• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Data Kepemilikan Identitas Anak di LPKA

10. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

1 Studi monitorting dilakukan oleh Direktorat Hukum dan Regulasi berkerjasama dengan UNICEF dan PUSKAPA UI di empat wilayah dengan jumlah anak terbanyak yang didampingi PK Bapas.

10. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Kebijakan pelindungan dan pemenuhan hak-hak anak terutama bagi ABH telah menjadi prioritas nasional yang termuat dalam 2 (dua) periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) yaitu tahun 2015-2019 dan tahun 2020-2024 yang ditetapkan melalui Perpres No.18 Tahun 2020. Perumusan kebijakan dilakukan secara holistik dan integratif, sehingga kebijakan pelindungan dan pemenuhan hak-hak bagi ABH dapat lebih menyeluruh, tidak hanya melihat dari sisi pelindungan hukum tetapi juga pemenuhan hak-hak di bidang lainnya sehingga penyelesaian perkara tindak pidana anak dapat dilakukan secara optimal melalui pendekatan keadilan restoratif. Secara rinci pada tahun 2020, beberapa hal yang telah dilakukan dalam rangka koordinasi penyusunan kebijakan dibidang SPPA antara lain :

a. Penyusunan perencanaan nasional terkait SPPA pada RKP tahun 2021 pada beberapa kementerian Lembaga yang terkait yakni:

 Kementerian Hukum dan HAM: Pelaksanaan diklat terpadu SPPA bagi Aparatur Penegak Hukum dan Instansi Teknis Lainnya, serta pengembangan kebijakan pendidikan berkelanjutan bagi WBP Anak.  Mahkamah Agung: Penyelenggaraan diklat SPPA Terpadu di

Pengadilan oleh MA

 Kejaksaan: Penyelenggaraan diklat terpadu UU SPPA di Kejaksaan. b. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dari perencanaan perlindungan anak dalam RKP 2020 pada beberapa output prioritas kementerian Lembaga terkait.

 Terlaksananya diklat terpadu SPPA bagi 270 APH yang dilaksanakan oleh Kemenkumham

131

 Pelaksanaan diklat SPPA juga dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Kejaksaan RI dengan total APH sebanyak 2.240 hakim (tahun 2020) dan 596 jaksa (tahun 2019).

 Terlaksananya kegiatan koordinasi dan pembinaan masyarakat mengenai pelaksanaan UU SPPA di 19 Wilayah oleh Kemenkumham c. Pada tahun 2019, Bappenas melakukan kerjasama dengan PUSKAPA

dan UNICEF melakukan kajian evaluasi implementasi UU SPPA di empat wilayah yaitu Tanggerang, Palembang, Surabaya, dan Kendari. 1 Kemudian pada bulan November 2020 diadakan webinar/peluncuran hasil studi tersebut yang bertajuk “Kesempatan Kedua dalam Hidup: Memulihkan Kesempatan bagi Anak dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”. Pelaksanaan webinar mengundang seluruh instansi terkait baik pusat dan daerah yang menjadi wilayah studi.

d. Hasil studi implementasi SPPA disampaikan antara lain sebagai berikut:  Aspek bantuan hukum:

- Akses ABH pada layanan bantuan hukum terbatas pada tahap penyidikan di kepolisian dan penuntutan di kejaksaan.

- Sebaran OBH belum merata, sebagian besar berada di kota besar.

- Belum terdapat petunjuk teknis yang jelas dan standar dalam hal pendampingan hukum bagi pemberi bantuan hukum.

- Kebijakan Penggunaan Dana Bantuan Hukum Masih Menyulitkan LBH

1 Studi monitorting dilakukan oleh Direktorat Hukum dan Regulasi berkerjasama dengan UNICEF dan PUSKAPA UI di empat wilayah dengan jumlah anak terbanyak yang didampingi PK Bapas.

10. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)

Kebijakan pelindungan dan pemenuhan hak-hak anak terutama bagi ABH telah menjadi prioritas nasional yang termuat dalam 2 (dua) periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) yaitu tahun 2015-2019 dan tahun 2020-2024 yang ditetapkan melalui Perpres No.18 Tahun 2020. Perumusan kebijakan dilakukan secara holistik dan integratif, sehingga kebijakan pelindungan dan pemenuhan hak-hak bagi ABH dapat lebih menyeluruh, tidak hanya melihat dari sisi pelindungan hukum tetapi juga pemenuhan hak-hak di bidang lainnya sehingga penyelesaian perkara tindak pidana anak dapat dilakukan secara optimal melalui pendekatan keadilan restoratif. Secara rinci pada tahun 2020, beberapa hal yang telah dilakukan dalam rangka koordinasi penyusunan kebijakan dibidang SPPA antara lain :

a. Penyusunan perencanaan nasional terkait SPPA pada RKP tahun 2021 pada beberapa kementerian Lembaga yang terkait yakni:

 Kementerian Hukum dan HAM: Pelaksanaan diklat terpadu SPPA bagi Aparatur Penegak Hukum dan Instansi Teknis Lainnya, serta pengembangan kebijakan pendidikan berkelanjutan bagi WBP Anak.  Mahkamah Agung: Penyelenggaraan diklat SPPA Terpadu di

Pengadilan oleh MA

 Kejaksaan: Penyelenggaraan diklat terpadu UU SPPA di Kejaksaan. b. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dari perencanaan perlindungan anak dalam RKP 2020 pada beberapa output prioritas kementerian Lembaga terkait.

 Terlaksananya diklat terpadu SPPA bagi 270 APH yang dilaksanakan oleh Kemenkumham

- Ketersediaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) di 4 lokasi studi bervariasi.

 Kajian ini merekomendasikan beberapa hal diantaranya yaitu 1) meningkatkan kualitas diversi dalam mencegah Anak menjalani proses peradilan; 2) meningkatkan ketersediaan dan kualitas pendampingan hukum dan non-hukum bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum; 3) mencegah Anak dari pembatasan kemerdekaan; 4) melindungi anak dengan layanan rehabilitasi dan reintegrasi berkualitas; dan 5) memastikan akuntabilitas SPPA melalui sistem pemantauan dan evaluasi.

 Aspek Rehabilitasi dan Reintegrasi (Sosial):

- Dalam melakukan pengawasan pasca pembinaan dalam lembaga, peranan Peksos masih sangat terbatas.

- LPKS belum tersedia di semua wilayah.

- program rehabilitasi luar Lembaga belum tersedia untuk mendukung rehabilitasi dan reintegrasi bagi ABH.

 Aspek Kesehatan dan Pendidikan:

- Layanan kesehatan untuk Anak maupun Anak Korban masih bergantung pada BPJS.

- Layanan kesehatan baik di LPKA maupun di LPKS diselenggarakan berdasarkan anggaran masing-masing instansi.

- Konseling bagi Anak masih menginduk dengan fasilitas kesehatan mental di luar lembaga.

 Aspek Diversi dan Penahanan:

- Terdapat standar yang berbeda-beda dalam menerapkan diversi.

- Sebagian besar kesepakatan diversi yang tercapai berupa pengembalian kepada orang tua atau penggantian kerugian.  Aspek Pemasyarakatan

- Pendampingan oleh PK sering berbenturan dengan area kerja yang luas.

- Jumlah PK yang tidak sebanding dengan jumlah kasus.

- Kinerja PK sering terhambat dengan tenggat waktu pengumpulan Litmas, koordinasi yang tidak lancar dengan aparat penegak hukum, serta pengalokasian biaya transportasi yang minim untuk melakukan pendampingan.

133

- Ketersediaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) di 4 lokasi studi bervariasi.

 Kajian ini merekomendasikan beberapa hal diantaranya yaitu 1) meningkatkan kualitas diversi dalam mencegah Anak menjalani proses peradilan; 2) meningkatkan ketersediaan dan kualitas pendampingan hukum dan non-hukum bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum; 3) mencegah Anak dari pembatasan kemerdekaan; 4) melindungi anak dengan layanan rehabilitasi dan reintegrasi berkualitas; dan 5) memastikan akuntabilitas SPPA melalui sistem pemantauan dan evaluasi.

