II. TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Kompetensi
2.2.1. Kompetensi yang Perlu Dikuasai oleh Nelayan
2.2.1.7. Pengendalian Usaha
Pengendalian usaha adalah bagian penting yang selalu harus diperhitungkan oleh nelayan. Perahu atau kapal yang sedang berada di tengah- tengah lautan sangat perlu untuk dikendalikan, demikian pula dengan musim dan semua yang berhubungan dengan fenomena alam yang akan menghambat kegiatan penangkapan. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, seperti menunda penangkapan (Sastrawidjaja dan Manadiyanto, 2002: 41-42). Selain itu, pengendalian dapat dilakukan dengan penciptaan alat tangkap seperti bubu yang dapat dipasang meskipun cuaca tidak bersahabat.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengendalian usaha penangkapan ikan adalah mengenai harga produksi. Apabila harga produksi tidak mampu dikendalikan dengan baik, maka boleh jadi nelayan akan rugi atau tidak mendapatkan keuntungan optimal. Oleh karena itu, Hanafiah dan Saefuddin (1983: 92) menulis bahwa dalam rangka pengendalian usaha untuk mendapatkan harga terbaik, maka penjualan hasil produksi harus dibandingkan dengan produk-produk serupa yang dijual oleh pihak pesaing. Dalam pada itulah, penentuan harga jual harus mempertimbangkan trend harga umum apakah meningkat atau menurun. Hal ini penting karena perubahan harga yang fluktuatif pada produk-produk perikanan, karena adanya variasi dalam penerimaan pasar yang kadang-kadang menyolok sekali, maupun karena perubahan sementara dalam permintaan konsumen.
2.2.1.8. Aspek Pemasaran
Jolly dan Clonts (1993: 259), mengemukakan definisi pemasaran yang dikhususkan pada produk akuakultur terutama ikan. Dikatakan bahwa pemasaran produk akuakultur adalah kinerja (performance) dari keseluruhan aktivitas usaha yang dilibatkan dalam aliran produk dan jasa akuakultur sejak dari awal proses produksi hingga berada di tangan konsumen. Pemasaran ikan (fish marketing), bukanlah operasi mekanis maupun otomatis, tetapi merupakan proses yang kompleks di mana produk bentuknya dapat diubah, seperti ikan yang diubah menjadi fish cake
.
Philip Kotler (dalam Kasmir, 2006: 158-160) mengatakan bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dengan mana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan cara menciptakan serta mempertukarkan produk dan nilai dengan pihak lain melalui mekanisme penawaran dan permintaan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran barang atau jasa. Permintaan dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, harga barang lain yang memiliki hubungan, pendapatan, selera, jumlah penduduk, dan faktor khusus (akses). Sedangkan penawaran dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, harga barang lain yang memiliki hubungan, teknologi yang digunakan, harga input (ongkos produksi), tujuan usaha, dan faktor khusus (akses).
Ringkasan
Kompetensi adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas secara efektif yang mencakup pengetahuan dan kecakapan pribadi untuk mencapai kinerja yang superior. Kompetensi dalam penelitian ini menyangkut kemampuan nelayan pada bidang kognitif dan kecakapan pribadi dalam menyikapi dan menjalankan usaha penangkapan ikan demersal. Kompetensi yang perlu dikuasai oleh nelayan dalam hal ini menyangkut 8 aspek usaha yakni: (1) aspek perencanaan, (2) aspek permodalan, (3) aspek penentuan daerah penangkapan, (4) penentuan waktu menangkap, (5) aspek teknologi penangkapan, (6) aspek pengambilan keputusan dalam memecahkan masalah, (7) pengendalian usaha, dan (8) aspek pemasaran.
2.3. Kemandirian 2.3.1. Pengertian Kemandirian
Seorang penulis dan intelektual Amerika Serikat bernama Ralph Waldo Emerson membuat gerakan transendental pada abad ke 19 yang lebih menekankan intuisi individual dari pada rasionalisme ilmiah (scientific rationalism) sebagai sumber pengetahuan tertinggi. Dalam konsepnya tentang kemandirian (self reliance) pada tahun 1841, Emerson mengungkapkan optimismenya tentang kekuatan yang dimiliki oleh setiap individual (Encyclopedia, 2004).
