BAB II KAJIAN PUSTAKA KAJIAN PUSTAKA
2.6. Kelompok Sosial
Kelompok sosial merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Kelompok sosial adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interakasi sosial yang cukup intensif dan teratur sehingga diantara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma-norma tertentu. (Santoso, 2004 :47).
Dalam bukunya Modern Society dari Jhon Biesanz mengemukakakan defenisi kelompok sosial sebagai berikut: suatu kelompok adalah suatu pengumpulan dari dua atau lebih orang atau individu yang:
1. Mungkin atau tidak mungkin mengadakan kontak dengan orang lain tetapi dia sadar akan keanggotaanya bersama dengan kelompok.
2. Interaksi yang sesuai dengan norma-norma yang saling diterima, yang menentukan perilakunya dan yang membedakan anggota-anggota dari yang bukan anggota.
3. Disusun atau tersusun disekeliling satu atau lebih dari kepentingan bersama atau kegiatan bersama.
4. Disatukan oleh solidaritas yang emosional (a sense of emotional solidarity).
Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama oleh karena adanya hubungan diantara mereka. Hubung diantara mereka, hubungan tersebut antara lain menyangkut timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong-menolong. (Santoso 2004:67).
Adapun prasyarat kelompok sosial adalah
1. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok yang bersangkutan.
2. Adanya hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan yang lain. 3. Terdapat suatu faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota
kelompok itu, sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat merupakan nasib yang sama, kepentingan yang sama, ideologi yang sama dan lain-lain.
Klasifikasi kelompok yang lainnya in-group dan out-group yang diperkenalkan oleh W. G. Summer. Menuru Zanden in-group adalah kelompok yang mana kita mengidentifikasi diri kita dan merasa menjadi milik dari kelompok tersebut. Sedangkan out-group adalah kelompok dimana kita mengidentifikasi diri kita dan tidak merasa memiliki kelompok tersebut. Dengan demikian maka terbentuklah kelompok kita (we group) atau kelompok dalam
(in-group) dan kelompok mereka (they-(in-group) atau kelompok luar (out-(in-group). ( Soekanto, 2007: 166).
Menurut Summer pada in-group terdapat persahabatan, kerja sama, keteraturan dan kedamaian. Sementara dilain pihak hubungan yang terjadi antara in-group ditandai oleh kebencian, permusuhan, perng dan perampokan. Tidak sikit pula hubungan antara in-group dengan out-group ditandai oleh kerja sama dan kedamaian. Sikap-sikap kebencian dan permusuhan yang berkembang ini biasanya menunjukkan adanya etnosentrisme dan chaivinisme. Contoh-contoh hubungan sosiaal antar un-group dan out-group yang mencerminkan etnosentrisme banyak kita jumpai di masyarakat, seperti ubungan sosial antara pribumi dan non pribumi, antara anggota sekte agama yang satu dengan sekte agama yang lainnya. (Sunarto, 2004: 134-135).
Perbedaan antara in-gropu dan out-group terletak pada pembatas yang berupa garis demarkasi sosial yang menjelaskan dimana interaksi sosial dimulai dan dimana berakhir. Pembatas keolmpok ini didasarkan pada lokasi teritorial (kebertetanggan, komunitas, kebangsaan/negara), etnisitas, kepercayaan/agama, politik, pekerjaan, bahasa, kekerabatan, atau kelas sosial-ekonomi. Pembatas sosial itu sendiri mempunyai dua peranan. ( Sunarto. 2004: 134-135) yaitu:
a. Mencegah outsider (orang luar) memesuki ‘wilayah’ kelompok.
Sehubungan dengan hal ini maka, misalnya dalam sistem kasta. Orang dari kasta sudra tidak mungkin menjadi anggota kasta Brahmana.
b. Mempertahankan insider dalam ‘wilayah’nya melalui sistem
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
Adat istiadat merupakan konsepsi pemikiran yang lahir sebagai rangkaian pemikiran manusia yang bersumber dari hakikat kemajuan akalnya. Sebelumnya disebut bahwa adat lebih sederhana jika dibanding masa kini, maka keadaan itu sering terjadi sebagai dampak pemikiran manusia yang telah berubah. Adat adalah bentukan manusia yang tidak lahir begitu saja yang bertujuan untuk mengembangkan seni hidupnya. Demikian halnya peran dan fungsi Dalihan Na Tolu, juga merupakan pikiran manusia untuk mempererat persaudaraan yang telah dibina. Hanya saja, akibat pengaruh agama dan kemajuan imu pengetahuan, penghargaan kearah mempererat persaudaraan mengalami pengikisan.