 Aspek Rehabilitasi dan Reintegrasi (Sosial):

- Dalam melakukan pengawasan pasca pembinaan dalam lembaga, peranan Peksos masih sangat terbatas.

- LPKS belum tersedia di semua wilayah.

- program rehabilitasi luar Lembaga belum tersedia untuk mendukung rehabilitasi dan reintegrasi bagi ABH.

 Aspek Kesehatan dan Pendidikan:

- Layanan kesehatan untuk Anak maupun Anak Korban masih bergantung pada BPJS.

- Layanan kesehatan baik di LPKA maupun di LPKS diselenggarakan berdasarkan anggaran masing-masing instansi.

- Konseling bagi Anak masih menginduk dengan fasilitas kesehatan mental di luar lembaga.

 Aspek Diversi dan Penahanan:

- Terdapat standar yang berbeda-beda dalam menerapkan diversi.

- Sebagian besar kesepakatan diversi yang tercapai berupa pengembalian kepada orang tua atau penggantian kerugian.  Aspek Pemasyarakatan

- Pendampingan oleh PK sering berbenturan dengan area kerja yang luas.

- Jumlah PK yang tidak sebanding dengan jumlah kasus.

- Kinerja PK sering terhambat dengan tenggat waktu pengumpulan Litmas, koordinasi yang tidak lancar dengan aparat penegak hukum, serta pengalokasian biaya transportasi yang minim untuk melakukan pendampingan.

a) Di LPPL Radio Merapi Kabupaten Boyolali, GEBER-PPA di Kabupaten Boyolali, 14 Februari 2020

b) Penayangan PSA Anti Radikalisme dan Terorisme di 1050 Spot TV Bandara telah dilakukan di 8 (delapan) Bandara Angkasa Pura II pada tanggal 18 Maret – 17 Juli 2020

5) Forum Literasi Digital

Fasilitasi Informasi Layak Anak, di Provinsi Bali, 7 Maret 2020

b. bersama K/L secara bersama sama untuk menyusun narasi tunggal/konten yang menyebabkan anak berhadapan dengan hukum, yang selanjutnya disebarkan melalui saluran media baik Above The Line, Through the Line, Below the Line.

c. melaksanakan Forum Literasi digital dalam rangka memberikan pembekalan kepada anak anak untuk bijak bermedia sosial agar tidak terkontaminasi dengan informasi informasi hoaks yang bertebar di media maya/Internet, serta mengkampanyekan agar anak anak lebih produktif dan berhati hati dalam menggunakan gedged karena jejak digital tidak bisa di hapus.

d. Melaksanakan Forum Diskusi Publik Implementasi Informasi Ramah Anak dalam mewujudkan Kota Layak Anak.

e. Sepanjang Tahun 2020 telah memblokir situs negatif secara umum, yang dapat menyebabkan anak menjadi korban dan pelaku tindak pidana diantaranya: 1) Konten Situs Pornografi sebanyak 38375

2) Konten Penipuan Online sebanyak 3055 3) Konten Radikalisme sebanyak 7

4) Konten Sara sebanyak 1

5) Konten berita bohong/HOAKS sebanyak 10

6) Konten pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual sebanyak 2762 7) Konten Perjudian sebanyak 76095

8) Konten Pelanggaran Informasi sebanyak 95 11. Kementerian Komunikasi dan Informatika

Dalam melaksanakan Sistem Peradilan Pidana Anak, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menyusun Petunjuk Teknis Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Nomor: 1 tahun 2020, tentang Perubahan Atas Petunjuk Teknis Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Nomor 01 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kerjasama Pengelolaan Kegiatan Penyebaran Informasi Publik antara Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Dengan Mitra Kerja Sama.

Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melaksanakan program kegiatan yaitu:

a. Forum Diskusi Publik dalam Fasilitasi Informasi Layak Anak (isu-isu sektoral, Nilai-nilai kebangsaan kepada anak anak dalam rangka memperkuat jatidiri bangsa, Sosialisasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba, Radikalis, Teroris, pornografi);

1) Media Luar Ruang

Pemasangan Billboard Anti Radikalisme di Jawa Timur (Kabupaten Lamongan, Kota Malang, Kabupaten Magetan), Nusa Tenggara Barat (Kota Bima, Kabupaten Bima), dan Sulawesi Tengah (Kota Palu, Kota Poso). 2) Webinar

a) Terorisme dan Radikalisme di Masa Pandemi: Pencegahan dan Penanggulangan pada Hari Jumat tanggal 15 Agustus 2020

b) P4GN Pencegahan tanggal, 1 oktober 2020

c) Adaptasi Kebiasaan Baru Saat Pandemi Covid 19 pada tanggal, 12 Agustus 2020

3) Media tradisional, Seni Pertunjukan Wayang GEBER-PPA di Kabupaten Boyolali, 14 Februari 2020

135

a) Di LPPL Radio Merapi Kabupaten Boyolali, GEBER-PPA di Kabupaten Boyolali, 14 Februari 2020

b) Penayangan PSA Anti Radikalisme dan Terorisme di 1050 Spot TV Bandara telah dilakukan di 8 (delapan) Bandara Angkasa Pura II pada tanggal 18 Maret – 17 Juli 2020

5) Forum Literasi Digital

Fasilitasi Informasi Layak Anak, di Provinsi Bali, 7 Maret 2020

b. bersama K/L secara bersama sama untuk menyusun narasi tunggal/konten yang menyebabkan anak berhadapan dengan hukum, yang selanjutnya disebarkan melalui saluran media baik Above The Line, Through the Line, Below the Line.

c. melaksanakan Forum Literasi digital dalam rangka memberikan pembekalan kepada anak anak untuk bijak bermedia sosial agar tidak terkontaminasi dengan informasi informasi hoaks yang bertebar di media maya/Internet, serta mengkampanyekan agar anak anak lebih produktif dan berhati hati dalam menggunakan gedged karena jejak digital tidak bisa di hapus.

d. Melaksanakan Forum Diskusi Publik Implementasi Informasi Ramah Anak dalam mewujudkan Kota Layak Anak.

e. Sepanjang Tahun 2020 telah memblokir situs negatif secara umum, yang dapat menyebabkan anak menjadi korban dan pelaku tindak pidana diantaranya: 1) Konten Situs Pornografi sebanyak 38375

2) Konten Penipuan Online sebanyak 3055 3) Konten Radikalisme sebanyak 7

4) Konten Sara sebanyak 1

5) Konten berita bohong/HOAKS sebanyak 10

6) Konten pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual sebanyak 2762 7) Konten Perjudian sebanyak 76095

8) Konten Pelanggaran Informasi sebanyak 95 11. Kementerian Komunikasi dan Informatika

Dalam melaksanakan Sistem Peradilan Pidana Anak, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menyusun Petunjuk Teknis Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Nomor: 1 tahun 2020, tentang Perubahan Atas Petunjuk Teknis Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Nomor 01 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kerjasama Pengelolaan Kegiatan Penyebaran Informasi Publik antara Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Dengan Mitra Kerja Sama.

Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melaksanakan program kegiatan yaitu:

a. Forum Diskusi Publik dalam Fasilitasi Informasi Layak Anak (isu-isu sektoral, Nilai-nilai kebangsaan kepada anak anak dalam rangka memperkuat jatidiri bangsa, Sosialisasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba, Radikalis, Teroris, pornografi);

1) Media Luar Ruang

Pemasangan Billboard Anti Radikalisme di Jawa Timur (Kabupaten Lamongan, Kota Malang, Kabupaten Magetan), Nusa Tenggara Barat (Kota Bima, Kabupaten Bima), dan Sulawesi Tengah (Kota Palu, Kota Poso). 2) Webinar

a) Terorisme dan Radikalisme di Masa Pandemi: Pencegahan dan Penanggulangan pada Hari Jumat tanggal 15 Agustus 2020

b) P4GN Pencegahan tanggal, 1 oktober 2020

c) Adaptasi Kebiasaan Baru Saat Pandemi Covid 19 pada tanggal, 12 Agustus 2020

3) Media tradisional, Seni Pertunjukan Wayang GEBER-PPA di Kabupaten Boyolali, 14 Februari 2020

terutama Peraturan Daerah (PERDA) belum maksimal dibaca dan diketahui oleh responden.

b) Secara umum lembaga layanan telah menyeleksi pengurus, pegawai, pendamping dan relawan yang bekerja dalam program pelayanan tidak memiliki riwayat dan catatan kriminal, pelaku tindak kekerasan dan perilaku tidak etis lainnya. Namun belum maksimal terutama relawan perlu diperketat seleksinya.