Beberapa ungkapan Emerson (1996) dituangkan dalam tulisan yang bernuansa pesan dan bermakna filofis untuk mengantar pembaca dalam memahami self reliance. Emerson, antara lain menulis bahwa: “apa yang harus saya lakukan adalah semua apa yang saya pertimbangkan, bukan apa yang dipikirkan orang lain”. “Sangat penting bagi kita untuk mandiri sesuai dengan apa yang kita yakini. Jika tidak, maka kita tidak mengenal siapa diri kita, dan kita tidak akan mengenal siapapun. Kita harus mengenal diri kita sendiri dan biarkan orang
mengenal kita”. “Manusia sejati adalah mereka yang berada di tengah-tengah orang banyak dan tetap menjaga independensi atau ketidaktergantungan pada orang lain”. “Tindakan kita yang sesungguhnya dapat dijelaskan dari tindakan- tindakan kita yang lainnya”. Sedangkan “konformitas tidak akan menjelaskan apapun”.
Selain kata self reliance, kata lain tentang kemandirian juga diterjemahkan dari kata autonomy. Menurut Dworkin (dalam Agussabti, 2002: 44) kata autonomy pertama kali dipergunakan oleh bangsa Yunani berkaitan dengan sebuah kota yang penduduknya membuat hukum untuk mereka sendiri supaya bebas dari dominasi pihak asing. Kata autos bermakna self dapat merujuk pada self rule, self determination, dan independence. Kata nomos merujuk pada law, convention, usage atau custom.
Menurut Sutari Imam Barnadib (dalam Mu’tadin, 2002), kemandirian meliputi "perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain”. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali (dalam Mu’tadin, 2002) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah “hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri”. Di dalam kemandirian mengandung pengertian sebagai suatu keadaan dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas- tugasnya, dan bertanggungjawab tetrhadap apa yang dilakukannya.
Kemandirian dalam berwirausaha memiliki keterkaitan dengan kemandirian dan fleksibilitas yang ditularkan oleh orang tua yang melekat dalam diri anak sejak kecil. Meskipun belum ada studi banding dengan wirausaha yang orang tuanya bukan wirausaha, relasi dengan orang tua yang wirausaha tampaknya menjadi aspek penting yang membentuk keinginan seseorang untuk menjadi wirausaha (Staw dalam Riyanti, 2003: 38).
Seseorang yang mandiri membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Reber (dalam Mu’tadin, 2002) bahwa “kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain”.
Tingkat kemandirian atau kemampuan untuk “berdiri sendiri” erat hubungannya dengan tingkat kepercayaan diri seseorang. Seseorang yang mempunyai kepercayaan diri yang relatif tinggi akan mampu menghadapi dan menyelesaikan pekerjaan tanpa harus menunggu perintah atau “bantuan” orang. Kemandirian terungkap dari segi inisiatif dan kemampuan untuk dapat menolong diri sendiri. Tentu saja kepercayaan diri yang tinggi dan dapat mengangkat tingkat kemandirian seseorang adalah hasil kerja keras yang sistematis selama beberapa minggu, bulan, bahkan beberapa tahun dengan tekun (Soesarsono, 2002; 70).
Seorang wirausaha yang mandiri, memiliki tiga jenis modal utama yang harus dimiliki sebagaimana yang dikemukakan oleh Suryana (2006; 34), yaitu: 1) sumberdaya internal, misalnya kepandaian, keterampilan dan kemampuan
menganalisis dan menghitung resiko, serta keberanian atau visi jauh ke depan, 2) sumberdaya eksternal, misalnya sumber modal usaha dan modal kerja, jaringan
sosial serta jalur permintaan/penawaran, dan lain sebagainya, dan 3) faktor x, misalnya kesempatan dan keberuntungan.
2.3.2. Unsur-Unsur Kemandirian
Havighurst (1972) mengemukakan beberapa aspek yang terdapat dalam kemandirian, yaitu: a) emosi, yang ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua, b) ekonomi, yang ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua, c) intelektual, yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, d) Sosial, yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain.
