• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Pengantar. Jakarta, 5 Desember 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata Pengantar. Jakarta, 5 Desember 2012"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Kata Pengantar

Pendidikan memiliki peran penting dalam proses pembangunan suatu bangsa dan negara. Perubahan zaman akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus disejajarkan dengan penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan yang berhasil dan berkualitas merupakan salah satu syarat mutlak untuk mewujudkan pembangunan nasional.

Periode 2012 sampai dengan 2020 merupakan periode terpenting dilihat dari usia produktif masyarakat Indonesia. Usia produktif manusia Indonesia dalam periode ini mencapai 50% populasi penduduk. Momen ini merupakan kesempatan emas untuk mendidik anak bangsa agar menjadi manusia yang berkualitas. Untuk itulah, perlu diidentifikasi mengenai kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang salah satunya didasarkan atas hasil studi literasi internasional yang dilakukan oleh IEA melalui Program PIRLS 2011. Hasil studi ini dianalisis berdasarkan konteks keindonesiaan dalam peta internasional. Berdasarkan temuan terpetakan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia, baik di tataran internasional maupun nasional, masih rendah. Berbagai factor penyebabanya cukup banyak. Beberapa di antaranya adalah factor internal siswa seperti kebiasaan, minat, motivasi, dan budaya baca yang masih rendah; system pembelajaran membaca di sekolah belum memadai; isu literasi belum dijadikan dasar pengembangan kurikulum dan buku teks pelajaran serta buku pendidikan; ketersediaan sarana dan prasarana berupa buku di perpustakaan yang belum memadai; dan sistem penilaian yang masih lemah.

Laporan hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam kebijakan perbaikan pendidikan Indonesia di masa depan. Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang dengan limpahan berkah laporan penelitian analisis hasil belajar peserta didik berdasarkan literasi membaca hasil studi internasional PIRLS 2011 dapat diselesaikan. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemdikbud atas kepercayaan dan fasilitasi yang diberikan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

Jakarta, 5 Desember 2012

(3)

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Peelitian ... 9

D. Hasil yang Diharapkan ... 10

E. Ruang Lingkup ... 11

F. Manfaat Hasil ... 11

BAB II KAJIAN TEORI ... 12

A. Kompetensi Literasi ... 12

B. Hakikat Membaca ... 12

C. Buku dan Budaya Baca ... 25

D. Bahan Bacaan ... 30

E. Kemahiran Berbahasa Pembaca ... 30

F. Pengukuran Kemampuan Membaca ... 35

G. Kurikulum dan Buku Teks Pelajaran ... 42

H. Penilaian yang Mengusung Isu Literasi ... 55

BAB III METODE PENELITIAN ... 64

A. Jenis Penelitian ... 64 B. Metode Penelitian ... 64 C. Sumber Data ... 64 D. Keabsahan Data ... 65 E. Instrumen ... 65 F. Panduan Penilaian ... 66 G. Analisis Data ... 68

BAB IV HASIL DAN BAHASAN PENELITIAN ... 69

A. Hasil Penelitian ... 69

B. Bahasan Penelitian ... 89

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 112

A. Simpulan ... 112

B. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 115

ANALISIS HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK DALAM LITERASI MEMBACA MELALUI STUDI INTERNASIONAL (PIRLS) 2011

(4)

Maman Suryaman maman_surya@yahoo.com

Abstrak

Studi ini berisi hasil analisis deskriptif eksploratoris dan dokumenter terhadap kemampuan membaca siswa SD kelas 4 di Indonesia menurut benchmark internasional PIRLS 2011. Capaian rata-rata kemampuan membaca siswa Indonesia secara umum berada pada level rendah di bawah median internasional. Namun, siswa Indonesia mengalami kemajuan dari tahun 2006 ke 2011, khususnya di level tinggi, sedang, dan lemah walaupun tidak signifikan, sedangkan di level sempurna belum ada perubahan. Berdasarkan analisis kemampuan membaca siswa Indonesia dalam standar internasional (PIRLS), kecenderungan yang dilakukan, perbandingannya dengan butir soal yang biasa diujikan dalam ujian nasional, serta pembelajaran membaca di sekolah ditemukan bahwa kemampuan mengulang informasi yang dinyatakan secara tersurat; membuat inferensi; menafsirkan dan memadukan gagasan dan informasi; serta memeriksa dan menilai isi, bahasa, dan unsur-unsur yang terdapat di dalam teks bacaan masih berada di bawah rata-rata internasional. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan beberapa faktor penyebabnya. Pertama, siswa Indonesia berada dalam kurva berkemampuan rendah. Kedua, kecenderungan siswa Indonesia menjawab soal berdasarkan tebakan. Ketiga, butir-butir soal ujian nasional, baik stem maupun pilihan tidak dikonstruksi dengan sempurna dan cenderung bersifat tunggal dengan kata kunci pertanyaan kurang spesifik. Keempat, pemilihan wacana kurang diperhatikan dari segi kualitas isi dan masalahnya. Kelima, pembelajaran membaca di kelas belum mengutamakan pengembangan kompetensi membaca. Keenam, kebiasaan membaca belum dikembangkan secara memadai. Ketujuh, teori sastra yang diajarkan seringkali kurang tepat. Kedelapan, ukuran-ukuran jawaban dalam persepsi guru dan siswa sangat variatif oleh karena kualitas butir soal belum sempurna. Kesembilan, terdapat beberapa butir soal yang tidak biasa muncul di dalam soal ujian nasional.

(5)

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang mengarah kepada peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencapaian amanat ini secara teoretis dapat dicermati secara komprehensif melalui peningkatan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.

Berita yang dilansir oleh Harian Umum Pikiran Rakyat (Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2005) tentang kondisi ideal surat kabar yang harus dibaca, yakni 1:10 atau satu surat kabar untuk 10 penduduk, belum dicapai oleh masyarakat Indonesia. Bahkan, masih di bawah Filipina dan Sri Langka dengan rasio sebagai berikut: Indonesia 1:45; Filipina 1:30; dan Sri Langka 1:38. Kondisi demikian mencerminkan bahwa kebutuhan dan kemampuan membaca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Namun, untuk menciptakan agar masyarakat memiliki kebutuhan akan buku, melek aksara harus terus diciptakan. Penciptaan ini sejalan dengan kesepakatan Dakar (Global Monitoring Report, 2006) tentang Literacy for Life bahwa keberaksaraan merupakan hak seluruh umat manusia tidak hanya karena alasan moral, tetapi juga untuk menghindari hilangnya potensi manusia dan kapasitas ekonomi. Keberaksaraan saat ini menjadi sangat penting karena munculnya masyarakat yang didasarkan pada ilmu pengetahuan.

Revolusi telekomunikasi dalam era kekinian merupakan tenaga penggerak yang kencang luar biasa. Revolusi itu mampu mempercepat perhubungan di angkasa; perubahan di atas tanah dan gerakan di bawah tanah. Revolusi itu juga tidak bergerak dengan kecepatan, tetapi dengan percepatan (Sanusi, 1998:90). Percepatan ini mampu mengatasi berbagai persoalan. Artinya, bangsa yang lamban akan terlambat; bangsa yang lengah akan tergeser dan tersungkur di pinggir jalan raya peradaban. Dengan kata lain, bangsa yang literasi masyarakatnya masih rendahlah yang pertama kali akan tersungkur di pinggir jalan raya peradaban. Untuk itu, membangun masyarakat literat harus menjadi prioritas utama di antara prioritas-prioritas utama lainnya. Adapun masyarakat literat ditandai dengan adanya kemauan dan kemampuan masyarakat untuk membaca (Suryaman, 2001).

Jika dilihat dari sejarah perkembangan budaya di Indonesia, beberapa komunitas di negeri ini sesungguhnya telah memiliki dan mengenal aksara sejak lama, jauh sebelum masuknya tulisan Arab dan Latin. Suku-suku Jawa, Sunda, Bali, Batak, dan Bugis sudah sejak lama mempunyai aksara sendiri, dan meninggalkan berbagai tulisan penting dengan memakai aksara mereka. Persoalannya adalah apakah tulisan dalam komunitas-komunitas tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari atau hanya menjadi bagian dari suatu lingkungan yang relatif terbatas dan eksklusif?

Di dalam perkembangan sejarah tampak bahwa tulisan pada komunitas-komunitas yang mempunyai aksara, lebih banyak berhubungan dengan kehidupan istana dan ritual keagamaan. Artinya, tulisan belum menjadi bagian kehidupan sehari-hari orang banyak. Padahal, tulisan barulah menyebar luas dalam masyarakat kalau sudah terjadi peralihan dari kelisanan ke keberaksaraan, dan kalau keberaksaraan itu sudah memasuki tahapan topografik dengan adanya mesin cetak. Sebaliknya, berbagai tulisan dari komunitas-komunitas tradisional di Indonesia baru berada pada tahapan hirografik ketika tulisan-tulisan itu masih berbentuk masnukrip (tulisan tangan) dengan fungsi aural yang masih kuat.

Berdasarkan dua pandangan tersebut, budaya tulis di dalam sejarah komunitas tradisional masyarakat Indonesia belum tercipta secara luas. Hal ini mengindikasikan bahwa tradisi lisan menjadi budaya yang kuat di kalangan masyarakat sejak dahulu. Budaya itu kemudian dimapankan hingga kini melalui perkembangan teknologi informasi yang hanya digunakan untuk kegiatan mendengar dan

(6)

melihat. Data-data mengenai kemampuan membaca siswa Indonesia di dunia yang masih sangat rendah menggambarkan betapa budaya lisan masih sangat kuat tumbuh di dalam masyarakat.

