• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemahiran Berbahasa Pembaca

Dalam dokumen Kata Pengantar. Jakarta, 5 Desember 2012 (Halaman 31-35)

BAB II KAJIAN TEORI

E. Kemahiran Berbahasa Pembaca

D. Bahan Bacaan

Sebuah bacaan biasanya mengandung lebih dari sebuah paragraf (Rusyana, 1984:210). Setiap paragraf membicarakan pokok paragraf. Antara pokok paragraf yang satu dengan yang lain terdapat hubungan. Pokok-pokok paragraf itu ternyata merujuk pada pokok yang lebih besar. Pokok paragraf itu merupakan bagian dari pokok yang lebih besar itu. Pokok yang lebih besar itu adalah pokok karangan itu, yaitu isi karangan yang dibicarakan dalam semua paragraf pada karangan itu.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam bacaan paling tidak terdapat dua hal pokok, yakni penggunaan bahasa dan pokok pembicaraan. Di samping itu, bila ditelusuri lebih lanjut, akan tampak pula bahwa bacaan satu dengan bacaan lainnya memiliki susunan yang berbeda. Menurut Rusyana (1984:135, 210) terdapat bacaan atau karangan berjenis kisahan, deskripsi, percakapan, bahasan, dan alasan. Dalam bacaan kisahan terdapat peristiwa yang mengandung pelaku, perilaku, dan latar. Dari segi keterjadiannya dalam ruang dan waktu, kisahan dibedakan atas yang faktual dan rekaan. Dalam bacaan deskripsi terdapat lukisan tentang penginderaan, pikiran, perasaan, dan khayal. Deskripsi pun dapat dibedakan menjadi yang faktual dan yang rekaan. Dalam bacaan percakapan terdapat kalimat-kalimat langsung para pelaku. Dalam bacaan bahasan terdapat penjelasan, penguraian, pembandingan, penafsiran, percontohan, dan penilaian terhadap suatu pokok. Dalam bacaan alasan terdapat alasan-alasan untuk membuktikan sesuatu. Jenis-jenis karangan itu dalam penggunaannya tidaklah terpisah benar-benar sebab adakalanya digunakan sekaligus. Akan tetapi, secara keseluruhan biasanya kita dapat membedakan apakah bacaan itu cerita ataukah bahasan, atau jenis lainnya. Bacaan dapat pula dibedakan dari susunan barisnya, lebih jauh dari susunan bunyi dan iramanya, menjadi prosa dan puisi.

Menurut fungsinya bacaan dapat dibedakan atas bacaan yang digunakan untuk menyampaikan informasi faktual dan bacaan yang digunakan untuk menyampaikan reka cipta (Rusyana, 1984:211). Biasanya bacaan yang berisi informasi menggunakan jenis-jenis bahasan, alasan, deskripsi faktual, dan kisahan faktual dalam susunan prosa. Sedangkan bacaan yang berisi reka cipta menggunakan jenis deskripsi rekaan dan kisahan rekaan dalam susunan puisi.

Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan dalam penggunaan bahasa. Dalam bacaan informasi, lebih-lebih yang berupa karangan keilmuan, bahasa digunakan secara informatif seperti tampak pada penggunaan kata yang referensial atau denotatif, yaitu merujuk langsung pada yang dimaksud, lebih-lebih yang berupa istilah, dan dalam penggunaan bahasa yang menuju ke arah yang abstrak. Sedangkan pada bacaan rekaan, lebih-lebih dalam sastra yang berupa puisi, kata-kata digunakan untuk ekspresi, bersifat konotatif sehingga mengandung arti rangkap. Sehubungan dengan bacaan di sekolah, bahan bacaan dapat dibedakan ke dalam bacaan bahasan yang berisi pelajaran dan bacaan lainnya yang berupa bacaan kisahan, drama, dan puisi.

E. Kemahiran Berbahasa Pembaca

Setiap pembaca juga harus mempunyai kemahiran berbahasa tertentu (Rusyana, 1984:208). Untuk menjadi pembaca yang baik, diperlukan penguasaan perbendaharaan kata yang beragam, luas, dan cermat; pemahaman kalimat yang merefleksikan makna tertentu; serta pemahaman pikiran, perasaan, dan khayal yang terkandung pada setiap paragraf dan pada wacana keseluruhannya. Akan tetapi, kemahiran itu bersifat dependen (tergantung) pada keberadaan si pembaca itu sendiri, apakah dia sebagai pembaca anak-anak, dewasa, atau orang tua; apakah dia sebagai pembaca anak SD, SLTP, SLTA, atau mahasiswa; dan sebagainya. Dengan kata lain, kemahiran berbahasa akan sangat tergantung pada perkembangan usia pembaca. Oleh karena itu, ukuran kemahiran berbahasa harus didasarkan pada tingkat usia mereka.

