• Tidak ada hasil yang ditemukan

perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%);

3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)

2.53 100 268.

74 Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu lokasi yang menjadi titik sentra dalam evaluasi program EAFM - 2016 (Ecosystem Approach to Fisheries Management Program). Sebagai salah satu daerah dengan potensi yang cukup besar dengan luas perairan yang mencakup 97% dari daratannya, menjadi sangat penting untuk dilakukan suatu program evaluasi yang berbasis ekosistem yang dapat melahirkan suatu upaya penting yang dapat menjaga kesehatan habitat berserta ekosistem yang berasosiasi di dalamnya. Keberadaan habitat yang sehat dengan kondisi yang stabil sangat bergantung pada kondisi kualitas air yang mendukung. Melalui program EAFM beberapa parameter kualitas perairan seperti Salinitas, DO, pH, TSS, BOD5 dan COD menjadi bagian penting untuk menentukan kondisi kesehatan suatu habitat. Berdasarkan kajian analisis kualitas air di perairan Wakatobi yang dilakukan oleh COREMAP-CTI (2014) menyajikan bahwa untuk konsentrasi salinitas yang diperoleh mencakup kisaran 34.0 – 34.7 ppm, DO 7.38 – 8.66 ppm, TSS 29 - 33 mg/L, pH 7.75 - 7.91, BOD5 2.77 – 3.04 dan rata-rata nilai COD 4.85 – 7.08 kondisi parameter yang diperoleh tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 masih dikategorikan cukup baik atau belum tercemar. Beberapa parameter lain dari hasil analisis kualitas air yang diperoleh dari data lapangan EAFM-Wakatobi (2016) menunjukkan bahwa untuk konsentrasi suhu mencakup kisaran 29 – 32oc, pH sebesar 6, DO 6.48, TSS 0.443, Klorofil a 0.825. Parameter yang diperoleh tersebut memperkuat kondisi kualitas perairan di Perairan Wakatobi yang masih cukup baik ataupun masih dalam kategori belum tercemar, Secara rinci hasil analisis parameter kualitas air yang diperoleh di Perairan Wakatobi disajikan pada tabel berikut :

NO PARAMETER

LINGKUNGAN

LOKASI PERAIRAN

RATA-RATA

WANCI KALEDUPA TOMIA BINONGKO

1 Suhu (oC) 31 32 31 30 31 2 Derajat Keasaman (pH) 6 6 6 6 6 3 DO (mg/l) 5,97 6,35 6,75 6,87 6,48 4 TSS (mg/l) 0,353 0,530 0,448 0,441 0,443 5 Klorofil-a 0,93 0,80 0,87 0,70 0,825

Sumber : Laboratorium Dasar UHO, 2016

Berdasarkan informasi yang diperoleh tersebut maka indikator penilaian untuk kualitas air yang terdiri dari komponen limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh : B3-bahan berbahaya & beracun), kemudian kekeruhan dan eutrofikasi, maka Perairan Kabupaten Wakatobi masih memenuhi baku mutu perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu Perairan. sehingga secara umum perairan Kabupaten Wakatobi dapat di katakan tidak tercemar. Dengan demikian indikator kualitas perairan di berikan skor 3.

75 Disamping indikator kualitas perairan tersebut diatas, indikator penting yang menjadi perhatian pada domain habitat adalah ekosistem lamun. Ekosistem lamun merupakan salah satu habitat yang memberikan peranan yang cukup besar bagi keberadaan organisme di perairan. Fungsi keberadaannya memberikan peran aktif terhadap penyediaan sumber makanan (feeding ground) bagi organisme grazer. tempat pemijahan (spawning ground), serta sebagai tempat pembesaran (nursery ground) bagi sebagian besar organisme ikan dan kerang. Besarnya manfaat keberadaan ekosistem lamun tersebut memberikan indikasi perlu adanya upaya evaluasi terhadap keberadaannya sehngga kedepan dari hasil tersebut dapat menjadi langkah awal dalam memperbaiki kondisi yang sedang atau telah mengalami kerusakan khususnya di Wilayah Wakatobi yang menjadi salah satu sentra program EAFM 2016.

