• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

3. Kemitraan Strategik

Hill (2001) mendefinisikan kemitraan strategik (strategic alliance) sebagai kesepakatan kooperatif di antara pesaing-pesaing aktual ataupun potensial. Daniel

dan Radebaugh (1996) mendefinisikan kemitraan strategik sebagai kesepakatan di antara perusahaan -perusahaan yang secara strategik penting bagi kemampuan bersaing perusahaan-perusahaan tersebut. Sementara itu Hafsah (1999) mendefinisikan kemitraan sebagai strategi usaha yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Hitt (1995) mendefinisikan kemitraan strategik sebagai kemitraan di antara beberapa perusahaan di mana sumber daya, kapabilitas, dan kompetensi inti perusahaan -perusahaan tersebut dipadukan untuk mencapai kepentingan bersama.

Hitt (1995) menyatakan bahwa kemitraan strategik dapat menghindari persaingan yang tidak perlu di suatu pasar. Selain itu, kemitraan strategik memberikan kesempatan kepada suatu perusahaan untuk mendapatkan akses ke sumber daya yang bersifat komplementer dengan sumber daya yang telah dimiliki dan meminimalkan risiko. Kemitraan strategik dapat membantu perusahaan mempertahankan atau mengembangkan SCA (Sustainable Competitive Advantages). Hafsah (1999) menambahkan bahwa kemitraan usaha harus memberikan manfaat pemerataan kesejahteraan.

Gumbira-Sa’id (2000) membahas konsep estate farming dan collective farming

yang menyangkut pola sistem kemitraan terpadu yang juga bermuara pada peningkatan produktivitas. Gumbira-Sa’id (2000) menegaskan bahwa pemberdayaan sektor agribisnis/agroindustri untuk peningkatan ekonomi Indonesia harus diarahkan pada pencapaian tujuh sasaran di bawah ini:

1.Peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan kekuatan ekonomi rakyat dan peningkatan produktivitas tanaman pangan.

2.Peningkatan penerimaan devisa melalui pe ningkatan ekspor nonmigas dan peningkatan nilai tambah produk, di antaranya produk hortikultura yang pasar ekspornya sangat besar.

3.Struktur agroindustri yang kuat yang dilandaskan pada usaha kecil dan menengah yang kuat, yang mampu memanfaatkan keunggulan komparatif guna mencapai keunggulan kompetitif dalam menghadapi persaingan global.

4.Sektor agribsnis/agroindustri yang tangguh khususnya pada kinerja tanaman pangan dan hortikultura sebagai landasan pembangunan ekonomi Indonesia menuju era industrialisasi.

5.Daya saing produk domestik yang tinggi melalui peningkatan produktivitas dengan mempercepat inovasi dan diseminasi teknologi tepat-terap dan tepat- sasaran.

6.Standar mutu yang dapat diterima oleh pasar global.

7.Pembangunan ekonomi rakyat yang berkelanjutan yang mampu mendorong pembangunan wilayah yang seimbang.

Gumbira-Sa’id (2000) menyatakan bahwa sasaran-sasaran di atas dapat dicapai melalui pola sistem kemitraan terpadu, yaitu sistem kemitraan untuk memperkuat eksistensi integrasi vertikal suatu atau sekelompok komoditas. Konsep di atas dikenal sebagai konsep estate farming dan collective farming.

Sumardjo et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat dua tipe kemitraan yang berkembang di Indonesia, yaitu tipe dispersal dan tipe sinergis. Tipe kemitraan dispersal dicirikan oleh tidak adanya ikatan formal yang kuat di antara pihak-pihak yang bermitra. Jaringan dalam kemitraan ini hanya terikat pada mekanisme pasar dan hubungan di antara pihak-pihak yang bermitra bersifat tidak langsung dan hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri (Sumardjo et al., 2004). Pada kemitraan tipe

dispersal, pihak pengusaha lebih kuat dibandingkan produsen (dalam hal ini petani). Kondisi seperti ini menimbulkan kesenjangan dalam sistem bisnis hulu dan hilir. Kesenjangan yang terjadi berupa asimetri informasi tentang harga, mutu, teknologi, dan akses permodalan. Sumardjo et al. (2004) menegaskan bahwa kesenjangan- kesenjangan seperti itu dapat diatasi dengan menggunakan kemitraan tipe sinergis. Dalam kemitraan tipe sinergis kesenjangan tersebut dihilangkan dengan menjembatani subsistem bisnis hulu-hilir (produsen-industri pengolahan-pemasaran) dan hulu-hulu (sesama produsen).