Dalam pandangan pembelajaran bahasa termutakhir, kemahiran berbahasa akan tercapai manakala memperhatikan kompetensi komunikatif. Membaca merupakan bagi-an dari kemahiran berbahasa, yang juga sebagai wujud komunikasi antara pembaca dengan bacaan (mewakili penulis). Oleh karena itu, kompetensi komunikatif menjadi sesuatu yang mendasar bagi keberhasilan seseorang dalam membaca.

Kompetensi komunikatif merupakan suatu sistem mendasar dari pengetahuan dan keterampilan yang menjadu syarat komunikasi, misalnya pengetahuan kosakata dan keterampilan dalam menggunakan konvensi sosiolinguistik untuk bahasa tertentu (Canala dalam Richards dan Schidt, [peny.], 1984:5). Kompetensi ini meliputi ke-mampuan menggunakan bentuk-bentuk linguistik untuk menunjukkan tindak komuni-katif dan untuk memahami fungsi komunikatif dari kalimat kaitannya dengan kalimat lain (Munby, 1978:28).

Dua komponen dari empat komponen kompetensi komunikatif adalah kompetensi gramatikal dan kompetensi wacana (Canala dalam Richards dan Schidt, [peny.], 1984:7). Kompetensi gramatikal berhubungan erat dengan penguasaan sandi bahasa, baik secara verbal maupun nonverbal. Hal yang tercakup di dalamnya adalah ciri dan kaidah bahasa seperti kosakata, pembentukan kata, pembentukan kalimat, ejaan, ucap-an, dan semantik. Kompetensi ini secara langsung terfokus pada pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memahami dan mengekspresikan secara tepat makna harafiah ucapan-ucapan (tulisan, pen.). Hal-hal yang tercakup ke dalam kompetensi gramatikal adalah fonologi, ortografi, kosakata, pembentukan kata, dan pembentukan kalimat.

Kompetensi wacana berkaitan dengan penguasaan menggabungkan bentuk-bentuk dan makna-makna gramatikal untuk mencapai teks lisan atau tulisan yang terpadu dalam berbagai genre (narasi lisan dan tulisan, esei argumentatif, laporan ilmiah, surat bisnis, dan lain-lain). Kesatuan suatu teks diperoleh melalui kohesi dalam bentuk dan koherensi dalam makna tertentu (Canala dalam Richards dan Schidt, [peny.], 1984:23-24).

Pengalaman pembaca juga berpengaruh terhadap kemampuan memahami bacaan. Pada saat membaca, rangsangan bacaan menyebabkan terpanggilnya makna yang berasal dari pengalamannya, seperti dikemukakan oleh Harrison (Rusyana (1984:208) bahwa seseorang membaca dengan sesuatu yang telah dialaminya. Untuk dapat mem-baca dengan baik, seseorang harus mempunyai bidang konsep-konsep yang luas yang berguna untuk menyusun makna yang seksama dan lengkap, yang ada dalam peng-alamannya (Rusyana, 1984:208).

Dalam pandangan ahli psikologi dan pendidikan, yakni David P. Ausubel (Biehler, 1978:297 dan Hamied, 1995:89), yang telah melakukan eksperimen untuk menunjuk-kan perlunya advance

organizers dalam pembelajaran dan penyimpanan bahan verbal yang bermakna, pengalaman atau

gagasan yang telah diketahui “merasuk” atau “mengakar” ke dalam proposisi baru dalam teks. Hal ini akan terjadi secara efektif hanya manakala gagasan yang ada itu stabil, jelas, terbedakan dari gagasan lain, dan berkaitan langsung dengan proposisi yang harus dipahami itu. Artinya, pembaca harus menyadari aspek mana dari pengetahuan yang telah dimiliki itu bertemali dengan pengetahuan yang tertera di dalam teks. Terkadang kebertemaliannya cukup jelas dan terkadang tidak. Manakala kedua kondisi ini tidak ada atau pengetahuan yang diperoleh dari si pembaca itu kurang mantap, “pengorganisasian awal (advance organizers)” bisa diberikan. Pengorganisasi awal adalah pernyataan yang secara sengaja dimunculkan sebelum teks dan dimaksudkan untuk memberikan jembatan konseptual antara sesuatu yang telah diketahui oleh pembaca dan proposisi dalam teks yang diharapkan dapat dipahami dan dipelajari si pembaca.