Berdasarkan hasil analisa citra satelit tahun 2004 Kabupaten Wakatobi memiliki luas padang lamun sebesar 7.067,25 ha (Hardin, 2007). Lebih rinci dari hasil penelitian yang dilakukan oleh COREMAP-CTI (2014) menyebutkan bahwa komposisi jenis lamun di Perairan Wakatobi dari luas padang lamun yang tersedia khususnya di daerah DPL (Perlindungan Laut) ditemukan di 7 (tujuh) lokasi yang berbeda, yaitu Desa Waha dengan jenis lamun Halophila minor, Halodule pnifolia, Thalassia hemperichii, Desa Matahora dengan jenis lamun Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassodendron ciliatum dan Thalassia hemprichii, Desa Waelumu dengan 1 jenis lamun yaitu Cymodocea serrulata, Liya Mawi dengan jenis lamun Halophila minor dan Thalassia hemperichii, Kabita dengan jenis lamun Enhalus acoroides, Halophila minor , dan Halodule pnifolia, Sama Bahari dengan jenis Cymodocea rotundata dan Enhalus acoroides, Kulati dengan jenis lamun Halodule pnifolia.

Sebagai data tambahan yang diperoleh dari data lapangan EAFM-Wakatobi 2016 bahwa beberapa desa yang juga ditemukan memiliki ekosistem lamun di Perairan Wakatobi adalah Desa Peropa di Pulau Kaledupa dengan jenis lamun Enhalus acoroides dan Halophila minor, Desa Lagongga di Pulau Binongko dengan jenis lamun Thallassia hemperichii dan Desa Waha di Pulau Wanci dengan jenis Halophila minor dan Halodule pnifolia. Masing-masing jenis lamun yang diperoleh di lokasi tersebut menunjukkan persen tutupan yang berbeda-beda. Dari hasil estimasi persen tutupan lamun yang didasarkan pada McKenzie et al., (2002) diketahui bahwa rata-rata persen tutupan lamun yang diperoleh di Perairan Wakatobi berkisar pada 60 – 100 o/o. COREMAP-CTI (2014) melaporkan bahwa dari beberapa jenis lamun yang ditemukan di 7 (tujuh) lokasi DPL dengan persen tutupan lamun tertinggi adalah jenis Thalassia hemprichi. Sehingga dengan demikian berdasarkan data-data yang diperoleh tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

76 indikator status padang lamun di Kabupaten Wakatobi dengan penutupan diatas 60 % dan keanakaragaman yang tinggi (11 jenis) maka berdasarkan kondisi status lamun yang dinyatakan dalam Kemen LH No. 200 tahun 2004 dapat dikatakan masih dalam kondisi kaya/sehat. Sehingga nilai indikator tersebut dapat di berikan skor 3.

Indkator lain yang juga memiliki nilai penting yang sama dalam domain habitat adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove di ketahui menyebar diseluruh Kepulauan Wakatobi degan konsentrasi yang berbeda-beda dan sebagian hanya merupakan bagian kecil pelengkap ekosisten pesisir. Keberadaan komunitas mangrove tertinggi terpusat di Pulau Kaledupa dan sekitarnya seperti pulau Derawa, Pulau Lentea. Beradasarkan laporan COREMAP-CTI (2014) menyebutkan bahwa penyebaran mangrove terluas di Kabupaten Wakatobi dapat ditemukan di Pulau Kaledupa dengan komunitas mangrove yang ditemukan hampir di semua desa meliputi Desa Tanomehe, Langge, Balasuna, Ambeua, Sombano, dan Desa Horua, ketebalan komunitas mangrove pada masing-masing desa tersebut bervariasi hingga mencapai ± 750 m, komunitas mangrove juga ditemukkan pada beberapa pulau disekitarnya seperti Lentea, Derawa, dan Pulau Hoga. Disamping itu sebaran mangrove juga ditemukan di Pulau Wangi-wangi di Desa Liya Mawi dan Pulau Kapota dengan total ketebalan hanya mencapai ± 185 m, dari arah laut ke arah darat. Sementara di Pulau Tomia sebaran mangrove hanya ditemukan di Desa Waiti dengan ketebalan hanya mencapai ± 70 m. Hal tersebut sama dengan yang ditemukan di Pulau Binongko dimana mangrove hanya ditemukan menyebar di dua desa yaitu Desa Sowa, dan Desa Wali dengan ketebalan ± 70 m.