Ismawan (2003) menulis bahwa konsep kemandirian tidak hanya mencakup pengertian-pengertian kecukupan diri (self sufficiency) di bidang ekonomi, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur- unsur penemuan diri (self discovery) berdasarkan kepercayaan diri (self confidence). Karena itu, kemandirian merupakan sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri dengan pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Artinya, bahwa dalam pengertian sosial, kemandirian juga bermakna sebagai organisasi diri (self organization) atau manajemen diri (self management) yang saling terkait dan saling melengkapi sehingga muncul suatu keseimbangan yang akan menjadi landasan bagi perkembangan berikutnya.
Faktor manusia secara pribadi sangat menentukan kemandiriannya dalam menjalankan suatu usaha, termasuk dalam upayanya mempertahankan kemandirian secara ekonomi. Faktor ini dapat diketahui dari beberapa aspek penting yang membangun kemandirian seseorang, seperti: kepercayaan diri (self- confidence), manajemen diri (self-management), kemandirian emosional (emotional self-reliance), kemandirian intelektual (intellectual self-reliance), dan kemandirian sosial (social self-reliance).
Unsur-unsur kemandirian yang dielaborasi sebagai variabel konsekuen dalam penelitian ini adalah pada aspek kemandirian intelektual, kemandirian emosional, kemandirian ekonomi, dan kemandirian sosial. Pemahaman lebih jauh tentang beberapa aspek yang terdapat dalam kemandirian tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
2.3.2.1. Kemandirian Intelektual
Kemandirian intelektual (Intellectual Self-Reliance) penekanannya terletak pada kemandirian berpikir (independent thinking). Presley (1995) menulis bahwa kemandirian berpikir sama pentingnya dengan kemandirian dalam sistem pendidikan yang berupaya menemukan cara bagi anak didik untuk berpikir mandiri dan menjadi pemikir kritis.
Selanjutnya, Presley mendasarkan pandangannya pada kamus Oxford Unabridged bahwa yang termasuk dalam kemandirian (independent) itu adalah ketidaktergantungan seseorang dari pengaruh otoritas maupun pembentukan opini dari pihak lain. Namun demikian, dalam kemandirian selalu membutuhkan data dan informasi relevan yang mendasari opini tersebut. Cara mendapatkan informasi dan bagaimana menerapkannya akan menentukan seseorang itu mandiri atau tidak. Cara mendapatkan informasi menurut Suparno (2001: 107) dapat bersifat auditif, visual, kinestetik atau merupakan kombinasi dari ketiganya.
2.3.2. 2. Kemandirian Emosional
Emosi (emotion ) adalah satu rangkaian interaksi yang kompleks antara faktor-faktor subyektif dan obyektif yang dimediasi oleh sistem syaraf/hormonal, sehingga dapat membangkitkan pengalaman-pengalaman afektif seperti munculnya perasaan senang dan tidak senang. Selain itu, aspek emosi juga akan menghasilkan proses kognitif seperti pengaruh persepsi yang relevan secara
emosional dan penaksiran terhadap suatu obyek, sehingga menimbulkan perilaku tertentu. Perilaku tersebut dapat ditunjukkan secara ekspresif, mengarah pada suatu tujuan, dan bersifat adaptif (Kleinginna and Kleinginna dalam Richins, 1997). Selanjutnya Holbrook and O´Shaughnessy (dalam Richins, 1997) menulis bahwa emosi adalah serangkaian reaksi terhadap situasi lingkungan sekitar.
Beckert (2005) menggunakan istilah emotional autonomy untuk kemandirian emosional yang menunjuk kepada kemampuan seseorang untuk mengembangkan dirinya sendiri. Penelitian tentang kemandirian emosional ini lebih sering difokuskan pada masa remaja awal karena perubahan-perubahan biologis, sosial dan emosional yang terjadi selama periode tersebut sangat signifikan. Steinberg dan Silverberg (dalam Beckert, 2005) membuat skala pengukuran kemandirian emosional yang disebutnya sebagai Emotional Autonomy Scale (EAS). Asumsi dari kedua peneliti tersebut adalah bahwa dengan menjauhkan seseorang dari pengaruh orang tua, maka orang tersebut akan membangun kemandiriannya. Hoffman (1984) memandang kemandirian emosional sebagai pemisahan psikososial (psychosocial separation) dan menggunakan istilah emotional independence untuk itu.