2) Sumber Daya Manusia (SDM) Pelayanan Rehabilitasi Korban

a) SDM atau pegawai pelaksana lembaga layanan belum didukung oleh tenaga profesional, terutama Dokter, Perawat, Konselor, Pekerja Sosial, Psikolog, dan Advokat atau Penasehat Hukum.

b) SDM atau pegawai pelaksana pelayanan didukung oleh tenaga profesional yang memiliki sertifikat profesi terutama Advokat atau Penasehat Hukum, Psikolog, Dokter, Perawat, tetapi Pekerja Sosial, dan Konselor perlu didorong untuk memiliki sertifikasi profesi.

c) SDM atau pegawai pelaksana pelayanan telah mendapatkan pelatihan, pendidikan atau sosialisasi tentang Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Sistem peradilan pidana anak. Tetapi SDM atau pegawai pelaksana belum banyak yang mendapatkan pelatihan terutama tentang PP Restitusi terhadap anak Korban, Rehabilitasi Korban, dan Pelayanan & Pendampingan korban.

d) Secara umum Lembaga Layanan pernah mengadakan pelatihan, pendidikan atau sosialisasi kebijakan-kebijakan di atas tapi belum banyak yang melakukannya.

3) Program Pelayanan Rehabilitasi Korban 12. Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak nomor 11 tahun 2012 mandat KPAI di dalam Pasal 94 ayat (3) dinyatakan bahwa “Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan oleh kementerian dan komisi yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan segala keterbatasan baik SDM maupun anggaran, KPAI tahun 2020 melakukan pemantauan evaluasi dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak dalam program sebagai berikut :

a. Survey terkait Layanan Rehabilitasi Korban Anak Di 23 Provinsi di tahun 2019 yang dilakukan oleh Lembaga Layanan.

Survey diadakan dalam rangka untuk melihat dan merepresentasi opini, sikap dan perilaku stakeholder di lembaga-lembaga pelayanan dan rehabilitasi yang diberikan bagi korban anak. Secara spesifik, survei ini merepresentasi opini dan sikap lembaga-lembaga pelayanan dan rehabilitasi korban dalam sistem peradilan pidana anak seperti P2TP2A, Rumah sakit, Pemda (OPD), Lembaga Bantuan Hukum, (LBH), Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) dan lainnya. Hasil survei terhadap 119 responden ini diharapkan untuk mewakili subjek lembaga-lembaga pelayanan dan rehabilitasi korban dalam sistem peradilan pidana anak. Hasil survey secara detil dapat diakses di KPAI. Beberapa temuan atau gambaran umum didapatkan sebagai berikut :

1) Kebijakan Pelayanan Rehabilitasi Korban

a) Hasil survei memperlihatkan bahwa responden membaca dan sangat mengetahui tentang kebijakan perlindungan terhadap korban dalam sistem peradilan pidana anak UU 35/2014 (98.3%) dan UU 11/2012 (94.7%). Sementara PP tentang Diversi, Restitusi dan Koordinasi dan

137

terutama Peraturan Daerah (PERDA) belum maksimal dibaca dan diketahui oleh responden.

b) Secara umum lembaga layanan telah menyeleksi pengurus, pegawai, pendamping dan relawan yang bekerja dalam program pelayanan tidak memiliki riwayat dan catatan kriminal, pelaku tindak kekerasan dan perilaku tidak etis lainnya. Namun belum maksimal terutama relawan perlu diperketat seleksinya.