Selanjutnya Jamili (2010), melaporkan bahwa tingkat kerapatan mangrove pada lokasi kajian di pulau Kaledupa, Hoga dan pulau Derawa pada kategori pohon dan tiang menunjukkan tingkat kerapatan yang bervariasi dimana untuk pulau Kaledupa sebesar 1054 - 1829 pohon/ha, pulau Hoga sebesar 500 – 917 pohon/ha dan Pulau Derawa sebesar 521 – 1010 pohon/ha sedangkan kerapatan kategori sapihan dan semai diperoleh lebih tinggi. Data yang berbeda yang ditunjukkan dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh COREMAP – CTI 2014 di lokasi yang sama, yaitu khusus di Pulau Kaledupa tingkat kerapatan untuk strata pohon dan tiang diperoleh sebesar 395,05 pohon/ha, Pulau Derawa 974,29 pohon/ha, dan untuk Pulau Hoga sebesar 173,91 pohon/ha. Perbedaan data yang dilaporkan pada tahun 2010 dan pada tahun 2014 yang diperoleh tersebut menggambarkan penurunan status kerapatan mangrove di Kabupaten Wakatobi. Menurunnya komunitas mangrove yang ditemukan di beberapa daerah di Kabupaten Wakatobi khususnya di Pulau Kaledupa disebutkan dalam laporan COREMAP – CTI 2014 disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah adanya intervensi dari manusia untuk berbagai keperluan seperti

77 konversi lahan mangrove menjadi pemukiman, lahan tanaman budidaya, pembangunan sarana umum dan pengambilan kayu bakau oleh masyarakat untuk keperluan kayu bakar, tiang jaring ikan, dan bahan dasar pembuatan rumah. Dengan demikian berdasarkan nilai kerapatan yang diperoleh tersebut diatas maka jika dikelompokkan dalam kriteria skor kerapatan mangrove dalam Kepmen LH No. 201 tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan mangrove termasuk dalam kategorikan kerapatan <1000 pohon/ha dengan persen penutuan < 50 % (kriteria jarang) sehingga skor yang diberikan sebesar 1

Indeks keanekaragaman komunitas mangrove pada tiga lokasi tersebut pada kategori pohon hingga kategori semai juga menunjukkan kondisi yang berbeda, di pulau Kaledupa diperoleh nilai keanekaragaman yang berkisar 1,3 – 1,7; pulau Hoga berkisar 0,59 – 1,41 dan di pulau Derawa berkisar 0,34 – 0,69 dengan rata-rata kisaran sebesar 0,86 – 1,15 atau rata-rata indeks keanekragaman mangrove di lokasi kajian sebesar 1,07. Jika nilai indeks tersebut dibandingkan dengan kriteria skor nilai indeks keanekaragaman yaitu : 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); dan 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), maka berdasarkan nilai indeks keanekaragaman rata-rata tersebut di atas maka rata-rata indeks keanekaragaman mangrove di beberapa wilayah yang menjadi keterwakilan di Kabupaten mangrove tersebut dapat dikatakan termasuk dalam kriteria keanekaragaman sedang. Melalui indeks keanekaragaman tersebut pula diketahui rata-rata menunjukan INP sebesar 300 sehingga berdasarkan kategori INP yang ada maka dapat dikatakan INP yang diperoleh termasuk dalam kriteria tinggi.

