• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model pengembangan agroindustri nenas di kabupaten subang dengan pendekatan kenitraan setara petani pengusaha industri pengolahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model pengembangan agroindustri nenas di kabupaten subang dengan pendekatan kenitraan setara petani pengusaha industri pengolahan"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI NENAS

DI KABUPATEN SUBANG DENGAN PENDEKATAN KEMITRAAN SETARA PETANI-PENGUSAHA INDUSTRI PENGOLAHAN

Oleh: AGUS MAULANA

975092/TIP

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI NENAS

DI KABUPATEN SUBANG DENGAN PENDEKATAN KEMITRAAN SETARA PETANI-PENGUSAHA INDUSTRI PENGOLAHAN

Oleh: AGUS MAULANA

975092/TIP

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Formatted: Swedish (Sweden)

(3)

Judul disertasi : Model Pengembangan Agroindustri Nenas

Di Kabupaten Subang Dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani-Pengusaha Industri Pengolahan

Nama : Agus Maulana NRP : 975092

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua

Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA Dev. Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M Eng. Anggota Anggota

Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Prof. Dr. Martani Huseini, MBA Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc.

Tanggal ujian: 27 Juni 2005 Tanggal lulus:

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 1952 sebagai putra dari pasangan H. Mohamad Noerdin (alm.) dan Hj. Nyi Ayu Djuariah. Penulis memperoleh gelar Sarjana Teknik Kimia dari Institut Teknologi Bandung dan Master of Science in Management (MSM) dari Arthur D’Little Management Education Institute, Cambridge, Massachussets, Amerika Serikat. Pada tahun 1997 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke pogram doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada saat ini penulis menjadi pengajar tidak tetap di berbagai perguruan tinggi di Indonesia pada jenjang S1 dan S2. Penulis juga telah menerjemahkan sekitar 100 buku teks manajemen yang digunakan sebagai buku pegangan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

(5)

A Model for Developing Pineapple Agroindustry at Kabupaten Subang based on Equal Partnership Farmer- Processing Industry1)

Agus Maulana2), Irawadi Jamaran, E. Gumbira Sa ’id, Syamsul Maarif, Ani Suryani,

and Martani Huseini3)

ABSTRACT

.

In order to empower and to increase the welfare of small farmers, the equal partnership between farmers and processing industry in pineapple agroindustry needs to be developed. This kind of partnership should be well managed through integrated system. The Decision Support System (DSS) model named AINI-MS (Agroindustri Nenas Indonesia Mitra Setara) Model was designed to support the effective planning and implementation of this equal partnership.

The AINI-MS Model was developed by using system techniques including Exponential Comparative Method (ECM) and Interpretative Structural Modeling (ISM) and also a technique for analyzing financial feasibility . This model includes submodel for selecting processed pineapple products suitable to be developed, submodel for selecting the best location of pineapple agroindustry, submodel for analyzing the feasibility of pineapple plantation and pineapple processing industry , submodel for identifying aspects that must be considered in planning and implementing equal partnership program in pineapple agroindustry, and submodel for determining selling price s of fresh pineapple that equalize Benefit/Cost Ratio for pineapple plantation and pineapple processing industry.

Verification of the AINI-MS Model was conducted through a case study at Kecamatan Jalancagak, Subang, West Java. Kecamatan Jalancagak was selected as research location because it has been a production center of pineapple in Jawa Barat, and in 1990’s there was pineapple agroindustry at Subang that did not live long. It was found that AINI-MS DSS Model could be used to select kinds of pineapple products that suitable to be developed, to select best location of pineapple agroindustry, and to analyze the feasibility of pineapple agroindustry. The AINI-MS Model was also useful to identify aspects that must be considered in planning and implementing equal partnership program in pineapple agroindustry, and to determine selling price of fresh pineapple that equalize s the value of Benefit-Cost Ratio (BCR) for pineapple plantation and pineapple processing industry.

The result of the study also proposed institutional form and three-phase implementation plan that would be effective in implementing equal partnership program. The equal partnership program that was resulted from this study is expected to give benefits for small farmers, pineapple processing industry, and county government.

Key words: equal partnership, pineapple farmers, pineapple canned industry bu sinessmen, benefit-cost ratio.

(6)

AGUS MAULANA. Model Strategi Pengembangan Agroindustri Nenas di Kabupaten Subang dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani-Pengusaha Industri Pengolahan. Di bawah bimbingan Irawadi Jamaran sebagai ketua, E. Gumbira Sa’id, Syamsul Maarif, Ani Suryani, dan Martani Huseini sebagai anggota.

ABSTRAK

Dalam rangka memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan petani nenas, perlu dikembangkan kemitraan yang melibatkan petani dan pengusaha industri pengolahan nenas dalam usaha agroindustri nenas. Kemitraan tersebut perlu dikelola dengan baik melalui suatu sistem pengelolaan yang terpadu yang menyetarakan kedudukan petani dan industri pengolahan nenas. Model kemitraan yang diusulkan dinamakan model kemitraan setara. Model Sistem Penunjang Keputusan (SPK) yang diberi nama Model AINI-MS (singkatan dari Agroindustri Nenas Indonesia Mitra Setara) dirancang untuk mendukung perencanaan dan implementasi yang efektif dari usaha kemitraan setara tersebut.

Model AINI-MS dikembangkan dengan menggunakan teknik-teknik sistem yang meliputi Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) dan Permodelan Struktural Interpretatif (Interpretative Structural Modeling, ISM), serta teknik analisis kelayakan usaha. Model ini meliputi (1) submodel pemilihan produk nenas olahan yang dapat membantu pemilihan produk-produk nenas olahan yang layak dikembangkan, (2) submodel pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas yang dapat membantu pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas yang sesuai , (3) submodel analisis kelayakan usaha perkebunan dan pengolahan nenas untuk mengetahui kelayakan usaha kebun dan usaha pengolahan nenas, (4) submodel untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan implementasi program kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas, serta (5) submodel untuk menentukan harga jual nenas segar dari kebun ke industri pengolahan nenas yang menyamakan rasio biaya-manfaat (benefit/cost ratio) usaha perkebunan nenas dan usaha pengolahan nenas.

