• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Kemandirian Nelayan pada Usaha Penangkapan Ikan Demersal

2.4.2. Kemandirian Emosional

2.4.2.1. Melepas Ketergantungan dari Otoritas Keluarga

Istilah otoritas (authority) menunjuk kepada kekuatan yang telah melembaga dan dikenal oleh individu yang bersangkutan. Pada umumnya, sosiolog menggunakan istilah ini dalam kaitannya dengan legitimasi kekuasaan melalui pengakuan atau pemilihan kedudukan (Schaefer, 1989: 386).

Umumnya, anak laki-laki tertua dalam masyarakat patriarkhal memegang otoritas yang lebih besar (Schaefer, 1989: 323, Popenoe, 1989: 361). Laki-laki (patriark) tersebut bisa kakek atau paman dalam struktur keluarga besar (extended family) atau ayah dalam keluarga inti (nuclear family). Patriark ini merupakan pengambil keputusan dalam keluarga mengenai tempat tinggal, penggunaan alat, termasuk penentuan pernikahan bagi anak-anak (Popenoe, 1989: 361).

Hurlock (1980: 279) menulis bahwa banyak orang dewasa muda yang tidak tertarik pada jenis pekerjaan yang selama ini telah ditekuni oleh orang tua atau sanak keluarganya. Meskipun dalam kenyataannya menunjukkan bahwa ada orang

yang memperoleh pekerjaan pertamanya mirip atau ada hubungannya dengan pekerjaan ibu, bapak atau sanak saudara mereka, namun kecenderungan umum ini tidak terjadi apabila orang dewasa muda tersebut memiliki tingkat pendidikan dan pelatihan yang jauh lebih tinggi dari pada orang tuanya. Namun demikian, masih banyak orang dewasa yang masih bingung tentang apa yang akan dikerjakan dalam hidupnya.

Santrock (dalam Desmita, 2006: 218-219) menulis bahwa keterikatan dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosialnya, antara lain seperti tercermin dalam penyesuaian emosional. Remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tua mereka, memiliki kesejahteraan emosional yang lebih baik. Sebaliknya, ketidakdekatan (detachment) emosional dengan orang tua berhubungan dengan

perasaan-perasaan akan penolakan dengan orang tua yang lebih besar serta perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantis yang dimiliki diri sendiri.

2.4.2.2. Melepas Ketergantungan dari Ikatan Patron-klien

Struktur sosial dalam masyarakat nelayan umumnya dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Kuatnya ikatan patron klien merupakan konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang penuh resiko dan ketidakpastian. Hubungan patron-klien ini umumnya merupakan ikatan emosional friendship sekaligus instrumen friendship (Satria, 2002:32).

Hubungan patron-klien dalam komunitas nelayan umumnya terjadi antara nelayan buruh dengan juragan. Mulyadi (2005: 80-81) menyatakan bahwa pada awalnya hubungan patron-klien bersifat mutualisme. Namun hubungan ini pada akhirnya bersifat eksploitatif. Misalnya kasus ikatan patron-klien di Labuan Maringgai (Lampung), di mana sekelompok Juragan mengikat hampir semua nelayan dengan ikatan utang. Mereka tidak diharuskan mengangsur utangnya bahkan cenderung ditambah terus sehingga jumlah utang klien makin bertambah. Sebagai imbalannya ada hak mutlak untuk membeli udang hasil tangkapan nelayan dengan harga yang ditetapkan sepihak. Selain itu, semua surat-surat berharga, terutama surat tanda kepemilikan perahu dan mesin disimpan sebagai jaminan.

Solihin et al. (2005: 141-142) merangkum beberapa hasil penelitian yang dilaporkan oleh Nasikun bersama rekan-rekan (1996) di daerah Muncar Jawa Timur, Elfiandri (2002) di pantai barat Sumatera Barat, dan Iwan (2002) di daerah

Kelurahan Nipah I dan Nipah II Kabupaten Tanjung Jabung. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan sebuah kesimpulan yang substansinya sama bahwa akibat penetrasi kapitalisme dalam aktivitas nelayan di daerah tersebut telah menciptakan ketergantungan dan menyebabkan kelompok nelayan buruh lebih cepat terseret dalam kemiskinan.

2.4.2.3. Menyikapi Ritual Kepercayaan Lokal

Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan sangat beresiko, baik resiko kegagalan maupun resiko yang berkaitan dengan keselamatan jiwa. Oleh karena itu, pada umumnya nelayan melakukan ritual yang dipercaya dapat menghindarkan diri dari resiko-resiko tersebut.

Nelayan memandang laut memiliki penguasa yang harus dihormati. Hal ini sebagaimana yang dilaporkan oleh Kusnadi (2000: 78) bahwa nelayan Madura mempercayai adanya penguasa di Selat Madura yakni Nabi Khidir as. Oleh karena itu senantiasa dilakukan upacara petik laut menjelang musim ikan setiap tahunnya untuk menghormati Nabi Khidir as. Dengan melakukan ritual ini, nelayan meminta keselamatan selama melaut dan agar diberi rezeki hasil tangkapan yang berlimpah.