Selanjutnya berdasarkan luas kawasan mangrove yang diketahui di Kabupaten Wakatobi khususnya di Pulau Kaledupa sejak tahun 1996 hingga tahun 2014 dilaporkan oleh Agusrinal dkk., (2015) terus mengalami perubahan yang cukup tinggi sebesar 214, 04 ha atau sebesar 21,89% dari total 978,03 ha pada tahun 1996 hingga 763,99 ha pada tahun 2014, demikian pula yang terjadi pada pulau lain baik di Wanci, Tomia, Binongko. Menurunnya luasan kawasan mangrove yang ditemukan disebagian besar di wilayah Wakatobi disebabkan oleh tingginya tingkat kerusakan yang terjadi di tiap tahunnya kondisi tersebut diperparah dengan adanya tindakan konversi kawasan mangrove menjadi pemukiman, tanaman budidaya, sarana umum dan pengambilan kayu bakau untuk bahan bakar dan kontruksi. Sehingga dengan demikian berdasarkan kondisi tersebut maka berkaitan dengan kriteria penilaian luasan kawasan mangrove di Kabupaten Waktobi diberikan skor rendah dengan nilai sebesar 1 (luasan mangrove berkurang dari data awal). Dengan demikian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa indikator status mangrove

78 di Kabupaten Wakatobi yang meliputi kerapatan, keanekaragaman, luasan dan INP secara keseluruhan dapat di berian nilai skor total 25.

Indikator penting selanjutnya adalah terumbu karang. Ekositem terumbu karang dapat menjadi salah satu bio indikator dalam menentukan kondisi sumber daya perikanan di suatu perairan. Pentingnya ekosistem terumbu karang bagi kehidupan pesisir menjadikan ekositem tersebut sebagai objek perhatian yang dikaji dalam bentuk penelitian oleh berbagai lembaga di dunia. Wakatobi merupakan salah pusat kekayaan terumbu karang, dengan letak yang strategis, wakatobi disebut sebagai pusat segi tiga karang dunia (coral triangle center). Berdasarkan keberadaan lokasi geografi ekosistem terumbu karang dan status Kabupaten Wakatobi sebagai kawasan konservasi beberapa hasil penelitian mengekelompokan terumbu karang di wilayah Wakatobi menjadi tiga wilayah (habitat) yaitu kondisi terumbu karang tepi (main land), kondisi terumbu karang di luar pulau (outer land) dan kondisi terumbu karang kawasan atol. Sedangkan berdasarkan status kawasan maka di fokuskan pada hasil peneltian di kawasan pemanfaatan (use zone) dan kawasan perlidungan (no take zone). Hasil penelitian yang dilakukan oleh TNC-WWF yang mengamati kondisi terumbu karang pada tahun 2009 – 2011 menunjukan kondisi terumbu karang sebagai berikut :

Grafik 4. Kondisi Terumbu Karang Pada Tipe habitat dan Zona Tahun 2009 – 2011 di Kabupaten Wakatobi

79 Sumber : Adaptasi TNC-WWF, 2011

Keterangan : a. Presentase tutupan terumbu karang keras. b. Presentase tutupan terumbu karang lunak

Dari grafik hasil penelitian yang dilakukan oleh TNC-WWF pada tahun 2009 hingga tahun 2011 tersebut di atas menggambarkan bahwa rata-rata persen tutupan karang pada zona larang ambil baik pada tutupan karang keras maupun lunak cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan zona pemanfaatan. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pada zona dengan aktivitas yang cenderung tinggi menyebabkan kondisi terumbu karang tidak dapat tumbuh dengan baik hal tersebut dibuktikan berdasarkan data yang diperoleh bahwa sebagian besar zona pemanfaatan menunjukkan presentase tutupan karang yang lebih kecil dibanding dengan zona tutupan.