Verifikasi Model AINI-MS dilakukan melalui studi kasus di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Kecamatan Jalancagak dipilih sebagai lokasi penelitian karena kecamatan tersebut merupakan pusat penghasil nenas di Jawa Barat, khususnya Kabupaten Subang, dan Kabupaten Subang pernah menjadi lokasi agroindustri nenas dengan pola kemitraan di tahun 1990-an tetapi mengalami kegagalan. Dihasilkan kesimpulan bahwa Model SPK AINI-MS dapat digunakan untuk memilih jenis produk nenas olahan yang tepat untuk dikembangkan, untuk memilih lokasi usaha agroindustri nenas, dan untuk menganalisis kelayakan usaha agroindustri nenas. Model AINI-MS juga bermanfaat untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan implementasi program kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas, serta untuk menentukan harga jual nenas segar dari kebun ke industri pengolahan nenas yang menyamakan nilai rasio BCR kebun dan industri.

Penelitian juga menghasilkan usulan bentuk kelembagaan dan rencana implementasi tiga tahap yang diyakini efektif dalam mengimplementasikan program kemitraan setara. Program kemitraan setara yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi petani nenas, pengusaha industri pengolahan nenas, dan pemerintah daerah tempat usaha agroindustri nenas berada.

Kata-kata kunci: kemitraan setara, petani nenas, pengusaha industri pengolahan nenas, rasio biaya-manfaat.

Formatted: Swedish (Sweden)

Formatted: Spanish (Venezuela)

Formatted: Swedish (Sweden)

Formatted: Swedish (Sweden)

(7)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul:

MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DENGAN PENDEKATAN KEMITRAAN SETARA

PETANI-PENGUSAHA INDUSTRI PENGOLAHAN

Merupakan gagasan atau hasil disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juni 2005

AGUS MAULANA 975092

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Tujuan Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

1. Nenas dan Agroindustri Nenas di In donesia... 7

a. Tanaman Nenas... 7

b. Agroindustri Nenas di Indonesia... 11

2. Model Berbasis Pasar dan Model Berbasis Sumber Daya dalam Pengembangan Industri... 14

3. Kemitraan Strategik ... 27

4. Pendekatan Sistem ... 39

5. Penelitian Terdahulu ... 42

III. LANDASAN TEORETIS... 44

1. Pemodelan Deskriptif dengan Metode ISM (Interpretative Structural Modeling)... 44

a. Penyusunan hirarki... 45

b. Klasifikasi subelemen ... 47

2. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ... 49

3. Analisis Kelayakan Usaha ... 50

4. Analisis Harga Kesetaraan ... 56

IV. METODE PENELITIAN... 58

1. Kerangka Pemikiran ... 58

2. Tahap-tahap Penelitian ... 60

3. Pelaksanaan Penelitian ... 62

a. Waktu dan Tempat ... 62

b. Teknik Pengumpulan Data... 63

c. Analisis Data... 64

V. ANALISIS SISTEM AGROINDUSTRI NENAS... 66

1. Analisis Kebutuhan dalam Sistem Usaha Agroindustri Nenas ... 67

2. Perumusan Masalah dalam Sistem Usaha Agroindustri Nenas ... 68

3. Identifikasi Sistem Usaha Agroindustri Nenas ... 70

VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS... 72

(9)

b. Basis Data Pemilihan Produk Nenas Olahan ... 76

c. Basis Data Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas ... 76

d. Basis Data Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas ... 77

e. Basis Data Kelembagaan Kemitraan Setara Usaha Agroindustri Nenas . 77 3. Sistem Manajemen Basis Model dalam Model AINI-MS ... 78

a. Submodel Pemilihan Lokasi Usaha Agroindustri Nenas ... 78

b. Submodel Pemilihan Produk Nenas Olahan ... 80

c. Submodel Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas ... 81

d. Submodel Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas... 82

e. Submodel Kelembagaan Kemitraan Setara... 83

4. Sistem Manajemen Dialog... 84

VII. ANALISIS SITUASI USAHA PERKEBUNAN DAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DAN KARAWANG... 86

1. Lokasi Penelitian Lapang ... 86

2. Perkebunan dan Agroindustri Nenas di Subang dan Karawang ... 88

a. Perkebunan Nenas Rakyat di Kecamatan Jalancagak ... 89

b. Industri Pengalengan Nenas di Karawang ... 92

c. Industri Dodol Nenas di Subang ... 92

VIII. VERIFIKASI MODEL AINI-MS... 95

1. Submodel Pemilihan Lokasi Usaha Agroindustri Nenas ... 95

2. Submodel Pemilihan Produk Nenas Olahan ... 98

3. Submodel Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas ... 100

4. Submodel Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas... 102

5. Submodel Kelembagaan Kemitraan Usaha Agroindustri Nenas ... 105

Elemen Kebutuhan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ... 106

Elemen Kendala Utama Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ... 109

Elemen Tujuan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ... 112

Elemen Indikator Pencap aian Tujuan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ... 115

