• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiskinan

Dalam dokumen Skripsi Pendidikan 133 (Halaman 40-50)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

D. Kemiskinan

Dalam setiap masyarakat atau perkembangan masyarakat dimanapun dan kapanpun, senantiasa ada kelompok yang karena barbagai keterbatasan yang membelenggunya, tidak dapat mensejajarkan diri dengan kelompok lainnya untuk memperoleh dan menikmati kekayaan dan harta benda yang berharga. Sesungguhnya, tidak ada masyarakat yang semua warga atau kelompok di dalamnya memiliki kekayaan dan peluang secara sama rata. Faktor penyebab utama adanya perbedaan itu adalah sistem stratifikasi sosial dan sistem pendistribusian kekuatan sosial yang ada di masyarakat. Mereka yang tertinggal, tidak bisa terlibat untuk berkembang bersama-sama dengan warga masyarakat lainnya karena lemah secara ekonomi, sosial, politik dan budaya

Kelompok atau warga masyarakat yang tertinggal itu yang dapat digolongkan sebagai kelompok masyarakat miskin umumnya berpendidikan rendah atau sama sekali tidak mengalami pendidikan sekolah. Mereka kurang memiliki kesempatan untuk menyatakan dirinya, baik yang bertalian dengan pemenuhan kebutuhan hidup materi maupun kesempatan untuk berperan dalam organisasi sosial politik serta kurang mampu mengembangkan jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan yang layak. (Tjetjep Rohendi Rohidi, 2000:17)

Kemiskinan merupakan suatu masalah sosial klasik yang mengandung begitu banyak dimensi dan terikat pula dengan banyak hal. Dan ketika kini

kita membicarakan mengenai kemiskinan, sebenarnya masih banyak perdebatan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan konsepsi kemiskinan. Dan untuk memperkokoh validitas penelitian ini maka perdebatan – perdebatan tersebut tidak akan di permasalahkan di sini.

Scot (1979) (dalam bukunya Tjetjep R.R, 2000:24) berpendapat bahwa kemiskinan dapat didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan nonmateri yang diterima oleh seseorang. Kemiskinan, pertama-tama, dapat diartikan sebagai kondisi yang diderita manusia karena kekurangan atau tidak memiliki pendidikan yang layak untuk meningkatkan taraf hidupnya, kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kedua, kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki aset, seperti tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan dapat didefinisiskan sebagai kekurangan atau ketiadaan nonmateri yang meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan yang layak.

Friedmann (1979) (Tjetjep Rohendi Rohidi, 2000:25) menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada): modal yang produktif atau asset, misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan dan lain-lain ; sumber-sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai); organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (partai politik, sindikat, koperasi dan lain-

lain); jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dan lain- lain; dan pengetahuan atau ketrampilan yang memadai, serta informasi yang berguna untuk memajukan kehidupannya.

Coleman dan Cressy memberikan pengertian tentang kemiskinan dengan mendefinisikannya melalui 2 jalur pendekatan, yang pertama adalah pendekatan absolut yang menyatakan bahwa pembeda antara yang kaya dengan yang miskin adapila suatu standar obyektif tertentu seperti misalnya kurangnya uang untuk mendapatkan makanan, pakaian dan tempat berlindung yang cukup, mereka yang miskin adalah mereka yang memiliki keadaan dibawah standar obyektif tersebut. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan relatif yang menyatakan bahwa orang miskin adalah mereka yang secara signifikan memiliki pendapatan dan kekayaan yang kurang dari rata-rata orang yang berada disekitar mereka (Vivin Alvian, 2002: 19)

Dimensi lain dari kemiskinan itu sendiri tidaklah hanya pada masalah yang bisa disebut miskin dan yang mana tidak, permasalahan yang ada sebenarnya jauh lebih kompleks dari pada itu semua. Terutama jika kita mengetahui bahwa sebenarnya perbedaan pendapatan antara mereka yang kaya dengan yang miskin akan membawa pengaruh-pengaruh terhadap gaya hidup seseorang, sikap seseorang terhadap orang lain bahkan pengaruh pada sikap terhadap dirinya sendiri.

Orang-orang yang hidup dalam kemiskinan memiliki berbagai karakteristik diri yang mau tidak mau akan berpengaruh dalam berbagai bidang kehidupan mereka. Karakteristik-karakteristik tersebut kebanyakan

muncul sebagai hasil dari upaya mereka untuk mempertahankan diri di tengah kondisi kemiskinan yang mereka alami, yang kadangkala memang tampak tidak berujung.

Suparlan (1984) menyatakan bahwa masyarakat miskin menganut prinsip ekonomi bahwa hasil kerja mereka adalah hasil kerja yang harus dapat segera dinikmati, karenanya mereka belum memikirkan masa-masa mendatang dan itulah sebabnya mereka sangat tidak tertarik kepada segala bentuk tabungan atau investasi.

Menurut Lincolin Arsyad, indikator kemiskinan ada bermacam- macam yaitu konsumsi beras perkapita per tahun, tingkat pendapatan dan tingkat kesejahteraan yang terdiri dari 9 komponen yaitu kesehatan, konsumsi makanan dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, jaminan sosial, sandang, rekreasi dan kebebasan.

