HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.2.2 Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Penelitian ini menggunakan lima aspek dan indikator kemampuan
berpikir kritis yang dikemukakan Ennis yaitu: memberikan penjelasan sederhana;
membangun ketrampilan dasar; menyimpulkan; memberikan penjelasan lanjut;
serta mengatur strategi dan teknik. Aspek memberikan penjelasan lanjut terdiri
dari tiga indikator yaitu: memfokuskan pertanyaan; menganalisis argumen; dan
menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan. Aspek
membangun ketrampilan dasar terdiri dari dua indikator yaitu:
mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak; serta mengamati
dan mempertimbangkan laporan hasil observasi. Indikator pada aspek
menyimpulkan adalah membuat dan menentukan hasil
pertimbangan/menyimpulkan. Aspek memberi penjelasan lanjut terdiri dari dua
indikator yaitu: mengidentifikasi istilah-istilah dan mempertimbangkan suatu
definisi; dan memgidentifikasi asumsi-asumsi. Indikator pada aspek mengatur
Kemampuan berpikir kritis siswa dilihat berdasarkan hasil pretest dan
posttest. Pretest dan posttest berisi tentang permasalahan yang berkaitan dengan materi tekanan zat cair. Pretest digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis siswa sebelum diberi materi. Posttest digunakan untuk mengukur kemamampuan berpikir kritis siswa setelah menerima materi.
1) Memberikan penjelasan sederhana
Pada aspek memberikan penjelasan lanjut terdapat tiga indikator yaitu
memfokuskan permasalahan, menganalisis argumen, dan menjawab pertanyaan
tentang suatu penjelasan atau pernyataan. Memfokuskan pertanyaan, menganalisis
argumen, dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan pada kelompok
eksperimen saat pretest, ketiganya hanya mencapai persentase rata-rata nilai sebesar 50%. Kriteria memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan
menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan masuk dalam kategori cukup.
Kemudian saat posttest kemampuan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan meningkat menjadi
53%. Peningkatan dari pretest ke posttest sebesar 3%.
Memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan menjawab
pertanyaan tentang suatu penjelasan pada kelompok kontrol saat pretest, ketiganya hanya mencapai persentase rata-rata nilai sebesar 43%. Kriteria
memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan menjawab pertanyaan
tentang suatu penjelasan masuk dalam kategori kurang. Kemudian saat posttest kemampuan memfokuskan pertanyaan, menganalisis argumen, dan menjawab
pertanyaan tentang suatu penjelasan meningkat menjadi 59%. Peningkatan dari
pretest ke posttest sebesar 17%.
Berdasarkan uraian di atas, kemampuan memberikan penjelasan lanjut siswa
pada kelompok eksperimen baik saat pretest dan saat posttest masuk dalam kategori cukup. Peningkatan kemampuan memberikan penjelasan sederhana
hanya 3% dengan skor gain sebesar 0,06 masuk kategori rendah. Hal ini belum
mencapai target indikator keberhasilan. Sedangkan pada kelompok kontrol,
persentase rata-rata kemampuan memberikan penjelasan lanjut siswa saat pretest termasuk dalam kategori rendah naik mengalami peningkatan saat posttest
termasuk dalam katgori cukup. Hal ini menunjukan adanya peningkatan
kemampuan memberikan penjelasan sederhana pada kelompok kontrol dengan
skor gain sebesar 0,28 kategori rendah.
Skor gain pada kolompok eksperimen maupun kelompok kontrol masih
dalam kategori rendah. Hal ini menunjukan siswa masih kesulitan memahami dan
menganilis dari suatu permasalahan yang berhubungan dengan materi sehingga
siswa memberikan penjelasan dari masalah tersebut kurang tepat.