Elemen Aktivitas Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas... 118

Elemen Pelaku Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ... 121

6. Submodel Harga Kesetaraan ... 124

IX. MODEL KEMITRAAN SETARA AINI-MS... 126

1. Konsep Dasar Kemitraan Usaha AINI-MS... 127

2. Manajemen Usaha Kebun Nenas ... 131

a. Manajer Umum ... 133

b. Manajer Administrasi dan Keuangan. ... 133

c. Manajer Pemasaran ... 134

d. Manajer Operasional. ... 134

3. Lembaga Pengembangan Usaha ... 134

4. Layanan Teknis ... 135

5. Rancangan Implementasi Kemitraan Setara dalam Agroindustri Nenas ... 135

6. Hak dan Kewajiban Pihak-pihak dalam Kemitraan Setara... 139

X. KESIMPULAN DAN SARAN... 145

A. Kesimpulan ... 145

(10)
(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Kandungan gizi buah nenas segar tiap 100 gram bahan ... 10 Tabel 2.2. Produksi nenas di Indonesia tahun 2003 (BPS, 2004)... 10 Tabel 2.3. Produsen nenas olahan di Indonesia dan kapasitas terpasangnya (CIC,

2000) ... 11 Tabel 2.4. Ekspor nenas olahan dari Indonesia, 2000 -2004 (BPS, 2003 dan 2005,

diolah penulis)... 13 Tabel 2.5. Impor nenas olahan Indonesia, 2000-2004 (BPS, 2003 dan 2005, diolah

penulis)... 13 Tabel 3.1. Keterkaitan antar-subelemen dalam teknik ISM (Marimin, 2004) ... 46 Tabel 3.2. Matriks keputusan dengan teknik MPE (Eriyatno, 1999)... 50 Tabel 5.1. Kebutuhan pelaku yang terlibat dalam kemitraan usaha agroindustri

nenas ... 68 Tabel 8.1. Matriks keputusan pemilihan lokasi usaha agroindustri n enas di

Kabupaten Subang ... 98 Tabel 8.2. Matriks pemilihan produk nenas olahan di Kabupaten Subang... 100 Tabel 8.3. Hasil analisis kelayakan usaha kebun nenas dengan luas 1.500 hektar

untuk kurun waktu 20 tahun. ... 101 Tabel 8.4. Hasil analisis kelayakan usaha pengalengan nenas dengan kapasitas

40.000 ton nenas kaleng/tahun untuk kurun waktu 20 tahun... 103 Tabel 8.5. Hasil analisis kelayakan usaha dodol nenas untuk kurun waktu 20 tahun . 104 Tabel 8.6. Matriks reachability untuk elemen Kebutuhan Program Kemitraan

Setara... 107 Tabel 8.7. Matriks reachibility untuk elemen Kendala Program Kemitraan Setara ... 110 Tabel 8.8. Matriks reachibility untuk elemen Tuju an Program Kemitraan Setara ... 113 Tabel 8.9. Matriks reachibility untuk elemen Indikator Pencapaian Tuju an Program

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Model Identifikasi Faktor (Jumlah, Skala, Pakar, dan Objek)... 156

Lampiran 2. Model Identifikasi Faktor (Inisialisasi Skala Penilaian)... 156

Lampiran 3. Model Identifikasi Faktor (Inisialisasi Pakar)... 157

Lampiran 4. Model Identifikasi Faktor (Inis ialisasi Item yang Dinilai)... 157

Lampiran 5. Model Identifikasi Faktor (Matriks Pendapat Pakar)... 158

Lampiran 6. Model Identifikasi Faktor (Hasil Agregasi Pendapat) ... 158

Lampiran 7. Model Identifikasi Faktor (Hasil Agregasi Pendapat yang Sudah Difilter) ... 159

Lampiran 8. Model Pemilihan Produk (Registrasi Objek)... 159

Lampiran 9. Model Pemilihan Produk (Registrasi Faktor/Kriteria)... 160

Lampiran 10. Model Pemilihan Produk (Registrasi Pakar/Pengambil Keputusan) ... 160

Lampiran 11. Model Pemilihan Produk (Matriks Pendapat dan Resume Agregat) ... 161

Lampiran 12. Model Pemilihan Lokasi (Registrasi Objek)... 161

Lampiran 13. Model Pemilihan Lokasi (Registrasi Faktor/Kriteria) ... 162

Lampiran 14. Model Pemilihan Lokasi (R egistrasi Pakar/Pengambil Keputusan)... 162

Lampiran 15. Model Pemilihan Lokasi (Matriks Pendapat dan Resume Agregat)... 163

Lampiran 16. Model Kelayakan Finansial Integrasi ... 163

Lampiran 17. Hasil Analisis Break Even ... 164

Lampiran 18. Model Kelembagaan (Halaman Utama) ... 165

Lampiran 19. Model Kelembagaan (Detail Sub Elemen) ... 165

Lampiran 20. Model Kelembagaan (Detail Pakar/Pengambil Keputusan) ... 166

Lampiran 21. Model Kelembagaan (Matriks Pendapat Individu)... 166

Lampiran 22. Model Kelembagaan (Matriks Pendapat Agregat) ... 167

Lampiran 23. Model Kelembagaan (Matriks Reachibility Pendapat Agregat) ... 167

Lampiran 24. Model Kelembagaan (Matriks Revisi Pendapat Agregat) ... 168

Lampiran 25. Model Kelembagaan (Elemen Kunci Pendapat Agregat) ... 168

Lampiran 26. Model Kelembagaan (Grafik Driver Power – Dependency Pendapat Agregat) ... 169

Lampiran 27. Model Kelembagaan (Struktur Sub Elemen Pendapat Agregat) ... 169

Lampiran 28. Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Kebun Nenas ... 170

Lampiran 29. Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Pabrik Peng alengan Nenas ... 172

(13)

I.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sebagai negara tropis Indonesia seharusnya memiliki keunggulan komparatif untuk produk-produk berbasis pertanian. Dalam kenyataan, pengembangan agroindustri Indonesia saat ini sudah tertinggal dari negara-negara tetangga sesama negara tropis, misalnya Thailand dan Malaysia. Belum lagi negara-negara lain, terutama negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Selandia Baru yang tidak pernah meninggalkan pengembangan sektor pertanian.

