaya Ikan

Penilaian Domain Sumberdaya Ikan terbagi dalam 7 indikator penilaian yaitu CPUE Baku, Ukuran ikan, Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, Komposisi spesies, Spesies ETP, "RangeCollapse" sumberdaya ikan, dan Densitas/Biomassa untuk ikan karang. Berdasarkan hasil analisis pemberian skor kriteria indikator-indikator domain sumberdaya ikan dapat dilihat pada Tabel 8

(24)

23 Tabel 8. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sumberdaya Ikan

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN

MONITORING/

PENGUMPULAN KRITERIA SKOR

BOBOT

(%) RANKING NILAI 1. CPUE

Baku

CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandarisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. Logbook, Enumerator, Observer 1 = menurun tajam 2 = menurun sedikit 3 = stabil atau meningkat

2 40 1 (Killer Indicator) 80 2. Ukuran ikan -Panjang total - Panjang standar - Panjang karapas / sirip (minimum dan maximum size, modus)

Interview, Sampling program secara reguler untuk LFA (Length Frequency Analysis)

1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil;

2 = trend ukuran relatif tetap;

3 = trend ukuran semakin besar 2 20 2 40 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap

Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity). Interview, Sampling program secara reguler 1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) 3 = sedikit (<30%) 3 15 3 45 4. Komposisi spesies

Jenis target dan non-target (discard dan by catch)

Logbook, observasi, interview

1 = proporsi target lebih sedikit

(25)

24 INDIKATOR DEFINISI/

PENJELASAN

MONITORING/

PENGUMPULAN KRITERIA SKOR

BOBOT

(%) RANKING NILAI 2 = proporsi target sama

dgn non-target

3 = proporsi target lebih banyak

5. Spesies ETP

Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES Survey dan monitoring, logbook, observasi, interview 1= banyak tangkapan spesies ETP; 2= sedikit tangkapan spesies ETP;

3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap 2 5 6 10 6. "Range Collapse" sumberdaya ikan

SDI yang mengalami tekanan penangkapan akan "menyusut" biomassa-nya secara spasial sehingga semakin sulit / jauh untuk ditemukan/dicari. Survey dan monitoring, logbook, observasi, interview 1 = semakin sulit; 2 = relatif tetap; 3 = semakin mudah 2 10 5 20

1 = fishing ground menjadi sangat jauh

2= fishing ground jauh 3= fishing ground relatif tetap jaraknya

2

(26)

25 CPUE didefinisikan sebagai laju tangkap perikanan per tahun yang diperoleh dengan menggunakan data time series, minimal selama 5 tahun. Sedangkap effort atau upaya penangkapan ikan itu sendiri diartikan jumlah waktu yang dihabiskan untuk menangkap ikan di wilayah perairan tertentu. Tujuan perlunya menganalisa indikator ini adalah untuk mengetahui trend perubahan stock perikanan dari waktu ke waktu. Trend CPUE yang cenderung menurun, dapat dijadikan sebagai indikasi dampak negatif terhadap stok ikan atau bahkan kecenderungan overfishing. Oleh karena itu nilai CPUE tertinggi adalah ketika penangkapan ikan yang banyak namun tetap memberikan ruang ikan untuk bereproduksi dan berkembang untuk terus mendukung penangkapanyang lestari.

Berdasarkan analisa data statistik perikanan selama 7 tahun (tahun 2008-2014) di kabupaten Wakatobi(grafik CPUE pada gambar menunjukkan tren penurunandari tahun 2008 sampai 2010, dan kembali meningkat nilainya pada tahun 2011. Setelah itu, menurun kembali hingga tahun 2013 dan kembali meningkat pada tahun 2014.Berdasarkan tren CPUE di wakatobi dalam kurun 7 tahun belakangan, menunjukkan bahwa meskipun pada tahun tertentu CPUEnya menurun, namun ditahun-tahun selanjuntnya kembali meningkat. Hal ini diduga berhubungan dengan tingkat recoveryperikanan tangkap wakatobi yang masih baik. Sehingga dari ulasan ini dapat ditarik benang merah bahwa CPUE atau hasil tangkapan ikan di kabupaten wakatobi secara umum relatif sama saja. Hal ini didukung pula oleh hasil wawancara dengan responden dalam kaitan dengan hasil tangkapan per unit usaha (CPUE), menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan setuju jika hasil tangkapan dari tahun ke-tahun relatif sama saja. Adapaun pada tahun tertentu menurun, namun pada tahun-tahun berikutnya biasanya meningkat.