Hurlock (1980: 249-250) menulis bahwa masa dewasa dini (umur sekitar 18 hingga 40 tahun) merupakan masa ketegangan emosional dan sering merupakan masa ketergantungan. Apabila ketegangan emosi terus berlanjut sampai umur tigapuluhan, umumnya hal ini nampak dalam bentuk keresahan yang berkaitan dengan masalah-masalah penyesuaian diri yang harus dihadapi saat itu dan berhasil tidaknya mereka dalam upaya penyelesaian masalah itu. Kekhawatiran- kekhawatiran utama mungkin terpusat pada pekerjaan mereka, antara lain karena mereka merasa tidak mengalami kemajuan secepat yang mereka harapkan. Oleh karena itu, penting untuk diperhatikan hubungan emosional seseorang dengan orang tua atau pendahulu mereka.
Sejumlah teoritis dan penelitian kontemporer menyatakan bahwa otonomi [kemandirian] yang baik itu berkembang dari hubungan orang tua yang positif dan suportif. Hubungan ini memungkinkan untuk mengungkapkan perasaan positif dan negatif yang membantu perkembangan kompetensi sosial dan otonomi [kemandirian] secara bertanggungjawab (Desmita, 2006: 218). Hasil penelitian Lamborn dan Steinberg (dalam Desmita, 2006: 218) menunjukkan bahwa perjuangan remaja untuk meraih otonomi tampaknya berhasil dengan baik dalam lingkungan keluarga yang secara simultan memberikan dorongan dan kesempatan
bagi remaja untuk memperoleh kebebasan emosional. Sebaliknya, remaja yang tetap tergantung secara emosional pada orang tuanya terlihat kurang kompeten, kurang percaya diri, dan kurang berhasil dalam belajar dan bekerja dibandingkan dengan remaja yang mencapai kebebasan emosional (Dacey dan Kenny, dalam Desmita, 2006: 218). Kemandirian secara emosional dapat diketahui dari diri sendiri apakah kita tergolong orang yang cukup sensitif melihat sesuatu yang menuntut kita untuk bergerak melakukannya ataukah merupakan orang yang “cuek” dan tidak menghiraukan keadaan sekitar (Suparno, 2001: 107).
2.3.2.3. Kemandirian Ekonomi
Kemandirian ekonomi (Economic Self Reliance) adalah kemampuan dari suatu entitas untuk menopang kesejahteraannya. Entitas di sini dapat berupa individu, keluarga, komunitas, negara, daerah, maupun bangsa. Kemandirian ekonomi merupakan tujuan antara (intermediate end) yang memfasilitasi suatu entitas untuk mengejar visi mereka pada kehidupan yang lebih baik (Godfrey, 2003).
Selanjutnya, Godfrey mengemukakan bahwa unsur-unsur dari kemandirian ekonomi itu terletak pada kemampuan suatu entitas untuk: 1) menyimpan surplus sumberdaya yang dihasilkan, dan 2) penataan ekonomi kehidupan agar tidak rentan terhadap goncangan. Dengan kata lain bahwa kemandirian ekonomi merupakan fungsi dari surplus generation dan economic vulnerability. Surplus itu sendiri diartikan sebagai kelebihan sumberdaya ekonomi dari yang sesungguhnya dibutuhkan (excess of subsistence). Mereka yang hidup pada keadaan subsisten atau berada di bawah level subsisten tidak dapat dikatakan sebagai orang yang mandiri. Demikian pula dengan mereka yang tidak memiliki cara untuk menata sumberdaya agar tidak rentan terhadap goncangan ekonomi.
Kemandirian ekonomi sangat dipengaruhi oleh budaya ekonomi subordinasi yang mempertahankan hegemoni ekonomi dan menumbuhkan dependensi baru. Swasono (2003) menjelaskan bahwa hubungan ekonomi subordinasi tuan hamba dan taoke-koelie atau juragan-buruh yang merupakan suatu economic slavery system sebagaimana berlaku pada zaman usaha VOC, pasca VOC, cultuurstelsel dan pasca cultuurstelsel, secara imperatif perlu kita ubah menjadi hubungan ekonomi yang demokratis, yaitu hubungan ekonomi yang partisipatori-emansipatori. Hal ini ditujukan untuk menghindari keterdiktean, ketertundukan, ketakmandirian dan ketergantungan ekonomi.