Melihat kenyataan tersebut tampak bahwa masyarakat Indonesia kehilangan satu peradaban atau satu babak kebudayaan, yakni kebudayaan membaca. Pada saat mereka mengalami peralihan kebudayaan ke kebudayaan elektronik, masyarakat Indonesia masih berada pada babak kebudayaan pramembaca. Kebudayaan ini ditandai oleh buta aksara, baik dikarenakan buta huruf, melek huruf tapi tidak bisa memahami isi bacaan, motivasi dan kebiasaan membaca yang rendah, maupun ketersediaan sarana berupa buku yang masih sangat kecil. Artinya, anak-anak Indonesia tidak mengalami kebudayaan membaca. Mereka langsung memasuki babak kebudayaan elektronik. Implikasinya, tidak muncul sikap kritis terhadap wujud-wujud elektronik seperti televisi. Tontonan televisi hanya dipandang sebagai media hiburan yang utama sehingga semua aktivitas hidup harus disesuaikan dengan jadwal televisi. Akibatnya, muncul lagi satu fenomena baru selain tiga buta (buta wacana, buta aksara, dan buta pengetahuan dasar), yakni “buta televisi”.

Oleh karena masyarakat Indonesia tidak mengalami kebudayaan baca, kebudayaan elektronik hanya dipandang sebagai sesuatu yang menyenangkan dan permukaan saja. Akibatnya, kebudayaan elektronik komputer, misalnya, sama sekali tidak dipandang sebagai sesuatu yang bermakna bagi pengembangan kualitas hidup. Teknologi yang canggih ini telah memberikan peluang yang luar biasa untuk lebih mempercanggih kebudayaan membaca. Namun, peluang ini belum dimanfaatkan secara memadai untuk kepentingan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Berdasarkan paparan tersebut tampak bahwa persoalan masyarakat literat terkait pula dengan budaya masyarakat dan keinginan politik pemerintah untuk membangkitkan diri, bangsa, dan negara menuju cita-cita pencerdasan dan penyejahteraan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, jika individu masyarakat dan bangsa ingin maju, budaya baca (literasi) harus ditumbuhkan melalui suatu sistem yang terstruktur, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah melalui pengembangan budaya baca yang kuat.

Abad ke-21 adalah era baru yang dipenuhi perubahan-perubahan yang mengejutkan. Era ini sebagai cerminan tinjauan restrospektif atas abad ke-20 yang telah menjadi tempat bagi banyak peristiwa dan perkembangan yang menentukan, seperti Perang Dunia, dekolonialisasi, ekspansi penduduk Asia, Afrika, dan Amerika Latin, kebangkitan demokrasi liberal, proses internalisasi dunia, serta kemorosotan hegemoni negara-negara Barat (Stearns via Taryadi, 1999:92). Namun, fenomena yang menonjol dalam konteks ini adalah ungkapan globalisasi. Di hadapan kita terbentang dasawarsa terpenting dalam sejarah peradaban, suatu periode inovasi teknologi yang mempesona, peluang ekonomi yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan reformasi politik yang menakjubkan. Menurut futurulog John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990), trend-trend yang terbentuk adalah perubahan dari (1) masyarakat industri menjadi masyarakat informasi, (2) teknologi paksa menjadi high

tech/high touch, (3) ekonomi nasional menjadi ekonomi internasional, (4) jangka pendek menjadi

jangka panjang, (5) sentralisasi menjadi desentralisasi, (6) bantuan institusional menjadi bantuan individual, (7) demokrasi representatif menjadi demokrasi partisipatif, (8) hierarki menjadi jaringan, (9) utara menjadi selatan, dan (10) salah satu menjadi pilihan berganda.

Perubahan-perubahan tersebut merupakan fenomena yang tidak dapat dihadang dengan sikap apatis, melainkan harus dihadapi dengan sikap kritis. Bahkan, perubahan itu akan terus berlanjut pada masa depan. Masyarakat yang akan mampu menghadapi hidup adalah masyarakat yang memiliki kemampuan untuk memprediksi masa depan berupa meramalkan mana di antara kemungkinan-kemungkinan dari masa depan yang sungguh-sungguh akan terjadi. Menurut Gary Hamel, profesor manajemen strategis dan internasional pada London Business School, tujuan memprediksi adalah mencoba membayangkan masa depan yang masuk akal, yakni masa depan yang dapat diciptakan (Gibson, 1988:123). Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dan negara di dalam membangun bangsa haruslah berorientasi ke masa depan.

Kemampuan memprediksi masa depan hanya akan tercapai bila masyarakatnya sudah menjadi masyarakat literat atau masyarakat melek aksara, yakni masyarakat yang sanggup menyerap dan menganalisis kemudian membuat sintesis dan evaluasi terhadap informasi yang tercetak sebelum mengambil keputusan menurut kemampuan nalar dan intuisinya (Harjasujana, 1988). Di samping

(7)

sebagai antisipasi, terbentuknya masyarakat melek aksara juga merupakan keharusan dalam menghadapi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryaman, 2001:6). Apalagi dalam konteks kekinian yang ditandai oleh pesatnya penerapan ilmu rekayasa pada umumnya, teknologi chip dan teknologi hayati pada khususnya, berkembangnya isu-isu universal dan pencarian kekuatan transendental atau metafisik, di sisi menetapnya pikiran sekuler-ateistik, semuanya berbarengan dengan era kesejagatan atau globalisasi yang memacu perubahan yang sangat cepat pada bidang politik, ekonomi, perdagangan, pertahanan-keamanan, sosial, pendidikan, dan seni budaya. Di depan monitor komputer, dengan hanya menekan sejumlah tombol informasi segala referensi dan ensiklopedi, buku dan makalah, berita dan desas-desus, analisis dan pergunjingan dapat diakses dengan cepat.

Kedudukan budaya masyarakat literat yang sangat penting bagi pencerdasan kehidupan bangsa merupakan modal dasar bagi terciptanya perubahan masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan, keadilan, kemanusiaan, dan spiritual keagamaan masyarakatnya. Seperti diamanatkan melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 4 (5) bahwa untuk mencerdaskan bangsa dilakukan melalui pengembangan budaya baca, tulis, dan hitung bagi segenap warga masyarakat. Amanat ini menjadi sangat penting untuk diimplementasikan sehingga masyarakat belajar sepanjang hayat dapat diwujudkan. Pengimplementasian ini akan terjadi manakala budaya baca telah menjadi kebutuhan masyarakat. Namun, untuk menciptakan agar masyarakat literat tumbuh, melek aksara harus terus diciptakan. Penciptaan ini sejalan dengan kesepakatan Dakar (Global Monitoring Report 2006) tentang Literacy for Life bahwa keberaksaraan merupakan hak seluruh umat manusia tidak hanya karena alasan moral, tetapi juga untuk menghindari hilangnya potensi manusia dan kapasitas ekonomi. Keberaksaraan saat ini menjadi sangat penting karena munculnya masyarakat yang didasarkan pada ilmu pengetahuan.

Hal ini telah disadari oleh bangsa Indonesia, setidak-tidaknya sejak Negara Republik Indonesia berdiri. Presiden Soekarno, misalnya, dalam pertengahan tahun 1960-an menyerukan kepada segenap bangsa Indonesia untuk membiasakan diri membaca agar dapat menambah ilmu pengetahuan. Pentingnya kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari juga diserukan kembali oleh Presiden Soeharto dalam penetapan Bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan pada tanggal 14 September 1995 di Istana Negara, Jakarta, dan peresmian Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM) pada tanggal 31 Mei 1996. Hari Aksara, Hari Kunjung Perpustakaan, dan Bulan Gemar Membaca dicanangkan pula pada tanggal 14 September 1995. Pencanangan dan peresmian itu dimaksudkan agar segenap bangsa Indonesia memberikan perhatian terhadap membaca sebagai suatu unsur dari budaya bangsa. Kemudian, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerukan kepada segenap komponen bangsa Indonesia untuk mensukseskan Gerakan Membaca Nasional pada tanggal 12 November 2003. Terakhir pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat pada tanggal 17 Mei 2006.

Pada tahun 1978 Daniel Lerner mempublikasikan hasil penelitiannya tentang tradisi, transisi, dan modernisasi di enam negara Timur Tengah (Kleden, 1999). Ia menerapkan asumsi secara ketat tentang perbedaan antara masyarakat tradisional, masyarakat transisional, dan masyarakat modern melalui akses terhadap tulisan dan terhadap media komunikasi lainnya seperti radio. Berdasarkan temuan ini Lerner menyimpulkan bahwa hubungan dengan dunia lain, kebudayaan lain, pandangan hidup lain, dan sistem sosial lain atau sistem politik lain, lebih cepat dibuka melalui membaca.

Sebagai bagian dari suatu tingkah laku budaya (cultural behavior), baik dipandang dari sudut pembaca maupun penulis, seorang pembaca akan terbiasa mencari informasi, menambah pengetahuan, melakukan pengecekan pengetahuannya, atau mencari hiburan dan kesenangan dengan membaca buku-buku. Misalnya, para murid akan membaca buku teks pelajaran, referensi, buku pengayaan untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya serta membaca novel, majalah, surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Seorang profesor akan membaca buku-buku baru, jurnal-jurnal ilmiah nasional maupun internasional untuk melakukan penelitian-penelitian bagi pengembangan keilmuan dan untuk bahan diskusi dengan para mahasiswanya, pun akan membaca novel, majalah, surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Para artis akan membaca buku-buku untuk pengembangan kerartisannya dan akan

(8)

membaca novel, majalah, surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Para murid, para profesor, dan para artis pun akan membuat catatan-catatan harian tentang kesan-kesan dan pengalaman belajarnya, pengalaman keilmuannya, dan pengalaman keartisannya serta terhadap hasil kesenangan dan pencerahan dari membaca novel, puisi, majalah, dan surat kabar. Dampaknya adalah munculnya kebiasaan dan kebutuhan untuk membaca.