Kontribusi sektor pertanian di Indonesia selama kurun waktu 1993-2003 ternyata mengalami sedikit penurunan. Pada tahun 1993 sektor pertanian menyumbang 17,6 persen dari PDB (Tampubolon, 1996), sementara pada tahun 2003 angka tersebut adalah sebesar 15,83 persen (BPS, 2004). Padahal 51,2 persen penduduk Indonesia menggantungkan hidup pada bidang pertanian (BPS, 2004).

Di pihak lain, industri-industri manufaktur di Indonesia pada umumnya menggunakan bahan baku impor, sehingga ketika nilai rupiah anjlok terhadap dolar, sektor tersebut mengalami kesulitan. Berdasarkan hal ini, maka Indonesia perlu kembali menggalakkan sektor pertanian sebagai sumber devisa yang penting. Salah satu sektor yang diharapkan dapat menjadi andalan bagi Indonesia adalah agroindustri berbasis buah-buahan. Potensi sektor ini di Indonesia sangat besar. Produk dari sektor ini dapat berupa buah segar atau olahan, baik sebagai bahan makanan maupun sebagai bahan baku industri hilir seperti farmasi, kosmetika, dan kimia.

(14)

segar Indonesia adalah 677.089 ton (BPS, 2004). Selain dipasarkan dalam bentuk buah segar, nenas juga berpotensi dipasarkan dalam bentuk produk olahan, seperti nenas kalengan dan jus nenas . Kapasitas produksi terpasang perusahaan -perusahaan nenas olahan di Indonesia mencapai 259.989 ton untuk nenas kalengan dan 109.048 ton untuk jus nenas (CIC, 2000). Pada tahun 2002, ekspor nenas olahan Indonesia mencapai 181.095 ton dengan nilai (FOB) US$ 101.569.186. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2004 menjadi sebesar 144.350 ton dengan nilai (FOB) US$ 73.203.000.

Usaha agroindustri nenas terbesar di Indonesia pada saat ini adalah sebuah perusahaan pengolahan nenas di Lampung. Perusahaan tersebut memiliki kapasitas produksi terpasang sebesar 187.000 ton nenas kalengan dan 100.000 ton jus nenas (CIC, 2000). Untuk mendukung industrinya, perusahaan tersebut memiliki perkebunan nenas sendiri seluas 32.300 hektar. Perusahaan ini menerapkan sistem terintegrasi dalam menjalankan kegiatan agroindustri nenas, artinya, perusahaan ini memiliki sendiri perkebunan nenas sebagai sumber bahan baku bagi industri nenas olahannya. Sistem ini diterapkan oleh perusahaan karena kekhawatiran akan tidak menentunya pasok nenas segar dari kebun petani. Seperti diketahui, pasok nenas segar merupakan faktor sangat penting bagi kelangsungan hidup usaha agroindustri nenas. Dua perusahaan nenas kalengan di Indonesia – sebuah di Sumatera Utara, tepatnya di Pematang Siantar dan satu lagi di Kabupaten Subang, Jawa Barat – terpaksa menghentikan operasi akibat tidak menentunya pasok bahan baku nenas segar dari petani setempat (CIC, 2000).

(15)

agroindustri nenas. Oleh karena itu, perlu dipikirkan pengembangan usaha agroindustri nenas yang melibatkan petani nenas sebagai pemasok nenas segar yang dapat memberikan kepastian akan kesinambungan dan kualitas pasok nenas segar bagi industri pengolahan nenas. Dengan dicanangkannya program revitalisasi pertanian oleh pemerintah yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan taraf hidup petani, pengembangan agroindustri nenas yang melibatkan petani sebagai salah satu pelaku utamanya menjadi hal yang sangat penting.

Berbagai bentuk kemitraan di antara petani dan industri telah diterapkan di berbagai sektor industri, di antaranya adalah bentuk kemitraan inti-plasma. Dalam agroindustri kelapa sawit, misalnya, bentuk kemitraan inti-plasma yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani ternyata lebih menempatkan petani sebagai price taker, yaitu pihak yang harus menerima saja tingkat harga jual yang ditentukan berdasarkan perhitungan pihak Direkorat Jenderal Perkebunan yang mendasarkan perhitungan harga jual tandan buah segar dari petani pada harga FOB minyak kelapa sawit (harga jual CPO oleh pabrik pengolahan kelapa sawit). Akibatnya ada kemungkinan petani menerima harga yang tidak terlalu menguntungkan atau menjual tandan buah segar (TBS) kelapa sawit ke pihak lain yang menawarkan harga lebih baik.

(16)

Kegagalan usaha ini tentu saja memprihatinkan mengingat potensi Kabupaten Subang sebagai daerah penghasil nenas segar yang cukup besar (pada tahun 2003 produksi nenas segar dari Kabupaten Subang mencapai 135.296 ton, BPS, 2004).

Berdasarkan kenyataan di atas, dirasakan perlu untuk merancang model yang dapat digunakan untuk menata kemitraan antara petani dan pengusaha industri pengolahan dalam usaha agroindustri nenas yang memberikan kesempatan kepada petani untuk ikut menentukan harg a jual nenas segar kepada pengusaha industri pengolahan nenas. Model ini dinamakan Model Pengembangan Agroindustri Nenas dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani dan Pengusaha Industri Pengolahan, atau Model AINI MS (singkatan dari Agroindustri Nenas Indonesia Mitra Setara).

(17)

rantai nilai (value chain) dari Porter (Porter, 1992) yang menggambarkan hubungan antara usaha hulu (dalam hal ini usaha perkebunan nenas) dan usaha hilir (dalam hal ini usaha pengolahan nenas).

2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghasilkan model pengembangan agroindustri nenas yang menyetarakan posisi petani dan pengusaha industri pengolahan nenas. Model tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani nenas, usaha agroindustri nenas, dan pendapatan asli daerah (PAD).