Suatu budaya ekonomi subordinasi sebagaimana dijelaskan di atas, akan memberi dampak pada keadaan hidup yang subsisten, di mana seseorang yang tersubordinasi akan sulit mencapai surplus generation dan economic invulnerability. Dengan kata lain, kemandirian ekonomi sulit dicapai pada budaya ekonomi subordinasi.
2.3.2.4. Kemandirian Sosial
Kemandirian Sosial (Social Self Reliance) dapat dipahami lebih jauh dari penjelasan Emerson (1996) yang menyatakan bahwa untuk menjadi mandiri, seseorang seharusnya tidak konformis (nonconformist). Apa yang akan dilakukan seharusnya adalah apa yang telah dipertimbangkan sendiri, bukan dari apa yang dipikirkan oleh orang lain. Emerson menekankan adanya kesadaran sendiri dan melakukan penarikan diri dari masyarakat (withdrawal from society) sehingga masyarakat dapat menerimanya apa adanya. Masyarakat telah membentuk gagasan tentang apa yang harus dilakukan oleh setiap individu dalam ikatan yang sangat kuat sehingga seseorang dapat meyakininya sebagai sesuatu yang pantas. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat menghalangi individu untuk mandiri, karena adanya kesan yang diciptakan oleh orang-orang di sekitar mereka. Oleh karena itu, Emerson menekankan pentingnya sikap nonconformist dalam masyarakat untuk dapat mengembangkan kemandirian seseorang. Namun demikian, seseorang yang mandiri secara sosial haruslah orang yang mudah bergaul dan cakap bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai cita-citanya pada masa yang akan datang (Suparno, 2001: 107-108).
Tubbs dan Moss (2001: 70-71) menulis suatu kritik mengenai penelitian konformitas, bahwa para subyek jarang mempertahankan cara pandang mereka terhadap pendapat mayoritas. Kelompok yang tinggi tingkat kepaduannya cenderung melakukan tekanan-tekanan konformitas yang kuat. Selanjutnya, Hare (dalam Tubbs dan Moss, 2001: 71) menyampaikan sejumlah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang yang berkompromi cenderung untuk: 1) lebih menyerah atau bergantung, 2) amat membutuhkan persetujuan sosial dan kurang membutuhkan kemandirian, 3) lebih sering wanita dari pada pria, dan 4) rasa percaya dirinya kurang.
Ringkasan
Kemandirian merupakan perilaku yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah tanpa harus tergantung pada pihak lain, termasuk dalam membina kemungkinan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Unsur-unsur kemandirian yang dielaborasi dalam penelitian ini adalah: a) Kemandirian intelektual, penekanannya terletak pada pentingnya kemampuan pikir seseorang dan terlepas dari pembentukan opini pihak lain. Seseorang yang mandiri secara intelektual, perlu mendapatkan data dan informasi relevan yang mendasari opini dan kemampuan pikirnya tersebut, b) Kemandirian emosional, penekanannya terletak pada kemampuan seseorang untuk mengembangkan dirinya sendiri dan berani melepaskan ketergantungan dari berbagai pihak yang ada di lingkungannya, c) Kemandirian ekonomi, lebih menekankan pada kemampuan suatu entitas untuk menopang kesejahteraannya. Unsur-unsur kemandirian ekonomi terletak pada kemampuan suatu entitas untuk menyimpan surplus sumberdaya yang dihasilkan dan menata ekonomi kehidupan agar tidak rentan terhadap goncangan, d) Kemandirian sosial, lebih menekankan pada kemampuan seseorang untuk tidak konformis pada setiap gagasan yang ditetapkan oleh komunitasnya. Orang yang mandiri secara sosial mendasarkan diri pada keyakinan sendiri dalam membina hubungan sosial dan dapat bergaul dengan lingkungan sosialnya secara akrab sebagai salah satu strategi adaptasi.
2.4. Kemandirian Nelayan pada Usaha