Sajogjo (1977) menggunakan tingkat konsumsi beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Untuk daerah pedesaan, penduduk dengan konsumsi beras kurang dari 240 kg per kapita per tahun, sedangkan daerah perkotaan adalah 360 kg per kapita pertahun.

Seorang ahli antropologi, Oscar Lewis bahkan pernah menyatakan bahwa kemiskinan telah membuat para penderitanya membangun sebuah kebudayaan tersendiri, yang disebut oleh Lewis sebagai kebudayaan kemiskinan. Ia menyatakan bahwa kebudayaan kemiskinan merupakan suatu hasil dari reaksi para orang miskin terhadap kesenjangan secara ekonomi yang mereka alami dari masyarakat sekitarnya.Pertama kali kebudayaan

kemiskinan itu tumbuh, maka hal itu akan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya secara terus menerus.

Pramuwito juga menyatakan bahwa kemiskinan telah membuat orang- orang yang berada didalamnya memiliki karakteristik tingkah laku yang melekat erat dalam kehidupan mereka sehari-hari, salah satu tingkah laku tersebut adalah tingkah laku ekonomi yang di gambarkan sebagai berikut : - Mereka ingin bekerja yang cepat mendapatkan hasil dan karena modal yang mereka miliki hanya otot mereka maka mereka bekerja di sektor informal. Dengan pekerjaan itu, mereka merasa dapat langsung segera menikmati hasilnya.

- Masyarkat miskin pada umumnya menginginkan pekerjaan yang sederhana, tidak idealis dan yang tidak menggunakan prosedur yang rumit.

- Oleh karena pekerjaan mereka yang sederhan dan hanya mengandalkan otot, maka sebagian besar dari mereka penghasilannya relatif kecil. Dengan penghasilan yang relatif kecil tersebut, mereka berusaha dengan tindakan- tindakan yang spekulatif, seperti hutang, bejudi, gadai menggadai dan lain sebagainya.

Kemiskinan memang telah menjadi suatu masalah sosial yang sangat kompleks dan rumit, kebanyakan cara dan metode yang di gunakan oleh pihak-pihak yang ingin memerangi kemiskinan memang memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan tidak parsial. Dan karena kemiskinan masyarakat tentang manusia, maka upaya penyelesaian masalah itu harus dengan mempertimbangkan ketiga aspek yang melekat dalam diri manusia

Sebagai sebuah masalah sosial konvensional telah disadari bahwa kemiskinan memang tidak dapat dihilangkan dari seluruh wajah dunia ini dengan total dan tanpa bersisa, tetapi kemiskinan itu sendiri sebenarnya dapat dikurangi. Dan yang mungkin paling sering kita dengar dalam berbagai program pengentasan kemiskinan, baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak non pemerintah adalah tentang tujuan program-program tersebut dengan berbagai cara dan metodenya untuk meningkatkan taraf penghasilan para masyarakat miskin. Ini artinya ada suatu tujuan yang ingin mengurangi kesenjangan penghasilan antara mereka yang hidup dalam kemiskinan dengan mereka yang hidup berkecukupan.

Banyaknya perdebatan tentang batasan yang dipergunakan tentang kategori kemiskinan dalam penelitian ini akan disederhanakan dengan jalan memakai kategori kemiskinan menurut Pramuwito.

D. Keluarga Miskin

Di Indonesia terdapat istilah keluarga miskin yang biasanya lebih sering disebut dengan keluarga pra-sejahtera ataupun keluarga sejahtera 1 dan seterusnya. Di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia tahun 1995, disebutkan bahwa pengertian Keluarga Pra-Sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dalam hal sandang, pangan, papan dan pelayanan kesehatan yang sangat dasar. Sedangkan keluarga Sejahtera I adalah kelarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dalam hal sandang, pangan, papan dan pelayanan kesehatan yang sangat dasar tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) merupakan sebuah lembaga pemerintah non-departemen telah menetapkan suatu standar penilaian yang kemudian berguna untuk memberikan secara jelas perbedaan antara keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Untuk keluarga Pra- Sejahtera belum terpenuhi seluruh standar penilaian, sedangkan untuk keluarga Sejahtera I kriteria 1 sampai 5 telah terpenuhi. Standar penilaian tersebut adalah :

a. melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut oleh masing- masing anggota keluarga.

b. pada umumnya anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih c. pada umumnya anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda

untuk di rumah, bekerja untuk sekolah dan bepergian. d. bagian terluas dari lantai rumah bukan tanah.

e. bila anak sakit dan atau pasangan usia subur ( PUS ) ingin ber-KB maka dibawa kesarana kesehatan.

f. anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur.

g. paling kurang 1 kali seminggu keluarga menyediakan daging/telur/ikan.

h. seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang 1 stel pakaian baru pertahun.

i. luas lantai rumah kurang 8 m2 untuk tiap penghuni.

j. seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat.

k. paling kurang 1 orang anggota keluarga berumur 15 tahun keatas berpenghasilan tetap.

l. seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa baca tulis huruf latin.