Sesuai tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian mencakup perencanaan pengembangan agroindustri nenas yang mendudukkan petani dan pengusaha industri pengolahan nenas dalam posisi tawar yang setara. Ini meliputi perencanaan kelembagaan, keterkaitan di antara para pelaku yang terlibat dalam agroindustri nenas serta pola manajemen agroindustri nenas yang mengutamakan peningkatan keterlibatan dan pendapatan petani nenas .

Kemitraan setara dalam agroindustri nenas dirancang dengan mempertimbangkan kelayakan usaha agroindustri nenas, analisis manajemen operasional, dan analisis risikonya. Analisis sistem kemitraan dalam agroindustri nenas dilakukan dengan menggunakan teknik ISM berdasarkan elemen -elemen kebutuhan program, kendala-kendala utama program, tujuan program, ukuran pencapaian tujuan, aktivitas -aktivitas yang dibutuhkan dalam progra m, dan pelaku/lembaga yang terlibat dalam usaha agroindustri nenas.

(18)
(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Nenas dan Agroindustri Nenas di Indonesia a. Tanaman Nenas

Nenas atau nanas (Ananas comosus (L.) Merr.) bukan merupakan tan aman asli Indonesia. Tanaman tersebut diyakini berasal dari Brazilia dan Paraguay dan disebarkan oleh orang-orang Indian ke bagian -bagian lain dari Amerika Selatan dan Tengah (Economic Research Service, USDA, 2003). Tanaman nenas diduga masuk wilayah Indonesia pada abad 15, mula-mula hanya sebagai tanaman pekarangan, tetapi berangsur-angsur meluas dan dikebunkan di lahan-lahan kering di seluruh Indonesia. Menurut taksonomi tumbuhan, nenas diklasifikasikan sebagai berikut (Rukmana, 1996):

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Kelas : Angiospermae (berbiji tertutup) Ordo : Farionsae (Bromeliales)

Famili : Bromeliaceae

Genus : Ananas

Spesies : Ananas comosus (L.) Merr.

Kerabat dekat spesies nenas cukup banyak, terutama nenas liar yang biasanya dijadikan tanaman hias, seperti A. bracteatus (Lindl.) Schultes, dan A. ananassoides

(20)

Batang tanaman nenas berbentuk gada dengan panjang antara 20 dan 25 cm atau lebih, berdiameter 2,0 – 3,5 cm, dan beruas pendek. Batang nenas berfungsi sebagai tempat melekat akar, daun, bunga, tunas, dan buah. Secara visual batang nenas tidak terlihat karena tertutup daun. Tangkai bunga atau buah merupakan perpanjangan dari batang.

Bunga atau buah nenas muncul pada ujung tanaman. Tiap tangkai bunga terdiri atas 100 – 200 kuntum bunga yang melekat saling berhimpitan. Sifat pembungaan nenas termasuk penyerbukan silang. Tanpa melalui penyerbukan silang, buah nenas tidak menghasilkan biji (partenocarpi).

Kumpulan kuntum bunga yang mengalami proses penyerbukan akan menghasilkan kumpulan buah kecil berjumlah 100 – 200 buah. Buah -buah kecil tersebut bergabung menjadi satu dan dihubungkan oleh batang tengah yang disebut hati, sehingga secara visual terlihat hanya sebagai satu buah berbentuk bulat dengan bagian ujung seperti kerucut. Tiap buah yang sebelumnya mengalami penyerbukan buatan berpotensi menghasilkan 6.000 – 9.000 biji. Meskipun demikian, buah nenas umumnya tidak berbiji karena bakal biji pada waktu bunga mulai membuka akan gugur dan hanya sedikit yang menjadi biji dalam buah nenas.

(21)

sehingga dapat digunakan untuk melunakkan daging. Limbah nenas berupa kulit buah dan batang nenas juga dapat dimanfaatkan. Kulit buah dapat diolah menjadi sirup atau diekstraksi cairannya untuk pakan ternak. Batang nenas dapat diambil tepungnya. Serat daun nenas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas dan tekstil. Pohon industri nenas dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Pohon industri nenas (Ditjen IKAH – Deperindag R.I., 2004)

Dari pohon industri nenas di atas dapat dilihat bahwa usaha agroindustri nenas mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan mengingat banyaknya produk olahan yang dapat dihasilkan. Selain itu, buah nenas mengandung gizi yang cukup lengkap, seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1. Dari Tabel 2.1 tampak bahwa baik buah, bonggol, maupun kulit buah nenas dapat diolah menjadi berbagai produk olahan yang bernilai tinggi.

Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

(22)

Tabel 2.1. Kandungan gizi buah nenas segar tiap 100 gram bahan (Direktorat Gizi Depkes R.I., 1981 dalam Rukmana, 1996)

Kandungan Gizi Satuan Jumlah

Kalori kal 52.00

Protein g 0.40

Lemak g 0.20

Karbohidrat g 16.00

Fosfor g 11.00

Zat Besi mg 0.30

Vitamin A S.I 130.00

Vitamin B1 mg 0.08

Vitamin C mg 24.00

Air g 85.30

Bagian dapat dimakan (BDD) % 53.00

Di Indonesia nenas dihasilkan oleh hampir semua wilayah, dengan Jawa Timur sebagai penghasil terbesar (275.373 ton pada tahun 2003), diikuti oleh Jawa Barat (161.497 ton) , Sumatera Selatan (69.701 ton), dan Lampung (44.267 ton). Kebanyakan nenas di Indonesia dihasilkan oleh perkebunan -perkebunan kecil yang standar kualitasnya belum ada dan dikonsumsi sebagai buah segar (CIC, 2000). Pada Tabel 2.2. disajikan data produksi nenas di Indonesia tahun 2003.