Di Kirdowono, Jawa Tengah, para nelayan berpegang pada beragam pantangan dan perawatan magis untuk perahu. Pantangan ditunjukkan antara lain ketika melewati muara Kirdowono, para pandega harus diam tak bersuara, sementara sang jurumudi berkonsentrasi membaca mantra minta izin kepada danyang muara agar perahu mereka diperbolehkan lewat. Di laut, mereka tidak boleh bersiul karena bisa mengundang badai, demikian pula mereka tidak boleh menyebut nama hewan-hewan liar seperti anjing, babi hutan, monyet, buaya dan kata-kata yang berarti lepas, lolos, dan bolong karena dipercaya tidak akan ada ikan yang tertangkap. Perawatan magis untuk perahu dilakukan dengan air cucian beras yang direndam dengan daun pinang (Areca cathecu), alang-alang (Imperata cylindrica), daun galing (Vitis trifolia), abu merang padi ketan hitam, dan berlian. Setelah itu badan perahu dilumuri dengan ramuan rempah-rempah yang terbuat dari lempuyang (zingiber spp.), kunir (Curcuma domestica), adas pulasari (Foeniculum vulgare) dan Jahe (Piper retrofractum). Setelah itu dilakukan selamatan kecil di geladak perahu dengan kemenyan dibakar dan berdoa kepada danyang tertentu agar perahu miliknya terlindungi dari bahaya dan membawa rejeki besar (Juwono, 1998: 53-55).

Masyarakat Bajou memiliki beberapa jenis ritual yang lazim dilakukan dalam kaitannya dengan kegiatan penangkapan ikan dan pelayaran, antara lain adalah 1) maccerak lopi, adalah jenis upacara selamatan atas perahu nelayan yang baru pertama kali digunakan untuk melaut, dengan melumuri darah ayam pada badan perahu, 2) maccerak masina, dengan melumuri darah ayam pada mesin atau motor penggerak, 3) pappasabbi ri nabitta adalah upacara selamatan pada saat tibanya musim penangkapan ikan, dengan tujuan semoga usaha mereka mendapat berkat dan memperoleh rezeki yang banyak, dan 4) pappasabbi ri puanna tasik yang berarti penyaksian kepada penguasa lautan. Melalui upacara tersebut nelayan Bajou yakin unsur penguasa lautan tidak akan menurunkan bencana dan mereka optimis akan beroleh hasil tangkapan yang melimpah (Depdikbud, 1996: 154-156).

2.4.2.4. Mengatasi Sikap Fatalistik

Fatalisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa kita tidak memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu apapun secara aktual. Pandangan ini dapat dibahas dalam berbagai cara, yakni melalui: 1) fatalisme logis (logical fatalism)atau dalam beberapa hal juga disebut dengan fatalisme metafisis (metaphysical fatalism), 2) fatalisme teologis (theological fatalism) menyangkut eksistensi Ketuhanan, dan 3) determinisme kausal (causal determinism) yang umumnya tidak menunjuk pada fatalisme secara total (Encyclopedia, 2006)

Sikap kurang rasional dalam diri seseorang akan merlahirkan pandangan fatalistik atau menyerahkan segala hal dan urusan pada kekuatan di luar manusia. Hikmat (2007: 6) menjelaskan bahwa sikap yang cenderung fatalistik dari sebagian komunitas lokal dalam menjalani kehidupannya merupakan kondisi yang merefleksikan lemah karsa. Kondisi ini telah menjadi budaya dan mengakibatkan sulitnya melepaskan mereka dari lingkaran kemiskinan, karena ada kecenderungan pada titik kritis tertentu mereka melakukan penyimpangan perilaku dan destruktif terhadap kemajuan lingkungan sekitarnya. Huraerah (2006) menjelaskan bahwa untuk mengatasi kemiskinan maka hendaknya diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti adanya sikap fatalistik.

Sebagai suatu komunitas yang terdiri dari berbagai latar belakang sosio- psikologis, komunitas nelayan memiliki kecenderungan pada sikap fatalistik tersebut. Hal ini disinyalir karena masyarakat nelayan selalu diidentikkan dengan kemisikinan. Nelayan yang mandiri secara emosional adalah nelayan yang dapat mengatasi sikap fatalistik dan dapat melepaskan diri dari stigma kemiskinan.

2.4.2.5. Mengembangkan Kerjasama dalam pemanfaatan laut

Sumberdaya pesisir dan laut bersifat common property (milik bersama) dengan akses yang terbuka bagi setiap orang (open access). Istilah common property lebih mengarah pada kepemilikan di bawah kendali dan tanggungjawab pemerintah dan pada sifat sumberdaya itu sendiri yang merupakan public domain. Kemungkinan konflik dan kerjasama dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut merupakan bagian penting yang perlu ditelaah.

Upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan dan isu-isu yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut antara lain dapat dilakukan dengan model pengelolaan yang kolaboratif, yaitu memadukan unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dll) dan pemerintah yang dikenal dengan co-management. Model pengelolaan hendaknya menyatukan lembaga-lembaga terkait terutama masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya dalam setiap proses pengelolaan sumberdaya (Rudyanto, 2004). Model pengelolaan yang melibatkan kerjasama berbagai stakehorlder tersebut dapat menghindari kemungkinan konlik pemanfaatan sumberdaya laut.

Satria (2002: 72) mengidentifikasi paling tidak ada empat macam konflik dalam masyarakat pesisir, khususnya nelayan yang dapat dikategorikan ke dalam berbagai macam bentuk berdasarkan faktor-faktor penyebabnya, yakni: 1) konflik kelas, yang terjadi antarkelas sosial nelayan, misalnya seperti yang terjadi antara nelayan trawl dan nelayan tradisional, 2) konflik orientasi, terjadi antara nelayan yang memiliki perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, 3) konflik agraria, terjadi akibat perebutan fishing ground, dan 4) konflik primordial, terjadi akibat perbedaan identitas, etnik, asal daerah atau lainnya.