Dalam masyarakat yang homogen dan tradisional, konformitas masyarakat cenderung tinggi. Perubahan nilai maupun pergeseran nilai dianggap tabu, sehingga kepatuhan dalam menjaga nilai menjadi sesuatu keharusan bagi semua anggota masyarakat. Setiap masyarakat selama dalam perkembangannya pasti mengalami perubahan. Hal yang membedakan adalah kadar perubahan itu sendiri, baik itu perubahan yang sifatnya evolutif maupun perubahan yang sifatnya revolusioner. Sejak dahulu kala etnis Batak Toba sangat setia melakukan upacara adat dalam berbagai kegiatan. Adat sebagai bagian dari kebudayaan elemen untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan merupakan identitas budaya. Pada dasarnya adat di dalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan, sehingga tercapai harmonisasi hubungan secara horizontal sesama warga dan hubungan vertikal kepada Tuhan. (Simanjuntak, 2001)
Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu dari ratusan kelompok masyarakat yang tersebar di Indonesia.Masyarakat Batak Toba berdiri dengan satu identitas budaya. Masyarakat Batak Toba berasal dari daerah tertentu yang memiliki bahasa dan adat istiadat sendiri. Adat istiadat tersebut merupakan ciri pembeda dengan masyarakat lain yang ada di dunia. Masyarakat Batak Toba hidup dibawah pengawasan adat istiadat yang berperan mengatur keseluruhan tingkah lakunya.
(http://bonapasogittapanuliutara.blogspot.com/2013/08/gotong-royong-masyarakat-desa banua.htm.)
Pada hakekatnya masyarakat Batak Toba secara keseluruhan berasal dari daerah dataran tinggi Tapanuli bagian utara seperti: Tarutung, Siborong-borong, Dolok Sanggul, Samosir, Porsea, dan lain-lain. Masyarakat Batak Toba yang berdiam di luar daerah tersebut adalah orang-orang yang pergi merantau dan tinggal menetap di daerah tujuannya, sedangkan Masyarakat Batak Toba yang tetap berdiam di daerah tersebut dinamakan halak namanginani bona pasogit (masyarakat yang tinggal di kampung halaman ). (Gultom, Dj.1992. Dalihan Na Tolu : nilai budaya Suku Batak. Medan TV armada).
Masyarakat hidup sesuai aturan adat istiadat yang berlaku. Setiap individu harus berperilaku sesuai adat, karena adat yang berlaku dijadikan sebagai hukum yang mengatur sistem individu dalam masyarakat. Masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap aturan adat akan dikenakan sanksi atau hukuman, sama seperti dalam sebuah negara jika ada seorang warga masyarakat yang bersalah akan dihukum sesuai hukum negara. Perbedaanya adalah dalam hukum adat, anggota masyarakat dihukum sesuai hukum adat yang berlaku dalam masyarakat
itu dan bukan hukum negara. Hukuman tersebut datang dari anggota masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang memiliki adat istiadat sendiri, norma hukum dalam masyarakat, dinamakan masyarakat yang berbudaya.
Setiap etnik masyarakat memiliki kebudayaan tersendiri yang dijadikan sebagai tata cara sikap perilaku dalam masyarakat. Sama halnya dengan etnik Batak Toba yang memiliki kebudayaan tersendiri. Batak Toba memiliki nilai yang terkandung dalam kebudayaan tersendiri. Nilai budaya dapat dijabarkan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Masyarakat yang mengerti akan nilai budayanya, berarti masyarakat tersebut sudah mengetahui apa yang pantas dan yang tidak pantas dilakukan ( Koentjaraningrat, 1983:81).
Aturan-aturan yang merupakan nilai budaya digunakan menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai budaya berfungsi sebagai pemberi arah dan pendorong tingkah laku manusia sehari-hari. Nilai budaya terungkap dalam bentuk wujud aspeknya yaitu pada sistem kekerabatan dalam masyarakat.
Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang terdapat di Indonesia dan memiliki banyak desa, salah satunya adalah desa Sitinjak yang berada di Kabupaten Samosir. Masyarakat di desa Sitinjak mayoritas beretnis Batak Toba yang pada dasarnya memiliki sistem kekerabatannya yang masih kental. Dimana nilai-nilai yang terkadung di dalam Dalihan Na Tolu masih dilakukan sebagaimana fungsinya. Hal ini dikarenakan masyarakat yang tinggal di Desa Sitinjak berasal dari satu nenek moyang atau satu garis keturunan sehingga menjunjung tinggi nilai solidaritas mereka. Hampir disetiap segi kehidupan mereka hidup saling membantu, baik itu dalam aspek “paradaton”. Sistem bekerja sama dalam aspek paradaton disebut marhobas. marhobas ini dilakukan
oleh pihak yang jabatannya sebagai boru dalam acara tersebut. Marhobas ini adalah mengerjakan segala keperluan yang dibutuhkan demi berjalan dengan lancarnya suatu acara adat. Baik itu dalam acara adat pernikahan, pasahat sulang-sulang, dan acara kematian. Mulai dari persiapan acara, ketika acara berlangsung, sampa acara selesai semua pekerjaan ditanggungjawabi oleh pihak boru dan dongan sahuta.
Biasanya yang paling menonjol dari peran parhobas ini adalah ketika acara adat berlangsung, yang melayanani tamu-tamu yang datang adalah tanggung jawab dari boru. Boru ini yang arti lainnya adalah anak perempuan, anak perempuan yang pada dasarnya dianggap sebagai pelayan. Dalam hal parhobas
yang bekerja untuk melayani bukan hanya perempuan saja, tetapi para laki-laki yang statusnya sebagai boru atau gelleng dan dongan saulaon di acara tersebut.