Sebagai sebuah kebiasaan, membaca mempersyaratkan prasyarat tertentu, yakni kesanggupan teknis untuk memakai bahasa tulisan dengan baik, serta kesanggupan budaya untuk menyendiri pada saat-saat tertentu dalam suatu kebebasan pribadi yang tidak terganggu, tempat orang yang hanya berhadapan dengan dirinya sendiri. Anggota suatu keluarga dapat mendengarkan radio atau menonton televisi bersama-sama, tetapi sulit bagi mereka untuk membaca sebuah novel atau esei bersama-sama. Kebiasaan membaca mengandaikan semacam ”individualisme kebudayaan”.

Dalam banyak komunitas di Indonesia dapat dikatakan secara umum bahwa kecenderungan untuk bersama-sama jauh lebih kuat dari kesanggupan untuk menyendiri. Dalam konteks ini tampak korelasi tinggi antara kebersamaan dan kelisanan di satu pihak, dan antara kesendirian dan keberaksaraan di pihak lain. Sebagai ilustrasi, jika terdapat dua orang atau lebih berkumpul dalam satu ruangan, secara spontan timbul kebutuhan untuk berbicara, bertukar cerita dan lelucon, berdiskusi atau sekadar membanyol dan meledek. Artinya, kebutuhan untuk mengobrol mendorong orang cenderung bersama-sama. Sebaliknya, seorang yang sendirian, akan mengisi waktunya dengan mendengarkan musik dan radio, menonton televisi, membaca buku dan majalah. Namun, untuk komunitas Indonesia, masyarakat cenderung memilih kebutuhan untuk bersama-sama dan mengobrol. Inilah budaya yang harus diseimbangkan dengan kebutuhan menyendiri dan membaca serta menulis.

Budaya baca yang belum tumbuh dengan baik dapat dilihat melalui hasil ujian nasional bahasa Indonesia yang hingga kini masih menjadi perbincangan hangat di masyarakat oleh karena hasilnya yang belum menggembirakan. Ada yang mengatakan “Kok bisa nilai bahasa Indonesia lebih rendah daripada bahasa Inggris?” Mereka menyimpulkan bahwa pelajaran bahasa Indonesia lebih sulit diajarkan di negerinya sendiri. Kegalauan dan anggapan mereka tidak salah, tetapi juga tidak benar seratus persen. Lalu, ada apa dan mengapa dengan bahasa Indonesia.

Kita pasti sepakat bahwa ada keanehan manakala bahasa Indonesia lebih sulit daripada bahasa Inggris. Namun, harus dipahami bahwa belajar bahasa Indonesia sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari umumnya siswa di seluruh Indonesia. Di samping itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar utama di semua bidang kehidupan. Oleh karena itu, belajar bahasa Indonesia diarahkan pada penguasaan tingkat literasi tertinggi (tingkat epistemik). Pada tingkatan ini pembelajar bahasa Indonesia harus mampu menggunakan bahasa untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk estetika bahasa sebagai seni (sastra). Untuk bahasa Inggris, yang secara politis berfungsi sebagai bahasa asing, dapat ditetapkan sampai dengan tingkatan fungsional di SMP dan tingkat informational di SMA.Sementara itu, bahasa asing lainnya, dapat diusulkan hanya sampai pada tingkat literasi fungsional, karena keterbatasan pajanan dan kesempatan untuk berkomunikasi dalam bahasa asing yang bersangkutan.

Penempatan mata pelajaran bahasa Indonesia pada level tertinggi dari segi literasi menjadikannya sebagai bagian dari pengembangan kemampuan berbahasa di satu sisi. Di sisi lain, penguasaan tersebut menjadi prasyarat bagi pembelajar untuk mempelajari bidang keilmuan yang lain. Yang menjadi persoalan adalah apakah kedua tujuan tersebut sudah menjadi sandaran para guru bahasa Indonesia dan para penyusun soal ujian nasional (UN).

Secara umum dapat diidentifikasi bahwa terdapat fenomena yang menarik untuk dicermati dari kemampuan berbahasa dan bersastra di kalangan masyarakat. Pertama adalah mengenai melek aksara. Secara teoretis dan empiris melek aksara merupakan suatu cita bangsa Indonesia. Namun, cita-cita ini belum tercapai secara efektif. Misalnya, data angka buta aksara penduduk Indonesia di atas 15 tahun ke atas masih mencapai 15,5 juta jiwa. Jika jumlah penduduk Indonesia yang telah mencapai 15 tahun ke atas sebanyak 200-an juta jiwa, kemudian dipersentasekan akan diperoleh angka sebesar kurang lebih 15% yang masih dianggap buta aksara atau 85% sudah melek aksara. Di pihak lain, angka rata-rata melek aksara untuk negara berkembang sebesar 61%. Artinya, angka melek aksara masyarakat Indonesia sudah sangat tinggi. Akan tetapi, fakta lain tampak bahwa judul buku baru yang

(9)

disiapkan hanya 19 buah untuk satu juta penduduk atau hanya tersedia 6000 judul buku baru setiap tahun. Dengan kata lain, angka melek aksara penduduk Indonesia yang sudah tinggi belum sesuai dengan pertumbuhan bukunya.

Kemungkinan besar terjadinya ketidaksesuaian itu disebabkan oleh parameter yang digunakan untuk mengukur jumlah melek aksara. Di dalam konteks melek aksara, Iganas Kleden (1999) mengelompokkan penduduk Indonesia ke dalam tiga jenis. Pertama, penduduk yang secara teknis dapat membaca dan menulis kalau diminta membacakan atau menuliskan nama, tempat kelahiran, nama orang tua, dan jenis pekerjaan. Inilah orang-orang yang telah mendapat latihan membaca-menulis. Akan tetapi, karena bahan bacaan yang tersedia sedemikian langka, mereka jarang sekali mempraktikkan kemampuan membacanya. Dengan kata lain, orang-orang ini secara teknis dapat membaca (dan barangkali dapat menulis).

Kedua, penduduk yang secara teknis dan fungsional melek aksara. Misalnya, anak-anak

sekolah yang harus sanggup membaca buku (teks) pelajaran, orang-orang keuangan di suatu lembaga atau perusahaan yang harus membaca dan menuliskan pemasukan dan pengeluaran, atau seorang insinyur otomotif akan membaca buku petunjuk mobil. Bagi kelompok ini, membaca dan menulis adalah sebuah fungsi yang harus dijalankan dalam konteks pekerjaan. Mereka belum menjadikan membaca dan menulis sebagai kebiasaan untuk berkomunikasi dan berekspresi melalui tulisan.

Ketiga, penduduk yang di samping mempunyai kesanggupan baca-tulis secara teknis dan fungsional,

menjadikan baca-tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka tidak hanya membaca dan menulis dengan hal-hal yang terkait dengan pekerjaan, tetapi oleh kebutuhan secara budaya.

Jika pengelompokan tersebut dihubungkan dengan data melek aksara penduduk Indonesia, kemungkinan besar melek aksara yang dimaksud adalah melek aksara dalam kelompok pertama, yakni melek aksara dalam hal kemampuan membaca dan menulis secara teknis. Hal ini didukung oleh hasil studi The International Association for the Evaluation of Education Achievement (IEA) (1992),. Data tersebut menunjukkan bahwa siswa SD Indonesia dalam hal kemampuan bacanya berada pada urutan ke-26 dari 27 negara yang diteliti, termasuk di dalamnya negara maju, seperti Amerika, Kanada, Jerman, dan negara-negara berkembang, seperti Trinidad dan Venezuela.

Sebagian besar siswa yang diteliti memperoleh skor tes membaca pemahaman berada pada kategori rendah, dengan menjawab secara benar rata-rata di bawah 36,1%. Para siswa Indonesia yang memperoleh skor tertinggi secara signifikan masih berada jauh di bawah para siswa yang berskor tertinggi di semua negara lain. Sementara itu, siswa Indonesia yang bernilai terendah merupakan salah satu di antara tiga sampel negara yang berskor terendah.

Beberapa karakteristik yang muncul dalam studi tersebut adalah siswa Indonesia menghabiskan relatif banyak waktu kegiatan kelasnya untuk keterampilan seperti bahasan kosakata, hubungan huruf-bunyi, dan jawaban terhadap pertanyaan secara tertulis. Relatif sedikit waktu yang dihabiskan untuk pendramatisasian cerita, membaca senyap mandiri, menyimak cerita yang dibaca, membaca di perpustakaan atau bekerja dalam kelompok kecil membaca. Siswa jarang diminta untuk membaca sesuatu di rumah sebagai bagian dari program bahasanya. Bahkan, menurut Harjasujana (1988:11) dalam era kekinian, dengan kehadiran TV, aktivitas anak-anak di rumah lebih banyak berupa kegiatan menonton. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kita dapat melakukan kegiatan ilmu dan budaya tanpa menggunakan bahasa secara tertulis, yakni membaca dan menulis. Oleh karena itu, menurut Taufik Ismail (2001) yang terpenting dari pembelajaran bahasa adalah membaca dan menulis, sedangkan aspek linguistik dapat langsung dilihat melalui karya-karya tulis mereka.Bila ini bisa dilakukan, minimal seorang siswa telah membaca karya sastra antara 15 sampai 30 judul selama 3 tahun.