Peningkatan kemampuan memberikan penjelasan sederhana pada kelompok
kontrol lebih besar daripada kelompok eksperimen disebabkan proses
pembelajaran pada kelompok kontrol menggunakan model ekspositori. Siswa
diberi permasalahan dan guru menjelaskan secara rinci dan runtut penyelesaian
dari permasalahan tersebut sehingga saat diberikan test siswa dapat memberikan
penjelasan sederhana dari masalah dengan jawaban yang diinginkan guru.
masalah, siswa diajak menemukan sendiri pemecahan dari suatu permasalahan
dan tidak semua permasalahan dibahas rinci oleh guru, guru hanya menjelaskan
apabila terjadi kekeliruan konsep sehingga jawaban siswa sangat beragam dalam
memberikan penjelasan sederhana dan tidak semua jawaban siswa tepat.
Jadi, kemampuan siswa memberikan penjelasan sederhana belum memenuhi
indikator keberhasilan yaitu persentase rata-rata indikator mencapai kategori
cukup atau lebih ( dan skor gain lebih besar dari 0,3 termasuk dalam kategori sedang sampai tinggi.
2) Membangun ketrampilan dasar
Membangun ketrampilan dasar terdapat dua indikator yaitu
mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak, serta mengamati
dan mempertimbangkan laporan hasil observasi. Pada kelompok eksperimen
persentase rata-rata indikator mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya
atau tidak saat pretest mencapai 57% kemudian pada saat posttest meningkat menjadi 63%. Pada kelompok kontrol persentase rata-rata indikator
mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak saat pretest
mencapai 46% kemudian pada saat posttest meningkat menjadi 61%. Kriteria penilaian meningkat dari kurang menjadi cukup.
Indikator mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak
siswa diberikan pernyataan tentang konsep atau penerapannya yang berkaitan
dengan materi, kemudian siswa diajak untuk mempertimbangkan pernyataan
mana yang benar. Rata-rata siswa dapat mempertimbangkan apakah sumber dapat
Indikator kedua yaitu mengamati dan mempertimbangkan laporan hasil
observasi. Pada kelompok eksperimen persentase rata-rata indikator mengamati
dan mempertimbangkan laporan hasil observasi saat pretest mencapai 57%
kemudian pada saat posttest meningkat menjadi 79%. Kriteria yang didapat dalam
hal ini otomatis meningkat dari cukup kritis menjadi kritis. Pada kelompok
kontrol persentase rata-rata indikator mengamati dan mempertimbangkan laporan
hasil observasi saat pretest mencapai 57% kemudian pada saat posttest meningkat
menjadi 74%.
Pada indikator mengamati dan mempertimbangkan siswa diajak untuk
mengamati gambar hasil percobaan sederhana, dan berpikir untuk
mempertimbangkan hasil dari percobaan tersebut serta memberikan alasannya.
Kemampuan siswa untuk mengamati dan mempertimbangkan laporan hasil
observasi meningkat dengan baik. Siswa dapat mempertimbangkan hasil dari
sebuah permasalahan yang mereka amati.
Secara umum aspek membangun ketrampilan dasar siswa pada kelompok
kontrol maupun kelompok eksperimen sudah mencapai target indikator
keberhasilan dengan skor gain masing-masing sebesar 0,31 dan 0,33 masuk
kategori sedang dan hasil persentase rata-rata posttest mencapai kategori kritis.
Persentase rata-rata posttest dan nilai gain pada kelompok eksperimen lebih
besar dari pada presentase rata-rata posttest pada kelompok kontrol. Hal ini disebabkan proses pembelajaran pada kelompok eksperimen dengan PBL berbantuan pohon masalah, siswa diajak mengamati, menyelidiki dan mencari
untuk menyusun pohon masalah sebagai penyelesaian masalah. Proses
pembelajaran pada kelompok kontol, siswa juga diberi contoh-contoh penerapan
namun hanya melalui tanya jawab dan jika hipotesis siswa salah maka guru akan
langsung menjelaskan penyelesaian dari permasalahan. Oleh karena itu
kemampuan membangun ketrampilan dasar pada kelompok eksperimen lebih
terlatih daripada pada kelompok kontrol.
3) Menyimpulkan
Aspek menyimpulkan pada kelompok eksperimen persentase rata-rata
indikator menyimpulkan saat pretest mencapai 23% kemudian pada saat posttest meningkat menjadi 55% dengan skor gain 0,42 kategori sedang. Pada kelompok
kontrol persentase rata-rata indikator menyimpulkan saat pretest mencapai 24% kemudian pada saat posttest meningkat menjadi 50% dengan skor gain 0,34 masuk kategori sedang.