2) Sumber Daya Manusia (SDM) Pelayanan Rehabilitasi Korban

a) SDM atau pegawai pelaksana lembaga layanan belum didukung oleh tenaga profesional, terutama Dokter, Perawat, Konselor, Pekerja Sosial, Psikolog, dan Advokat atau Penasehat Hukum.

b) SDM atau pegawai pelaksana pelayanan didukung oleh tenaga profesional yang memiliki sertifikat profesi terutama Advokat atau Penasehat Hukum, Psikolog, Dokter, Perawat, tetapi Pekerja Sosial, dan Konselor perlu didorong untuk memiliki sertifikasi profesi.

c) SDM atau pegawai pelaksana pelayanan telah mendapatkan pelatihan, pendidikan atau sosialisasi tentang Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Sistem peradilan pidana anak. Tetapi SDM atau pegawai pelaksana belum banyak yang mendapatkan pelatihan terutama tentang PP Restitusi terhadap anak Korban, Rehabilitasi Korban, dan Pelayanan & Pendampingan korban.

d) Secara umum Lembaga Layanan pernah mengadakan pelatihan, pendidikan atau sosialisasi kebijakan-kebijakan di atas tapi belum banyak yang melakukannya.

3) Program Pelayanan Rehabilitasi Korban 12. Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak nomor 11 tahun 2012 mandat KPAI di dalam Pasal 94 ayat (3) dinyatakan bahwa “Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan oleh kementerian dan komisi yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan segala keterbatasan baik SDM maupun anggaran, KPAI tahun 2020 melakukan pemantauan evaluasi dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak dalam program sebagai berikut :

a. Survey terkait Layanan Rehabilitasi Korban Anak Di 23 Provinsi di tahun 2019 yang dilakukan oleh Lembaga Layanan.

Survey diadakan dalam rangka untuk melihat dan merepresentasi opini, sikap dan perilaku stakeholder di lembaga-lembaga pelayanan dan rehabilitasi yang diberikan bagi korban anak. Secara spesifik, survei ini merepresentasi opini dan sikap lembaga-lembaga pelayanan dan rehabilitasi korban dalam sistem peradilan pidana anak seperti P2TP2A, Rumah sakit, Pemda (OPD), Lembaga Bantuan Hukum, (LBH), Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) dan lainnya. Hasil survei terhadap 119 responden ini diharapkan untuk mewakili subjek lembaga-lembaga pelayanan dan rehabilitasi korban dalam sistem peradilan pidana anak. Hasil survey secara detil dapat diakses di KPAI. Beberapa temuan atau gambaran umum didapatkan sebagai berikut :

1) Kebijakan Pelayanan Rehabilitasi Korban

a) Hasil survei memperlihatkan bahwa responden membaca dan sangat mengetahui tentang kebijakan perlindungan terhadap korban dalam sistem peradilan pidana anak UU 35/2014 (98.3%) dan UU 11/2012 (94.7%). Sementara PP tentang Diversi, Restitusi dan Koordinasi dan

g) Ada hambatan-hambatan dalam mendukung dan menjalankan program pelayanan dan rehabilitasi korban dalam sistem peradilan pidana anak 77,8%. Hambatan-hambatan tersebut secara berurutan sebagai berikut: ketersediaan anggararan/dana 69,6%, kurangnya dukungan pendanaan pemerintah daerah 58,2%, SDM pegawai pelaksana pelayanan tidak didukung oleh tenaga profesional dari lintas keilmuan 41,8%, ketersediaan fasilitas lembaga 41,8%, Capacity building dalam pelayanan (pelatihan, pendidikan atau sosialisasi) 39,2%, dan kurangnya dukungan orang tua korban 38,0%

4) Reunifikasi/Reintegrasi dan Home Visit Pelayanan Rehabilitasi Korban a) Dalam proses reunifikasi dan/atau reintegrasi (pengembalian korban

pada keluarga dan/atau masyarakat), masih ada hambatan dan penolakan dari keluarga dan/atau masyarakat walaupun hambatan itu bagian kecil saja. Hambatan dari keluarga 26,1% dan masyarakat 21%. Hambatan-hambatan ini terjadi malu karena aib keluarga 62,1%. b) Dilakukan Home Visit (kunjungan ke rumah) untuk kepentingan

pemantauan atau monitoring terhadap korban pada saat telah dilakukan Case Closed (pengakhiran) pelayanan. Tetapi masih ada yang belum melakukan home visit setelah pengakhiran layanan yaitu sebanyak 29%.