(27)

26 Sumber: Diolah dari BPS Perikanan kabupaten Wakatobi Tahun 2015

Gambar 9. CPUE Perikanan Karang Kabupaten Wakatobi dari tahun 2008-2014 Selain itu, kondisi ini pula dapat dilihat berdasarkan produksi perikanan ikan karang wakatobi sejak tahun 2012 hingga 2014 pada histogram produksi perikanan karang wakatobi di masing-masing kecamatan (Gambar 8-10). Histogram tersebut menunjukkan bahwa meskipun pada daerah wangi-wangi selatan produksi perikanan sangat tinggi pada tahun 2014, namun di kecamatan lain menunjukkan produksi perikanan yang relatif tetap atau stabil dari tahun 2012 hingga 2014. Berdasarkan informasi dan uraian CPUE dan Produksi perikanan karang Wakatobi di atas maka untuk indikator CPUE Baku diberikan skor 2 denga nilai 80

(28)

27 Sumber: Diolah dari Data Statistik Produksi Perikanan Wakatobi Tahun 2012-2014

Gambar 10. Tren Produksi Perikanan Karang pada Masing-masing Kecamatan di Kabupaten Wakatobi Tahun 2012- 2014

Indikator ukuran ikan diberikan skor 2 pada kriteria dan status sedang dengan nilai 20. Hal ini berdasarkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa 80% responden mengatakan bahwa ukuran ikan hasil tangkapan “relatif sama saja” dalam kurun 3 tahun terakhir (2012-2014). Meskipun demikian, 16% responden mengatakan bahwa ukuran ikan semakin kecil dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Adapun sisanya (4%) responden mengatakan bahwa ukuran ikan yang tertangkap semakin panjang. Nilai persentase masing-masing kategori ini menujukkan bahwa meskipun pada derah-daerah tertentu di wakatobi ukuran ikannya relatif sama saja, namun di daerah lain ukuran ikannya cenderung lebih panjang dan di daerah lain cenderung lebih pendek dengan persentase yang berbeda-beda. Tingginya persentase ukuran ikan kategori “relatif sama saja” dalam kurun 3 tahun terakhir, sehingga untuk indikator ini diberi skor 2 dengan nilai 40. Terdapatnya persentase (meskipun rendah) kategori ukuran ikan “relatif lebih pendek” dan “relatif lebih panjang” menujukkan pula bahwa ikan-ikan target penangkapan tidak tertekan akibat aktivitas penangkapan pada daerah tertentu sehingga ikan masih tumbuh dan berkembang dengan baik (relatif lebih panjang) namun didaerah lain ikan-ikan sudah sangat tertekan akibat aktivitas penangkapan sehingga pertumbuhan dan perkembangan ikan terganggu (relatif lebih pendek). Bagaimanapun juga, hal positif yang dapat diambil bahwa sebagian besar ikan-ikan cenderung masih tumbuh dan berkembang dengan normal yang ditandai dengan tingginya persentase ukuran ikan yang “relatif sama saja” (80%).

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 2012 2013 2014

(29)

28 Data yang yang berkaitan proporsi ikan yuwana yang tertangkap khususnya indikator proporsi ikan yuwana untuk tiga tahun ini (2012-2014)dianalisis secara kualitatif berdasarkan informasi hasil wawancara. Terkait dengan indikator ini maka untuk indikator ikan karang maka peluang tertangkapnya ikanyuwana semakin besar, hal ini berkaitan dengan adanya kecenderungan penurunan ukuran ikan yang tertangkap maka maka akan memberikan peluang yang lebih besar tertangkapnya juvenil. Terlebih lagi dengan adanya alat-alat tangkap non-selektif seperti bubu dan sero pada beberapa daerah di wakatobi, maka peluang tertangkapnya ikan juvenil semakin besar pula. Namun, yang menarik adalah dalam kurun waktu tiga tahun terakhir telah banyak masyarakat nelayan baik individu maupun kelompok-kelompok nelayan yang sadar akan pentingnya untuk tidak menangkap ikan-ikan yang masih kecil (juvenil). Hal ini ditandai dengan terdapatnya beberapa daerah atau desa di wakatobiyang sudah atau sedang mencanangkan peraturan desa ataupun peraturan adat terkait dengan pelarangan penangkapan ikan-ikan yang masih kecil atau biasa disebut juvenil. Adapaun jika sudah terlanjur tertangkap atau tanpa sengaja masuk kedalam alat tangkap maka disarankan untuk dilepas (release) kembali ke laut. Selain itu,hal ini didukung pula bahwa alat-alat tangkap seperti bubu dan sero umumnya hasil tangkapan ikan-ikannya masih hidup, sehingga jika terdapat ikan yang masih kecil atau juvenil atau tidak diinginkan (bycatch) maka dapat dilepas kembali kelaut. Berdasarkan hal tersebut, maka komposisi tertangkapnya ikan yuwana diharapkan dapat diminimalisir dari 3 tahun belakangan hingga seterusnya, sehingga untuk indikator ini diberikan skor 3 dengan nilai 45.

