• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH TINGGI PENGGENANGAN AIR SELAMA PERIODE GENERATIF TERHADAP HASIL RATUN

Utama Ratun Utama Ratun

PENGARUH TINGGI PENGGENANGAN AIR SELAMA PERIODE GENERATIF TERHADAP HASIL RATUN

Effect of Water Level During Generative Periods to Rice Ratoon Production

ABSTRAK

Penelitian bertujuan mengevaluasi tinggi genangan air selama periode generatif terhadap hasil ratun, dan mendapatkan informasi fisiologi dalam meningkatkan produktivitas ratun. Penelitian dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok dua faktor dan tiga ulangan. Faktor utama tiga tingkat genangan air yaitu : 0 cm (macak-macak), 2 cm (basah) dan 5 cm (tergenang). Faktor kedua adalah lima genotipe padi terpilih dari hasil penelitian sebelumnya, yaitu varietas Cimelati, hibrida Hipa-5 dan Rokan, serta dua galur PTB sawah yaitu IPB106-7- 47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1. Pengamatan dilakukan terhadap karakter pertumbuhan dan produksi tanaman utama dan ratun, serta fisiologi ratun berupa kandungan sukrosa dan klorofil daun. Data dianalisis dengan uji F, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%. Hasil menunjukkan penggenangan 0-2 cm, meningkatkan pertumbuhan, hasil dan komponen hasil ratun, serta meningkatkan kandungan klorofil total dan sukrosa daun. Bobot kering jerami meningkat dan berkorelasi dengan hasil ratun dengan R2= 0.315. Pada penggenangan 0-2 cm galur IPB106-F-8-1, menghasilkan jumlah gabah total dan gabah isi > 200 butir/malai, serta bobot kering jerami yang tinggi. Pada penggenangan 2 cm kandungan klorofil total dan sukrosa daun tinggi, tetapi hanya varietas Hipa-5 yang nyata meningkat dan berbeda, dengan hasil ratun sebesar 66.0% terhadap tanaman utama.

Kata kunci : klorofil, produksi ratun, sukrosaABSTRACT

The objectives of the study were to evaluate the height of water level during reproductive periods to ratoon, and to determine physiologica information in order to improve the productivity of ratoon. The research used two-factor in a randomized block design with three replications. The first factor was three-level of water, i.e. : 0 cm, 2 cm and 5 cm. The second factor was rice genotypes i.e. Cimelati, Hipa-5, Rokan, IPB106-7-47-Dj-1 and IPB106-F-8-1. Observations were conducted on characters of growth and production of main crops and ratoon, and observations on the physiology of ratoon (sucrose and chlorophyll content). Data were analyzed by ANOVA and DMRT at 5% level, using SAS program. The results showed that level of water 0 cm and 2 cm, increased growth characters, yield and yield components of ratoon, and increased total content of chlorophyll and leaf sucrose. Dry mass was increased and correlated with the ratoon yield with R2=0.315. At level of water 0 cm and 2 cm, IPB106-F-8-1, resulted in total grain and filled grain more than 200 grains/panicle and straw dry weight was also higher than those of 5 cm water level. At 2 cm water level, Hipa-5 had the highest total chlorophyll and chlorophyll b. However, each sucrose was not affected by water level treatment.

PENDAHULUAN

Padi adalah tanaman semi aquatic, dapat tumbuh dengan baik dari fase bibit hingga fase dewasa pada kondisi air tersedia, bahkan pada saat terjadi genangan. Tanaman padi dapat ditanam di beberapa ekosistem, seperti dataran rendah, irigasi, tadah hujan, air dalam, dan pasang surut. Respon tanaman terhadap defisit air tergantung pada intensitas dan lamanya kondisi tersebut dialami serta fase pertumbuhan tanaman. Pada tanah sawah penggenangan dapat menyebabkan berbagai perubahan sifat kimia dan biologi tanah yang mempengaruhi ketersedian dan penyerapan hara oleh padi sawah. Perubahan sifat kimia tersebut hampir selalu dipengaruhi oleh proses reduksi-oksidasi secara biologis sebagai akibat dari kurangnya oksigen. Oksigen dalam air genangan yang mencapai tanah atau sedikit di bawah permukaan tanah, dengan cepat digunakan oleh mikroorganisme untuk berbagai reaksi kimia. Pada tanah masam, pengenangan dapat menyebabkan kenaikan pH (Hardjowigeno 2003).