Sekalipun tidak menyebutnya dengan skema, teori yang dikemukakan Ausubel itu sebenarnya tergolong ke dalam teori skema dalam perkembangan teori berikutnya. Hal ini didasarkan pada penekanan akan pentingnya kaitan antara sesuatu yang dimiliki si pembaca dengan sesuatu yang akan dipelajarinya. Penekanan ini jelas menunjukkan betapa pentingnya skema dalam pemahaman wacana. Penelitian Ausubel dan juga penelitian dari orang-orang yang terinspirasi olehnya telah memberikan indikasi yang jelas bahwa pengorganisasian awal itu mempunyai dampak fasilitatif dalam pemahaman.

Dalam cakrawala pendidikan, pandangan-pandangan yang mirip dengan teori skema telah mendorong munculnya konsepsi-konsepsi yang berhubungan dengan kegiatan membaca (Hamied, 1995:90). Kesimpulan Huey, misalnya, yang dikutip Anderson & Pearson (1988) tentang apakah kita itu membaca huruf demi huruf atau dalam bongkah yang lebih besar, menyatakan bahwa: So it is

clear that the larger the omount read during a reading pause, the more inevitably must the reading be by suggestion and inference from clews of whatsoever kind, internal or external. In reading, the

deficient picture is filled in, retouched, by the mind, and the page is thus made to present the familiar appearance of completeness in its details which we suppose to exist in the actual page.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sesuatu yang dimiliki pembaca itu akan mengisi rongga-rongga di antara informasi yang ditawarkan wacana yang dibacanya. Sesuatu yang diharapkan ada dalam bacaan itu akan memberi warna pada pemahaman si pembaca akan bacaan itu. Oleh karena itu, dalam keseluruhan upaya pendidikan, terutama jika melihat signifikansi temuan Ausubel tentang

advance organizer, pembentukan struktur pengetahuan melalui berbagai bentuk pengalaman yang

harus dilalui anak didik menjadi prasyarat bagi membaca, yang selanjutnya membaca men-jadi prasyarat bagi keseluruhan perkembangan kualitas kemampuan manusia dalam memanfaatkan dan memindahkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Secara implisit terungkap pula bahwa tatkala seseorang membaca, ia mencoba membentuk pola gagasan-gagasan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya (Hamied, 1995:91). Wacana yang dibacanya hanyalah perangsang ke arah pembentukan gagasan-gagasan itu. Jika rangsangan yang ditampilkan dalam tulisan itu merupakan sesuatu yang baru bagi si pembaca, kegiatan membaca menjadi upaya pemecahan masalah dan bukan lagi sekedar upaya mengaitkan secara sederhana unsur-unsur yang ada dalam bahan bacaan itu.

Kenneth Goodman (Hamied, 1995:91) merupakan tokoh yang menonjol dalam melihat pemrosesan informasi, khususnya kegiatan membaca, dari sisi pandang psikolinguistik. Membaca itu sama sekali bukan proses yang pasif. Membaca itu merupakan proses aktif. Dalam model makro yang ditampilkan, Goodman menempatkan membaca itu dalam konteks pemrosesan informasi yang lebih luas dan bersifat komunikatif yang ditandai dengan pencarian makna. Dengan tidak mengesampingkan aspek sosiolinguistik, yakni bahwa bahasa beroperasi dalam konteks sosial, ia menyuguhkan aspek-aspek psikolinguistik dari membaca, khususnya yang bertemali dengan pertanyaan bagaimana bahasa saling berinteraksi dengan pikiran.

Goodman (Hamied, 1995:92) memandang membaca sebagai proses psikolinguistik. Dalam artian, ia bermula dari represenstasi permukaan bahasa yang dikodekan oleh si penulis dan berakhir dengan makna yang dikonstruksi oleh si pembaca. Penulis mengkodekan pikiran dalam bentuk bahasa dan pembaca mengawakodekan bahasa ke dalam pikirannya. Menurutnya pembaca yang mahir adalah pembaca yang efektif dan efisien. Ini berarti bahwa pembaca mahir itu efektif dalam mengkonstruksikan makna yang sesuai dengan makna semula dari si penulisnya dan efisien dalam arti memanfaatkan waktu sesedikit mungkin untuk memperoleh keefektivan. Selanjutnya Goodman menyimpulkan bahwa kemahiran pembaca itu merupakan variabel yang tergantung pada latar belakang semantik yang dibawanya tatkala ia menghadapi bacaannya.