Berdasarkan hasil wawancara, komposisi spesies ikan karang yang tertangkap selama tahun 2012 hingga tahun 2014 menggambarkan kecenderungan proporsi komposisi hasil tangkapan “ikan target lebih banyak dibanding ikan non target”. Kondisi ini ditemukan pada berbagai macam alat tangkap yang beroperasi aktif di wakatobi. Berdasarkan akumulasi informasi dari berbagai nelayan berbeda dengan alat tangkap berbeda pula, ditemukan bahwa prosentase ikan target dengan ikan non target pada keempat pulau (wangi-wangi, kaledupa, tomia binongko) bahkan mencapai 75% (ikan target) berbanding 25 % (non target). Meskipun demikian, hal berbeda ditunjukkan pada pulau runduma. Berdasarkan hasil wawancara di pulau ini, nelayan yang mendapati kondisi proporsi hasil tangkapan “ikan target lebih sedikit” mencapai 40% dari total responden dan 30% nelayan mendapati kondisi “ikan target lebih banyak”. Adapun sisanya 30%, nelayan mendapati kondisi proporsi “ikan target sama dengan non target”. Berdasarkan gambaran akumulasi kondisi hasil tangkapan spesies ikan karang target dan non target dari kelima pulau yang telah disebutkan, maka untuk indikator ini diberikan skor 2 dengan nilai 20.

(30)

29 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Coremap II Wakatobi dan laporan tahunan DKP Kabupaten Wakatobi menunjukkan tidak ada ikan hasil tangkapan yang termasuk dalam kelompok ikan ETP. Namun berdasarkan hasil wawancara secara mendalam maka diperoleh infromasi bahwa masih ada sebagian kecil nelayan atau masyarakat baik sengaja maupun tidak sengaja menangkap beberapa spesies penyu. Umumnya penyu yang telah ditangkap tersebut dimanfaatkan untuk konsumsi. Meskipun demkian hal ini hanya dilakukan pada masyarakat-masyarakat tertentu saja.Maka berdasarkan kriteria ini, untuk indikatorspesies ETP dapat diberi skor 2 dengan nilai 20 (sedikit tangkapan spesies ETP).

Berdasarkan hasil wawancara kepada nelayan ikan karang, ditemukan bahwa bahwa 48% kondisi mencari ikan 5 10 tahun terakhir relatif lebih sulit, 50% mengatakan relatif tetap, dan 2% mengatakan relatif lebih mudah. Berdasarkan hal tersebut maka kondisi sumbedaya ikan dapat diberikan skor kriteria 2. Sedangkan untuk lokasi fishingground dari jumlah respoden ikan karang sebagaian besar mengatakan bahwa lokasi penangkapan tidak berubah karena penangkapan ikan karang di lakukan di area terumbu karang. Namun demikian sebagian kecil mengatakan bahwa lokasi semakin jauh karena kebiasaan menangkap ikan yang sebelumnya dilakukan di sekitar karang tepi pantai yang dekat daratan sudah berubah ke lokasi yang lebih jauh seiring dengan tingginya keinginan untuk meningkatkan produksi,sehingga berdasarkan kondisi ini maka diberikan skor kriteria 2.Berdasarkan infomasi tersebut di atas maka indikator range of collapse sumberdaya ikan dapat diberi skor 2 dengannilai 20 atau status sedang.