Secara normal jumlah air yang diperlukan tanaman padi per hektar berbeda- beda sesuai genotipe dan fase petumbuhannya. Padi sawah memerlukan air cukup banyak dan genangan air diperlukan untuk menekan pertumbuhan gulma. Pada padi varietas unggul, tinggi genangan air umumnya 50-75 mm, dengan maksimum genangan air sekitar 150 mm. Pada padi lokal genangan air yang diperlukan lebih tinggi yaitu 100-120 mm. Pemberian air atau penggenangan secara bertahap (terputus) dapat mengubah iklim mikro di sekitar tanaman, seperti meningkatkan kelembaban tanah dan mengurangi fluktuasi suhu pada siang dan malam hari (Rohmat dan Suardi 2007).

Pada fase vegetatif pemberian air selama 2 sampai 3 hari sebelum tanam, bertujuan mempermudah pemberian pupuk dasar dan mempermudah penanaman. Pada fase primordia tinggi genangan 7-10 cm, tujuannya agar kelembaban dan suhu tanaman terjaga dan proses pembentukan bakal malai tidak terganggu. Memasuki fase generatif khususnya fase pemasakan, kebutuhan air mulai berkurang bahkan harus dikeringkan ketika 2 minggu sebelum panen, agar pemasakan malai padi merata dan pematangan biji lebih cepat (Rohmat dan Suardi 2007). Kondisi ini penting untuk mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tanaman padi, sehingga dapat memperbaiki perkembangan akar, meningkatkan ketersedian hara,

mengubah morfologi dan fisiologi padi, yang mendukung berlangsungnya proses fotosintesis dengan baik (Marschner 1995).

Pada usahatani padi dengan sistem ratun, kelangsungan proses fotosintesis sangat ditentukan oleh keadaan tunggul tanaman yang masih tersisa setelah panen tanaman utama, demikian juga dengan daya vigor dari sistem perakarannya. Tunggul yang vigor merupakan prasyarat untuk keberhasilan tanaman ratun. Hal ini dapat dipengaruhi oleh genotipe tanaman dan faktor lingkungan lainnya seperti kelembaban, suhu dan cahaya. Ratun akan menghasilkan tunas jika keadaan tunggul setelah panen tetap hijau (Charoen 1993), dan diperlukan ketersediaan air untuk mempertahankan daya vigor pada tunggul setelah panen (Dawn 2001).

Pengelolaan air sebelum dan setelah panen tanaman utama mempengaruhi daya hasil ratun (Jason 2005). Dalam hubungannya dengan tinggi pemotongan panen, Jason (2005) dan Nakano et al. (2009), menjelaskan bahwa apabila penggenangan air dilakukan sebelum panen tanaman utama, yang diberikan macak-macak, maka tinggi pemotongan panen tanaman utama umumnya rendah atau 5 cm dari permukaan tanah. Keadaan ini cukup memacu pertumbuhan tunas ratun. Penggenangan berikutnya terhadap ratun dapat dilakukan ketika tunas ratun telah mencapai 10-15 cm, sebab jika dilakukan segera setelah panen tanaman utama dapat mengakibatkan tunggul tergenang dan mengalami kematian (Jason 2005; Nakano et al. 2009). Sebaliknya apabila lahan dikeringkan menjelang panen, tinggi pemotongan tunggul umumnya lebih tinggi atau sekitar 15 cm dari permukaan tanah. Dengan demikian penggenangan terhadap ratun dapat dilakukan segera setelah panen tanaman utama dan tunggul tidak tenggelam. Tunggul yang tersisa terlihat tetap hijau dan vigor, serta nyata mempercepat pertumbuhan tunas ratun dan menghasilkan pertumbuhan yang seragam (Jason 2005).

Penggenangan dapat membantu pergerakan hara dalam tanah, sehingga mudah diserap oleh akar. Penggenangan juga meningkatkan translokasi asimilat dari tunggul tanaman utama ke bagian lain terutama ke bagian pembentukan tunas-tunas ratun (Jason 2005). Ratun yang kekurangan air mengakibatkan tunggul kering dan tidak mampu menghasilkan tunas-tunas ratun. Pada fase yang

lebih lanjut kekurangan air menyebabkan malai yang dihasilkan hampa (Dawn, 2001).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tinggi genangan air selama periode generatif terhadap pertumbuhan dan produksi ratun, serta mendapatkan informasi fisiologi dalam meningkatkan produktivitas ratun.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2009 – Juli 2010, di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB Bogor (± 240 meter di atas permukaan laut), dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor.