Hubungan hulu-hilir di atas sejalan dengan model rantai nilai Porter (1993). Porter (1993) mendefinisikan rantai nilai sebagai rangkaian kegiatan mulai dari pemerolehan bahan baku dan bahan penolong sampai ke produk akhir yang dinikmati konsumen. Kegiatan -kegiatan ini dapat berupa proses pembelian, proses desain, proses produksi, proses pemasaran, dan sebagainya yang secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Rantai nilai generik (Porter, 1993).

Model rantai nilai Porter mengelompokkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan organisasi ke dalam dua golongan, yaitu: (1) kegiatan primer yang langsung terlibat dalam proses produksi, pemasaran, dan penyerahan produk akhir kepada konsumen dan (2) kegiatan pendukung. Selanjutnya Porter (1993) menyatakan ada lima kegiatan utama, yaitu:

Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: 8

1.Logistik ke dalam, meliputi penerimaan, penyimpanan, dan penyampaian bahan baku dan sebagainya untuk diolah, seperti penanganan bahan, pergudangan, pengendalian sediaan, penjadwalan kendaraan pengangkut, dan pengembalian bahan yang rusak atau tidak memenuhi standar kepada pemasok.

2.Operasi, yaitu kegiatan yang berkaitan dengan perubahan (konversi) masukan menjadi produk akhir, seperti masinasi, pengemasan, perakitan, pemeliharaan peralatan, pengujian, dan pengoperasian fasilitas.

3.Logistik ke luar, meliputi pengumpulan, penyimpanan, dan distribusi fisik produk kepada pembeli, seperti penyimpanan barang jadi, penanganan barang jadi, operasi kendaraan pengirim, dan pemrosesan pesanan.

4.Pemasaran dan penjualan, meliputi penyediaan sarana yang memungkinkan pembeli membeli produk dan mempengaruhi pembeli untuk melakukan pembelian, seperti periklanan, promosi penjualan, tenaga penjual, pemilihan saluran distribusi, hubungan dengan penyalur, dan penetapan harga.

5.Layanan, meliputi layanan untuk meningkatkan dan mempertahankan nilai produk, seperti pemasangan, perbaikan, penyediaan suku cadang, dan penyesuaian produk.

Sementara itu, kegiatan pendukung dikelompokkan ke dalam empat kategori sebagai berikut (Porter, 1993):

1. Kegiatan pembelian, meliputi fungsi pembelian input yang digunakan dalam rantai nilai perusahaan.

2. Pengembangan teknologi, menyangkut semua teknologi yang digunakan dalam setiap titik dalam rantai nilai.

3. Manajemen sumber daya manusia, berkaitan dengan kegiatan seleksi, penerimaan, pelatihan dan pengembangan, promosi, dan kompensasi karyawan.

4. Infrastruktur perusahaan, mencakup manajemen umum, perencanaan, keuangan, hukum, hubungan dengan pemerintah, manajemen mutu, dan sebagainya.

Menurut Porter (1993), organisasi harus mengidentifikasi rantai nilainya, dan kemudian mengidentifikasi perubahan (pertambahan) nilai yang dihasilkan pada setiap titik proses (mata rantai). Organisasi kemudian dapat memusatkan perhatian pada proses yang dapat dikerjakannya secara efisien dan dengan demikian memberikan nilai tambah tinggi bagi organisasi dan selanjutnya meningkatkan kompe tensinya dalam proses (proses-proses) tersebut. Organisasi seringkali dapat menyerahkan saja proses-proses lain yang tidak dapat dilakukannya secara efisien kepada pihak lain yang dapat melakukannya secara lebih efisien dan dengan demikian melibatkan pihak -pihak lain dalam pembuatan suatu produk (outsourcing). Kerjasama di antara beberapa organisasi di sepanjang rantai nilai ini dikenal sebagai aliansi (kemitraan) strategik.

Mutis dalam Hafsah (1999) berpendapat bahwa dalam suatu kemitraan strategik harus ada kodeterminasi yang mengakui bahwa semua pihak yang terlibat dalam aliansi mempunyai peran yang penting. Kemitraan harus dilakukan secara partisipatif dan tidak boleh ada pihak yang mengalami marginalisasi dalam prosesnya. Mutis mengaitkan konsep kemitraan dengan paradigma strategic intent

dari Hamel dan Prahalad (1995), dan menegaskan bahwa kemitraan strategik harus memadukan strategic intent dari pihak-pihak yang bermitra, sehingga kemitraan tersebut dapat menghasilkan nilai baru. Strategic intent didefinisikan sebagai pemanfaatan sumber daya internal, kapabilitas, dan kompetensi inti perusahaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang sebelumnya dianggap tidak akan tercapai dengan mengingat lingkungan persaingan yang dihadapi perusahaan (Hitt, Ireland, dan Hoskisson, 2001).