6.1.2 Domain Habitat

Gambaran mengenai indikator-indikator yang termasuk dalam domain habitat dan ekosistem yang meliputi Kualitas perairan, status lamun , status mangrove, status terumbu karang, habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling), status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya, perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain habitat dan ekosistem ditampilkan dalam Tabel 11.

(31)

30 Tabel 11. Hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain habitat dan ekosistem

INDIKATOR PENJELASAN DEFINISI/ MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI

1. Kualita s perairan

Limbah yang

teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun)

Data sekunder, sampling, monitoring,

>> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) 1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar 3 20 1 60 Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan

Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT

>> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab 1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU 3

Eutrofikasi >> Survey : 4 kali dalam satu tahun

(mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu)

1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi;

2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi; dan

3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi

3

2. Status lamun Luasan tutupan, densitas dan jenis Lamun.

Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT.

>> Sampling dan monitoring :

Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org) 1=tutupan rendah, 29,9%; 2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50% 3 15 2 45 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 3

(32)

31

INDIKATOR PENJELASAN DEFINISI/ MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI

3. Status

mangrove

Kerapatan, nilai

penting, perubahan luasan dan jenis mangrove

Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara

>> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan

>> Survey : Plot sampling

1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; 3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75% 1 15 2 26.25 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 2

1= luasan mangrove berkurang dari data awal;

2= luasan mangrove tetap dari data awal;

3= luasan mangrove bertambah dari data awal

1

1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi 3 4. Status terumbu karang > Persentase

tutupan karang keras hidup (live hard coral cover).

Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara

Survey : Transek (2 kali dalam setahun)

Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan

1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25-49,9%; 3=tutupan tinggi, >50% 2 15 2 37.5 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 3 5. Habitat unik/khusus (spawning ground, , upwelling). Luasan, waktu, siklus, distribusi,

larva drift, spill over,

dan kesuburan

perairan

Fish Eggs and Larva survey, GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi

1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus;

2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya

(33)

32

INDIKATOR PENJELASAN DEFINISI/ MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI

habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik 6. Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya Tingkat produktivitas perairan estuari

Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara

Survey : 2 kali dalam setahun Citra satelite dengan resolusi tinggi - minimal dilakukan 2 kali setahun dengan diikuti oleh survey lapangan

1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi 3 10 4 30 7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring

> State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim;

2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;

3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi

2 10 5 25

> state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%);

2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%);

3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)

3

(34)

33 Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu lokasi yang menjadi titik sentra dalam evaluasi program EAFM - 2016 (Ecosystem Approach to Fisheries Management Program). Sebagai salah satu daerah dengan potensi yang cukup besar dengan luas perairan yang mencakup 97% dari daratannya, menjadi sangat penting untuk dilakukan suatu program evaluasi yang berbasis ekosistem yang dapat melahirkan suatu upaya penting yang dapat menjaga kesehatan habitat berserta ekosistem yang berasosiasi di dalamnya. Keberadaan habitat yang sehat dengan kondisi yang stabil sangat bergantung pada kondisi kualitas air yang mendukung. Melalui program EAFM beberapa parameter kualitas perairan seperti Salinitas, DO, pH, TSS, BOD5 dan COD menjadi bagian penting untuk menentukan kondisi kesehatan suatu habitat. Berdasarkan kajian analisis kualitas air di perairan Wakatobi yang dilakukan oleh COREMAP-CTI (2014) menyajikan bahwa untuk konsentrasi salinitas yang diperoleh mencakup kisaran 34.0 – 34.7 ppm, DO 7.38 – 8.66 ppm, TSS 29 - 33 mg/L, pH 7.75 - 7.91, BOD5 2.77 – 3.04 dan rata-rata nilai COD 4.85 – 7.08 kondisi parameter yang diperoleh tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 masih dikategorikan cukup baik atau belum tercemar. Beberapa parameter lain dari hasil analisis kualitas air yang diperoleh dari data lapangan EAFM-Wakatobi (2016) menunjukkan bahwa untuk konsentrasi suhu mencakup kisaran 29 – 32oc, pH sebesar 6,

DO 6.48, TSS 0.443, Klorofil a 0.825. Parameter yang diperoleh tersebut memperkuat kondisi kualitas perairan di Perairan Wakatobi yang masih cukup baik ataupun masih dalam kategori belum tercemar, Secara rinci hasil analisis parameter kualitas air yang diperoleh di Perairan Wakatobi disajikan pada tabel 12 berikut :

