• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Pengaruh Umur, Pendidikan Formal, Pengalaman, Jumlah Anggota

2.5.1. Pengaruh Umur pada Kemandirian Nelayan

Bakir dan Manning (1984) mengemukakan bahwa umur produktif untuk bekerja di negara-negara berkembang umumnya adalah 15 – 55 tahun. Namun umur kronologis di mana seseorang memulai karir sebagai wirausaha itu bervariasi, sebagaimana dikemukakan oleh Ronstandt (dalam Riyanti, 2003) bahwa kebanyakan wirausaha memulai usahanya antara umur 25 sampai 30 tahun. Sedangkan Staw (1991) sendiri mengungkapkan bahwa umumnya pria memulai usaha sendiri ketika berumur 30 tahun dan wanita pada umur 35 tahun.

Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan umur antara lain ditunjukkan oleh Syauta (1997) dan Riyanti (2003). Syauta meneliti umur sebagai salah satu variabel yang berhubungan dengan aplikasi motorisasi pada penangkapan ikan, sedangkan Riyanti memfokuskan penelitiannya pada aspek kewirausahaan dalam sudut pandang psikologi kepribadian.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Syauta (1997: 52) menyimpulkan bahwa umur berhubungan nyata dengan kemampuan nelayan mengaplikasikan usaha penangkapan melalui motorisasi. Selain itu, umur juga berhubungan nyata dengan pengalaman berusaha, besarnya keluarga, interaksi dengan sumber informasi, keikutsertaan dalam kursus dan dukungan pembinaan nelayan.

Riyanti (2003: 176) menyimpulkan bahwa variabel umur memiliki pengaruh yang bermakna pada keberhasilan usaha. Umur merupakan variabel yang terbukti memiliki konsistensi dalam mempengaruhi keberhasilan usaha. Umur yang berpengaruh terhadap keberhasilan usaha tidak hanya terkait dengan umur kronologis semata, melainkan juga dengan umur atau lama mengelola usaha. Bertambahnya umur seseorang dalam menjalankan suatu usaha semakin berhasil pula dalam mengelola usaha.

2.5.2. Pengaruh Pendidikan Formal pada Kemandirian Nelayan

Pendidikan formal memainkan peranan penting pada saat wirausahawan mencoba mengatasi masalah-masalah dan mengoreksi penyimpangan dalam suatu praktek usaha. Meskipun pendidikan formal bukan syarat untuk memulai usaha baru, namun pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal akan memberi dasar yang baik, apalagi pendidikan formal tersebut terkait langsung dengan bidang usaha yang dikelola (Riyanti, 2003: 41).

Variabel pendidikan boleh jadi bukan merupakan variabel penentu keberhasilan usaha, karena kemungkinan disebabkan tidak adanya keterkaitan antara ilmu yang diperoleh di bangku sekolah dengan pengetahuan yang diperlukan dalam mengelola usaha, atau karena ilmu yang diperoleh hanya sebatas teori tanpa praktek dalam dunia kerja (Riyanti, 2003: 177). Namun demikian, pendidikan formal merupakan salah satu aspek penting yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam berwirausaha.

Suryana (2006: 5-6) menulis tentang beberapa kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha antara lain adalah kemampuan konseptual dalam mengatur strategi dan memperhitungkan resiko, kemampuan memimpin dan mengelola, serta kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi. Kemampuan- kemampuan seperti ini cenderung dimiliki oleh orang yang berpendidikan, sehingga cenderung lebih mandiri terutama pada aspek manajemen usaha atau yang berhubungan dengan kelembagaan usaha.

Keterkaitan antara pendidikan formal dengan kemandirian mengelola usaha perikanan tangkap, dapat dipahami lebih jauh dari tulisan Pollnac (1988: 264) bahwa karakteristik tingkat pendidikan resmi yang secara relatif rendah pada banyak masyarakat penangkap ikan di negara sedang berkembang mempunyai pengaruh negatif, khususnya dalam hal pengelolaan koperasi. Oleh karena banyak nelayan yang buta huruf, terasa sulit melatih mereka maupun mendapatkan pengelola dan akuntan yang bermutu di antara mereka. Pollnac mengambil contoh di Balize di mana standar pendidikan yang cukup tinggi pada masyarakat penangkap ikan sangat mendukung keberhasilan koperasi.

2.5.3. Pengaruh Pengalaman pada Kemandirian Nelayan

Pengalaman bukan hanya sering menjadi prasyarat untuk melamar kerja, tetapi juga prasyarat untuk kelancaran usaha mandiri. Kalau hal ini disadari, maka suatu kesempatan kerja biasanya tidak disia-siakan walaupun upah atau gajinya rendah. Pengalaman dalam kegiatan sosial dan ekonomi merupakan modal yang sangat berharga (Soesarsono, 2002: 116).

