• Tidak ada hasil yang ditemukan

subletal pada sebagian sel yang menyebabkan penurunan jumlah sel mikroba (Fardiaz, 1990). Penurunan jumlah sel selama pembekuan dapat diketahui dengan cara menghitung jumlah sel pada interval waktu tertentu. Pada penelitian ini perhitungan jumlah Salmonella dilakukan pada interval waktu pembekuan 0 jam, 24 jam, dan 48 jam.

Sampel es diberi perlakuan thawing terlebih dahulu sebelum dilakukan proses penyembuhan. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam BAM FDA (BAM, 2006) thawing untuk semua produk beku dilakukan pada suhu di bawah 45oC selama kurang dari 15 menit atau pada suhu 2-5oC selama 18 jam. Pada penelitian ini sampel es diberi perlakuan thawing dalam water bath pada suhu 30oC selama 2 menit. Menurut Jay (1978) semakin cepat proses thawing, semakin banyak jumlah bakteri yang bertahan.

Setelah proses thawing sampel es yang mengandung kultur Salmonella diberi perlakuan penyembuhan dengan cara menumbuhkan pada media lactose broth. Lactose broth berfungsi sebagai media penyembuhan bagi Salmonella yang mengalami kerusakan subletal saat pembekuan. Menurut Fardiaz (1990) sel yang mengalami kerusakan subletal harus terlebih dahulu disembuhkan dengan medium penyembuhan supaya dapat tumbuh secara normal dan berkembang biak.

Proses penyembuhan sel yang mengalami kerusakan subletal memerlukan medium yang baik dan kaya akan nutrien, tetapi tidak

mengandung komponen selektif atau senyawa yang bersifat menghambat. Yousef dan Carlstrom (2003) menyatakan bahwa Lactose broth merupakan media yang sering digunakan dalam tahap preenrichment. Laktosa yang terdapat dalam medium tersebut mendorong penyembuhan lambat bagi sel Salmonella yang mengalami kerusakan karena penyimpanan beku.

Proses penyembuhan Salmonella pada penelitian ini dilakukan pada suhu inkubasi 37oC selama 4 jam. Bernard (2000) menyatakan bahwa lama waktu penyembuhan bagi sel yang mengalami kerusakan akibat pembekuan pada umumnya 4-5 jam pada kondisi optimum. Suhu inkubasi yang digunakan untuk penyembuhan sel yang mengalami kerusakan subletal bervariasi, yaitu antara 25-37oC, dimana suhu yang lebih tinggi akan lebih efektif untuk kebanyakan organisme mesofil (Fardiaz, 1992).

Plating untuk menghitung jumlah sel dilakukan setelah proses penyembuhan selesai. Plating dilakukan dengan menggunakan media NA dan HEA. Sel Salmonella yang tumbuh pada media NA adalah sel-sel yang rusak dan sel-sel yang normal, sedangkan yang bisa tumbuh pada media HEA hanyalah sel Salmonella yang normal saja. Hasil perhitungan dari kedua media tersebut digunakan untuk mengetahui kemampuan bertahan Salmonella selama proses pembekuan dan tingkat kerusakan subletal yang terjadi.

1. Perilaku Galur Salmonella Selama Proses Pembekuan Es Batu

Ketiga galur dan Koktil Salmonella mengalami penurunan selama pembekuan es batu. Gambar 1 dan 2 dibawah menunjukkan penurunan Salmonella (inokulum awal 3 log CFU/ml) yang terdeteksi pada media NA dan HEA.

y = -0,0167x + 2,8533 R2 = 0,9432 y = -0,0152x + 2,985 R2 = 0,8011 y = -0,0031x + 2,9017 R2 = 0,848 y = -0,0058x + 3,3433 R2 = 0,3372 1,5 1,8 2,1 2,4 2,7 3 3,3 3,6 0 10 20 30 40 50 60

Lama Pembekuan (Jam)

Ju m lah sel (Lo g C FU /m l)

Dari Gambar 1 dan 2 diatas terlihat bahwa pada konsentrasi inokulum 3 log CFU/ml ketiga galur dan Koktil Salmonella mengalami penurunan selama pembekuan baik yang terdeteksi di media NA maupun HEA. Sel Salmonella yang tumbuh pada media NA adalah sel yang sehat dan sel yang mengalami kerusakan subletal karena pengaruh pembekuan. Sementara itu, sel Salmonella

Gambar 1. Penurunan jumlah Salmonella (inokulum awal 3 log CFU/ml) selama pembekuan es batu pada media NA.