NO PARAMETER LINGKUNGAN

LOKASI PERAIRAN

RATA-RATA WANCI KALEDUPA TOMIA BINONGKO

1 Suhu (oC) 31 32 31 30 31 2 Derajat Keasaman (pH) 6 6 6 6 6 3 DO (mg/l) 5,97 6,35 6,75 6,87 6,48 4 TSS (mg/l) 0,353 0,530 0,448 0,441 0,443 5 Klorofil-a 0,93 0,80 0,87 0,70 0,825

Sumber : Laboratorium Dasar UHO, 2016

Berdasarkan informasi yang diperoleh tersebut maka indikator penilaian untuk kualitas air yang terdiri dari komponen limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh : B3-bahan berbahaya & beracun), kemudian kekeruhan dan eutrofikasi, maka Perairan Kabupaten Wakatobi masih memenuhi baku mutu perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu Perairan. sehingga secara umum perairan Kabupaten Wakatobi dapat di katakan tidak tercemar. Dengan demikian indikator kualitas perairan di berikan skor 3.

(35)

34 Disamping indikator kualitas perairan tersebut diatas, indikator penting yang menjadi perhatian pada domain habitat adalah ekosistem lamun. Ekosistem lamun merupakan salah satu habitat yang memberikan peranan yang cukup besar bagi keberadaan organisme di perairan. Fungsi keberadaannya memberikan peran aktif terhadap penyediaan sumber makanan (feeding ground) bagi organisme grazer. tempat pemijahan (spawning ground), serta sebagai tempat pembesaran (nursery ground) bagi sebagian besar organisme ikan dan kerang. Besarnya manfaat keberadaan ekosistem lamun tersebut memberikan indikasi perlu adanya upaya evaluasi terhadap keberadaannya sehngga kedepan dari hasil tersebut dapat menjadi langkah awal dalam memperbaiki kondisi yang sedang atau telah mengalami kerusakan khususnya di Wilayah Wakatobi yang menjadi salah satu sentra program EAFM 2016.

Berdasarkan hasil analisa citra satelit tahun 2004 Kabupaten Wakatobi memiliki luas padang lamun sebesar 7.067,25 ha (Hardin, 2007). Lebih rinci dari hasil penelitian yang dilakukan oleh COREMAP-CTI (2014) menyebutkan bahwa komposisi jenis lamun di Perairan Wakatobi dari luas padang lamun yang tersedia khususnya di daerah DPL (Perlindungan Laut) ditemukan di 7 (tujuh) lokasi yang berbeda, yaitu Desa Waha dengan jenis lamun Halophila minor, Halodule pnifolia, Thalassia hemperichii, Desa Matahora dengan jenis lamun Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassodendron ciliatum dan Thalassia hemprichii, Desa Waelumu dengan 1 jenis lamun yaitu Cymodocea serrulata, Liya Mawi dengan jenis lamun Halophila minor dan Thalassia hemperichii, Kabita dengan jenis lamun Enhalus acoroides, Halophila minor , dan Halodule pnifolia, Sama Bahari dengan jenis Cymodocea rotundata dan Enhalus acoroides, Kulati dengan jenis lamun Halodule pnifolia.

Sebagai data tambahan yang diperoleh dari data lapangan EAFM-Wakatobi 2016 bahwa beberapa desa yang juga ditemukan memiliki ekosistem lamun di Perairan Wakatobi adalah Desa Peropa di Pulau Kaledupa dengan jenis lamun Enhalus acoroides dan Halophila minor, Desa Lagongga di Pulau Binongko dengan jenis lamun Thallassia hemperichii dan Desa Waha di Pulau Wanci dengan jenis Halophila minor dan Halodule pnifolia. Masing-masing jenis lamun yang diperoleh di lokasi tersebut menunjukkan persen tutupan yang berbeda-beda. Dari hasil estimasi persen tutupan lamun yang didasarkan pada McKenzie et al., (2002) diketahui bahwa rata-rata persen tutupan lamun yang diperoleh di Perairan Wakatobi berkisar pada 60 – 100 o/

o. COREMAP-CTI (2014)

melaporkan bahwa dari beberapa jenis lamun yang ditemukan di 7 (tujuh) lokasi DPL dengan persen tutupan lamun tertinggi adalah jenis Thalassia hemprichi. Sehingga dengan demikian berdasarkan data-data yang diperoleh tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

(36)

35 indikator status padang lamun di Kabupaten Wakatobi dengan penutupan diatas 60 % dan keanakaragaman yang tinggi (11 jenis) maka berdasarkan kondisi status lamun yang dinyatakan dalam Kemen LH No. 200 tahun 2004 dapat dikatakan masih dalam kondisi kaya/sehat. Sehingga nilai indikator tersebut dapat di berikan skor 3.