Hafsah (1999) berpendapat bahwa kemitraan usaha di antara usaha besar dan menengah dengan usaha kecil/koperasi akan mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi. Karena usaha kecil dan koperasi merupakan bag ian terbesar dari pelaku ekonomi nasional, Hafsah menegaskan perlunya usaha kecil dan koperasi diberi peluang dan peran yang lebih besar untuk menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Ini sesuai dengan pendapat Gumbira- Sa’id (2000) yang menyatakan perlunya pemberdayaan sektor usaha kecil/menengah dan koperasi.

Selanjutnya Hafsaah (1999) mengemukakan bahwa tujuan kemitraan adalah sebagai berikut:

1.Memacu peningkatan pendapatan usaha kecil dan masyarakat pada umumnya. 2.Memberikan nilai tambah yang besar bagi pelaku kemitraan.

3.Memacu tingkat pertumbuhan ekonomi desa, wilayah, dan nasional. 4.Menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar.

5.Memeratakan dan memberdayakan masyarakat dan usaha kecil.

Sanim (2000) menambahkan bahwa tujuan suatu kemitraan usaha juga mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Upaya untuk mengurangi kesenjangan dan kecemburuan sosial dalam rangka memelihara stabilitas nasional dan mengembangkan wawasan kebangsaan. 2. Memperluas kesempatan kerja dan usaha bagi usaha kecil, menengah dan koperasi

sekaligus juga meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

3. Meningkatkan nilai tambah sumber daya sebagai aset nasional, agar dinikmati rakyat banyak.

Usaha kecil dan menengah (UKM) melalui kemitraan dapat memperoleh manfaat berupa akses pasar, modal, transfer ekonomi dan manajemen yang dimiliki

perusahaan besar sementara perusahaan besar memperoleh manfaat berupa kontinuitas bahan baku, fleksibilitas, dan skala ekonomis. Di samping itu, kemitraan juga dapat mengurangi bentuk monopoli atau terkonsentrasinya usaha pada sebagian kecil kelompok masyarakat.

Menurut Hafsah (1999) ada lima pola kemitraan yang banyak dilaksanakan di Indonesia saat ini, seperti dijelaskan di bawah ini:

1.Pola Inti-Plasma, yaitu hubungan kemitraan antara kelompok usaha yang berperan sebag ai inti dan kelompok usaha yang berperan sebagai plasma. Salah satu contoh pola kemitraan ini adalah PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Dalam kemitraan PIR, perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis dan manajemen, menampung hasil produksi, serta memasarkan hasil produksi dari perusahaan plasma. Sumardjo et al. (2004) menyatakan bahwa kemitraan inti- plasma dapat menciptakan saling ketergantungan di antara pihak -pihak yang bermitra dan dapat menciptakan peningkatan usaha serta mendorong perkembangan ekonomi melalui penumbuhan pusat-pusat ekonomi baru. Namun demikian, Sumardjo et al. (2004) menemukan beberapa masalah yang berkembang dalam kemitraan ini-plasma, yaitu a) pihak plasma kurang memahami hak dan kewajibannya sehingga kesepakatan yang telah ditetapkan tidak berjalan dengan lancar, b) perusahaan inti kurang berkomitmen dalam memenuhi perannya sesuai kesepakatan, c) kontrak kemitraan yang ada kurang menjamin hak dan kewajiban pihak plasma sehingga terkadang pengusaha ini dapat mempermainkan harga komoditas yang dihasilkan pihak plasma. Selain itu, Sumardjo et al.(2004) menegaskan belum adanya pihak ketiga yang dapat berfungsi secara efektif sebagai arbitrator dalam penyimpangan kesepakatan yang terjadi.

2.Pola Subkontrak, yaitu hubungan kemitraan di mana suatu perusahaan menyerahkan sebagian kegiatan produksinya kepada perusahaan lain. Pola subkontrak ditandai dengan adanya kesepakatan bersama yang mencakup volume, harga, mutu, dan waktu penyerahan (Sumardjo et al., 2004). Perusahaan Toyota di Jepang telah berhasil mengembangkan pola subkontrak dengan menyerahkan produksi berbagai komponen otomotifnya kepada perusahaan menengah dan kecil di Jepang (Hafsah, 1999). Sumardjo et al. (2004) menegaskan bahwa dalam banyak kasus pola subkontrak memungkinkan terciptanya alih-teknologi dan terjaminnya pemasaran produk kelompok mitra. Namun demikian pola ini cenderung mengisolasi produsen kecil dan dapat mengarah ke situasi monopoli atau monopsoni, terutama dalam penyediaan bahan baku dan pemasaran.