m. seluruh anggota keluarga yang berusia 6-15 tahun bersekolah pada saat ini.

n. bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih PUS ini memekai kontrasepsi (kecuali sedang hamil).

o. mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. p. sebagian dari penghasilan dapat disisihkan untuk tabungan

keluarga.

q. biasanya makan bersama paling kurang 1 kali dalam sehari dan kesempatan itu dapat dimanfaatkan untuk komunikasi keluarga.

r. ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal. s. mengadakan rekreasi bersama di luar rumah paling kurang sekali

per 6 bulan.

t. dapat memperoleh berita dari surat kabar/radio/televisi/majalah. u. anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi sesuai

ketentuan daerah.

v. secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk material.

w. kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan/ yayasan/ institusi masyarakat.

Menurut Sajogjo dan Pudjiwati Sajogjo, bahwa rumah tangga yang tergolong tak cukup dalam hal penghasilan diukur dengan ukuran senilai (ekuivalen jual-beli) beras bukan rupiah tanpa perlu membuat perhitungan pengaruh inflansi dan perbedaaan harga pangan di baragam daerah. Hal ini terlihat dari laporan kasus desa Sriharjo (Kabupaten Bantul, D. I. Yogyakarta) bahwa ukuran tingkat penghasilan “cukup” yang diambil serendah 20 kg ekuivalen beras per orang sebulan (penghasilan Rp 10.000,00 bagi keluarga sebesar 5 orang, jika harga beras Rp 100,00 per kg).

Kita tidak dapat mengingkari bahwa manusia adalah makhluk berbudaya, yaitu sebagai konsekuensi logis dari hidup manusia dan berkembang dalam kondisi kebudayaan tertentu. Manusia telah hidup, dibesarkan dan bekerja, dalam lingkungan budaya tertentu. Tidak hanya orang-orang dewasa yang merupakan manusia berbudaya, melainkan juga anak-anak. Anak-anak merupakan manusia yang telah terlatih untuk dapat berbicara dengan orang lain dengan penggunaan bahasa tertentu, manusia; manusia yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan tertentu; manusia yang mempunyai pengetahuan tertentu; terutama pengetahuan tentang lingkungan dekat masing-masing; manusia yang telah mempunyai nilai-nilai tertentu yang dijadikan pedoman untuk bertindak dan pedoman dalam menanggapi banyak hal yang dihadapi; manusia yang berpegang pada aturan-aturan tertentu yang telah diajarkan kepadanya sebagai pegangan dalam pergaulan dengan orang-

orang lain, aturan yang menyatakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing; manusia yang telah mempunyai cara berpikir sesuai dengan kebudayaan di lingkungannya (Bachtiar, 1987 dalam bukunya Tjetjep Rohendi Rohidi, 2000:26)

Singkatnya, anak merupakan manusia berbudaya yang mendukung kebudayaan tertentu yang juga dianut oleh para orang tuanya atau masyarakat yang lebih luas.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak-anak dari orang tua yang hidup dalam kondisi kemiskinan dibesarkan dan tumbuh dalam pola- pola kehidupan masyarakat yang mendukung kebudayaan tertentu yaitu kebudayaan yang menyiratkan adanya sifat-sifat kebudayaan kemiskinan. Lewis(1984:32) mengatakan bahwa tatkala kebudayaan kemiskinan sudah muncul, akan cenderung terus dilestarikan, betapa banyaknya perubahan yang terjadi dalam kondisi lingkungan disekitar orang-orang miskin tersebut. Lewis melihat kebudayaan kemiskinan sebagai suatu subkebudayaan yang ditransmisikan antar generasi. Artinya dalam konteks sosialisasi dan kulturasi adalah bahwa anak yang hidup dalam kebudayaan kemiskinan sejak dini telah tercetak dalam kebudayaan kemiskinan tersebut ( Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohani, 2000:201).

Di Amerika dan dikebanyakan budaya barat lainnya, perbedaan kelas sosial suatu keluarga dengan keluarga lain mampu menimbulkan perbedaan dalam pola pengasuhan anak-anak dalam keluarga tersebut. Orang tua yang berasal dari kelas sosial rendah sering menempatkan menempatkan

nilai-nilai yang tinggi terhadap karakteristik eksternal anak, contohnya adalah kepatuhan. Sedangkan orang tua dari keluarga menengah lebih memberikan penilaian yang tinggi terhadap karakteristik internal seperti misalnya saja konsep diri.

Selain itu terdapat pula perbedaan dalam perilaku para orang tua yang berasal dari kelas sosial yang berbeda, orang tua yang berasal dari kelas sosial menengah akan lebih sering menjelaskan sesuatu dengan menggunakan bahasa verbal, mengajarkan kedisiplinan dengan alasan dan membiarkan serta mengijinkan anak-anak mereka untuk bertanya. Sedangkan orang tua dari kelas sosial rendah akan lebih sering mendisiplinkan mereka dengan hukuman fisik dan menghina anak-anak (Vivin Alvian, 2002 : 18).

Dalam dokumen Skripsi Pendidikan 133 (Halaman 40-50)

Dokumen terkait