Berdasarkan laporan BPPD Wakatobi (2010) bahwa secara umum pada tahun 2008 presentase tutupan terumbu karang hidup terbesar terdapat di Pulau Wangi-Wangi. Namun pada tahun 2009, presentase karang hidup di Pulau Wangi-Wangi menurun drastis hingga 48%. Sementara itu di wilayah Tomia, Presentase tutupan mengalami peningkatan dari 58% menjadi 64% di tahun 2009. Secara rinci presentase tutupan terumbu karang hidup di Kabupaten Wakatobi pada tahun 2008 – 2009 disajikan pada grafik berikut :

80 Sumber : Adaptasi TNC-WWF, 2011

Disamping data yang disajikan tersebut diatas, Data lain menyebutkan bahwa hasil monitoring sumber daya terumbu karang di 15 lokasi DPL COREMAP-CTI Kabupaten Wakatobi tahun 2014, menunjukkan presentase penutupan karang hidup (living hidup) berkisar 20 – 60 %. Dari nilai tersebut sesuai dengan kriteria kurang hingga baik. Sehingga dengan demikian berdasarkan data series yang dilaporkan oleh TNC-WWF pada tahun 2008 – 2009 tersebut diatas dan data yang dilaporkan oleh COREMAP-CTI pada tahun 2014, maka dapat disimpulkan bahwa kategori tutupan karang di Perairan Wakatobi masih termasuk dalam kriteria kurang hingga baik sehingga skor yang diberikan skor 2 dengan keterangan =tutupan sedang, 25-49,9%;

Di Kabupaten Wakatobi tercatat sebanyak 396 jenis karang keras berterumbu (scleractanian hermatripic), 10 spesies karang keras tak-berterumbu (scleractanian ahermatripic), 28 genera karang lunak, dan 31 spesies karang fungi di TNW. Kondisi ini menggambarkan bahwa di Kabupaten Wakatobi memiliki keanekaragaman karang yang tinggi (WWF-TNC, 2003). Berdasarkan kenyataan tersebut walaupun tidak melakukan analisa ekologi maka keanekaragama karang tergolong tinggi sehingga dapat di berikan skor 3. Secara keseluruhan status karang di Kabupaten wakatobi berdasarkan kriteria persentase penutupan karang keras dan keanekaragaman maka dapat di berikan nilai 37,5.

Indikator habitat khusus/unik mengenai daerah pemijahan ikan di Kabupaten Wakatobi diperoleh dari data SPAGs (Spawning Agregation Site) dalam laporan akhir rencana pengelolaan parawisata Wakatobi tahun 2013. Dari data tersebut disebutkan bahwa terdapat 10 (sepuluh) lokasi pemantauan pemijahan ikan di kawasan Wakatobi dan telah ditetapkan sebagai wilayah zona perlindungan bahari. Kesepuluh lokasi tersebut adalah

81 Ontiolo, Hoga Channel, Table coral city, Mari mabuk, Pintu masuk karang Keledupa, Tanjung Binongko, Pintu masuk karang Koko, Tanjung Kentiole, dan Anano. Namun yang masih aktif digunakan sebagai lokasi pemantauan pemijahan adalah Runduma, Ontiolo, Hoga Channel, dan Table coral city, sementara itu Sopari (2014) dengan menguitp data BTNW (2013) Menyebutkan terdapat 11 (sebelas) lokasi pemijahan ikan yang diketahui yaitu Hoga Channel, Marimabuk, Table Coral City, Pintu masuk karang kaledupa, Tanjung Binongko, Pintu masuk karang Koko, Kantiole, Runduma, Anano, Otiolo, dan Karang Kapota. Dari lokasi tempat pemijahan ikan yang diketahui tersebut disebutkan oleh Sopari (2014) telah dikelolah oleh Balai TN Wakatobi dengan melakukan tindakan monitoring, patroli pengamanan, kawasan, penyuluhan/sosalisasi dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dengan melakukan patroli pengamanan kawasan. Sehingga dengan demikian berdasarka informasi tersebut maka dapat diketahui bahwa keberadaan habitat khusus/unik telah diketahui keberadaannya dan juga telah ditetapkan sebagai zona perlindungan bahari, dan telah ada pengelolaan dengan baik, oleh Balai TN Wakatobi dan Pemerintah Kabupaten Wakatbi. Oleh karen itu berdasarkan informasi tersebut maka indikator habitat khusus dapat di berikan skor 3.