Pengalaman tampaknya merupakan modal yang sangat berharga bagi nelayan. Nelayan yang berpengalaman akan mampu menggerakkan segala daya upaya mereka, termasuk penyesuaian teknik penangkapan. Masyarakat nelayan yang masih tradisional, mengenali fenomena laut melalui pengalaman dan pengetahuan dari nenek moyang mereka (Sastrawidjaja dan Manadiyanto, 2002: 31). Dengan demikian, nelayan yang bepengalaman dalam melakukan usaha penangkapan ikan akan cenderung dapat menyesuaikan diri dan dapat menjalankan usahanya secara mandiri.

2.5.4. Pengaruh Jumlah Anggota Keluarga Pada Kemandirian Nelayan

Fenomena kehidupan nelayan tidak dapat dilepaskan dari peranan keluarga. Di satu sisi anggota keluarga berfungsi sebagai penyedia utama tenaga kerja, tetapi di sisi lain, anggota keluarga merupakan bagian tanggungjawab yang harus dipenuhi kebutuhannya oleh kepala keluarga (Sastrawidjaja dan Manadiyanto, 2002: 36). Hal ini tentu akan mempengaruhi kemandirian nelayan dalam melakukan usaha penangkapan ikan demersal. Biasanya, nelayan yang mandiri selalu mengatur pekerjaan bagi anggota keluarganya.

Hasil penelitian Syauta (1997: 58) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan motorisasi penangkapan ikan laut di Kecamatan Salahutu, menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga berhubungan secara nyata dengan kemampuan nelayan dalam mengaplikasikan motorisasi penangkapan ikan laut. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga merupakan variabel yang berhubungan dengan kemandirian nelayan dalam menjalankan usaha penangkapan ikan.

2.5.5. Pengaruh Sifat Perintis pada Kemandirian Nelayan

Seseorang yang berjiwa perintis memiliki tekad yang kuat. Littauer (1996: 26) memasukan orang yang berjiwa perintis ke dalam kelompok orang yang memiliki kepribadian koleris yang kuat. Orang dengan kepribadian seperti ini, antara lain memiliki karakter yang berbakat jadi pemimpin, dinamis dan aktif, sangat memerlukan perubahan, berkemauan kuat dan tegas, tidak mudah patah semangat, bebas dan mandiri, serta dapat menjalankan apa saja. Dalam melakukan suatu pekerjaan, orang koleris kuat selalu berorientasi pada target, mencari pemecahan praktis, bergerak cepat untuk bertindak, dan menekankan pada hasil.

Karakter tersebut di atas merupakan karakter dan watak kewirausahaan sebagaimana dikemukakan oleh Meredith, et al. (2005: 5-6) yang antara lain menunjuk pada adanya percaya diri, ketidaktergantungan, berorientasi tugas dan hasil, kemampuan mengambil resiko, suka pada tantangan, bertingkah laku sebagai pemimpin, dan berorientasi pada masa depan.

Pada masyarakat nelayan, karakter yang mengandung sifat-sifat perintis seperti disebutkan di atas, dapat ditelusuri dari simbol heroisme hidup masyarakat nelayan, seperti pada masyarakat nelayan di Lamalera. Oleona dan Bataona (2001: 135-135) menulis bahwa bagi masyarakat nelayan Lamalera, perahu layar (Tena Laja) merupakan sumberdaya untuk memperjuangkan hidup di laut. Dengan perahu layar mereka berjuang tak mengenal lelah dan gentar, menerjang ombak dan badai mengarungi samudera luas. Sifat-sifat ini, merupakan sifat perintis nelayan dalam usahanya melakukan penangkapan ikan dengan semangat yang begitu tinggi, seolah tanpa mengenal lelah. Nelayan yang memiliki sifat perintis senantiasa akan mencoba setiap hal baru, baik daerah-daerah penangkapan baru, manajemen usaha, maupun sarana tangkap yang digunakan.

Ringkasan

Faktor umur, pendidikan formal, pengalaman berusaha, jumlah anggota keluarga dan sifat perintis berpengaruh pada kemandirian nelayan ikan demersal. Bertambahnya umur yang disertai dengan konsistensi nelayan dalam menjalankan usahanya sangat berkaitan erat dengan bertambahnya pengalaman yang dapat mempengaruhi kemandirian nelayan.

Pendidikan formal dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menjalankan suatu usaha. Kemampuan dimaksud antara lain adalah kemampuan konseptual, kemampuan memimpin, kemampuan mengelola, kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi, yang kesemuanya berpengaruh pada kemandirian seseorang termasuk nelayan dalam menjalankan usaha penangkapan ikan demersal.

Jumlah anggota keluarga mempengaruhi kemandirian nelayan pada dua sisi. Di satu sisi anggota keluarga berpengaruh pada penyediaan tenaga kerja keluarga, tetapi di sisi lain merupakan tanggungjawab yang harus dipenuhi kebutuhannya oleh kepala keluarga. Sedangkan sifat perntis berpengaruh pada kemandirian nelayan untuk menerjang tantangan dan melakukan terobosan- terobosan baru seperti daerah-daerah penangkapan baru, manajemen usaha dan sarana tangkap yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan demersal.