Uraian di atas menunjukan baik siswa kelompok eksperimen maupun
kelompok kontrol mengalami peningkatan pada aspek menyimpulkan. Skor gain
pada kelompok eksperimen lebih besar daripada nilai gain pada kelompok kontrol
hal ini menunjukan peningkatan kemampuan menyimpulkan kelompok
eksperimen lebih besar dari pada kelompok kontrol.
Pada aspek menyimpulkan, siswa diajak berpikir menganilisis suatu
permasalahan dan membuat kesimpulan dari permasalahan tersebut. Proses
pembelajaran pada kelompok eksperimen dengan PBL berbantuan pohon masalah
melatih kemampuan menyimpulkan siswa, karena siswa diberi permasalahan dan
penjelasan. Hal tersebut membuat kelompok ekperimen pengalami peningkatan
yang lebih besar. Namun persentase rata-rata hasil posttest kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen hampir sama karena proses pembelajaran pada kelompok
kontrol siswa juga diajak untuk menyimpulkan dan menemukan konsep dari
materi pembelajaran hanya saja hal itu dilakukan secara bersama-sama dengan
guru.
4) Memberikan penjelasan lanjut
Memberikan penjelasan lanjut terdapat dua indikator yaitu mengidentifikasi
istilah-istilah dan mempertimbangkan suatu definisi, dan mengidentifikasi
asumsi-asumsi. Presentase kemampuan mengidentifikasi istilah-istilah dan
mempertimbangkan suatu definisi pada kelompok eksperimen berdasarkan hasil
pretest dan posttest mengalami peningkatan sebesar 18% yang semula 76% termasuk kategori kritis naik menjadi 84% termasuk kategori sangat kritis.
Presentase mengidentifikasi asumsi-asumsi pada kelompok eksperimen
berdasarkan hasil pretest dan posttest mengalami peningkatan sebesar 27% yang
semula 41% termasuk kategori kurang kritis naik menjadi 68% termasuk kategori
kritis.
Presentase kemampuan mengidentifikasi istilah-istilah dan
mempertimbangkan suatu definisi pada kelompok kontrol berdasarkan hasil
pretest dan posttest belum mencapai indikator yang ditentukan peneliti walaupun mengalami peningkatan sebesar 18% yang semula 29% menjadi 47% namun
masih termasuk kategori kurang kritis. Presentase mengidentifikasi asumsi-asumsi
peningkatan sebesar 21% yang semula 23% menjadi 44% namun masih termasuk
kategori kurang kritis.
Secara umum, memberikan penjelasan lanjut pada kelompok kontrol
maupun eksperimen mengalami peningkatan dengan skor gain masing-masing
sebesar 0,25 dan 0,43. Hal ini menunjukan kemampuan memberikan penjelasan
lanjut pada kelompok eksperimen mengalami peningkatan lebih besar daripada
kelompok kontrol. Pada aspek memberikan penjelasan lanjut siswa diajak untuk
mengidentifikasikan isitilah-istilah dan asumsi-asumsi. Proses pembelajaran
dengan PBL berbantuan masalah siswa diberi permasalahan yang merupakan penerapan dari materi tekanan zat cair dan siswa diajak untuk mendefinisikan
istilah-istilah, asumsi-asumsi yang ada di permasalahan tersbut dan
mengkaitkannya dengan materi sehingga siswa dapat menemukan solusi masalah.
Sedangkan proses pembelajaran ekspositori siswa langsung diberi penjelasan oleh
guru tentang solusi masalah membuat kemampuan memberi penjelasan lanjut
pada kelompok kontrol kurang terlatih.
5) Mengatur strategi dan teknik
Indikator mengatur strategi dan teknik adalah menentukan suatu tindakan.