Indkator lain yang juga memiliki nilai penting yang sama dalam domain habitat adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove di ketahui menyebar diseluruh Kepulauan Wakatobi degan konsentrasi yang berbeda-beda dan sebagian hanya merupakan bagian kecil pelengkap ekosisten pesisir. Keberadaan komunitas mangrove tertinggi terpusat di Pulau Kaledupa dan sekitarnya seperti pulau Derawa, Pulau Lentea. Beradasarkan laporan COREMAP-CTI (2014) menyebutkan bahwa penyebaran mangrove terluas di Kabupaten Wakatobi dapat ditemukan di Pulau Kaledupa dengan komunitas mangrove yang ditemukan hampir di semua desa meliputi Desa Tanomehe, Langge, Balasuna, Ambeua, Sombano, dan Desa Horua, ketebalan komunitas mangrove pada masing-masing desa tersebut bervariasi hingga mencapai ± 750 m, komunitas mangrove juga ditemukkan pada beberapa pulau disekitarnya seperti Lentea, Derawa, dan Pulau Hoga. Disamping itu sebaran mangrove juga ditemukan di Pulau Wangi-wangi di Desa Liya Mawi dan Pulau Kapota dengan total ketebalan hanya mencapai ± 185 m, dari arah laut ke arah darat. Sementara di Pulau Tomia sebaran mangrove hanya ditemukan di Desa Waiti dengan ketebalan hanya mencapai ± 70 m. Hal tersebut sama dengan yang ditemukan di Pulau Binongko dimana mangrove hanya ditemukan menyebar di dua desa yaitu Desa Sowa, dan Desa Wali dengan ketebalan ± 70 m.

Selanjutnya Jamili (2010), melaporkan bahwa tingkat kerapatan mangrove pada lokasi kajian di pulau Kaledupa, Hoga dan pulau Derawa pada kategori pohon dan tiang menunjukkan tingkat kerapatan yang bervariasi dimana untuk pulau Kaledupa sebesar 1054 - 1829 pohon/ha, pulau Hoga sebesar 500 – 917 pohon/ha dan Pulau Derawa sebesar 521 – 1010 pohon/ha sedangkan kerapatan kategori sapihan dan semai diperoleh lebih tinggi. Data yang berbeda yang ditunjukkan dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh COREMAP – CTI 2014 di lokasi yang sama, yaitu khusus di Pulau Kaledupa tingkat kerapatan untuk strata pohon dan tiang diperoleh sebesar 395,05 pohon/ha, Pulau Derawa 974,29 pohon/ha, dan untuk Pulau Hoga sebesar 173,91 pohon/ha. Perbedaan data yang dilaporkan pada tahun 2010 dan pada tahun 2014 yang diperoleh tersebut menggambarkan penurunan status kerapatan mangrove di Kabupaten Wakatobi. Menurunnya komunitas mangrove yang ditemukan di beberapa daerah di Kabupaten Wakatobi khususnya di Pulau Kaledupa disebutkan dalam laporan COREMAP – CTI 2014 disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah adanya intervensi dari manusia untuk berbagai keperluan seperti

(37)

36 konversi lahan mangrove menjadi pemukiman, lahan tanaman budidaya, pembangunan sarana umum dan pengambilan kayu bakau oleh masyarakat untuk keperluan kayu bakar, tiang jaring ikan, dan bahan dasar pembuatan rumah. Dengan demikian berdasarkan nilai kerapatan yang diperoleh tersebut diatas maka jika dikelompokkan dalam kriteria skor kerapatan mangrove dalam Kepmen LH No. 201 tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan mangrove termasuk dalam kategorikan kerapatan <1000 pohon/ha dengan persen penutuan < 50 % (kriteria jarang) sehingga skor yang diberikan sebesar 1