Sebagai suatu ilustrasi tentang proses membaca yang dilakukan siswa pada 1210 SMP dan SMA di Amerika dilaporkan oleh Applebee (1993).

Tabel

Jumlah Halaman Buku Dibaca Siswa SMP dan SMA di Amerika Serikat

Kelas Membaca per Minggu Membaca per Tahun

(10)

9 SMP dan 10 SMA 32 halaman 1152 halaman

11 – 12 SMA 51 halaman 1836 halaman

Jumlah 113 halaman 4068 halaman

Siswa SMP di Amerika selama tiga tahun telah membaca 3312 halaman dan siswa SMA sepanjang tiga tahun telah membaca 4824 halaman. Artinya, seorang siswa yang telah menamatkan SMP dan SMA selama enam tahun sudah terlatih membaca sebanyak 24408 halaman. Kondisi demikian tentu memberi harapan yang kuat akan keberhasilan studi mereka di perguruan tinggi kelak. Hal ini baru gambaran membaca buku sastra wajib. Belum lagi kegiatan membaca buku lain, seperti sejarah, ekonomi, PPKn, dan lain-lain.

Kondisi tersebut diperburuk dengan budaya baca yang belum tumbuh. Rata-rata penduduk Indonesia lebih disibukkan oleh budaya lihat, yakni sebesar 74% menonton televisi dengan rata-rata per hari 3,7 jam. Angka ini paling tinggi di Asia dengan perbandingan Filipina 3,6; Australia 3,2; Hongkong 3,1; Singapura 2,4; Malaysia 2,2; Korea Selatan 2,2; Taiwan 2,1; dan Thailand 1,9 jam per hari. Artinya, di satu sisi masalah ekonomi menjadi alasan untuk tidak membeli buku, di sisi lain kebutuhan akan buku belum tercipta. Kedua variabel ini dukung-mendukung bagi melemahnya daya beli dan budaya baca masyarakat pengguna. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa tentulah ikut memberikan sumbangan negatif bagi gagalnya siswa dalam meraih kesuksesan ujian nasional bahasa Indonesia.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan UNY (2011) ditemukan beberapa kompetensi yang dianggap sangat sulit. Beberapa kompetensi tersebut adalah “menemukan ide utama dan ide penjelas paragraf”, “menemukan kalimat yang berupa fakta dan opini dalam tajuk rencana”, “menemukan unsur-unsur intrinsik puisi”, “menemukan unsur-unsur intrinsik cerpen/novel”, “ dan “menemukan nilai-nilai dan amanat Hikayat (Sastra Melayu Klasik).

Beberapa faktor penyebab adalah minat dan kebiasaan membaca rendah, referensi perpustakaan terbatas: terutama karya sastra dan buku-buku ilmu pengetahuan populer, terdapat pemahaman yang berbeda terhadap konsep-konsep bahasa dan sastra di antara guru, dan antara guru dan tentor bimbingan belajar, dan sastra bersifat multiinterpretasi, padahal soal sastra berupa kutipan, bukan karya yang utuh.

Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa peta masyarakat literat Indonesia masih belum tumbuh dengan baik.Hasil-hasil studi internasional menguatkan simpulan tersebut.Dalam konteks yang demikian, perlulah ditelaah mengapa studi-studi internasional tentang prestasi membaca sangat penting bagi terbentuknya peradaban yang kuat. Sebagai contoh adalah hasil studi yang dilakukan oleh IEA melalui program PIRLS.

Studi yang dilakukan IEA melalui program PIRLS mengenai kemampuan membaca siswa Indonesia di dunia didasarkan atas hasil tes untuk mengukur hasil membaca teks sastra dan teks informasi. Siswa yang dimaksud adalah siswa kelas 4 SD. Adapun subtansi yang diteskan terkait dengan kemampuan siswa menjawab beragam proses pemahaman, pengulangan, pengintegrasian, dan penilaian atas teks yang dibaca. PIRLS melaporkan empat skala kemampuan membaca dalam standar internasional, yakni skala sempurna (advanced) dengan skor 625, tinggi (high) dengan skor 550, sedang (intermediate) dengan skor 475, dan lemah (low) dengan skor 400.

Jenis teks yang digunakan adalah teks pengalaman kesastraan dan pemerolehan serta penggunaan informasi. Komposisinya teks sastra 50% dan teks informasi 50% dengan rincian, 20% difokuskan pada informasi yang dinyatakan secara tersurat untuk diulang, 30% membuat inferensi dengan jelas, 30% menafsirkan dan memadukan gagasan dan informasi, serta 20% memeriksa dan menilai isi, bahasa, dan unsur-unsur yang terdapat di dalam teks.

Di dalam PIRLS 2011 ini teks sastra berisi cerita pendek atau episode yang disertai dengan ilustrasi pendukung.Lima bagian berisi cerita-cerita tradisional dan kontemporer dengan panjang teks kira-kira 800 kata dengan beragam latar.Pada setiap hal yang esensial dua karakter utama dan sebuah alur dihubungkan dengan satu atau dua peristiwa pusat. Di dalam bagian-bagian tersebut tercakup

(11)

pula ciri-ciri gaya dan bahasa penceritaan, seperti cerita orang pertama, humor, dialog, dan beberapa gaya bahasa.

Teks informasi berisi lima bagian termasuk ragam teks lengkap maupun tidak lengkap berdasarkan panjang kata antara 600 sampai dengan 900. Teks tersebut merepresentasikan ciri-ciri seperti diagram, peta, ilustrasi, fotografi, atau tabel.Rata-rata materi mencakup materi ilmiah, etnografi, biografi, sejarah, informasi, dan gagasan praktis. Teks disusun melalui sejumlah cara, termasuk cara logis, argumen, urutan, dan topik. Beberapa bagian menggunakan organisasi bacaan seperti subjudul, kotak teks, atau daftar.

Peta masalah tersebut juga harus didukung oleh kurikulum yang memadai.Isu perubahan kurikulum yang sekarang sedang berkembang disadari oleh para pembuat kebijakan pendidikan sekolah harus mengacu pada isu literasi siswa Indonesia di dunia internasional yang tergolong rendah. Seperti banyak diberitakan media massa bahwa perubahan ini didasari oleh salah satunya adalah isu literasi. Hal ini tampak dalam struktur kurikulum yang sekarang masih dalam tahap uji public.Substansi yang paling menonjol adalah masalah pengurangan jumlah mata pelajaran di SD dari 11 menjadi 6.Mata pelajaran IPA, IPS, matematika diintengrasikan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Jumlah jam sekolah bertambah antara 3 s.d. 4 jam per minggu. Struktur kurikulum SMP difokuskan pada pengurangan jumlah mata pelajaran dari 12 menjadi 10.Pada level ini, IPA dan IPS sudah muncul, tetapi tetap sebagai mata pelajaran integrative science dan integrartive social studies, bukan sebagai disiplin ilmu.Selain itu, siswa SMP mendapatkan pembelajaran teknologi informasi dan komunikasi, muatan lokal, dan pengembangan diri.Muatan lokal berupa seni budaya, penjaskes, dan prakarya.TIK bukan bediri sendiri, melainkan sebagai media untuk semua mata pelajaran. Durasi jam pelajaran bertambah 6 jam per minggu sehingga total 38 jam per minggu. Pada jenjang SMA tidak ada perubahan mendasar, kecuali jumlah jam bertambah 1 jam per minggu.Orientasi yang dikembangkan pada semua jenjang difokuskan pada pengembangan tiga kompetensi, yakni sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

Berdasarkan isu termutakhir terkait dengan penataan kurikulum tersebut adalah munculnya implikasi terhadap pengembangan sistem evaluasi. Seperti dikemukakan di atas, mata pelajaran bahasa Indonesia di SD menjadi sentral dari mata pelajaran IPA, IPS, dan matematika. Sementara itu, mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP dan SMA menjadi sentral pengembangan literasi lebih lanjut.

Jelaslah bagi kita sekarang mengapa UN mata pelajaran bahasa Indonesia dianggap sulit, baik bagi siswa maupun bagi guru. Virus ganas yang menyebar di kalangan siswa adalah rendahnya minat dan kemampuan membaca.Penyebaran virus ini tidak pernah kita cegah, apalagi diobati. Padahal, semua orang tahu bahwa soal UN bahasa Indonesia berupa soal-soal membaca. Jika para siswa tidak terbiasa membaca dan tidak punya kemampuan membaca, sulit rasanya UN bahasa Indonesia dapat dipecahkan.

B. Permasalahan

Permasalahan di dalam penelitian ini didasarkan atas hasil studi internasional yang dikembangkan oleh IEA melalui program PIRLS mengenai kemampuan membaca siswa di dunia.Hasil studi tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui analisis faktor-faktor penentu hasil membaca.Artinya, data PIRLS dikaji berdasarkan sudut pandang kemanfaatannya bagi siswa Indonesia. Kajian tersebut meliputi kompetensi-kompetensi mana yang telah dikuasai dan kompetensi-kompetensi mana yang belum dikuasai oleh siswaIndonesia pada PIRLS 2011; seperti apa tingkat kemampuan siswa Indonesia terhadap benchmark internasional (rata-rata internasional) dalam masing-masing kompetensi yang dinilai dalam PIRLS; dan penyebab-penyebab kelemahan siswa Indonesia dalam masing-masing kompetensi yang diukur dalam PIRLS yang diinferensi dari spesifikasi respons sampel siswa terhadap setiap butir soal PIRLS.