3.Pola Dagang Umum, yaitu hubungan kemitraan antara mitra usaha yang memasarkan hasil produksi dengan mitra usaha yang melakukan kegiatan produksinya. Beberapa usaha agribisnis di kawasan Puncak, Jawa Barat, menerapkan pola ini, di mana kelompok usaha tani yang melakukan kegiatan produksi bermitra dengan toko swalayan yang memasarkan hasil produksi. Pada dasarnya pola ini didasarkan pada hubungan jual-beli biasa sehingga diperlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak-pihak yang bermitra (Sumardjo et al,

2004). Pola kemitraan ini memungkinkan terciptanya kesepakatan harga yang saling menguntungkan dan terjaminnya kualitas produk yang diperjual -belikan. Sumardjo et al.(2004) menemukan dua masalah dalam pola kemitraan dagang umum, yaitu a) dalam praktik, harga dan volume produk sering ditentukan secara sepihak oleh pengusaha mitra pembeli sehingga merugikan pengusaha mitra penjual, dan b) sistem perdagangan seringkali berbentuk konsinyasi yang

membuat pembayaran bagi pengusaha mitra penjual tertunda, dan ini membuat beban modal ditanggung oleh pengusaha mitra penjual.

4.Pola Keagenan, yaitu hubungan kemitraan di mana usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang/jasa hasil produksi usaha menengah atau besar. Pola ini menguntungkan pengusaha kecil mitra yang modalnya kurang kuat karena biasanya produk yang dipasok oleh produsen besar diberikan atas dasar konsinyasi. Namun demikian, usaha kecil mitra seringkali menetapkan harga yang terlalu tinggi sehingga merugikan konsumen (Sumardjo et al, 2004).

5.Pola Waralaba, yaitu hubungan kemitraan di mana salah satu pihak bertindak sebagai pemilik merek dan memberikan lisensi kepada pihak lain untuk menggunakan merek tersebut dan memasarkan produk yang menggunakan merek tersebut dengan membayarkan sejumlah royalti kepada pihak pemilik merek. Contoh usaha yang menggunakan pola ini adalah McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, dan Es Teler 77.

Badan Agribisnis Deparemen Pertanian (1998) menambahkan bahwa dalam usaha pertanian ada pola kemitraan lain yang dapat dikembangkan yaitu Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Dalam kemitraan ini kelompok petani sebagai mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja, sementara perusahaan besar sebagai mitra menyediakan modal dan sarana untuk membudi-dayakan atau mengusahakan suatu komoditas pertanian. Sementara itu, Suhardi (1992) mengemukakan salah satu pola hubungan kemitraan, yaitu pola pembinaan. Dalam pola pembinaan ini industri kecil yang memiliki kemampuan produksi tetapi lemah dalam akses pasar bermitra dengan perusahaan besar, yang berperan sebagai bapak angkat. Perusahaan besar sebagai bapak angkat harus memiliki akses pasar, relasi, kepercayaan dari masyarakat, sarana komunikasi, dan kredibilitas yang tinggi yang dapat dimanfaatkan

untuk mengembangkan usaha mitranya (industri kecil). Pada pola kemitraan ini usaha yang dilakukan tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha perusahaan bapak angkat.

Dalam kaitan hubungan kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil/menengah, Hafsah (1999) mengusulkan pendekatan tiga tahap sebagai berikut: 1.Kemitraan Sederhana. Pada tahap ini hubungan bisnis biasa ditingkatkan menjadi

hubungan kemitran yang memberikan tanggung jawab kepada masing-masing mitra yang terlibat. Secara garis besar usaha besar bertanggung jawab untuk memberikan bantuan modal atau kemudahan memperoleh modal kepada usaha kecil mitranya guna mengembangkan usaha dan menyediakan sarana produksi yang dibutuhkan. Usaha kecil bertanggung jawab untuk memasok hasil produksinya kepada usaha besar dalam jumlah dan kualitas yang sesuai dengan standar yang telah disepakati bersama. Dalam kemitraan ini usaha besar juga bertanggung jawab memberikan pembinaan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia usaha kecil/menengah.

