• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

2. Keluarga

pada orang tuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan sosialisasi.

2). Keluarga Batih

Keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya menyertakan posisi lain selain ketiga posisi di atas (Lee, 1982). Dalam hal ini keluarga batih juga digunakan untuk menyebut anggota jaringan yang masih memiliki kedekatan karena hubungan perkawinan, misalnya keluarga besan, atau karena kesamaan pengalaman historis, misalnya seperantauan, sepondokan. Bentuk pertama dari keluarga batih yang banayk ditemui di masyarakat adalah keluarga bercabang (stem family). Keluarga bercabang terjadi manakala seorang anak, dan hanya seorang, yang sudah menikah masih tinggal dalam rumah orang tuanya. Bentuk kedua dari keluarga batih adalah keluarga berumpun (lineal family). Bentuk ini terjadi maanakala lebih dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Bentuk ketiga dari keluarga batih adalah keluarga beranting (fully extended). Bentuk ini terjadi manakala di dalam suatu keluarga terdapat generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama.

3). Extended family, yaitu keluarga ini ditambah sanak saudara misalnya nenek, kakek, keponakan,saudara sepupu, paman, bibi dan lain sebagainya.

27

4). Keluarga “Dyad”, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami

dan istri tanpa anak.

5). Single Parent, yaitu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua (ayah/ibu) dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapat disebabkan oleh perceraian atau kematian.

6). Commuter family, yaitu suami istri/ keduanya orang karir dan tinggal terpisah pada jarak tetentu, keduanya saling mencari waktu-waktu tertentu.

7). Keluarga Single Adult, yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri seorang dewasa (misalnya yang telah dewasa kemudian tinggal kost untuk bekerja atau kuliah).

8). The childless family, yaitu keluarga tanpa anak karena terlambat menikah dan untuk mendapatkan anak terlambat waktunya yang disebabkan karena mengejar karier/pendidikan yang terjadi pada wanita.

9). Blended family, yaitu duda atau janda (karena perceraian) yang menikah kembali dan membesarkan anak dari perkawinan sebelumnya(Wahid Iqbal, 2006:6-7)

c. Fungsi Keluarga

Seperti yang dikemukakan Jalaludin Rahmat, fungsi keluarga adalah sebagai berikut:

28 1. Fungsi Keagamaan (religius)

Sebagai sarana awal memperkenalkan nilai-nilai religius kepada anggota kelurga baru. Dalam proses sosialisai ini, interaksi antar anggota keluarga berlangsung secara intens. 2. Fungsi Sosial-Budaya

Keluarga merupakan latihan proses sosialisai nilai yang berlaku dalam masyarakat kepada para anggotanya, sekaligus keluarga juga memberikan prestise dan status kepada anggota-anggotanya. Fungsi ini ditanamkan bertujuan untuk memberikan identitas sosial kepada keluarga itu, termasuk anggota keeluarga baru . budaya diwariskan awalnya dalam institusi ini.

3. Fungsi cinta kasih

Fungsi ini telah digarisbawahi secara amat jelas dan populer oleh Al-Qur’an yang diistilahkannya dengan mawaddah dan rahmah dan terhadap anak qurrata a‟yun (penyejuk mata).

4. Fungsi Rekreatif

Keluarga merupakan pusat rekreasi bagi anggotanya. Karenanya, suasana betah di rumah (in home) harus senantiasa diusahakan.

29 5. Fungsi Melindungi (protektif)

Keluarga melindungi anggota-anggotanya dari rasa takut, khawatir ancaaman fisik, ekonomis dan lainnya. Artinya keluarga merupakan tempat pemecahan masalah-masalah tersebut.

6. Fungsi Reproduksi

Keberlangsungan keluarga dilanjutkan melalui proses

regenerative, dalam hal ini keluarga adalah wadah yang sah dalam melanjutkan proses regenerasi itu.

7. Fungsi Edukasi

Keluarga memberikan nilai-nilai pendidikan kepada anggotanya, terutama anak-anak. Orang tua biasanya merupakan figur sentral dalam proses pendidikan dalam keluarga.

8. Fungsi Ekonomi

Kesejahteraan keluarga akan tercapai dengan berfungsinya dengan baik fungsi ekonomi ini. Keluarga yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan sehari-hari anggota keluarganya.

9. Fungsi Pembinaan Lingkungan

Keluarga diharapkan memiliki kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras dan seimbang sesuai dengan kondisi sosial dan budaa masyarakatnya. Keluarga juga diharpakan dapat berpartisipasi dalam pembinaan lingkungan yang sehat

30

dan positif, sehingga lahir nilai dan norma luhur yang sesuai dengan nilai ajaran agama dan budaya masyarakat( Ahmad Taufiq & Muhammad Rohmad,2011,88-96).

d. Pengasuhan Anak

Pola asuh merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak-anaknya sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak-anaknya. Mendidik anak dalam keluarga diharapkan agar anak mampu berkembang kepribadiannya, menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian kuat dan mandiri, berperilaku ihsan, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal. Untuk mewujudkan hal itu ada berbagai cara dalam pola asuh yang dilakukan oleh orang tua menurut Hurlack yang dikutip oleh Chabib Thoha, yaitu:

1. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi (Mansur, 2005:354).