Ket : (S. Paratyphi), (S. Lexington), (S. Enteritidis), (Koktil Salmonella)

Gambar 2. Penurunan jumlah Salmonella (inokulum awal 3 log CFU/ml) selama pembekuan es batu pada media HEA.

Ket: (S. Paratyphi), (S. Lexington), (S. Enteritidis), (Koktil Salmonella) y = -0,0183x + 2,76 R2 = 0,9294 y = -0,0029x + 2,7867 R2 = 0,233 y = -0,0156x + 2,975 R2 = 0,78 y = -0,01x + 3,3967 R2 = 0,5069 1,5 1,8 2,1 2,4 2,7 3 3,3 3,6 0 10 20 30 40 50 60

Lama Pembekuan (Jam)

Jumlah se l (Log C F U /m l)

yang tumbuh pada media HEA adalah sel yang sehat saja karena pada media tersebut mengandung senyawa penghambat sehingga sel Salmonella yang mengalami kerusakan subletal tidak mampu untuk tumbuh. Secara berturut-turut, laju penurunan jumlah sel dari yang tertinggi ke yang terendah baik di media NA maupun HEA adalah Salmonella Paratyphi, Salmonella Lexington, Koktil Salmonella, dan Salmonella Enteritidis.

Laju penurunan Salmonella Paratyphi sebesar 0,0167 log CFU/ml per jam di media NA dan 0,0183 log CFU/ml per jam di media HEA. Sementara itu, laju penurunan Salmonella Enteritidis sebesar 0,0031 log CFU/ml per jam di media NA dan 0,0029 log CFU/ml per jam di media HEA. Selama pembekuan jumlah Salmonella Enteritidis relatif konstan. Koktil Salmonella yang merupakan campuran dari ketiga galur memiliki laju penurunan yang lebih tinggi daripada Salmonella Enteritidis tetapi lebih rendah daripada Salmonella Lexington dan Salmonella Paratyphi yaitu 0,0058 log CFU/ml per jam pada media NA dan 0,01 log CFU/ml per jam pada media HEA.

Gambar 3 dan 4 dibawah menunjukkan penurunan Salmonella (inokulum awal 5 log CFU/ml) yang terdeteksi di media NA dan HEA.

Gambar 3. Penurunan jumlah Salmonella (inokulum awal 5 log CFU/ml) selama pembekuan es batu pada media NA.

Ket : (S. Paratyphi), (S. Lexington), (S. Enteritidis), (Koktil Salmonella) y = -0,0102x + 4,805 R2 = 0,9697 y = -0,0083x + 4,7733 R2 = 0,9231 y = -0,0042x + 5,0233 R2 = 0,9231 y = -0,004x + 5,3217 R2 = 0,2636 4 4,3 4,6 4,9 5,2 5,5 0 10 20 30 40 50 60

Lama Pembekuan (Jam)

Ju mlah s el (Lo g C FU /m l)

Dari Gambar 3 dan 4 diatas terlihat bahwa pada konsentrasi inokulum 5 log CFU/ml ketiga galur dan Koktil Salmonella mengalami penurunan selama pembekuan baik yang terdeteksi di media NA maupun HEA. Laju penurunan sel tertinggi di media NA terjadi pada Salmonella Lexington sebesar 0,0102 log CFU/ml per jam. Akan tetapi, di media yang sama besarnya laju penurunan ini tidak jauh berbeda dengan Salmonella Paratyphi yaitu sebesar 0,0083 log CFU/ml per jam. Sementara itu, laju penurunan sel tertinggi di media HEA terjadi pada Salmonella Paratyphi yaitu sebesar 0,0133 log CFU/ml per jam.

