• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDIKATOR PENJELASAN DEFINISI/ MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI

6.1.4 Domain Sosial

Terdapat 3 indikator penilaian untuk domain sosial yaitu partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge). Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain sosial ditampilkan dalam Tabel 14

49 Partisipasi pemangku kepentingan merupakan frekuensi keiikutsertaan pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Jumlah kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti oleh pemangku kepentingan dihitung kemudian dibandingkan dengan seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi yang diteliti. Pengukuran partisipasi pemangku kepentingan ini bertujuan untuk melihat keaktifan pemangku kepentingan dalam seluruh kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Tingkat keaktifan pemangku kepentingan sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin aktif pemangku kepentingan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan (Modul EAFM, 2012).

Terdapat 3 indikator penilaian untuk domain sosial yaitu partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge). Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain sosial ditampilkan dalam Tabel 15.

Kabupaten Wakatobi merupakan kawasan konservasi dan secara kelembagaan di kelola oleh Balai Taman Nasional Wakatobi. Pengelolaan kawasan tersebut melibatkan banyak stakeholder maupun pemamngku kepentingan. Pemamngku kepentingan tersebut baik daerah (Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Wakatobi dan Pemerintah Daerah Kab. Wakatobi) dan pusat (Dewan Perwakilan Rakyat, Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, Perguruan Tinggi (Universitas Haluoleo dan Konsorsium Mitra Bahari Prov.Sulawesi Tenggara) serta lembaga non-pemerintah (WWF, TNC) muapun pihak swasta seperti Wakatobi Dive Resort. Keberadaan lembaga tersebut menunjukan bahwa banyak pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan termasuk didalamnya pemanfaatan ikan karang dan lembaga-lembaga tersebut mulai dari tahun 2012 sampai sekarang masih sama model pengelolaannya. Keberadaan dari beberapa lembaga ini sangat baik bagi keberlansungan potensi sumberdaya hayati yang menjadi suatu investasi yang besar bagi masyarakat Wakatobi, karena dengan semakin banyaknya ahli dalam suatu wilayah pengembangan maka dapat membawa kesejahteraan bagi orang-orang didalamnya. Tetapi, perlu adanya pendekatan-pendekatan yang perlu dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut kepada masyarakat setempat secara rutin guna untuk memberikan pemahaman atau penjelasan terkait kegiatan atau aturan-aturan yang ada dalam pengelolaan tersebut. Karena dengan adanya pendekatan yang baik akan menciptakan kerjasama yang baik pula. Meskipun keberadaan lembaga tersebut dalam aktivitasnya belum terintegrasi tapi masih menjalankan tupoksi masing-masing sehingga

50 kadang belum sinergis apa yang dilakukan antar lembaga. Berdasarkan uraian di tersebut maka kriteria skor untuk keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan karang termasuk kategori moderat dan dalam skor 2

Berdasarkan hasil wawancara dari 210 responden nelayan ikan karang, hanya nelayan karang di Pulau Kaledepa yang mengatakan pernah terjadi konflik antar nelayan sekitar 3 kali pertahun, konflik tersebut dari tahun 2012 sampai 2014 mengalami penurunan yang dimana pada tahun 2012 konflik antar nelayan sekitar 10 kali pertahun. Konflik yang dimaksud adalah berkaitan dengan alat penangkapan yang digunakan nelayan lain yang ditemui di laut dengan alat bantu bom atau bius sehingga diantara mereka terjadi konflik namun bisa diselesaikan di tempat dan tidak dilaporkan ke pihak pemerintah dan tidak tercatat pula. Sedangkan nelayan di pulau lainnya mengatakan tidak ad a konflik diantara nelayan.

51 Tabel 15. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sosial.

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN

MONITORING/

PENGUMPULAN KRITERIA SKOR

BOBOT (%) RANKING NILAI 1. Partisipasi pemangku kepentingan Keterlibatan pemangku kepentingan Recording partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan.

1 = kurang dari 50%; 2 40 1 80 2 = 50-100%;

3 = 100 %

2. Konflik perikanan Resources

conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector.

Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim) 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun 2 35 2 70 Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan

pengelolaan perikanan

Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif

1 = tidak ada;

2 = ada tapi tidak efektif;

3 = ada dan efektif digunakan

2 25 3 50

52 Konflik perikanan merupakan pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat perebutan fishing ground (resources conflict) dan benturan alat tangkap (fishing gear conflict). Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat pertentangan kebijakan (policy conflict) pada kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan antar sektor. Konflik diukur dengan frekuensi terjadinya konflik sebagai unit indikator. Indikator ini bertujuan untuk melihat potensi kontra produktif dan tumpang tindih pengelolaan yang berakibat pada kegagalan implementasi kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan. Semakin tinggi frekuensi konflik perikanan, semakin sulit pengelolaan sumberdaya perikanan. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah frekuensi terjadinya konflik diharapkan semakin mudah implementasi pengelolaan sumberdaya perikanan (Modul EAFM, 2012).

Secara umum berdasarkan hasil studi yang dilakukan KMB Sultra tahun 2010 bahwa pelanggaran yang terjadi biasanya diikuti dengan konflik namum frekuensinya semakin menurun sejak tahun 2005 – 2010 dari 14 kasus menjadi 2 kasus termasuk konflik didalammnya. Sampai sekarang (2012 saampai 2014) konflik terkait dengan kebijakkan dimana pada zonasi TNW ditetapkan sebagai daerah pemanfaatan tradisional yang mengacu pada undang-undang konservasi sedang DKP Wakatobi pada daerah tersebut ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut (DPL) kemudian berdasarkan wawancara dengan pihak DKP dan KOMUNTO (Komunitas Nelayan Tomia) mengatakan bahwa ada pertentangan kebijakan khususnya aturan yang berkaitan dengan larangan penggunaan kompresor secara umum namun dipihak lain apabila penggunaannya tidak merusak maka di bolehkan. Oleh karena itu indikator konflik perikanan yang berkaitan dengan sumberdaya, kebijakan, fishing gear maupun antar sektor dapat diberikan skor 2.

Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan ukuran dari keberadaan serta keefektifan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Ada tidaknya pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti oleh efektif tidaknya penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang pernah dilakukan di lokasi yang diteliti. Tingkat keefektifan penerapan pengetahuan lokal sangat menentukan keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, semakin efektif penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan

Keberadaan program Coremap II dan WWF-TNC serta lembaga pemerintah lainnya di Kabupaten Wakatobi yang menerapkan konsep konservasi berbasis masyarakat telah meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya pengelolaan

53 sumberdaya esisir dan laut secara lestari. Di Masyarakat Kabupaten Wakatobi terdapat beberapa kerifan lokal maupun pengetahuan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola termasuk memanfaatkan sumberdaya khususnya diwilayah pesisir namun dalam penerapannya belum efektif artinya hanya sebagian kecil masyarakat nelayan wakatobi yang mngikuti aturan adat tersebut dalam pengelolaan perikanan. Salah satunya adalah cara menentukan kapan waktu yang tepat untuk menangkap ikan karang, dimana masyarakat dapat mengetahui pada waktu-waktu tertentu ikan karang datang memijah di lokasi tersebut. Namun pengetahuan ini bisa sangat berbahaya karena memungkinkan ikan yang tertangkap belum bertelur.

Berdasarkan hasil wawancara 210 responden hanya sekitar 20 % yang mengatakan bahwa keberadaan pengetahuan lokal tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Wakatobi ini secara umum telah lama namun dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi hal-hal tersebut mulai terkikis dan belum terkelola dengan baik oleh karena itu perlu adanya revitalisasi terhadap pengetahuan lokal maupun kearifan lokal yang ada di masyarakat. Pentingnya meningkatkan pemahaman dan mengefisiensikan pelibatan masyarakat dalam setiap pembangunan terutama dalam pengelolaan wilayah laut sangat dibutuhkan, kajian lebih mendetail di setiap desa pesisir perlu diidentifikasi lebih lanjut, dikarenakan kearifan lokal yang ada pun masih bisa diperkuat untuk mendukung pengelolaan perikanan yang lebih selektif dan tetap mengakomodir nilai-nilai budaya setempat.

Berdasarkan informasi tersebut maka indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) diberikan status moderat dengan skor 2.