Produktivitas perairan menurut Wood (1967) merupakan kapasitas atau kemampuan suatu perairan dalam memproduksi suatu materi per satuan waktu. Materi yang diproduksi oleh suatu perairan dapat berupa materi organik yang dihasilkan oleh organisme hidup per satuan waktu dan sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang didapatkan dalam material hidup dan secara umum dapat dinyatakan sebagai gram carbon yang dihasilkan satuan meter kuadrat kolom air perhari (gc m-3hari-1) (Ariyana, 2012). Organisme hidup di perairan yang memberikan konstribusi besar dalam memproduksi materi organik adalah dari kelompok tumbuhan air meliputi fitoplankton, rumput laut, lamun, mangrove, dan mikroalga bentik. Khusus untuk fitoplankton disebutkan oleh Asriyana (2012) merupakan salah satu organisme yang dapat menghasilkan 98% dari total produksi di perairan terutama di laut. Disamping beberapa komponen yang memberikan pengaruh terhadap produktivitas perairan tersebut, komponen lain yang juga memberikan pengaruh adalah ketersediaan cahaya, zat hara, suhu, dan derajat keasamaan (pH). Menurut Pescod (1973) pH merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan. pH ideal di suatu perairan terdapat pada zona fotosintesis dengan kisaran optimum 6,5 – 8,0.

Dari hasil data lapangan EAFM 2016 di Perairan Wakatobi berkaitan dengan komponen yang memberikan konstribusi terhadap prodktivitas perairan tersebut diatas ditemukan cukup tersedia. Sebagai contoh untuk kelompok tumbuhan air seperti lamun,

82 mangrove, dan rumput laut ke tiga komponen ekosistem tersebut ditemukan menyebar hampir di seluruh wilayah Wakatobi dengan jumlah presentase tutupan yang bervariasi, di samping itu komponen lain berupa parameter lingkungan yang menentukan produktivitas perairan seperti pH juga diperoleh mencakup parameter ideal yang dibutuhkan yaitu sebesar 6. Nilai pH yang diperoleh tersebut berdasarkan kriteria yang ada masih dalam kategori cukup baik dengan indikasi masih termasuk perairan yang produktif. Berdasarkan informasi tersebut maka perairan Kabupaten Wakatobi cenderung pada kategori produktivitas tinggi sehingga indikator produktivitas perairan pada domain habitat ini dapat diberkan skor 3.

Pengkajian dampak perubahan iklim di Kabupaten Wakatobi belum banyak dilakukan, namun secara kualitatif dampak perubahan iklim sudah dapat di rasakan oleh masyarakat yaitu adanya perubahan pola arus dan gelombang serta hujan yang sulit di prediksi dan tidak teratur. Keberadaan infromasi yang demikian belum diikuti langkah-langkah strategis untuk mengantisipasinya, oleh karenan itu kriteria ini dapat diberikan skor 2.