Salmonella Lexington merupakan galur yang memiliki laju penurunan yang lebih tinggi daripada Salmonella Enteritidis tetapi masih lebih rendah daripada Salmonella Paratyphi baik pada konsentrasi inokulum 3 log CFU/ml maupun 5 log CFU/ml. Salmonella Lexington yang digunakan merupakan hasil isolasi dari udang pada tambak udang di Kabupaten Karawang. Menurut Rusyanto (2005) Salmonella Lexington merupakan galur yang dominan terdapat pada tambak udang di Kabupaten Karawang.

Berdasarkan hasil penelitian Rusyanto (2005), pada tambak udang di di Kabupaten Karawang yang diolah secara tradisional banyak ditemukan cemaran Salmonella. Terdapat tiga jenis galur yang ditemukan pada rantai

Gambar 4. Penurunan jumlah Salmonella (inokulum awal 5 log CFU/ml) selama pembekuan es batu pada media HEA.

Ket : (S. Paratyphi), (S. Lexington), (S. Enteritidis), ( Koktil Salmonella) y = -0,0133x + 4,6333 R2 = 0,9948 y = 0,0004x + 4,9433 R2 = 0,0026 y = -0,0052x + 4,945 R2 = 0,9952 y = -0,0123x + 4,6817 R2 = 0,9953 4 4,3 4,6 4,9 5,2 5,5 0 10 20 30 40 50 60

Lama Pembekuan (Jam)

Ju mlah s el (Lo g C F U /m l)

produksi udang tambak di Karawang yaitu Salmonella Lexington (11 sampel positif dari 51 sampel yang diambil atau 21,6 %), Salmonella Hadar (2 sampel positif dari 51 sampel yang diambil atau 3,9%), dan Salmonella Kirkie (2 sampel positif dari 51 sampel yang diambil atau 3,9%). Menurut Heinitz et al (2000) Salmonella Lexington merupakan salah satu jenis galur Salmonella yang sering ditemukan pada produk hasil laut yang dikirim ke Amerika antara tahun 1990-1998.

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa baik pada konsentrasi 3 log CFU/ml maupun 5 log CFU/ml, ketiga galur dan koktil Salmonella mengalami penurunan saat dibekukan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gunderson dan Rose (1948) yang menemukan bahwa Salmonella Newington, Salmonella Typhimurium, Salmonella Typhi, Salmonella Gallinarum, Salmonella Anatum, dan Salmonella Paratyphi B pada chicken chow mein yang disimpan pada suhu -25,5oC selama 270 hari mengalami penurunan.

Hasil penelitian Gunderson dan Rose (1948) menunjukkan adanya dua pola pertumbuhan yang terjadi pada keenam galur Salmonella tersebut. Pola pertama terjadi pada Salmonella Typhimurium, Salmonella Gallinarum, dan Salmonella Paratyphi B dimana Salmonella mengalami peningkatan yang besar sampai masa penyimpanan dua hari kemudian mengalami penurunan sampai penyimpanan 270 hari. Pola kedua terjadi pada Salmonella Newington, Salmonella Typhi, dan Salmonella Anatum dimana Salmonella mengalami penurunan yang terus-menerus selama masa penyimpanan 270 hari.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh diketahui bahwa selama proses pembekuan Koktil Salmonella lebih tahan daripada galur individu. Hal ini dapat dilihat dari laju penurunan koktil yang lebih rendah daripada kultur tunggal Salmonella Lexington dan Salmonella Paratyphi baik pada konsentrasi inokulum 3 log CFU/ml dan 5 log CFU/ml. Bahkan pada konsentrasi inokulum 5 log CFU/ml laju penurunan Koktil Salmonella hanya sebesar 0,004 log CFU/ml per jam pada media NA dan 0,0004 log CFU/ml per jam pada media HEA. Menurut Kohn dan Lion (1961) dalam Brock (1966), ketika organisme dibekukan terjadi fenomena perlindungan diri dengan jalan

kerjasama antar sel. Pada kerapatan populasi yang tinggi sel lebih tahan terhadap pembekuan daripada sel dengan kerapatan populasi yang rendah.