Bahan Penelitian

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah lima genotipe padi yang sama dengan pengujian sebelumnya yaitu : varietas semi PTB Cimelati, varietas hibrida (Hipa-5 dan Rokan), dan galur PTB sawah (IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1). Bahan lainnya adalah tanah, pupuk kandang, pupuk urea, SP36, dan KCl. Bahan tanaman berasal dari pemulia tanaman padi pada Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, dan IPB.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor dengan tiga ulangan. Faktor pertama berupa tiga tingkat genangan air yaitu 0 cm, 2 cm dan 5 cm. Faktor kedua lima genotipe padi yaitu : varietas semi PTB Cimelati, varietas hibrida Hipa-5 dan Rokan, dan galur PTB sawah IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106- F-8-1. Jumlah satuan percobaan adalah 5 x 3 x 3 = 45. Data dari semua peubah yang diamati baik untuk tanaman utama maupun ratun dianalisis ragam dengan uji F, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian

Benih kelima genotipe padi yang akan diuji disemai dalam bak plastik berisi tanah subur hingga berumur 15 hari. Bibit dipindahkan ke dalam ember plastik hitam yang berisi tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 (v : v), dengan jumlah tanah sekitar 10 kg/ember. Bibit ditanam di ember yang berisi

tanah dalam kondisi macak-macak, dengan jumlah satu bibit per ember. Pupuk urea, SP36, dan KCl diberikan dengan dosis 1.6 g urea (250 kg/ha), 0.6 g SP36 (100 kg/ha) dan 0.9 g KCl (150 kg/ha) per ember. Dosis tersebut sesuai rekomendasi pemupukan padi sawah di wilayah BPP Dramaga, Bogor (Sugiyanta, 2008). Setengah dari dosis pupuk urea dan seluruh pupuk SP36 dan KCl diberikan pada saat tanam dan sisa urea diberikan empat minggu setelah tanam. Penyiraman tanaman utama dilakukan secara berselang setiap dua hari dengan ketinggian air 2 cm hingga memasuki fase pemasakan (gabah mulai berisi dengan cairan seperti susu). Pada fase pemasakan tanaman utama (gabah matang susu, gabah setengah matang, gabah matang penuh) pemberian air mulai diatur sesuai perlakuan yaitu 0 cm, 2 cm dan 5 cm, yang diberikan secara berselang yaitu setiap dua hari hingga panen ratun. Pemberian insektisida hanya dilakukan apabila terdapat gejala serangan organisme pengganggu.

Panen tanaman utama dilakukan apabila bulir pada malai telah berwarna kuning mencapai 80%. Setelah panen tanaman utama dilakukan pemotongan tanaman padi hingga tersisa tunggul setinggi 20 cm dari permukaan tanah, sesuai tinggi pemotongan yang terpilih dari penelitian sebelumnya. Penyiraman atau pemberian air diberikan sesuai perlakuan yaitu 0 cm, 2 cm dan 5 cm, yang diberikan secara berselang setiap dua hari hingga panen ratun. Pupuk diberikan dua hari setelah panen tanaman utama dengan dosis 100 kg urea/ha urea dan 75 kg SP-36/ha atau setara dengan 45 kg N dan 27 kg P2O5 per hektar, setara dengan 0.6 g urea/ember dan 0.5 g SP-36/ember. Tunas yang muncul dari bekas potongan tanaman utama dianggap sebagai ratun jika telah memiliki sedikitnya dua daun membuka sempurna, tanpa membedakan ukuran daun.

Pengamatan terhadap tanaman utama dan ratun meliputi karakter pertumbuhan dan karakter produksi mengacu kepada petunjuk pada SES (1996), sebagai berikut : tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai terpanjang (cm); diamati saat stadia masak susu atau menjelang panen. Jumlah anakan produktif yang diamati setelah keluar panen, atau jumlah anakan total yang diamati saat stadia bunting. Umur berbunga, diamati jumlah hari saat tanaman berbunga 50%. Jumlah gabah per malai, dihitung total keberadaan gabah dalam satu malai, baik hampa maupun bernas. Jumlah gabah isi per malai,

dihitung dari jumlah gabah yang bernas dalam satu malai. Jumlah gabah hampa per malai, dihitung jumlah gabah kosong dalam satu malai. Bobot 1000 biji (gram), diamati dengan menimbang 1000 butir gabah bernas yang berkadar air 13–14%. Pengukuran kehijauan daun digunakan alat Soil Plant Analysis Development (SPAD-502).

Khusus pada ratun, dilakukan pengamatan fisiologi daun. Daun yang diamati diambil saat ratun berumur 3 minggu setelah panen tanaman utama atau masa reproduktif aktif. Jumlah daun yang diambil sebanyak dua daun per rumpun dan daun yang diambil adalah daun kedua dari atas atau di bawah daun bendera. Analisis dilakukan terhadap kandungan sukrosa dan klorofil daun ratun baik klorofil total, klorofil a maupun klorofil b. Teknik pelaksanaan mengacu kepada Yoshida et al. (1976).

HASIL DAN PEMBAHASAN