Indeks keanekaragaman komunitas mangrove pada tiga lokasi tersebut pada kategori pohon hingga kategori semai juga menunjukkan kondisi yang berbeda, di pulau Kaledupa diperoleh nilai keanekaragaman yang berkisar 1,3 – 1,7; pulau Hoga berkisar 0,59 – 1,41 dan di pulau Derawa berkisar 0,34 – 0,69 dengan rata-rata kisaran sebesar 0,86 – 1,15 atau rata-rata indeks keanekragaman mangrove di lokasi kajian sebesar 1,07. Jika nilai indeks tersebut dibandingkan dengan kriteria skor nilai indeks keanekaragaman yaitu : 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); dan 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), maka berdasarkan nilai indeks keanekaragaman rata-rata tersebut di atas maka rata-rata indeks keanekaragaman mangrove di beberapa wilayah yang menjadi keterwakilan di Kabupaten mangrove tersebut dapat dikatakan termasuk dalam kriteria keanekaragaman sedang. Melalui indeks keanekaragaman tersebut pula diketahui rata-rata menunjukan INP sebesar 300 sehingga berdasarkan kategori INP yang ada maka dapat dikatakan INP yang diperoleh termasuk dalam kriteria tinggi.

Selanjutnya berdasarkan luas kawasan mangrove yang diketahui di Kabupaten Wakatobi khususnya di Pulau Kaledupa sejak tahun 1996 hingga tahun 2014 dilaporkan oleh Agusrinal dkk., (2015) terus mengalami perubahan yang cukup tinggi sebesar 214, 04 ha atau sebesar 21,89% dari total 978,03 ha pada tahun 1996 hingga 763,99 ha pada tahun 2014, demikian pula yang terjadi pada pulau lain baik di Wanci, Tomia, Binongko. Menurunnya luasan kawasan mangrove yang ditemukan disebagian besar di wilayah Wakatobi disebabkan oleh tingginya tingkat kerusakan yang terjadi di tiap tahunnya kondisi tersebut diperparah dengan adanya tindakan konversi kawasan mangrove menjadi pemukiman, tanaman budidaya, sarana umum dan pengambilan kayu bakau untuk bahan bakar dan kontruksi. Sehingga dengan demikian berdasarkan kondisi tersebut maka berkaitan dengan kriteria penilaian luasan kawasan mangrove di Kabupaten Waktobi diberikan skor rendah dengan nilai sebesar 1 (luasan mangrove berkurang dari data awal). Dengan demikian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa indikator status mangrove

Gambar

Tabel 3. Produksi Perikanan Tangkap Kabupaten Wakatobi Tahun 2012.
Tabel 5. Jumlah Responden Berdasarkan Desa Nelayan Target Setiap Kecamatan
Tabel 7. Visualisasi Model Bendera untuk Indikator EAFM Wilayah Pengelolaan Perikanan  Indonesia
Gambar 3. Analisis Multivariate dalam Teknik RAPFISH (Alder et al., 2000 dalam  Taryono, 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kriteria penilaian terhadap unit penangkapan ikan yang dianalisis dari aspek biologi, aspek teknik, aspek sosial dan aspek ekonomi diperoleh bahwa alat

Berdasarkan hasil penilaian indikator pada domain sumber daya ikan menunjukkan bahwa status sumber daya perikanan Pterapogon kauderni di Pulau Banggai dalam kondisi sedang

Hasil evaluasi terhadap domain EAFM WPP 718 dari hasil perhitungan diperoleh pada kisaran antara 54.8 – 783. Hal ini mengindikasikan bahwa status pengelolaan kawasan

Pemanfaatan metode EAFM untuk melakukan assessmen dalam menilai status perikanan pada kawasan konservasi perairan perlu dikaji lebih jauh khususnya tiap-tiap indikator dan

Metode yang digunakan untuk analisis proporsi ikan yuwana (juvenile) ialah dengan membuat data komposisi (persentase) spesies yang termasuk ukuran yuwana dari hasil

Secara agregat, sesuai nilai komposit, status pengelolaan sumber daya ikan di Kabupaten Maluku Tenggara termasuk dalam kategori Baik Keberlanjutan pengelolaannya dapat

Berdasarkan Gambar 6, ketersediaan sumberdaya (SD) menjadi faktor pembatas yang berkepentingan pertama terkait kriteria/aspek sosial dan budaya bila suatu model

Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Menggunakan Indikator EAFM 45 responden yang menyatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2008