Dari ketiga galur yang diujikan, baik pada konsentrasi inokulum 3 log CFU/ml maupun 5 log CFU/ml Salmonella Paratyphi merupakan galur yang memiliki laju penurunan jumlah sel yang paling tinggi sedangkan Salmonella Enteritidis memiliki laju penurunan yang paling rendah. Tingginya penurunan jumlah sel Salmonella Paratyphi terkait dengan rendahnya sifat host adaptive Salmonella tersebut. Menurut del Portillo (2000) Salmonella Paratyphi hanya bisa menginfeksi manusia sedangkan Salmonella Enteritidis bisa menginfeksi manusia, binatang ternak (sapi), unggas, domba, babi, kuda dan binatang pengerat (tikus). Hal inilah yang menyebabkan Salmonella Paratyphi tidak bisa bertahan dengan baik selain pada host alaminya.

Melihat ketahanan Salmonella Enteritidis yang tinggi pada saat pembekuan, tidak heran jika galur ini sering dikaitkan dengan kejadian keracunan pangan karena produk es. Menurut laporan Lund (2000) Salmonella Enteritidis merupakan galur yang berkali-kali menjadi penyebab keracunan pangan karena konsumsi produk es krim di Jerman pada tahun 1980, di Inggris pada tahun 1991, di Amerika Serikat pada tahun 1993 dan 1994, dan di Jerman pada tahun 1996 dan 1997. Laporan ini sesuai dengan penelitian ini yang menunjukkan tingginya ketahanan Salmonella Enteritidis pada es batu dibandingkan dua galur uji lainnya.

Melalui penelitian ini dapat dilihat bahwa setiap galur memiliki laju penurunan yang berbeda-beda. Menurut D’Aoust (2000), perilaku Salmonella selama penyimpanan beku salah satunya tergantung pada jenis Salmonella yang diujikan. Jumlah Salmonella yang hidup berangsur-angsur menurun selama penyimpanan beku pada suhu -20oC atau lebih rendah.

Menurut Bernard (2000) penurunan ini terjadi karena sel mengalami kerusakan pada membran terluar sel yang terdiri dari lipopolisakarida sehingga mengakibatkan kematian sel. Kerusakan ini menimbulkan kematian jika sel tidak bisa kembali seperti semula. Hal ini merupakan akibat dari hilangnya fungsi membran (kontrol permeabilitas membran), kehilangan magnesium yang mengakibatkan tidak stabilnya ribosom dan kegagalan

Gambar 5. Perbandingan tingkat kerusakan subletal Salmonella (inokulum awal 3 log CFU/ml) pada es batu

Ket : = Pembekuan 24 jam

= Pembekuan 48 jam 0,22 0 0 0,17 0,16 0,04 0,05 0,16 0 0,1 0,2 0,3 0,4

S. Enteritidis S. Lexington S. Paratyphi Koktil Salmonella S el su b let a l (Log CFU /ml )

proses perbaikan DNA, serta kehilangan kofaktor yang akan mengganggu proses kontol metabolisme. Jika kondisi ini berlangsung dalam waktu yang lama maka sel akan mengalami kematian.

Selain laju penurunan yang berbeda pada masing-masing galur, dari gambar diatas dapat dilihat bahwa konsentrasi inokulum awal tiap kultur mengalami sedikit perbedaan. Sebagai contoh, jumlah sel sebelum dibekukan untuk konsentrasi inokulum 5 log CFU/ml di media NA sebesar 4,74 log CFU/ml untuk Salmonella Paratyphi; 4,83 log CFU/ml untuk Salmonella Lexington; 5,04 log CFU/ml untuk Salmonella Enteritidis dan 5,23 log CFU/ml untuk Koktil Salmonella. Sedikit perbedaan pada konsentrasi inokulum awal ini diduga disebabkan oleh perbedaan jumlah sel yang terambil pada tahap persiapan inokulum. Pada tahap persiapan inokulum sebanyak 1-2 ose kultur dari NA miring dipindahkan ke dalam media NB. Pengambilan kultur sebanyak 1-2 ose inilah yang menyebabkan peluang terambilnya jumlah sel yang berbeda-beda.