Sedangkan kriteria indikator perubahan iklim yang didasarkan pada terumbu karang di peroleh informasi dari Yulius dkk., (2015) bahwa pada tahun 2012 terumbu karang di perairan wakatobi sebanyak 65% yang terkena dampak pemutihan, dengan mortalitas 5% sebelumnya april 2010 ditemukan 70% karang juga terkena dampak pemutihan di rataan karang dalam dengan 35% koloni tercatat berwarna pucat, disamping itu Laporan TNC (2012) menyebutkan bahwa kondisi pemutihan karang di Taman Nasional Wakatobi disebabkan oleh meningkatnya suhu permukaan laut (SPL), yang pada dasarnya diakibatkan oleh perubahan iklim. Dari data yang dilaporkan bahwa pada tahun 2010 bulan april grafik komposisi kondisi karang dengan keterangan pucat lebih tinggi berada di atas 50% pada terumbu dangkal (S) dan di atas 40% pada terumbu dalam (D), sementara pada terumbu karang yang mengalami pemutihan pada daerah dangakal berada pada 10% dan pada daerah dalam di atas 10%. Kondisi lain juga ditunjukkan pada bulan september 2010 dan januari 2011 bahwa komposisi kondisi karang yang mengalami pemutihan menurun hingga di bawah 1% , secara rinci digambarkan pada grafik sebagai berikut :

Grafik 6. Komposisi (%) kondisi koloni karang di Taman Nasional Wakatobi (sumber : TNC, 2012)

83 Keterangan : Gambar inset adalah gambar yang sama dengan gambar utama, aksis-y

disesuaikan dan hanya menampilkan kondisi September 2010 dan Januari 2011. S = terumbu dangkal (1-3 m) dan D = terumbu dalam (7-10 m).

Dengan demikian berdarkan informasi maka dapat diketahui bahwa kondisi karang yang mengalami pemutihan dari tahun 2010 hingga tahun 2011 mengalami penurunan intensitas. Sehinga berdasarkan kondisi tersebut maka skor yang dapat diberikan adalah sebesar 3 dengan keterangan bahwa habitat terumbu karang di Perairan Wakatobi terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching) dengan presentasi kurang dari 5%.

6.2.3 Domain Teknik Penangkapan Ikan

Berdasarkan aspek teknis penangkapan ikan telah dirumuskan 6 (enam) indikator utama, yakni: (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, (2) modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) Fishing capacity dan effort, (4) Selektivitas penangkapan, (5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, dan (6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain teknik penangkapan ikan ditampilkan dalam Tabel 20.

84 INDIKATOR DEFINISI/

PENJELASAN

MONITORING/

PENGUMPULAN KRITERIA SKOR

BOBOT (%) RANKING NILAI 1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal Penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau

tidak sesuai peraturan yang berlaku. Laporan hasil pengawas perikanan, survey 1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ;

2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ;

3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun

3 30 1 (Killer Indicator) 90 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu

penangkapan.

Penggunaan alat tangkap dan alat

bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI Sampling ukuruan ikan target/ikan dominan.

1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm 2 25 2 50 3. Fishing capacity dan Effort Besarnya kapasitas dan aktivitas penangkapan Interview, survey, logbook 1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1 0 15 3 0 4. Selektivitas penangkapan Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey 1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ;

3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)

85 INDIKATOR DEFINISI/

PENJELASAN

MONITORING/

PENGUMPULAN KRITERIA SKOR

BOBOT (%) RANKING NILAI 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal Sesuai atau

tidaknya fungsi dan

ukuran kapal

dengan dokumen legal

Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal.

1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal

2 10 5 20 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan. Sampling kepemilikan sertifikat 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75% 1 5 6 5 2 100 235

86 Meningkatnya pemberdayaan masyarakat melalui SISWASMAS dan POKWASMAS baik kelembagaannya maupun kapasitas pengurusnya serta peningkatan kerjasama dengan instansi terkait/antar lembaga yaitu POL AIR dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi serta Taman Nasional akatobi yang di fasilitasi Coremap II sehingga indikator metode penankapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal dapat di beri skor 3 dengan