Berdasarkan permasalahan umum tersebut, dapat dirumuskan beberapa permasalahan turunannya sebagai berikut ini.

(12)

1. Seperti apakah peta kemampuan membaca siswa Indonesia dibandingkan dengan siswa-siswa di dunia internasional?

2. Seperti apakah perubahan kemampuan membaca siswa di setiap negara dari tahun ke tahun? 3. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level

lemah?

4. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sedang?

5. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sedang?

6. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi kasus 1?

7. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi kasus 2?

8. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi?

9. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi?

10. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sempurna?

11. Seperti apakah kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sempurna?

12. Seperti apakahbentuk butir soal dan kemampuan siswa Indonesia terhadap butir soal yang tidak biasa muncul di dalam soal ujian nasional?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengungkap peta kognitif siswa dalam PIRLS, khususnya dalam bidang membaca, perbandingan kemampuan membaca terhadap rata-rata kemampuan membaca siswa internasional, dan menyajikan hasil diagnosis terhadap kemungkinan penyebab kelemahan siswa Indonesia dalam domain konten dan kognitif yang diukur dalam PIRLS.Di samping itu, penelitian ini juga sebagai dasar dalam memberikan masukan terhadap pengambil kebijakan guna peningkatan mutu pendidikan, khususnya dalam bidang pembelajaran bahasa Indonesia.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkap kompetensi-kompetensi mana yang telah dikuasai dan kompetensi-kompetensi mana yang belum dikuasai oleh siswa Indonesia pada PIRLS 2011; seperti apa tingkat kemampuan siswa Indonesia terhadap benchmark internasional (rata-rata internasional) dalam masing-masing kompetensi yang dinilai dalam PIRLS; dan penyebab-penyebab kelemahan siswa Indonesia dalam masing-masing kompetensi yang diukur dalam PIRLS yang diinferensi dari spesifikasi respons sampel siswa terhadap setiap butir soal PIRLS dengan rincian untuk mengetahui hal sebagai berikut.

1. Kemampuan membaca siswa Indonesia dibandingkan dengan siswa-siswa di dunia internasional. 2. Perubahan kemampuan membaca siswa di setiap negara dari tahun ke tahun.

3. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level lemah. 4. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sedang. 5. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sedang. 6. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi kasus 1.

(13)

7. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level tinggi kasus 2. 8. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi. 9. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level tinggi. 10. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal sastra pada level sempurna. 11. Kemampuan siswa Indonesia dalam memecahkan butir soal nonsastra pada level sempurna. 12. Bentuk butir soal dan kemampuan siswa Indonesia terhadap butir soal yang tidak biasa muncul di

dalam soal ujian nasional.

D. Hasil yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dari studi ini adalah seperti berikut. 1. Peta kemampuan membaca siswa Indonesia di dunia internasional.

2. Data perubahan kemampuan membaca siswa di setiap negara dari tahun 2001 dan 2006 ke tahun 2011.

3. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal sastra pada level lemah. 4. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal sastra pada level sedang. 5. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal nonsastra pada level sedang. 6. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal sastra pada level tinggi kasus 1. 7. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal sastra pada level tinggi kasus 2. 8. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal nonsastra pada level tinggi 1. 9. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal nonsastra pada level tinggi 2. 10. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal sastra pada level sempurna. 11. Data kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal nonsastra pada level sempurna. 12. Data kemampuan siswa Indonesia atas butir soal yang tidak biasa muncul di dalam soal ujian

nasional.

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup studi ini adalah hanya dibatasi pada pengungkapan peta kognitif siswa dalam PIRLS, khususnya dalam bidang membaca, perbandingan kemampuan membaca terhadap rata-rata kemampuan membaca siswa internasional, dan menyajikan hasil diagnosis terhadap kemungkinan penyebab kelemahan siswa Indonesia dalam domain konten dan kognitif yang diukur dalam PIRLS.

F. Manfaat Hasil

Hasil kajian diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat keputusan dalam konteks penyempurnaan kurikulum, penetapan standar buku ajar, penetapan standar isi, standar proses pembelajaran, serta penetapan standar konten kurikulum pendidikan guru. Selain itu, hasil kajian juga menjadi masukan bagi Puspendik dalam penetapan ujian nasional dan standar alat penilaian ujian nasional yang sepadan dengan kompetensi-kompetensi yang diakses secara internasional, yang diperkirakan paling efektif berdampak pada arah pembelajaran di tingkat sekolah dan menjadi rujukan praktis bagi guru dan pengawas sebagai pelaksana kurikulum di lapangan. Manfaat penelitian ini juga menjadi bagian terpenting bagi para guru untuk mengembangkan literasi siswa melalui pembelajaran membaca yang mengarah pada pencapaian kompetensi, terbangunnya kebiasaan, minat, motivasi, dan budaya buku siswa.

(14)

Bab II Kajian Teori

A. Kompetensi Literasi

Kompetensi literasi adalah kemampuan menyelesaikan masalah atau mencapai tujuan dalam dunia nyata dengan menggunakan teks sebagai alat utamanya. Dalam konteks pendidikan bahasa di Indonesia, konsep literasi dapat dikaitkan bukan hanya dengan kompetensi komunikatif tulis, tetapi juga dengan kompetensi komunikatif lisan. Menurut Holmes (2004) “Literacy by its nature is about

what we do with certain types of text. It is about the purpose and the variety of these texts and the activities to which they give rise.” Berbekal kompetensi literasi tertentu, orang dapat berpartisipasi

dalam “komunitas yang menggunakan literasi secara komunikatif” (August dan Hakuta, 1997: 54). Pada dasarnya, tingkat literasi paling dasar adalah tingkat performative yang dijelaskan, yakni tingkat literasi yang digambarkan sebagai kemampuan berbahasa atau mengendalikan komunikasi di antara orang-orang yang dikenal, dalam konteks tatap muka, dan jika komunikasi dilakukan secara tertulis maka ragam tulisannya bukan ragam tulis dan lebih menyerupai ragam bahasa lisan yang ditulis. Dalam istilah para ahli literasi yang telah dikutip di atas, kemampuan ini termasuk kategori kemampuan menggunakan wacana primer.

Tingkat literasi fungsional tampak pada kemampuan melaksanakan komunikasi, di mana seseorang dapat membuktikan diri sebagai anggota masyarakat yang mampu memenuhi tuntutan hidup sehari-hari dengan menggunakan bahasa yang bersangkutan. Tingkat berikutnya yang lebih tinggi adalah tingkat informational. Pada tingkat ini fokusnya adalah pada peran yang dimainkan oleh literasi dalam komunikasi ilmu pengetahuan, terutama yang berbasis disiplin tertentu. Kemampuan seperti ini diperlukan bagi orang yang belajar bahasa untuk tujuan belajar atau mempelajari ilmu pengetahuan seperti yang terjadi di sekolah-sekolah dengan harapan siswa dapat melanjutkan studinya di jenjang yang lebih tinggi seperti universitas. Tingkat keempat tingkat epistemic adalah tingkatan seseorang mampu menggunakan bahasa untuk pengembangan ilmu pengetahuan (termasuk aspek estetika bahasa sebagai seni sastra.

Berdasarkan pembagian tingkatan literasi ini dapat ditentukan tingkat literasi yang menjadi target tertinggi pembelajaran bahasa sampai siswa menyelesaikan pendidikan tingkat menengah. Oleh karena bahasa Indonesia dan bahasa daerah telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari umumnya siswa di seluruh Indonesia, serta mengingat bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa pengantar utama di semua bidang kehidupan, maka dapat ditetapkan bahwa baik mata pelajaran Bahasa Indonesia maupun bahasa daerah seharusnya diarahkan sampai pada penguasaan tingkat literasi tertinggi, yaitu tingkat epistemik.

B. Hakikat Membaca

Membaca menurut Lado (1964:132) adalah “to grasp language patterns from their written

representation”. Lado mengartikan membaca dari sisi bahasa. Bahasa diartikan sebagai sesuatu yang

mengandung informasi atau pesan yang terepresentasikan dalam bentuk tulisan. Definisi ini dipertegas oleh Tarigan (1990:7-8) bahwa “membaca merupakan proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis”. Begitupun dengan pendapat yang dikemukakan Rusyana (1984:190) bahwa “membaca merupakan suatu kegiatan memahami pola-pola bahasa dalam penampilannya secara tertulis untuk memperoleh informasi daripadanya”.

Titik tolak ketiga definisi tentang membaca di atas adalah bahasa. Membaca dianggap sebagai proses pemahaman bahasa dalam bentuk tulisan. Artinya, posisi pemahaman terhadap bahasa yang digunakan dalam tulisan menjadi suatu aspek yang sangat signifikan bagi pemerolehan informasi yang terkandung di dalamnya.

(15)

Sekalipun memiliki makna yang signifikan terhadap pemerolehan informasi, pemahaman bahasa bukanlah satu-satunya faktor penentu keberhasilan seseorang dalam membaca. Smith (1985:100), misalnya, mengemukakan bahwa “dapat saja terjadi seorang pembaca mahir tidak dapat memahami suatu bahasan bacaan”. Artinya, meskipun pembaca mengetahui benar pola-pola suatu bahasa, bisa terjadi ia tidak dapat memahami atau mendapatkan informasi yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Smith (1985:100) lebih lanjut mengemukakan bahwa “membaca adalah kegiatan untuk memperoleh informasi dari bahan bacaan secara selektif”. Aspek pemahaman terhadap sesuatu yang dibacanya menjadi faktor yang signifikan pula bagi keberhasilan membaca seseorang.

Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan lebih lanjut tentang membaca lebih banyak diwarnai oleh tinjauan psikologis, terutama tentang membaca lanjut. Inti pandangan ini adalah bahwa membaca merupakan proses kognitif (Tampubolon, 1987:6). Sebagai proses kognitif membaca tidak hanya bertumpu pada penguasaan unsure-unsur mekanis, seperti bahasa, komposisi, dan ejaan. Membaca merupakan suatu aktivitas komunikatif yang di dalamnya terdapat hubungan timbal-balik antara si pembaca dengan isi teks tersebut. Taraf, kualitas, dan kuantitasnya ditentukan oleh: (1) taraf pendidikan pembaca; (2) taraf intelegensi; (3) sikap yang ditentukan oleh lingkungan (bagi orang dewasa ditentukan oleh posisinya dalam masyarakat); dan (4) kemampuan berbahasa itu ditentukan oleh suatu sistem atau taraf sosial tertentu (Hardjono, 1988:49).

Morris (Moyle (1973:25-26) mengungkapkan bahwa “membaca merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya mampu mengerti pesan penulis dalam suatu bacaan, tetapi juga mampu mereaksi secara aktif untuk memperoleh informasi baru”. Pernyataan ini senada dengan pendapat yang dikemukakan Nuttall (1983:5) bahwa “makna yang tercakup dalam suatu bacaan tidaklah tercurah begitu saja ke dalam pemahaman seseorang tanpa pengerahan segala daya secara aktif untuk mendapatkan makna tersebut”. Oleh karena itu, Widdowson (1983:85) memadukan antara aspek pemahaman bahasa dan aspek pemahaman makna dalam membaca. Ia mengemukakan bahwa seseorang dikatakan membaca bila orang tersebut setelah mengenali kalimat-kalimat dalam tulisan mampu memahami nilainya berupa kemampuan menyarikan informasi bacaan melalui interpretasi aktif.

Dalam kaitannya dengan pengajaran membaca, melalui proses membaca sekaligus dibangkitkan beberapa kemampuan yang penting yang perlu dimiliki oleh setiap anak didik. Kemampuan pertama ialah kemampuan informasional, yakni kemampuan untuk menerima dan menyampaikan informasi. Kemampuan kedua ialah kemampuan mengantisipasi, yakni kemampuan untuk memperkirakan informasi-informasi yang dikemukakan dalam bacaan. Kemampuan ketiga adalah kemampuan menganalisis, yakni kemampuan untuk menguraikan informasi-informasi yang ada dalam bacaan (Logan and Logan, 1972:373). Untuk memperoleh kemampuan seperti itu dibutuhkan bahan bacaan yang tersusun baik karena suatu wacana bukanlah timbunan kalimat acak. Pendapat bahwa untuk memahami sebuah wacana cukup dengan memahami sebuah kalimat adalah pendapat yang salah karena makna kalimat di dalam suatu wacana saling mendukung melalui pernyataan struktur formal dan struktur isi (Luria, 1982:186-190).

Kemampuan membaca berhubungan dengan kemampuan pembaca memahami isi bacaan dan tingkat kesulitan bahan bacaan berhubungan dengan keterpahaman bacaan. Lebih lengkap lagi dapat dikemukakan bahwa proses membaca akan berlangsung manakala ada pembaca, bacaan, kegiatan membaca itu sendiri, dan latar (waktu, tempat, suasana, dan kultur) (Rusyana, 1984:208).

Menurut teori membaca, membaca merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya mampu mengerti pesan penulis dalam suatu bacaan, tetapi juga mampu mereaksi secara aktif untuk memperoleh informasi baru (Morris dalam Moyle, 1973:25-26). Pernyataan ini senada dengan pendapat yang dikemukakan Nuttall (1983:5) bahwa “makna yang tercakup dalam suatu bacaan tidaklah tercurah begitu saja ke dalam pemahaman seseorang tanpa pengerahan segala daya secara aktif untuk mendapatkan makna tersebut”. Oleh karena itu, Widdowson (1983:85) memadukan antara aspek pemahaman bahasa dan aspek pemahaman makna dalam membaca. Ia mengemukakan bahwa seseorang dikatakan membaca bila orang tersebut setelah mengenali kalimat-kalimat dalam tulisan kemudian mampu memahami nilainya berupa kemampuan menyarikan informasi bacaan melalui interpretasi aktif.

(16)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga hal yang mendasar berkenaan dengan bahan bacaan, yakni (1) aspek kebahasaan, (2) aspek kom-posisi karangan, dan (3) aspek keterbacaan.

Hal-ihwal bacaan akan menyangkut penggunaan bahasa secara tertulis. Paling tidak terdapat dua hal yang mendasar dalam bahasa tulis, yakni penggunaan kata dan kalimat. Bila kita kaitkan dengan usia pembaca, dua hal mendasar tersebut harus kita perhatikan. Artinya, apakah kosakata bacaan tersebut sudah relevan dengan tingkat usia mereka dan apakah kalimat-kalimat yang disusun memiliki tingkat kompleksitas yang sesuai dengan tingkat usia mereka?

Kosakata adalah kekayaan kata yang dimiliki oleh seseorang atau suatu bahasa (Kridalaksana, 1993). Zuchdi (1997:9) mengklasifikasikan kosakata ke dalam kosakata aktif dan kosakata pasif. Kosakata aktif adalah kosakata untuk penguasaan bahasa secara produktif yang digunakan untuk menghasilkan bahasa dalam kegiatan ber-komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Sedangkan kosakata pasif adalah kosakata yang hanya dipahami tetapi tidak dipergunakan. Kosakata dapat juga diklasifikasikan ke dalam kosakata umum dan kosakata khusus (Kridalaksana, 1993). Kosakata umum dapat berarti (1) kosakata yang bukan merupakan istilah-istilah teknis atau yang sering dijumpai dalam berbagai bidang keilmuan dan (2) kata yang sudah meluas ruang lingkup pemakaiannya. Kosakata khusus adalah kata tertentu, sempit, dan terbatas ruang lingkup pemakaiannya.

Mengacu pada pendapat tersebut, kosakata baca tergolong ke dalam kosakata pasif. Dalam kaitannya dengan bahasa kedua, Lado (1964:114-127) membagi kosakata ke dalam kata mudah, sedang, dan sukar. Kosakata bahasa kedua yang mudah dipelajari adalah kosakata yang bentuk dan artinya sama dengan kosakata bahasa pertama. Kosakata yang sedang adalah kosakata yang diajarkan dan dipahami secara kon-tekstual, yang meliputi bidang makanan, pakaian, olah raga, kota, desa, penemuan, geografi, surat kabar, pendidikan, dan lain-lain. Kosakata sukar adalah kosakata bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa itu, baik bentuk maupun artinya.

Pemahaman makna kata secara tepat merupakan prasyarat yang perlu untuk membaca agar dapat memahami maksudnya (Zuchdi, 1997:7). Kosakata sangat erat hubungannya dengan pemahaman dan penalaran sehingga suatu tes kosakata yang baik secara efektif berfungsi sebagai alat pengukur intelegensi umum, dan kebanyakan tes intelegensi yang baik mengandung banyak butir (item) kosakata. Hal utama yang minimal harus dimiliki pembaca agar dapat memahami bacaan adalah pemahaman arti kata yang digunakan oleh pengarang. Pengembangan kosakata yang banyak dan cermat merupakan tahapan yang penting bagi pemahaman yang baik (Zuchdi, 1995:2).

Kosakata yang pertama kali diperoleh anak adalah kosakata dengar. Menurut Zuchdi (1997:7) kebanyakan anak dapat menanggapi secara benar kata-kata yang diucapkan oleh orang lain, sebelum mereka dapat menggunakan kata-kata tersebut untuk berbicara. Sedangkan kosakata baca baru diperoleh anak manakala mereka mendapat pengkondisian (seperti melalui pendidikan). Anak mulai mengenal tulisan (bacaan). Secara teratur mereka mulai mempelajari arti kata yang ada dalam bacaan tetapi belum ada dalam kosakata yang telah dimilikinya. Jumlah total kosakata bermakna yang dimiliki oleh seorang anak adalah jumlah semua kata yang dapat di-pahaminya secara benar, baik dalam mendengarkan, berbicara, membaca, atau menulis (Zuchdi, 1995:3).

Hasil penelitian Edgar Dale mengenai kosakata anak-anak kota menunjukkan bahwa tiga perempat dari mereka telah memiliki kurang lebih 1500 kata pada per-tengahan tahun pertama memasuki sekolah (kelas 1). Dale mencatat bahwa kata-kata yang diketahui oleh anak-anak kelas satu adalah: (1) kata-kata yang menyatakan rasa; (2) kosakata yang digunakan sehari-hari; (3) kata-kata yang muncul hampir pada setiap kalimat; dan (4) kata-kata yang menyebut hal yang telah dialami dan dihayati anak (Tarigan, 1985:5).

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikemukakan bahwa penguasaan kosakata memiliki peranan yang amat penting dalam memahami pikiran dan pengalaman orang lain, baik lisan maupun tulisan. Dalam kaitannya dengan bacaan dapat dikatakan bahwa penguasaan kosakata seseorang akan mempengaruhi pemahaman mereka terhadap bacaan itu. Di pihak lain, kosakata yang dipergunakan dalam suatu bacaan akan menentukan pula tingkat keterbacaannya.