Dalam hal pengetahuan latar belakang, Coady (Carrell & Eisterhold, 1988:75) menyatakan bahwa: Backgorund knowledge becomes an important variable when we notice, as many have, that

students with a Western background of some kind learn English faster, on the average, than those without such a background. Artinya, pengetahuan latar belakang menjadi suatu variabel penting

manakala kita mencatat bahwa siswa-siswa dengan latar belakang Barat pada beberapa jenis pembelajaran bahasa Inggris lebih cepat daripada tanpa suatu pengetahuan latar belakang.

Coady (Carrell & Eisterhold, 1988:75) juga mengetengahkan bahwa pengetahuan latar belakang mungkin mampu menggantikan kelemahan sintaktis tertentu: The subject of reading

materials should be of high interest and relate well to the background of the reader, since strong semantic input can help compensate when syntactic control is weak. Pokok materi bacaan harus

mendapat perhatian yang tinggi dan dihubungkan dengan latar belakang pengetahuan pembaca, selama input semantik itu kuat dapat membantu menggantikannya manakala kontrol sintaktik lemah.

The interest and background knowledge will enable the student to comprehend at a reasonable rate and keep him involved in the material in spite of its syntactic difficulty. Perhatian dan latar belakang

pengetahuan akan memungkinkan siswa untuk memahami hal yang masuk akal dan menangkap yang tercakup dalam materi meskipun sintaktiknya sulit.

Dari penjelasan tersebut dapat dikemukakan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki itu disebut pengetahuan latar belakang (background knowledge), dan struktur-struktur dari pengetahuan yang

telah dimiliki itu disebut skema. Menurut teori skema memahami sebuah teks merupakan proses interaktif antara pengetahuan latar belakang dari si pembaca dengan teks itu sendiri. Pemahaman yang efisien mensyaratkan kemampuan untuk mengaitkan bahan tekstual kepada pengetahuan itu sendiri. Memahami kata, kalimat, dan keseluruhan teks melibatkan lebih dari sekedar pengetahuan kebahasaan seseorang. Menurut Anderson (Hamied, 1995:98) setiap tindakan pemahaman melibatkan pengetahuan orang tersebut tentang dunianya.

Istilah skema digunakan pula oleh Piaget (Barry, 1977) untuk menjelaskan perkembangan intelektual anak. Skema diartikannya sebagai pengetahuan yang sudah ada pada anak. Ia memberikan contoh tentang seorang anak kecil dari kota yang diajak berjalan-jalan oleh ayahnya ke suatu desa. Ia melihat seekor sapi di ladang. Kemudian anak itu berkata: “Ayah, lihat, itu ada anjing besar”.

Pengambilan kesimpulan “anjing besar” ternyata didasarkan atas pengetahuan awal anak tentang anjing namun pengetahuan anak tentang sapi belum dikenalnya. Di sini anak mencoba menempatkan stimulus yang baru (sapi) pada pengetahuan awalnya. Stimulus baru itu kira-kira mirip dengan seekor anjing (yang sudah ia kenal) sehingga ia mengidentifikasikan objek tersebut sebagai seekor anjing. Si anak belum mampu membedakan antara sapi dengan anjing tetapi sudah mampu melihat kesamaannya.

Skema dengan demikian merupakan abstraksi pengalaman yang secara konstan mengalami pemantapan sesuai dengan informasi baru yang diperoleh. Semakin banyak pengalaman, semakin bertambah pula penyempurnaan skema seseorang. Para pakar teori skema memastikan bahwa latar belakang pengalaman yang kaya akan sangat membantu keberhasilan belajar (Harjasujana, 1988:21). Pengalaman yang banyak itu bisa diperoleh dengan berbagai cara, di antaranya dengan jalan membaca. Semakin banyak seseorang membaca, akan semakin meningkat pula kemampuan membacanya. Hasil penelitian Yap (1978) mendukung pernyataan tersebut. Temuannya menunjukkan bahwa tingkat keterampilan membaca seseorang ditentukan oleh 65% banyaknya membaca. Oleh karena itu, penjelasan tentang pengalaman seseorang dalam kemampu-an membacanya dapat dijelaskan melalui teori skema.

