Bobot gabah/rumpun (hasil) 33.78 1.32 * 478.15 409.19 22
KEMAMPUAN MENGHASILKAN RATUN BEBERAPA PADI VARIETAS HIBRIDA DAN INBRIDA
Evaluation of Ratooning Ability of Hybrid and Inbred Rice Varieties
ABSTRAK
Kemampuan menghasilkan ratun 12 varietas padi hibrida dan inbrida berdasarkan karakter agronomi dievaluasi di rumah kaca. Tujuan penelitian mendapatkan varietas padi hibrida dan inbrida yang memiliki potensi ratun tinggi. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi ratun varietas padi hibrida lebih baik dibandingkan varietas inbrida dengan rata-rata produksi 75.2% dari tanaman utama. Berdasarkan perbandingan antara produktivitas relatif dan produksi riil ratun yang diamati (bobot biji per rumpun), diperoleh enam varietas padi yang tergolong sangat potensial, tiga varietas menengah, dan tiga varietas dianggap rendah. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa varietas padi hibrida memiliki potensi ratun yang tinggi dan berpeluang untuk dikembangkan dalam meningkatkan produktivitas padi dengan sistem ratun. Benih padi hibrida dapat dimanfaatkan untuk dua kali panen. Tunas ratun mulai keluar 5-6 hari setelah panen, dengan 2-4 daun per malai. Jumlah anakan ratun berkisar 5.5-26.0 per rumpun, dengan rata-rata waktu panen adalah 69 hari setelah panen tanaman utama.
ABSTRACT
The ratooning ability of 12 hybrid and inbred rice varieties was evaluated in green house based on agronomic characters. The purpose of the research was to determine hybrid and inbred rice varieties having high ratoon potential. Experiment was arranged in a randomized block design with three replications. The results showed that hybrid rice varieties had better productivity both main crop and ratoon, with an average yield of ratoon 75.2% of main crops. Based on analysis of relative and real productivity of ratoon, six varieties were considered as high, three varieties were medium, and three varieties were considered as low in ratoon yield. The results indicat that hybrid rice varieties have good potential to improve productivity in a ratoon system. Ratoon growth started at 5-6 days after harvest, with 2-4 leaves per panicle. The number of ratoon tiller ranged from 5.5 to 26.0 per hill. Average time of maturity was 69 days after harvest of the main crop.
PENDAHULUAN
Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produktivitas padi nasional antara lain penggunaan varietas padi berdaya hasil tinggi, dan penyediaan input produksi yang murah dan mudah diperoleh, seperti benih, pupuk dan pestisida. Dalam budidaya padi, penggunaan varietas yang diikuti dengan pemberian input produksi yang cukup, secara nyata meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Varietas padi berdaya hasil tinggi antara lain varietas hibrida dan varietas unggul baru (inbrida). Kedua kelompok ini memiliki keunggulan masing-masing, dan dapat meningkatkan indeks pertanaman 2-3 kali per tahun pada sawah beririgasi (Satoto dan Suprihatno 2008).
Varietas padi hibrida merupakan keturunan pertama (F1) dari persilangan antara dua galur padi yang berbeda yaitu galur mandul jantan (cytoplasmic male sterile/CMS line) sebagai tetua betina, dengan galur pemulih kesuburan (restorer line) sebagai tetua jantan (Satoto dan Suprihatno 2008). Dengan demikian, sifat- sifat varietas padi hibrida ditentukan oleh sifat-sifat kedua tetuanya. Keunggulan padi hibrida adalah hasil yang lebih tinggi dibanding padi inbrida dan vigor tanaman lebih baik sehingga lebih kompetitif terhadap gulma (Virmani et al. 1997). Dari aspek fisiologi, aktivitas perakaran dan area fotosintesis padi hibrida lebih luas, intensitas respirasi lebih rendah dan translokasi asimilat lebih tinggi. Karakteristik morfologi padi hibrida menunjukkan sistem perakaran lebih kuat, anakan banyak, jumlah gabah per malai dan bobot 1000 butir gabah tinggi. Kelemahan padi hibrida antara lain : harga benih mahal, petani harus membeli benih yang baru setiap tanam, karena benih hasil sebelumnya tidak dapat dipakai untuk pertanaman berikutnya, tidak setiap galur atau varietas dapat dijadikan sebagai tetua padi hibrida. Di sawah irigasi, produksi padi hibrida mampu meningkatkan produktivitas 10%-15% dibanding padi inbrida (Suprihatno et al. 1994).
Varietas unggul (inbrida) merupakan teknologi yang mudah, murah, dan aman dalam penerapan, serta efektif meningkatkan hasil. Varietas inbrida, dihasilkan dari persilangan galur atau tanaman terseleksi (termasuk landrace) dan dilanjutkan dengan persilangan acak selama beberapa generasi (penggaluran) hingga diperoleh galur murni. Teknologi tersebut murah dan mudah karena benih
dapat diusahakan sendiri oleh petani, tahan hama dan penyakit serta relatif aman terhadap lingkungan. Menurut Susanto (2003) sebanyak 150 varietas padi inbrida telah dihasilkan dan ditanam pada sekitar 80% total areal padi di Indonesia.