2. Kerusakan Subletal Galur Salmonella pada Es Batu

Perbandingan tingkat kerusakan subletal Salmonella selama pembekuan es batu dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.

Gambar 6. Perbandingan tingkat kerusakan subletal Salmonella (inokulum awal 5 log CFU/ml) pada es batu

Ket : = Pembekuan 24 jam

= Pembekuan 48 jam 0,1 0,3 0,23 0,36 0,19 0,06 0,26 0,15 0 0,1 0,2 0,3 0,4

S. Enteritidis S. Lexington S. Paratyphi Koktil Salmonella S el su b let al (C FU /m l)

Dari Gambar 5 dan 6 diatas dapat dilihat bahwa Salmonella Paratyphi mengalami tingkat kerusakan subletal yang lebih tinggi dibandingkan dengan galur lainnya. Tingkat kerusakan subletal Salmonella Paratyphi setelah pembekuan 48 jam, pada konsentrasi inokulum 3 log CFU/ml sebesar 0,16 log CFU/ml sedangkan pada konsentrasi inokulum 5 log CFU/ml sebesar 0,36 log CFU/ml.

Tingkat kerusakan subletal Salmonella Enteritidis pada konsentrasi inokulum 3 log CFU/ml dan 5 log CFU/ml cenderung rendah dibanding ketiga galur lainnya. Akan tetapi, pada konsentrasi inokulum 3 log CFU/ml kerusakan subletal Salmonella Enteritidis setelah pembekuan 24 jam lebih tinggi dibandingkan setelah pembekuan 48 jam. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sel belum beradaptasi dengan suhu dingin sehingga tingkat kerusakan sel menjadi tinggi yaitu sebesar 0,22 log CFU/ml.

Tingkat kerusakan ketiga galur dan Koktil Salmonella pada konsentrasi inokulum 5 log CFU/ml lebih tinggi dari pada konsentrasi inokulum 3 log CFU/ml. Selain karena pengaruh pembekuan, hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadinya kompetisi terhadap nutrisi

untuk konsentrasi inokulum 5 log CFU/ml lebih tinggi dibandingkan konsentrasi inokulum 3 log CFU/ml.

Tingkat kerusakan subletal ketiga galur dan Koktil Salmonella setelah pembekuan tidak mencapai 1 log CFU/ml. Es batu pada penelitian ini dibuat dari air aquades sehingga pengaruh tekanan osmosis selama pembekuan akibat adanya zat terlarut menjadi berkurang. Berkurangnya pengaruh osmosis akan menurunkan jumlah sel yang mengalami kerusakan. Lund (2000) menyatakan bahwa pengaruh meningkatnya konsentrasi padatan terlarut ekstraseluler pada bakteri selama pembekuan berkurang jika sel dibekukan pada medium aquades.

Selain itu kemampuan Salmonella untuk beradaptasi terhadap suhu rendah dibantu oleh adanya sintesis cold shock proteins. Menurut Craig et al. (1998) pada kondisi suhu pendinginan Salmonella akan memproduksi cold shock proteins yang berfungsi sebagai pengantar dan pelindung enzim, protein, asam nukleat dan ribosom di dalam sel. Protein ini akan melindungi sel dari pengaruh cold shock yang merusak permeabilitas membran sitoplasma bakteri. Menurut Ulusu dan tezcan (2001) gen cold shock proteins (CSPs) pada Salmonella terdiri dari cspA, cspB, cspC, cspE, dan cspH. Sintesis protein ini diatur pada konsentrasi transkripsi. Sampai saat ini mekanisme protein tersebut dalam melindungi Salmonella dari efek kerusakan sel akibat pendinginan dan pembekuan belum diketahui.

C. KEMAMPUAN BERTAHAN KOKTIL SALMONELLA PADA ES

Dokumen terkait