Pada umumnya penjelasan tentang teori skema dapat digolongkan ke dalam tiga model membaca, yakni (1) model membaca bawah-atas atau bottom-up (MMBA); (2) model membaca atas-bawah atau top-down (MMAB); dan (3) model membaca timbal-balik atau interaction (MMTB) (Harjasujana, Mulyati, Nurhayatin, 1995:3.3; Abdi, 2000:46). Model pertama (MMBA) memandang bahwa struktur-struktur yang ada dalam teks itu dianggap sebagai unsur yang memainkan peran utama, sedangkan struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya merupakan hal sekunder. Pada MMBA pembaca mulai dengan pengenalan kata, menghubungkan kata dengan kata, frase dengan frase, kalimat dengan kalimat, paragraf dengan paragraf, dan diakhiri dengan keseluruhan teks. Hal ini sejalan dengan penjelasan perlunya penggambaran bacaan wacana dan tes penguasaan aspek bahasa dan organisasi karangan pada awal uraian di atas. Model kedua merupakan kebalikan dari model pertama, yakni struktur-struktur yang ada dalam pengetahuan sebelumnya itu memainkan peranan utama sedangkan struktur-struktur yang ada dalam teks merupakan unsur sekunder. Struktur-struktur itu berupa pemahaman judul atau penafsiran judul, pemahaman konteks situasi wacana, dan diakhiri dengan pemahaman akhir. Model ketiga merupakan pengawinan dua model pertama. Model ini dicanangkan oleh Rumelhart (Harjasujana, Mulyati, Nurhatin, 1995:3.20). Dia beranggapan bahwa model-model terdahulu tidak memuaskan karena pada umumnya bertitik tolak pada formalisme model-model perhitungan linier. Model-model itu memiliki sifat-sifat berurut berlanjut, tidak interaktif. Pengikut paham MMTB meyakini bahwa pemahaman itu tergantung pada informasi grafis atau visual dan nonvisual atau yang ada dalam pikiran pembaca atau tergantung pada informasi linguistik dan nonlinguistik. Oleh karena itu, pemahaman bisa terganggu jika ada pengetahuan yang diperlukan untuk pemahaman tidak bisa digunakan karena pem-baca lupa atau mungkin karena pembaca terganggu skemanya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengalaman seseorang (pembaca) akan menentukan kemampuan orang tersebut (pembaca) dalam memahami bacaannya. Dengan kata lain, kemampuan membaca akan ditentukan oleh derajat pengalaman seseorang (pembaca) tersebut.

Dalam proses membaca, hal yang tak kalah pentingnya adalah kegiatan membaca itu sendiri. Menurut Rusyana (1984:212) yang dimaksud dengan kegiatan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sadar dan bertujuan. Membaca adalah proses pengenalan simbol-simbol yang berlaku sebagai perangsang untuk pemunculan dan penyusunan makna, disertai dengan penggunaan makna yang dihasilkan itu sesuai dengan tujuan pembaca, dan sebagai hasilnya adalah penerapan makna itu pada tujuannya (Harrison dalam Rusyana, 1984:212). Jadi, pada waktu membaca pembaca dituntut oleh tujuan membaca. Ia pun melakukan sesuatu terhadap isi bacaan itu, yaitu memilih cita yang sesuai dengan tujuan, dan menyusunnya menurut tujuan itu. Dengan tindakan itu makna yang diperoleh dari bacaan dimanfaatkan bersama dengan makna yang telah dimiliki oleh pembaca menjadi suatu susunan makna yang baru. Artinya, membaca bukan sekedar mengenal simbol-simbol, melainkan mengenal dan memahami makna-nya. Oleh karena itu, membaca pemahaman menjadi hal penting dalam kegiatan membaca.

Kegiatan itu dilakukan dengan suatu cara, misalnya kegiatan membaca itu dilakukan secara senyap, yaitu pada waktu membaca dalam hati, atau secara nyaring. Cara ini dipilih sesuai dengan tujuan membaca, dan tentulah juga dengan jenis bacaan dan suasana.

Faktor dorongan dan minat juga berpengaruh terhadap proses membaca. Setiap orang mempunyai kebutuhan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya itu, antara lain melalui kegiatan membaca. Bacaan yang dipilihnya adalah bacaan yang diminatinya, yaitu bacaan yang mempunyai hubungan atau kepentingan baginya. Minat yang berkenaan dengan bacaan terutama adalah minat sosial budaya, yang timbul sebagai hasil pendidikan. Minat jenis ini, yaitu minat yang luas dan mendalam terhadap hal-hal yang bermanfaat, merupakan ciri keterpelajaran seseorang (Whiterington, 1952:25,77 dan Rusyana, 1984:208). Sekalipun dorongan dan minat berpengaruh terhadap proses membaca, faktor ini juga akan dipengaruhi oleh hakikat, kualitas, dan sumber minat serta motivasi seseorang terhadap bacaan (Gilliland, 1972:22).

Dalam dokumen Kata Pengantar. Jakarta, 5 Desember 2012 (Halaman 31-35)

Dokumen terkait