(17)

Secara gramatikal, kata memiliki beberapa bentuk, yakni: kata tunggal, kata kompleks, kata ulang, dan kata majemuk. Semuanya bersumber pada leksem; masing-masing mempunyai bentuk sendiri sebagai akibat proses morfologis yang dialaminya (Kridalaksana, 1990:33).

Pada prakteknya, penggunaan kosakata dalam buku pelajaran beragam, baik dari segi bentuk maupun jenisnya. Menurut berbagai penelitian, banyak buku pelajaran yang dipenuhi kata-kata teknis dan yang jarang digunakan, yang sebenarnya tidak perlu. Hal ini telah dibuktikan berulang-ulang dalam penelitian buku pelajaran yang digunakan untuk mengajarkan ilmu alam, ilmu sosial, dan matematika (Dale dan Razik, 1973; Petty, Herold, dan Stall, 1968; dalam Zuchdi, 1995:12-13). Serra (Zuchdi, 1995:13) menemukan bahwa terlalu banyak konsep yang termuat dalam bahan pelajaran ilmu sosial yang merupakan konsep-konsep yang sulit atau tidak umum yang tidak diulang-ulang secukupnya. Kritik ini tampaknya masih bisa dipercaya kebenarannya.

Walau demikian, tiap-tiap bidang studi memiliki kosakata khusus yang harus dipelajari. Guru tidak dapat mengharapkan seorang murid memahami suatu materi pelajaran tanpa bantuan istilah-istilah teknis seperti pembagian, faktor, dan desimal dalam aritmatika, garis lintang dan garis bujur dalam geografi, dan istilah-istilah teknis lain yang serupa dalam bidang studi lain. Oleh karena itu, setiap suatu konsep diperkenalkan, pada saat itu diperkenalkan pula penjelasannya secara rinci.

Berikut beberapa contoh penggunaan kata yang dianggap mudah dan sukar untuk siswa SD kelas 6 (Wahjawidodo, 1985), dilihat dari segi gramatikal (bentuk), yang meliputi : kata tunggal, kata kompleks, kata ulang, dan kata majemuk. Hasil penelitian menunjukkan ada kecenderungan bahwa kata ulang lebih mudah dipahami murid daripada kata majemuk. Kata berimbuhan yang terbentuk dari kata dasar yang telah dikuasai dengan imbuhan yang telah dikuasai pada umumnya juga tidak menimbulkan kesulitan.

1) Kata kompleks yang tergolong mudah bagi kelas 6

Dengan ber- : berakal, bergema, berbakti, berderma, berjasa, berapi; Dengan di- : dianggap, dieja, dihuni, dicontoh, dibelit, dibongkar;

Dengan di-kan : diasinkan, dianugerahkan, dialamatkan, dibusungkan; diinginkan; Dengan me- : mengaduk, mengaduh, mengatur, membentuk, mem-basmi;

Dengan me-kan : mendebarkan, mendaftarkan, mendiktekan, mengawet-kan, mencernakan; Dengan ter- : tercampur, terduduk, tergabung, terhapus, teringat;

Dengan pe- : pencungkil, penduduk, penggembala, pembilang, pem-borong, pencipta;

Dengan ke-an : kebiasaan, kecemasan, kegelapan, kehangatan,

kebijaksanaan;

Dengan pe-an : pembakaran, pembaringan, pegunungan, pembiasaan, pengendapan, pengabdian;

Dengan per-an : perhiasan, perkawinan, percakapan, perdagangan, per-juangan; Dengan an- : belaian, cicilan, eceran, ejekan, hiburan, akhiran, baca-an, dataran,

endapan.

2) Kata yang tergolong sukar bagi kelas 6

a) kata dasar : bakhil, bengis, bernas, canggung, pocot, kepul, kucek, usung, akidah,

anus, brosur, poligami;

b) kata berimbuhan : berbarengan, sebingkah, berijtihad, berjaram, meng-analisis,

membeliak, memborgol, kedudukan, kejenuhan, kelingan;

c) kata ulang : berbongkah-bongkah, berjubel-jubel, kaok-kaok;

(18)

Membaca pemahaman menurut Harjasujana (1997:2) meliputi pemahaman kalimat-kalimat, dan pemahaman tentang kalimat-kalimat itu meliputi pula kemampuan menggunakan teori tentang hubungan-hubungan struktural antarkalimat seperti yang digambarkan dalam teori Tata Bahasa Transformasi (TBT). Pengetahuan tentang hubungan struktural itu berguna bagi proses pemahaman kalimat, sebab kalimat bukanlah untaian kata-kata saja melainkan untaian kata yang saling berkaitan mengikuti cara-cara yang spesifik.

Hubungan-hubungan struktural yang penting untuk memahami makna kalimat itu tidak hanya diberikan dalam struktur luar, tetapi juga diberikan dalam struktur isi kalimat. Pemahaman kalimat tidak akan dapat dilakukan dengan baik tanpa dukungan pemahaman atas hubungan isi antarkalimat tersebut. Untuk itu, kalimat yang disusun dalam suatu wacana agar memiliki keterbacaan yang tinggi harus selalu memperhatikan ketiga unsur tersebut, yakni struktur luar, struktur isi, dan hubungan antarkeduanya.

Masalah yang berhubungan dengan pengaruh struktur kalimat terhadap proses membaca ada dalam bidang yang sangat khusus, yakni keterbacaan (Harjasujana, 1997:4). Berbicara tentang keterbacaan, setiap penyusun wacana atau buku bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi, harus mendasarkan diri pada orientasi teoretis, yakni masalah struktur kalimat. Di samping itu, juga masalah kosakata, seperti dikemukakan oleh Rusyana (1984:208). Hal yang sama dikemukakan pula oleh Sakri (1993:135) bahwa keterbacaan (readability) bergantung pada kosakata dan bangun kalimat yang dipilih oleh pengarang untuk tulisannya. Tulisan yang banyak mengandung kata yang tidak umum lebih sulit dipahami daripada yang menggunakan kosakata sehari-hari, yang sudah dikenal oleh pembaca pada umumnya, khususnya pembaca dengan kondisi usia tertentu. Tentang hal ini telah dijelaskan pada penjelasan tentang kosakata baca. Demikian pula, bangun kalimat yang panjang dan kompleks akan menyulitkan pembaca yang tingkat perkembangan usianya berbeda.

Uraian-uraian di atas mengimplikasikan bahwa penyusunan wacana, sekalipun menurut pengarang sudah sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak, namun tanpa mengetahui penguasaan kosakata dan kalimat yang digunakan dalam suatu bacaan wacana dan dikenal mereka, maka wacana tersebut akan gagal dalam hal keter-bacaannya.

Pengukuran terhadap penguasaan kosakata dan kalimat dalam bacaan wacana oleh anak amat penting dilakukan sebagai dasar penyusunan bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi anak-anak sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. Hal ini disebabkan oleh bahwa membaca berarti memahami isi (deep structure) bacaan. Sarana pemahaman tersebut adalah struktur luar (surface structure).

Ada yang berpendapat bahwa panjang kalimat sebagai unsur utama yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam kegiatan membaca (Harjasujana, 1997:5). Oleh karenanya, sudah sejak tahun 1921, panjang kalimat dijadikan alat ukur tingkat keterbacaan sebuah wacana, dan hampir selalu dijadikan unsur utama dalam formula-formula keterbacaan. Kalimat-kalimat yang kompleks pada umumnya panjang-panjang. Korelasi antara kompleksitas dan panjang kalimat cukup tinggi, yakni sebesar 0,775 (Harjasujana, 1997:5).

Hingga kini belum ada penelitian tentang panjang kalimat yang cocok untuk anak usia SLTP di Indonesia. Walau demikian, penelitian tentang ini sebenarnya sudah dilakukan Rudolf Flesch bagi penutur berbahasa Inggris. Hasilnya berupa skala. Ada-pun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan yang dibuat Rudolf Flesch (1974) adalah sebagai berikut:

TINGKAT KESULITAN PANJANG KALIMAT

(Jumlah Kata)

Sangat Mudah 8 atau kurang

Mudah 11

Sedang 14

(19)

Agak Sulit 21

Sulit 25

(20)

Wacana yang panjang kalimatnya 8 kata atau kurang diperkirakan cocok untuk siswa kelas 4; wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 8-11 kata cocok untuk siswa kelas 5; wacana yang panjang kalimatnya ada di antara 11-14 kata diperkirakan cocok untuk siswa kelas 6; wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 14-17 kata cocok untuk siswa kelas 7 dan 8; wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 17-21 kata cocok untuk siswa SMU; dan wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 24-29 kata cocok untuk siswa SMU dan mahasiswa.

Sementara itu, penelitian terhadap penutur berbahasa Indonesia telah dilakukan oleh Wahjawidodo, dkk. (1985) dengan subjeknya siswa SD. Penelitiannya menunjuk-kan bahwa kalimat yang maknanya mudah dipahami murid ialah kalimat yang terdiri atas paling banyak 10 kata untuk kelas 2, 15 kata untuk kelas 4, dan 20 kata untuk kelas 6, dengan catatan kata-kata yang digunakan harus yang mudah.

Skala antara yang dikemukakan Flesch dengan Wahjawidodo, dkk. tampak berbeda. Wacana yang panjang kalimatnya 8 kata atau kurang diperkirakan cocok untuk siswa kelas 4; wacana yang panjang kalimatnya berkisar antara 8-11 kata cocok untuk siswa kelas 5; wacana yang panjang kalimatnya ada di antara 11-14 kata diperkirakan cocok untuk siswa kelas 6, Sedangkan dalam skala Wahjawidodo, dkk., siswa kelas 4 panjangnya paling banyak 10 kata, lebih panjang daripada skala Flesch yang hanya 8 kata; siswa kelas 6 paling banyak 20 kata, lebih panjang daripada skala Flesch yang hanya 11-14 kata. Sementara itu, untuk siswa SLTP kelas 1 dan 2 dalam skala Flesch panjang kalimatnya antara 14-17 kata.