Desa Sitinjak dihuni oleh masyarakat etnis Batak Toba, pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan semboyan Dalihan na Tolu. Dalihan na Tolu adalah ide vital yang menjadi sumber sikap perilaku suku Batak, merupakan pandangan hidup yang diyakini kebenarannya sehingga mendorong suku Batak itu untuk mewujudkannya, karena dengan berbuat demikian mereka akan mendapat kebahagiaan material dan spritual.
Dalihan na tolu menjadi sumber sikap perilaku etnis Batak Toba pada setiap kehidupannya karena di dalamnya terdapat nilai-nilai yang cukup ampuh untuk mengantisipasi perkembangan dan tantangan zaman. Dalihan na tolu terjadi didasarkan perkawinan. Selama ada perkawinan pada suku bangsa Batak Toba, Dalihan na tolu tetap ada. Dalihan na tolu terdiri atas 3 unsur yang dikenal dengan istilah “Dongan sabutuha( kelompok keturunan semarga), “Hula-hula”
(kelompok pemberi istri), dan “Anak Boru” (kelompok penerima istri). Inilah kerangka dasar bagi semua hubungan kekerabatan dalam organisasi sosial tradisional masyarakat Batak Toba.
Secara etimologi Dalihan Na Tolumemiliki arti “ tungku nan tiga”. Seumpama tungku yang berkaki tiga yang harus menjaga keseimbangan kuali atau periuk yang digunakan untuk menanak nasi diatasnya, demikian pula konsep Dalihan na Tolu yaitu dengan ketiga golongan fungsionalnya berfungsi menjaga dan memelihara keseimbangan sistem sosial dan adat istiadat masyarakat Batak Toba. Dari sini memancar solidaritas masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu adalah falsafah masyarakat Batak Toba, yakni manat mardongan tubu, somba marhula-hula, dan elek marboru ( artinya bersikap hati-hati pada kawan semarga, hormat pada pihak pemberi istri dan sayang kepada pihak penerima istri.
Berangkat dari nilai falsafah ini masyarakat Batak Toba jadi semakin erat, kebersamaannya dijunjung tinggi dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Batak Toba khususnya yang tinggal di Desa sitinjak. Demikian halnya dalam hal paradaton ( pesta pernikahan,upacara meninggal,semua acara adat Batak) sistem bekerja sama ini sangat terlihat jelas, mulai dari persiapan acara, ketika acara berlangsung, sampai acara selesai ditanggungjawabi oleh warga. Lain halnya materi, materi adalah tanggung jawab pemilik acara adat. Tetapi dalam segi mempersiapkan kebutuhan acara adat, atau marhobas dikerjakan oleh pihak yang posisinya sebagai boru dan dongan sahuta dalam acara adat tersebut. Sikap saling menghargai, dan kebersamaan yang dimiliki masyarakat menjadi ciri khas dari warga desa tersebut. Semua pekerjaan selama marhobas dilakukan secara bersama-sama oleh warga yang posisinya sebagai boru dan dongan sahuta.
Semua pekerjaan dilakukan dengan sukarela tanpa mengharapkan imbalan.Tetapi kini kebiasaan marhobas dalam acara adat sudah sangat jarang sekali ditemukan semenjak hadirnya Catering di Desa Sitinjak. Catering adalah penyedia jasa makanan untuk pesta-pesta.
Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang batak memiliki posisi tersebut: ada saatnya menjadi hula-hula/tondong, ada saatnya menempati posisi
dongan tubu, ada saatnya menjadi dongan sahuta, dan ada saatnya menjadi boru. Dengan Dalihan Na Tolu adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat seorang gubernur harus siap bekerja memasak untuk melayani pihak istri yang kebetulan seorang kepala desa. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu
merupakan sistem demokrasi orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang universal.
Saat ini, tepatnya empat tahun belakangan ini. Kebersamaan, sikap saling membantu tanpa pamrih yang dahulu sangat dekat dengan masyarakat petani desa Sitinjak kini sudah memudar. Seiring dengan berkembang dan semakin majunya jaman yang kini sudah memasuki pedesaan, khususnya catering dipedesaan membuat kebersamaan sistem gotong royong atau bekerja sama yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang posisinya sebagai boru dan dongan sahuta yang ada di masyarakat desa Sitinjak kini mulai bergeser, peran yang dimainkan oleh pihak boru dan dongan sahuta kini diambil alih oleh catering. Khususnya dalam aspek paradaton. Pekerjaan melayani tamu disaat acara berlangsung kini sudah ditanggung jawabi oleh pihak catering. Degan kata lain pihak yang posisinya sebagai boru dan dongan sahuta yang seharusnya berperan penuh dalam melayani
tamu-tamu kini sudah jarang terlihat semenjak masuknya catering ke desa Sitinjak.
Pergeseran fungsi parhobas tersebut menjadi alasan utama bagi peneliti tertarik untuk mencoba melakukan penelitian lebih jauh guna menggali aspek-aspek yang melingkupi pergeseran fungsi marhobas dalam acara pesta pada sistem Batak Toba di desa Sitinjak.