Siswa diberi suatu pokok bahasan atau permasalah kemudian siswa merancang
menentukan tindakan untuk mendapatkan penyelesaian. Persentase kemampuan
menentukan suatu tindakan pada kelompok eksperimen mengalami peningkatan
yang lebih besar daripada kelompok kontrol. Persentase kemampuan menentukan
suatu tindakan pada kelompok eksperimen meningkat sebesar 32% yang semula
kritis. Sedangkan pada kelompok kontrol, meningkat sebesar 16% yang semula
34% termasuk kategori kurang kritis naik menjadi 50% termasuk kategori cukup
kritis.
Mulanya siswa kebingungan untuk menentukan suatu tindakan atau mencari
solusi dari permasalahan yang diberikan, sebagian besar dari mereka belum
menuliskan tindakan yang mungkin dapat dilakukan. Jawaban yang muncul juga
baru menyebutkan alat dan bahan yang diperlukan, sebagian besar belum
memberikan penjelasan dan cara yang dilakukan untuk membuktikan hubungan
kedalaman dengan tekanan hidrodtatis, cara membedakan telur yang baik dan
yang busuk yang merupakan penerapan hukum Archimedes, dan cara percobaan
sederhana yang dapat dilakukan untuk membuktikan tekanan dalam ruang tertutup
diteruskan ke segala arah.
Pada pertemuan selanjutnya, untuk kelompok eksperimen guru mengajak
siswa menemukan sendiri tindakan yang akan dilakukan dengan membaca buku
paket atau mencari informasi dari berbagai sumber. Beberapa kelompok siswa
memberikan jawaban, kemudian guru menerangkan solusi yang benar. Hal ini
sejalan dengan Teori Brunner yang mengajunrakan pembelajaran dengan
penemuan. Menurut Trianto (2007: 26), belajar penemuan sesuai dengan
pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya
memberikan hasil yang paling baik.
Sedangkan pada kelompok kontrol guru langsung membahas permasalahan
tersebut dan memberikan solusinya. Karena itu perolehan nilai posttest yang dicapai siswa meningkat dan tindakan yang dicetuskan siswa dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaiakan permasalahan. Tindakan atau
solusi yang diberikan dapat memanfaatkan barang bekas atau benda yang ada
disekitar kita sehingga memungkinkan siswa untuk melakukan percobaan
sederhana jika mereka menginginkan.
Kemampuan berpikir kritis secara umum, untuk kelompok eksperimen
maupun kelompok kontrol mengalami peningkatan. Peningkatan kemampuan
berpikir kritis pada kelompok eksperimen lebih besar daripada peningkatan
kemampuan berpikir kritis pada kelompok kontrol. Hal tersebut disebabkan
perbedaan perlakuan antar kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen.
Pada kelompok kontrol semula rata-rata pretest 35% menjadi 53% pada posttest dan peningkatan jumlah siswa yang mencapai nilai sebesar 13%, dengan nilai peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa (N-gain) sebesar 0,28
menunjukan kategori rendah serta belum mencapai indikator keberhasilan yang
peneliti tentukan. Jumlah siswa yang mencapai nilai pada posttest kemampuan berpikir kritis juga belum memenuhi target. Saat pretest tidak ada siswa yang mencapai nilai kemudian saat posttest hanya 4 siswa yang mencapai nilai .
Pembelajaran pada kelompok kontrol menggunakan model ekspositori, guru
menerangkan secara rinci dan runtut tentang materi, guru juga memberikan
latihan-latihan soal diharapkan siswa dapat menguasai materi yang diberikan.
Kemudian guru memberikan pertanyaan-pertanyaan agar melatih kemampuan
berpikir siswa. Namun pada pembelajaran ekspositori, guru dan siswa secara
tidak berusaha menemukan sendiri konsepnya. Pembelajaran ini juga siswa
dituntut berpikir secara individu tidak secara berkelompok karena guru
memberikan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan tugas-tugas individu.