Tabel 2.2. Produksi nenas di Indonesia tahun 2003 (BPS, 2004)

No. Propinsi Produksi

(Ton)

1 Nanggroe Aceh Darussalam 4,146 2 Sumatera Utara 31,032 3 Sumatera Barat 849,000

4 Riau 17,750

5 Jambi 3,809

6 Sumatera Selatan 69,701 7 Bengkulu 175,000 8 Lampung 44,267 9 Bangka Belitung 726,000 10 DKI Jakarta -11 Jawa Barat 161,497 12 Jawa Tengah 21,992 13 D.I. Yogyakarta 690,000 14 Jawa Timur 275,373

15 Banten 970,000

16 Bali 2,252

17 NTB 1,083

18 NTT 3,719

19 Kalimantan Barat 5,886 20 Kalimantan Tengah 10,003 21 Kalimantan Selatan 1,300 22 Kalimantan Timur 4,159 23 Sulawesi Utara 3,369 24 Sulawesi Tengah 421,000 25 Sulawesi Selatan 6,881 26 Sulawesi Tenggara 677,000 27 Gorontalo 175,000

28 Maluku 561,000

29 Maluku Utara 3,016

30 Papua 610,000

Formatted: Swedish (Sweden)

Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: 1

(23)

b. Agroindustri Nenas di Indonesia

Agroindustri nenas merupakan rangkaian kegiatan yang mengolah nenas menjadi berbagai produk olahan nenas sampai ke pendistribusiannya. Di Indonesia, produk agroindustri nenas yang utama adalah nenas kalengan (canned pineapple) dan jus nenas (pineapple juice). Kapasitas terpasang pabrik-pabrik pengolahan nenas di Indonesia mencapai 259.989 ton untuk nenas kalengan dan 109.048 ton untuk jus nenas (CIC, 2000). Pada Tabel 2.3 disajikan data pabrik pengolahan nenas di Indonesia.

Tabel 2.3. Produsen nenas olahan di Indonesia dan kapasitas terpasangnya (CIC, 2000)

Produk Ton

1 PT Great Giant Pineapple Lampung Tengah Nenas Kalengan 187,000 Jus Nenas 100,000 2 PT Tris Delta Agrindo Lampung Nenas Kalengan 32,659 Jus Nenas 4,032

3 PT Pulau Sambu Riau Nenas Kalengan 24,000

Jus Nenas 3,000 4 PT Para Sawita Sumatera Utara Jus Nenas 2,000 5 PT Kencana Acid Indo Perkasa Lampung Utara Nenas Kalengan 16,330 Jus Nenas 2,016

6 PT Sari Segar Alami Riau Jus Nenas 2,000

Kapasitas Total Terpasang Nenas Kalengan 259,989

Jus Nenas 109,048 Kapasitas Produksi/Tahun Lokasi

Nama Perusahaan No.

(24)

lahan yang disewakan tersebut dan sebagai akibatnya Taifung Group kehilangan lahan perkebunan nenas dan terpaksa menghentikan operasi pengalengan nenasnya pada tahun 2000 (Asopa, 2003).

Bahan baku untuk agroindustri nenas dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu bahan baku utama (buah nenas yang dihasilkan oleh perkebunan nenas) dan bahan penolong yang diperlukan untuk proses produksi dan pengalengan berupa asam sitrat, gula, alkohol, dan sebagainya. Di Indonesia pasokan buah nenas merupakan faktor sangat penting bagi agroindustri nenas, dan seperti telah disebutkan di atas, kegagalan industri pengalengan nenas di Kabupaten Subang disebabkan oleh tidak menentunya pasok nenas dari pekebun. Berdasarkan pengalaman tersebut, beberapa perusahaan produsen nenas kalengan membangun perkebunan nenas sendiri untuk menjamin pasok nenasnya, di antaranya adalah usaha agroindustri nenas yang dapat dikatakan sukses di Indonesia, yaitu sebuah perusahaan swasta di Lampung. Kapasitas terpasang perusahaan tersebut masih yang terbesar di Indonesia, yaitu 187.000 ton nenas kalengan dan 100.000 ton jus nenas yang berasal dari 23 lini produksi. Sampai tahun 2005 perusahaan berencana menambah lini produksinya menjadi 36 lini. Perusahaan ini memiliki 32.300 ha kebun nenas untuk mendukung industrinya. Produksi buah nenas perusahaan mencap ai 69 ton per hektar, atau sekitar 450.000 ton/tahun.

(25)

tahun 2000 dan 2004 volume ekspor nenas olahan Indonesia menunjukan sedikit penurunan 0,95% per tahun. Harga rata-rata nenas olahan ekspor selama kurun waktu lima tahun terakhir ini adalah sebesar US$ 520/ton. Sebagai komoditas ekspor, nenas olahan Indonesia telah diekspor ke negara-negara Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. (BPS, 2005), dengan pasar utama adalah Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Belanda, dan Jepang (Asopa, 2003).

Tabel 2.4. Ekspor nenas olahan dari Indonesia, 2000-2004 (BPS, 2003 dan 2005, diolah penulis)

Tahun Volume (Ton) Pertumbuhan (%) Nilai FOB (000US$) Pertumbuhan (%) 2000 2001 2002 2003 2004 154.758 158.762 181.095 145.768 144.350 - 2,59 14,07 - 19,50 - 0,97

72.599 76.728 101.569 84.971 73.203 - 5,68 32,37 -16,34 -13,85

Meskipun merupakan negara pengekspor, Indonesia juga mengimpor nenas olahan dari beberapa negara dalam jumlah yang berfluktuasi. Pada tahun 2004 Indonesia mengimpor nenas olahan sebanyak sekitar 216 ton dengan nilai sekitar US$ 149.659. Impor nenas olah an Indonesia berasal dari Amerika Serikat, Singapura, dan Australia. Dilihat dari nilai dolar, nenas olahan impor memperoleh harga di atas harga ekspor, sebagai contoh, harga rata-rata per ton nenas olahan impor pada tahun 2004 adalah US$ 694/ton, sementara harga rata-rata nenas olahan impor selama kurun waktu 2000 – 2004 adalah sebesar US$ 703/ton. Tabel 2.5 menyajikan data impor nenas olahan Indonesia 2000-2004.