5) Peran Pemerintah Daerah dan Lembaga Donor dalam Pelayanan Rehabilitasi Korban.

a) Kebijakan Pemerintah Daerah tentang perlindungan terhadap korban atau yang mendukung pelaksanaan layanan rehabilitasi terhadap korban anak 76,8%. Kebijakan ini perlu dimaksimalkan. Karena dengan kebijakan tersebut pemerintah daerah mengalokasikan dana terhadap a) Ada tiga permasalahan yang sering dialami oleh korban sebelum

mendapatkan program pelayanan dan rehabilitasi Korban kejahatan seksual, Korban kekerasan fisik/psikis, Korban perlakuan salah dan penelantaran.

b) Lembaga layanan menyediakan jenis layanan dan rehabilitasi untuk menyembuhkan masalah yang di hadapi korban. Yang paling banyak jenis layanannya adalah bagi korban kejahatan seksual, kekerasan fisik/psikis, dan perlakuan salah dan penelantaran.

c) Program pelayanan dan rehabilitasi yang diberikan kepada korban yang benar-benar tuntas sampai korban dinyatakan pulih 48,3%. Tidak tuntas rehabilitasinya dikarenakan korban pindah, keluarga korban menolak, anggaran lembaga terbatas.

d) Lembaga layanan memiliki batas waktu dalam memberikan pelayanan dan rehabilitasi terhadap anak korban 38%. Jika waktu maksimal layanan telah habis (sesuai SOP), sedangkan pelayanan rehabilitasi korban belum tuntas korban dikembalikan kepada orang tua 37%, dirujuk kepada lembaga layanan lainnya 37%. Anak yang dikembalikan/dirujuk diberikan surat rekomendasi oleh lembaga layanan yang diberikan terhadap korban 80%.

e) Dalam pelaksanaan program pelayanan dan rehabilitasi terhadap korban perlu bekerjasama (rujukan kasus) dengan lembaga atau profesional perorangan lainnya 91%.

f) Keluarga dan Orang tua dilibatkan dalam proses rehabilitasi 96% dan keterlibatan keluarga dan orang tua dalam proses rehabilitasi korban “konseling orang tua 88,8%” dan layanan paska pemulihan 7,9%.

139

g) Ada hambatan-hambatan dalam mendukung dan menjalankan program pelayanan dan rehabilitasi korban dalam sistem peradilan pidana anak 77,8%. Hambatan-hambatan tersebut secara berurutan sebagai berikut: ketersediaan anggararan/dana 69,6%, kurangnya dukungan pendanaan pemerintah daerah 58,2%, SDM pegawai pelaksana pelayanan tidak didukung oleh tenaga profesional dari lintas keilmuan 41,8%, ketersediaan fasilitas lembaga 41,8%, Capacity building dalam pelayanan (pelatihan, pendidikan atau sosialisasi) 39,2%, dan kurangnya dukungan orang tua korban 38,0%

4) Reunifikasi/Reintegrasi dan Home Visit Pelayanan Rehabilitasi Korban a) Dalam proses reunifikasi dan/atau reintegrasi (pengembalian korban

pada keluarga dan/atau masyarakat), masih ada hambatan dan penolakan dari keluarga dan/atau masyarakat walaupun hambatan itu bagian kecil saja. Hambatan dari keluarga 26,1% dan masyarakat 21%. Hambatan-hambatan ini terjadi malu karena aib keluarga 62,1%. b) Dilakukan Home Visit (kunjungan ke rumah) untuk kepentingan

pemantauan atau monitoring terhadap korban pada saat telah dilakukan Case Closed (pengakhiran) pelayanan. Tetapi masih ada yang belum melakukan home visit setelah pengakhiran layanan yaitu