31

Tipe otoriter dan ini mempunyai ciri-ciri seperti berikut di bawah (Lestari & Ngatini, 2010:6);

a) Umumnya dianut oleh masyarakat kelas bawah/pekerja

b) Didominasi oleh hukum fisik dan kata-kata kasar. c) Menuntut kepatuhan semata

d) Terlalu banyak aturan

e) Orang tua bersikap mengharuskan anak melakukan sesuatu tanpa kompromi

f) Bersikap kaku dan keras

g) Cenderung emosional dan bersikap menolak Kelebihan dari model ini adalah sebagai berikut;

a) Anak menjadi disiplin dan teratur

b) Anak menguntungkan jika orang tua dan pondasi agamanya kuat

Tipe anak yang dihasilkan adalah sebagai berikut; a) Mudah tersinggung

b) Penakut

c) Pemurung dan tidak bahagai d) Mudah terpengaruh

e) Mudah stres

32 2. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak-anaknya, kemudian anak diberi kesempatn untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua.

Ciri umum dari tipe ini adalah :

a) Umumnya memprioritaskan pengembangan IQ dan EQ

b) Identik dengan model Barat tetapi masih mengindahkan nilai budaya dan budaya ketimuran c) Hukuman lebih condong kepada hukuman

psikologis

d) Mendorong anak untuk menyatakan pendapatnya Kelebihan dari tipe pola asuh ini adalah sebagai berikut:

a) Pendapat anak menjadi tertampung b) Anak belajar menghargai perbedaan c) Pikiran anak menjadi optimal d) Pola hidup anak menjadi dinamis Kelemahannya adalah sebagai berikut:

a) Lebih kompleks, sehingga rawan konflik

b) Jika tidak kontrol, anak bisa untuk hal-hal yang deskruktif

33 3. Pola asuh laisses fire/permisif

Pola asuh ini adalah pola asuh dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya apa saja yang dikenhendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan pada anaknya.

Tipe laisses fire/permisif ini mempunyai ciri-ciri seperti: a) Umumnya dianut oleh masyarakat tingkat

menengah ke atas/sibuk

b) Biasanya melanda keluarga yang dasar agamanya kurang

c) Keluarga yang berpaham liberal

d) Identik dengan gaya hidup Barat yang tidak mengindahkan nilai-nilai ketimuran

e) Memberikan kebebasan kepada anak untuk menyatakan dorongan atau keinginannya

f) Membuat anak merasa diterima dan kuat g) Toleran dalam memahami kelemahan anak h) Suka memberi daripada menerima

Anak yang dihasikan biasanya adalah sebagai berikut; a) Penuntut dan tidak sabaran

b) Nonkooperatif dan suka mendominasi c) Percara diri

34

d) Sukar mengendalikan diri e) Pandai mencari solusi f) Prestasi rendah

g) Anak kreatif dan mandiri

h) Mempunyai jiwa kepemimpinan yang lebih baik Kelemahannya adalah sebagai berikut;

a) Akibat fatal adalah anak menjadi rusak badan dan akhlaknya

b) Anak menjadi overacting

c) Anak menjadi penentang dan suka diatur d) Anak menjadi sombong

B. Kajian Pustaka

Berdasarkan hasil kajian penulis, penelitian semacam yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, di antaranya:

1. Faiz Khuzaimah (IAIN SALATIGA, 2016), dalam skripsi yang berjudul “Pendidikan Agama Islam Pada Anak Nelayan Rawa Pening di Desa Rowoboni, Kab. Semarang tahun 2016. Penelitian ini bertuajuan untuk mengetahui pendidikan agama Islam pada anak nelayan Rawa Pening di Desa Rowoboni, Kab. Semarang. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana pendidikan agama Islam pada anak nelayan di Desa Rowoboni? 2) Kendala apa yang dihadapi keluarga dalam pendidikan agama Islam pada anak nelayan di

35

Desa Rowoboni? 3) Bagaimana upaya orang tua memenuhi kebutuhan pendidikan agama Islam anak nelayan di Desa Rowoboni?

2. Ernawati (UMS, 2002), dalam tesisnya yang berjudul “Hubungan

Pendidikan Agama di Keluarga dengan Pergaulan Anak di Desa

Bayam Kecamatan Weru”, menyimpulkan tentang pokok-pokok

Pendidikan Agama pada masa puber, yaitu:

a. Orang tua harus mengerti perasaan dan gagasan anaknya. b. Orang tua harus tegar dan jujur dalam mendidik anak mereka. c. Bergaul dengan anak sesuai dengan perasaan dan pengetahuan

mereka.

d. Orang tua harus dapat menahan diri apabila melihat anaknya mengalami kesalahan.

3. Anang Fared Wahyudi (UMS, 2008), dalam skripsinya yang berjudul“Hubungan antara Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga dengan Kenakalan Remaja pada Siswa SMA Al-Islam Surakart Tahun

Pelajaran 2007/2008”, menyimpulkan bahwa ada hubungan antara

pendidikan agama Islam dalam keluarga dengan kenakalan remaja. Artinya, jika pendidikan agama Islam dalam keluarga sangat kurang, maka kenakalan remaja akan bermakna negatif. Namun sebaliknya, jika pendidikan agama Islam dalam keluarga meningkat, maka kenakalan remaja semakin berkurang.

Berdasarkan kajian pustaka di atas , terdapat kesamaan penelitian yang akan dilakukan yaitu membahas tentang pendidikan Agama Islam

36

dalam keluarga. Letak perbedaan dibanding tinjauan pustaka di atas adalah terdapat pada subjek penelitian yang dipilih adalah anak-anak berusia 6-12 tahun dari keluarga perantau.

37

Dokumen terkait