Tabel 2.5. Impor nenas olahan Indonesia, 2000-2004 (BPS, 2003 dan 2005, diolah penulis)

Tahun Volume (Ton) Pertumbuhan (%) Nilai CIF (US$) Pertumbuhan (%) 2000 2001 2002 2003 2004 158,21 587,88 98,47 239,50 215,68 - 271,58 - 83,25 143,22 - 9,96

123.465 194.680 81.833 210.130 149.659 - 57,68 -57,94 156,78 - 28,78

Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

(26)

Dalam mengekspor nenas olahan, produsen biasanya berhubungan langsung dengan pembeli (trading company). Sistem distribusi nenas mulai dari petani sampai ke pasar ekspor disajikan pada Gambar 2.2. Dari Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa nenas segar dari petani tidak ada yang dibeli oleh industri pengolahan atau eksportir besar. Industri pengolahan dan eksportir besar mendapatkan nenas segar dari kebun sendiri, sementara petani hanya dapat menjual nenas segar ke pedagang perantara (pengumpul) dan ke industri pengolahan atau eksportir kecil.

Gambar 2.2. Sistem distribusi nenas dari petani sampai ke pasar ekspor ( Hadi, 2001). 2. Model Berbasis Pasar dan Model Berbasis Sumber Daya dalam Pengembangan

Industri

Terdapat dua model utama menyangkut faktor penentu daya saing global. Model pertama adalah model organisasi industrial (industrial organization model) atau model I/O yang dikenal juga sebagai model berbasis pasar (market-based model). Model ini berpendapat bahwa kondisi dan karakteristik lingkungan eksternal

Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

(27)

organisasi merupakan faktor penentu utama dalam perumusan strategi yang akan menghasilkan keuntungan di atas rata-rata.

Model I/O didasarkan pada tiga asumsi penting (Hitt, et al., 2001). Asumsi pertama adalah bahwa lingkungan eksternal organisasi memunculkan tekanan dan kendala yang akan me mpengaruhi strategi yang dapat diterapkan organisasi. Asumsi kedua, sebagian besar organisasi/perusahaan yang bersaing dalam suatu industri memiliki sumber daya strategik yang sama dan mendasarkan strategi pada sumber daya tersebut. Asumsi ketiga, sumber daya yang digunakan untuk mengimplementasikan strategi memiliki mobilitas tinggi. Karena mobilitas sumber daya yang tinggi ini, perbedaan kepemilikan sumber daya di antara berbagai organisasi tidak akan bertahan lama. Kunci keberhasilan menurut model I/O adalah kejelian organisasi dalam memilih industri tempat organisasi bersaing (Hitt, et al., 2001). Salah satu model yang didasarkan pada model I/O adalah model lima kekuatan persaingan dalam industri (five forces model of competition) dari Porter (1996) yan g berlanjut ke konsep strategi generik.

(28)

Gambar 2.3. Model lima kekuatan persaingan dalam industri (Porter, 1996). Model kedua adalah model berbasis sumber daya (resource-based model). Model ini mengasumsikan bahwa organisasi merupakan kumpulan sumber daya dan kapabilitas yang unik (khas) yang menjadi sumber kompetensi khas (Distinctive competencies) serta landasan bagi strategi organisasi dan merupakan sumber utama profitabilitas (Andersen dan Kheam, 1998). Dalam perjalanan waktu, organisasi akan memperoleh berbagai sumber daya yang berbeda-beda dan mengembangkan kapabilitas yang bersifat unik. Model berbasis sumber daya mengasumsikan bahwa sumber daya tidak sepenuhnya bersifat mobil. Perbedaan kepemilikan sumber daya, menurut model di atas, merupakan landasan keunggulan bersaing. Pendekatan berbasis sumber daya ini kemudian berkembang menjadi pendekatan berbasis pengetahuan (knowledge-based approach), yang diperkenalkan antara lain oleh von Krogh, Ichijo, dan Nonaka (2000), dan Tuomi (1999).

Pendekatan berbasis sumber daya sesungguhnya sudah diperkenalkan oleh Adam Smith melalui teori keunggulan absolut, yang selanjutnya dikembangkan oleh David Ricardo (teori keunggulan komparatif) dan Hecksher-Ohlin (teori keberlimpahan faktor). (Daniels dan Radebaugh, 1996). Ketiga teori di atas lebih menekankan pada keunggulan sumber daya alam (fisik). Selanjutnya beberapa pakar

PERSAINGAN SESAMA ANGGOTA INDUSTRI

ANCAMAN PENDATANG BARU

POSISI TAWAR PEMBELI POSISI TAWAR

PEMASOK

ANCAMAN PRODUK SUBSTITUSI

Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

(29)

mengembangkan teori berbasis keunggulan sumber daya alam ini menjadi teori-teori yang tidak hanya didasarkan pada keunggulan sumber daya alam.

Hunt (1999) memperkenalkan konsep keunggulan bersaing berkelanjutan (sustainable competitive advantage, SCA). Collis dan Montgomery (1997) mengklasifikasikan sumber daya ke dalam tiga kategori, yaitu, aset berwujud (tangible assets), aset tidak berwujud (intangible assets), dan kapabilitas organisasi (organizational capabilities). Aset berwujud menurut Collis dan Montgomery (1997) merupakan aset yang paling mudah dihitung nilainya dan seringkali merupakan sat u-satunya kelompok sumber daya yang muncul dalam neraca organisasi/perusahaan. Beberapa contoh aset berwujud adalah fasilitas produksi, bahan baku, dan lahan.