2.Kemitraan Tahap Madya. Pada tahap ini peran usaha besar dalam membina usaha kecil mulai dikurangi. Usaha besar tidak lagi memberikan bantuan modal dan manajemen usaha. Peran usaha besar lebih dipusatkan pada bantuan teknologi, peralatan untuk meningkatkan produksi dan kualitas produk, industri pengolahan, serta jaminan pemasaran.

3.Kemitraan Tahap Utama. Hafsah (1999) berpendapat bahwa tahap ini merupakan tahap yang paling ideal untuk dikembangkan. Pada tahap ini usaha kecil mulai ikut menanamkan modal usaha pada usaha besar mitranya dalam bentuk saham. Adanya ke pemilikan saham akan menimbulkan rasa ikut memiliki terhadap perkembangan usaha dari usaha besar mitranya. Beban risiko bersama yang timbul

akibat kepemilikan saham diharapkan dapat menghasilkan sinergi. Meskipun ideal, kemitraan tahap utama menuntut persyaratan yang berat khususnya bagi usaha kecil karena tahap ini menuntut usaha kecil untuk memiliki kemampuan manajerial yang memadai serta pengetahuan bisnis yang luas.

Hafsah (1999) menegaskan bahwa pada tahap manapun, pemerintah seyogyanya berperan sebagai fasilitator. Sebagai fasilitator, pemerintah diharapkan menciptakan iklim usaha yang kondusif, misalnya dalam bentuk penyediaan fasilitas dan kemudahan dalam berinvestasi, penyediaan/pembangunan sarana tansportasi, telekomunikasi dan listrik, serta perangkat perundang-undangan yang mendukung kemitraan usaha.

Gumbira-Sa’id (2001) mengidentifikasi tujuh penyebab kegagalan sistem kemitraan yang selama ini telah dilakukan di Indonesia, seperti yang didaftarkan di bawah ini:

1. Kemitraan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil tidak didasarkan pada prinsip saling membutuhkan.

2. Kemitraan tidak disertai prinsip keadilan distribusi nilai tambah dalam suatu sistem nilai komoditas.

3. Kemitraan tidak disertai prinsip transfer pengetahuan dan pengalaman, sehingga pihak pengusaha (petani) tidak mendapatkan peningkatan profesionalisme. 4. Kemitraan tidak didasarkan pada prinsip bisnis, melainkan hanya keterpaksaan

untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan pemerintah.

5. Kemitraan seringkali hanya sebatas rencana dan MoU, sementar a implementasinya tidak terealisasi sesuai harapan.

6. Kemitraan hanya sekadar jargon politik, atau untuk kepentingan publisitas pengusaha besar.

7. Kemitraan hanya didasarkan pada pola pikir yang sempit, yaitu sekadar menyalurkan bantuan dana kepada pengusaha kecil tanpa ada pertanggungjawaban penggunaannya. Ini tidak mendidik masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dalam merencanakan dan memperbaiki masa depannya.

Di masa mendatang, kemitraan yang dibentuk hendaknya mampu menghindari hal-hal tersebut di atas, dan oleh karenanya, kemitraan harus dibangun berdasarkan prinsip bisnis yang saling menguntungkan. Kemitraan harus dilandaskan pada kesadaran bahwa pihak -pihak yang bermitra mempunyai keinginan untuk tumbuh dan berkembang bersama, serta harus ada keadilan dalam distribusi nilai tambah yang dihasilkan.

Brinkerhoff et al. (1990) dalam Sumardjo et al. (2004) menyatakan bahwa kemitraan sebagai suatu sistem harus memiliki delapan unsur yang harus terjamin keberlanjutannya melalui stabilisasi norma jangka panjang. Kedelapan unsur tersebut adalah: 1) input atau sumber daya berupa material, uang, manusia, informasi, dan pengetahuan yang memiliki kontribusi bagi output. 2) Output, yaitu produk yang dihasilkan oleh sistem, 3) Teknologi, yaitu metode dan proses yang digunakan untuk mengubah input menjadi output, 4) Lingkungan, yaitu keadaan di sekitar kelompok yang bermitra yang dapat mempengaruhi jalannya kemitraan, 5) Keinginan, yaitu strategi, tujuan, dan rencana dari pihak-pihak yang bermitra, 6) Perilaku, yaitu pola perilaku, serta hubungan antar-kelompok dalam kemitraan, 7) Budaya, yaitu norma, kepercayaan, dan nilai dalam kelompok-kelompok yang bermitra, dan 8) Struktur, yaitu hubungan antar -individu, antar-kelompok, dan antar -unit yang lebih besar.