Hampir semua genotipe padi, termasuk varietas hibrida dan inbrida, mampu menghasilkan ratun, yaitu rumpun tanaman padi yang telah dipanen dan tumbuh kembali menghasilkan anakan baru (Wu et al. 1998; Nakano dan Morita 2007). Dalam kaitannya dengan perakitan varietas padi di Indonesia, keunggulan varietas dalam menghasilkan ratun dan besarnya produksi yang dapat disumbangkan dari ratun belum banyak diperhatikan, padahal budidaya padi dengan ratun, mensyaratkan input murah dan mudah, serta menguntungkan. Ratun berpotensi meningkatkan produksi hingga 66% per musim tanam jika dilakukan pengelolaan yang baik (Nair dan Rosamma 2002; Santos et al. 2003). Informasi ratun di Indonesia sangat terbatas. Studi-studi tentang ratun padi selama ini telah banyak dilakukan di India, Cina dan Filipina yang memiliki genotipe dan lingkungan atau kondisi iklim yang berbeda dengan di Indonesia. Genotipe atau varietas yang mempunyai kemampuan tinggi perlu diidentifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi kemampuan padi varietas hibrida dan inbrida Indonesia dalam menghasilkan ratun, berdasarkan karakter-karakter agronominya.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan IPB, Cikabayan dan di Laboratorium Terpadu, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan September 2007 – Mei 2008.
Bahan Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan adalah 12 genotipe padi yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, yaitu: enam varietas hibrida (Hipa-3, Hipa-4, Hipa-5, Hipa-6, Maro, dan Rokan) dan enam varietas inbrida (Batanghari, Ciherang, IR 42, Margasari, Mekongga dan Sintanur). Deskripsi varietas tersebut telah dibahas oleh Suprihatno et al. (2007).
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 12 perlakuan varietas padi, dan diulang tiga kali, sehingga total terdapat 36 satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas dua ember plastik berwarna hitam dan setiap ember ditanam satu bibit. Jumlah ember yang digunakan sebanyak 72 buah. Ember-ember tersebut diisi campuran tanah sawah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 (v/v), dengan bobot total sekitar 10 kg/ember.
Data berupa tinggi tanaman, anakan produktif, panjang malai, gabah isi, gabah hampa, umur berbunga, umur panen, bobot 1000 butir dan hasil dari tanaman utama dan ratun, diolah dengan program SAS 9.0 (uji F). Jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%.
Untuk mendapatkan kelas ratun tinggi, sedang dan rendah, dibuat kriteria berdasarkan produksi relatif dan produksi riil (Tabel 7).
Tabel 7. Kriteria potensi ratun tinggi, sedang dan rendah berdasarkan produksi relatif dan produksi riil.
Kriteria Produksi relatif Produksi riil Potensi ratun tinggi > 50% dari tanaman
utama
> 2 t/ha atau > 12.5 g/rumpun Potensi ratun sedang 30-49% dari tanaman
utama
1-2 t/ha atau 6.25-12.5 g/rumpun
Potensi ratun rendah 10-29% dari tanaman utama
< 1 t/ha atau < 6.5 g/rumpun
Pelaksanaan Penelitian
Benih disemai dalam bak plastik, hingga berumur 15 hari. Bibit dipindahkan ke dalam ember yang telah disiapkan, sebanyak satu bibit per ember. Pupuk urea, SP36 dan KCl diberikan dengan dosis 1.6 g urea (250 kg/ha), 0.6 g SP36 (100 kg/ha) dan 1.5 g KCl (150 kg/ha) per ember, sesuai rekomendasi pemupukan padi sawah di wilayah BPP Dramaga, Bogor (Sugiyanta, 2008). Setengah dari dosis pupuk urea dan seluruh pupuk SP36 dan KCl diberikan pada saat tanam, dan sisa urea diberikan pada empat minggu setelah tanam. Penyiraman dilakukan setiap 2-3 hari atau ketika air di permukaan tanah mulai mengering, penambahan air dilakukan sampai ketinggian air sekitar 5 cm. Pemeliharaan dilakukan secara intensif, dan insektisida diberikan apabila terdapat gejala serangan organisme pengganggu.
Panen dilakukan saat 80% bulir pada malai berwarna kuning. Setelah panen tanaman utama, dilakukan pemotongan setinggi 10 cm dari permukaan tanah, kemudian dilakukan penggenangan air dengan ketinggian 5 cm. Pupuk urea, SP- 36 dan KCl diberikan sebanyak setengah dosis tanaman utama, dua hari setelah panen. Tunas dianggap sebagai anakan ratun jika telah memiliki sedikitnya dua daun yang telah membuka sempurna.
HASIL DAN PEMBAHASAN