Sedangkan pada kelompok eksperimen selain menggunakan model PBL peneliti juga menggunakan bantuan pohon masalah. Di awal pertemuan, guru
menunjukan contoh pohon masalah kemudian selanjutnya siswa membuat pohon
masalah untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka dapat. Menurut
Asmoko (2014), poin penting analisis pohon masalah yaitu (a) pohon masalah
merupakan suatu alat atau teknik pendekatan untuk mengidentifikasi dan
menganalisis masalah, (b) pohon masalah menggambarkan rangkaian hubungan
sebab akibat dari beberapa faktor, (c) pohon masalah umumnya digunakan pada
tahap perencanaan. Siswa diajak berpikir secara runtut mereka dituntut
menemukan ide-ide untuk menyusun pohon masalah mereka sehingga proses
pembelajaran PBL berbantuan pohon masalah dapat melatih kemampuan berpikir
kritis siswa.
Pada kelompok eksperimen semula rata-rata pretest sebesar 46% naik menjadi 66% pada posttest, dengan nilai peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa (N-gain) sebesar 0,36 menunjukan kategori cukup dan peningkatan jumlah
siswa yang mencapai nilai sebesar 59%. Jumlah siswa yang mencapai nilai pada posttest kemampuan berpikir kritis juga sudah memenuhi target yaitu lebih dari 50% jumlah siswa keseluruhan. Saat pretest tidak ada siswa yang mencapai nilai kemudian saat posttest terdapat 37 siswa yang mencapai nilai . Nilai-nilai tersebut sudah mencapai indikator keberhasilan yang peneliti
tentukan sehingga menunjukan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) berbantuan pohon masalah yang diterapkan pada kelompok eksperimen efektif
dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Penelitian yang mendukung hasil di atas adalah penelitian Happy (2014)
menyatakan bahwa Problem Based Learning efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Penelitian Emilia (2013) menyatakan bahwa
pembelajaran dengan media pohon matematika dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa. Pohon matematika pada penelitian Emilia hampir sama
dengan pohon masalah yang dimaksud dalam penelitian ini, yang terdiri atas
permasalahan-permasalahan dan menghubungkannya dengan sebab-akibat
permasalahan.
4.2.3 Uji Hipotesis 2 (Uji Kesamaan Dua Rata-rata)
Hipotesis dua menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa pada
kelompok eksperimen dengan model PBL berbantuan pohon masalah lebih tinggi
daripada kemampuan berpikir kritis siswa pada kelompok kontrol dengan model
ekspositori. Untuk mengetahui mana yang lebih tinggi antara kemampuan berpikir
kritis siswa pada kelompok eksperimen yang menggunakan model PBL
berbantuan pohon masalah dan kemampuan berpikir kritis siswa pada kelompok
kontrol yang menggunakan model ekspositori selain dengan membandingkan
hasil juga dilakukan uji t satu pihak (kanan).
Berdasarkan hasil pengujian didapat dan dengan peluang – , dan taraf nyata , untuk uji satu fihak diperoleh . Kriteria pengujian Ho diterima jika
, dengan = 5% dan dk = n1 + n2 – 2. Karena maka Ho ditolak. Hal ini berarti kemampuan berpikir kritis pada kelompok
eksperimen lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Jadi kemampuan berpikir
kritis siswa pada pembelajaran dengan model PBL berbantuan pohon masalah lebih tinggi daripada kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran dengan
model ekspositori.
Penyebab adanya perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dikarenakan pemberian perlakuan
yang berbeda pada kedua kelas tersebut. Kelompok eksperimen diberi
pembelajaran dengan model PBL berbantuan pohon masalah, sedangkan kelompok kontrol diberikan pembelajaran dengan model ekspositori.
Kelebihan model PBL berbantuan pohon masalah daripada model ekspositori dapat dilihat dari proses pembelajaran PBL berbantuan pohon masalah
siswa diberikan permasalahan untuk menemukan konsepnya sendiri. Hal ini
sejalan dengan teori Brunner yang menganjurkakn pembelajaran dengan
penemuan. Menurut Trianto (2007: 26), belajar penemuan sesuai dengan
pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya
memberikan hasil yang paling baik.