Menurut susunan kalimatnya, kalimat tunggal lebih mudah dipahami maknanya atau maksudnya daripada kalimat majemuk. Hal ini disebabkan kalimat majemuk lebih rumit daripada kalimat tunggal.

Keterbacaan oleh Dale dan Chall (Gilliland, 1976:13 dan Rusyana, 1984:213) didefinisikan sebagai sejauh kelompok pembaca memahaminya, membacanya dengan kecepatan optimal, dan merasa tertarik. Sekalipun di dalam keterbacaan tercakup pula pembaca, akan tetapi pengukuran bacaan melalui pembaca di sini lebih menekankan pada aspek bahasanya. Sedangkan posisi pembaca pada kemampuan membaca merujuk pada kemampuan memahami isi bacaan. Oleh karena itu, istilah yang digunakan di dalam penelitian ini bukan hanya keterbacaan tetapi juga kemampuan membaca. Artinya, keterbacaan digunakan untuk mengukur segi bacaan yang sekaligus juga melibatkan pembaca dan kemampuan membaca digunakan untuk mengukur kemampuan pembaca memahami isi bacaan.

Sehubungan dengan keterbacaan (readability), Dale dan Chall (Gilliland, 1972:12-13) mendefinisikannya sebagai berikut: the sum total (including interaction) of all those elements within a

given piece of printed materials that affects the success which a group of readers have it. The success is the extent to which they aunderstand it, read it at optimum speed and find it interesting.

Keterbacaan itu adalah jumlah seluruh unsur yang ada dalam teks (termasuk di dalamnya interaksi) yang berpengaruh terhadap keberhasilan yang dicapai oleh ke-lompok pembaca. Keberhasilan di sini meliputi keluasan materi yang dapat dipahami, membaca dengan kecepatan optimal, dan merasa tertarik dengan teks tersebut.

Definisi Dale and Chall ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan McLaughin (Gilliland, 1972:14). Menurut McLaughin keterbacaan adalah “the degree to which a given class of people find

certain reading matter compelling and, necessarily, com-prehensible”. McLaughin menekankan

keterbacaan pada karakteristik pembaca dan kemenarikan teks. Artinya, keterbacaan harus didasarkan pada karakteristik pembaca berdasarkan asumsi bahwa pembaca akan melanjutkan membaca hanya bila ia paham dan tertarik tentang hal yang dibacanya.

Berdasarkan pendapat tersebut, Gilliland (1972:12) kemudian merumuskan keter-bacaan sebagai pencocokan kemampuan pemahaman seseorang terhadap materi wacana tulisan yang dibacanya pada tingkatan tertentu (Gilliland, 1972:12; McNeill, et.al., 1980:366).

Gilliland (1972:86) menyimpulkan bahwa ada tiga ide utama yang terkait dengan keterbacaan, yakni (a) kemudahan; (b) kemenarikan; dan (c) keterpamahaman. Yang pertama berkaitan dengan

(21)

bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti besar huruf dan lebar spasi. Dari batasan ini keterbacaan dapat diukur dari kecepatan pengenalan kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, yang kesemuanya berhubungan dengan keterampilan membaca dan kejelasan tulisan (bentuk dan ukuran tulisan). Kedua berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide pada bacaan, dan penilaian keindahan gaya tulisan. Ketiga berhubungan dengan karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf. Dengan alasan teoretis, teknis dan praktis, batasan ketiga ini sering digunakan sebagai dasar studi keterbacaan. Dalam studi ini pun batasan ketiga ini yang digunakan.

Sakri (1994:165) menyatakan bahwa keterbacaan adalah derajat kemudahan sebuah tulisan untuk dipahami maksudnya. Tulisan yang tinggi keterbacaannya lebih mudah dipahami daripada yang rendah, dan sebaliknya.

Uraian tentang keterbacaan di atas mengandung makna bahwa tulisan itu harus berkualitas. Untuk menguji kualitas tulisan diperlukan alat ukur. Agar dapat diukur objek yang diukur harus memiliki sifat dapat diukur (measurable). Menurut Coupland (Klare, 1984:683) “keterbacaan merupakan variabel yang dapat diukur atau dapat dikuantifikasi dengan suatu skala tunggal dan dapat dibuat indeks dalam berbagai cara (readability is a variable that can be quantified on a single scale,

and can be indexed in quite different ways)”.

Dalam buku “Panduan Penggunaan Kata, Kalimat, dan Wacana” yang diterbitkan oleh Depdikbud (1985:39-40) disebutkan bahwa wacana disebut mudah apabila ia mempunyai tingkat keterbacaan yang tinggi. Artinya, wacana tersebut dapat dipahami oleh sebagian besar pembaca yang ditujunya. Wacana disebut sukar apabila ia mem-punyai tingkat keterbacaan yang rendah. Artinya, wacana tersebut hanya dapat di-pahami oleh sebagian kecil pembaca yang ditujunya. Menurut Klare (1984:726) meningkatnya derajat keterbacaan suatu teks dapat menambah atau meningkatkan berbagai perilaku pembaca, seperti pemahaman, pembelajaran, retensi, kecepatan membaca, efisiensi membaca, dan keberterimaan.

Menurut Hafni (1981:9) pertimbangan yang paling penting dalam pemilihan bahan pengajaran membaca adalah faktor keterbacaan. Tingkat keterbacaan atau tingkat kesukaran baca harus sesuai dengan tingkat kemampuan pembelajar. Klare (1984:727) menyatakan bahwa kemungkinan bertambahnya tingkat pemahaman tergantung pada antara lain: a) situasi penyelenggaraan tes (the test

situation); b) motivasi pembaca (reader motivation); c) tingkat keterbacaan bahan (readability level of material); d) isi bahan bacaan (content of material); dan e) kompetensi pembaca (reader competence).

Pada bagian lain Klare (1984:726) menyatakan pula bahwa: The accumulated evidence now clearly

supports the notion that improved readability can produce increases in the following kinds of reader behavior: (1) comprehension, learning, and retention; (2) reading speed and efficiency; and (3) acceptability (a general term intended to cover readership, preference, preserverence, etc.)

Tingkat keterbacaan yang lebih baik akan meningkatkan perilaku pembaca dalam (1) pemahaman, pembelajaran, dan ingatan; (2) kecepatan dan efisiensi membaca; dan (3) keberterimaan (suatu istilah umum yang di dalamnya termasuk jumlah pembaca, pilihan, dan pemeliharaan).

Dalam hal keterbacaan Rusyana (1984:213) mengemukakan bahwa keterbacaan hanya akan menjadi jelas apabila dhubungkan dengan peristiwa membaca. Peristiwa membaca dirumuskannya sebagai “Pembaca membaca bacaan dalam suatu latar”. Subjek pembaca dihubungkan dengan objek bacaan oleh predikat membaca. Dengan demikian, keterbacaan dapat diterangkan dalam hubungan pembaca dengan bacaan, yaitu sebagai kesesuaian pembaca dengan bacaan. Artinya, tingkat keberhasilan membaca ditentukan oleh tingkat kesesuaian pembaca dengan bacaannya, yang masing-masing aspeknya telah diuraikan di atas. Dale dan Chall (Gilliland, 1976:13) mengemukakan bahwa keterbacaan bacaan tertentu dalam hubungan sejauh kelompok pembaca memahaminya, membacanya dengan kecepatan optimal, dan ketertarikan terhadap bacaan.

Berbicara tentang keterbacaan Rusyana (1984:213) menyimpulkan bahwa terdapat tiga aspek keterbacaan, yakni pemahaman, kecepatan baca, dan minat, yang satu dengan lainnya saling berpengaruh. Lebih lanjut Rusyana (1984:214) menggambarkannya ke dalam hal berikut:

PEMBACA Kemampuan memahami Kemampuan membaca Kemampuan bacaan Kemudahan dibaca K ik i i d BACAAN

Gambar

Tabel  Ranah Kognitif
Tabel  Ranah Afektif

Referensi

Dokumen terkait

LAJU PERTUMBUHAN PDB TRIWULANAN ATAS DASAR HARGA KONSTAN 2000 TERHADAP TRIWULAN SEBELUMNYA, 2000-20141. I II III IV Jumlah I II III IV Jumlah I II III IV Jumlah I II III

cara sebagai berikut: (1) Pemasangan spanduk yang telah dilakukan sebanyak kurang lebih 801 buah spanduk, dipasang di daerah rawan geng motor, sekolah-sekolah,

Tumor vertebra dan medula spinalis dapat jinak atau ganas. Tumor jinak dapat mengenai tulang atau jaringan lunak. Contoh gejala yang sering dijumpai pada tumor

KERJASAMA ANTARA GURU DENGAN PUSTAKAWAN DALAM LAYANAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu. Sekolah SD Hikmah

(1) Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Terbatas atau Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang bermaksud pindah dengan klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39

Data yang dikumpulkan berupa rekapitulasi pelaksanaan GBIB di tingkat Kabupaten/Kota Provinsi Sulteng tahun anggaran 2015, meliputi jumlah petugas, jumlah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung keberhasilan shuttle diplomacy Indonesia dalam menyatukan pandangan negara-negara