Selain itu, pada pembelajaran PBL berbantuan pohon masalah guru berperan mendorong siswa mengumpulkan informasi yang sesuai, untuk
mendapat penjelasan tentang masalah yang dihadapi. Siswa bebas dituntut untuk
berpikir secara kritis menggali informasi yang dapat membantu mereka dalam
dilatih kemampuan berpikir kritisnya dalam menghubungkan sebab akibat dari
permasalahan sebagai penyelesaiannya. Hal tersebut sejalan dengan pandangan
rekonstrivistik. Menurut pandangan rekonstrivistik, belajar berarti mengkonstruksi
makna atas informasi dan masukan-masukan yang masuk ke dalam otak (Anni & Rifa’i, 2012: 114). Menurut teori konstruktivis yang penting adalah guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mengeksplorasi pengetahuannya
melalui pengalaman yang diperolehnya sendiri. Sedangkan pada proses
pembelajaran ekspositori, siswa juga diberikan permasalahan hanya saja siswa
dan guru bersama-sama menemukan penyelesaian dari masalah tersebut. Sehingga
pada pembelajaran ini kemampuan berpikir kritis siswa kurang terlatih, siswa
hanya berpedoman pada jawaban dari guru.
Penelitian yang mendukung hasil di atas adalah penelitian Sari (2012)
menunjukan bahwa penerapan model PBL dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis siswa. Hasil penelitian Happy (2014) juga menunjukan bahwa
kemampuan berpikir kritis siswa yang diterapkan model PBL lebih baik daripada
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang diterapkan model
konvensional.
Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat perbedaan perlakuan dan
perilaku siswa dalam pembelajaran di kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Pembelajaran PBL berbantuan pohon masalah cenderung lebih mampu melatih kemampuan berpikir kritis siswa daripada pembelajaran model
eksperimen lebih tinggi daripada kemampuan berpikir kritis siswa pada kelompok
kontrol.
Selama melakukan penelitian ada beberapa kendala yang dialami peneliti.
Peneliti menyadari bahwa peneliti masih dalam tahap pembelajaran. Untuk
menerapkan suatu model pembelajaran agar benar-benar efektif memerlukan
banyak pengalaman dalam mengajar. Di awal pembelajaran masih ada
kegiatan-kegiatan yang belum dilakukan secara tepat. Dari sisi siswa, terdapat beberapa
siswa yang pasif ketika pembelajaran berlangsung. Materi tekanan zat cair
dianggap materi yang cukup sulit untuk siswa mengaitkan dengan permasalahan
dunia nyata sehingga siswa butuh beberapa kali untuk diajarkan materi tersebut.
Kendala selanjutnya adalah waktu pertemuan yang terlalu singkat. Pada penelitian
ini, peneliti hanya bertatap muka dengan siswa selama empat kali pertemuan.
Alokasi waktu per pertemuan hanya 80 menit sehingga siswa dituntut berpikir
cepat untuk menyelesaikan permasalahan, terdapat beberapa siswa yang
membutuhkan waktu lebih lama untuk berpikir dan menyusun pohon masalah
92
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Beradasarkan hasil analisis diperoleh simpulan yaitu, pembelajaran Problem
Based Learning berbantuan pohon masalah efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas VIII SMP N 2 Boja. Kemampuan berpikir
kritis siswa SMP N 2 Boja pada materi tekanan zat cair dengan pembelajaran
Problem Based Learning berbantuan pohon masalah lebih tinggi daripada kemapuan berpikir kritis siswa dengan pembelajaran ekpositori.
5.2 Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam dunia
pendidikan sebagai usaha meningkatkan kualitas umum dalam bidang pendidikan
dan khususnya fisika. Saran yang dapat disumbangkan berkaitan dengan hasil
penelitian adalah:
Pembelajaran fisika dengan model Problem Based Learning berbantuan pohon
masalah dapat digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran pada pokok
bahasan fisika yang lain, dimana guru dapat memilih pokok bahasan yang
menurutnya dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
a. Guru harus menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran;
b. Kreatif dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran;
c. Guru lebih menggali kemampuan membuat pertanyaan dan menyajikan
permasalahan yang berkaitan dengan materi;
d. Pengelolaan kelas harus baik;
e. Menggunakan waktu dan tenaga sebaik mungkin dalam menyusun rencana
94