(30)

output. Kapabilitas organisasi yang terus menerus diasah dapat menjadi sumber keunggulan bersaing.

Chaterjee dan Wernerfelt (1991) dalam Huseini (2000) mengembangkan konsep sumber daya dengan mengklasifikasikan sumber daya ke dalam tiga kategori, yaitu sumber daya fisik (tangible), sumber daya tidak berwujud (intangible), dan sumber daya keuangan. Selanjutnya Grant (1995) mengolompokkan sumber daya tidak berwujud ke dalam empat kategori, yaitu: sumber daya manusia, sumber daya teknologi, reputasi, dan aset organisasi. Sumber daya manusia dikelompokkan ke dalam sumber daya tidak berwujud karena penekanannya adalah pada aspek kompetensi, yang oleh Grant (1995) dikelompokkan menjadi empat kategori kompetensi SDM, yaitu: (1) kompetensi pencapaian tujuan, (2) kompetensi pemecahan masalah, (3) kompetensi interaksi sesama, dan (4) kompetensi kerjasama.

(31)

saing perseorangan, perusahaan, dan negara. Pengetahuan juga dipandang sebagai faktor penting yang menggerakkan perubahan ekonomi dan sosial, teknologi, serta kehidupan sehari-hari (Tuomi, 1999).

Tuomi lebih lanjut berpendapat bahwa sumber nilai (value) organisasi ada dua, yaitu modal keuangan (financial capital) dan modal sumber daya manusia (human capital). Modal sumber daya manusia sendiri dapat dirinci ke dalam tiga aspek, yaitu, kompetensi (competence), sikap (attitude), dan keuletan intelektual (intelectual agility). Menurut Tuomi (1999), pengembangan kompetensi inti haruslah melibatkan bukan hanya organisasi, melainkan juga komunitas di lingkungan organisasi tersebut berada. Dengan demikian, pengembangan kompetensi inti dapat berlangsung melalui pengembangan komunitas. Ini sesungguhnya merupakan hal yang wajar karena kumpulan pengetahuan tersimpan dalam komunitas. Oleh sebab itu Tuomi menegaskan bahwa kompetensi inti harus dikembangkan melalui fasilitasi pembelajaran sosial dalam komunitas (masyarakat), fasilitasi pembelajaran dan komunikasi di antara komponen-komponen yang ada dalam masyarakat, dan dengan melibatkan komponen-komponen masyarakat yang penting.

Pendapat ini sejalan dengan konsep Pembangunan Berbasis Komunitas (Community-Based Development, CBD) yang sudah diimplementasikan di negara-negara maju sejak awal 1970-an (Hidayat dan Syamsulbahri, 2001). Konsep CBD menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai obyek, melainkan juga sebagai subyek pembangunan. Pada dasarnya konsep CBD selalu melibatkan masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun pelaksanaan program yang dilakukan (Rubin, dalam Hidayat dan Syamsulbahri, 2001).

(32)
[image:32.612.82.568.166.742.2]

Gambar 2.4. Pada gambar ini dapat dilihat bahwa titik tolak analisis keunggulan bersaing adalah identifikasi sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki oleh organisasi. Kapabilitas didefinisikan sebagai kemampuan (kapasitas) sekumpulan sumber daya untuk secara terintegrasi melaksanakan suatu tugas atau aktivitas (Hitt, Ireland, dan Hoskisson, 2001). Grant (1995) menegaskan bahwa meskipun berbagai sumber daya yang dimiliki organisasi harus dianalisis secara terpisah, kapabilitas hanya dapat diciptakan dengan memadukan sumber daya tersebut secara tepat.

Gambar 2.4. Meraih keunggulan bersaing berdasarkan sumber daya dan kapabilitas (Grant, 1995).

Porter (1993) memperke nalkan model Diamond untuk menjelaskan keberhasilan atau kegagalan suatu negara dalam persaingan internasional. Menurut model ini, ada enam atribut yang mempengaruhi lingkungan bersaing suatu industri di tingkat global. Keenam atribut ini akan mendorong atau menghambat terciptanya keunggulan bersaing. Atribut-atribut tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ketersediaan faktor produksi dan infrastruktur (factors condition) b. Keadaan permintaan domestik (demand condition)

Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

(33)

c. Adanya industri terkait dan industri penunjang (related and supporting industries) d. Struktur, strategi, dan lingkungan bersaing perusahaan (firm structure, strategy,

and rivalry)

e. Pengaruh lingkungan jauh (the role of chance) f. Peran pemerintah (the role of government)

Saling keterkaitan di antara atribut-atribut tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5 .

Gambar 2.5. Model Diamond untuk Keunggulan Bersaing Negara (Porter, 1993)

Kondisi faktor

Kondisi faktor adalah ketersediaan faktor-faktor sumber daya di suatu negara untuk menunjang produksi. Faktor-faktor ini adalah, antara lain, sumber daya manusia, sumber daya fisik atau alam termasuk lahan untuk kegiatan produksi, sumber daya pengetahuan dan teknologi, sumber daya keuangan, serta infrastruktur seperti jalan raya, sarana komunikasi, listrik, dan air.

Kondisi permintaan

Kondisi permintaan yang dimaksud di sini adalah situasi permintaan domestik akan produk dan/atau jasa yang dihasilkan oleh industri-industri di negara yang bersangkutan. Kondisi permintaan domestik tergambar antara lain dalam pola

Formatted: Swedish (Sweden)

Formatted: Swedish (Sweden)

Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

(34)

pertumbuhan kebutuhan domestik, komposisi permintaan domestik, pertumbuhan pasar domestik, dan tuntutan konsumen domestik akan kualitas produk/jasa. Industri yang sudah terbiasa melayani permintaan domestik yang menuntut persyaratan ketat akan lebih mampu memenuhi permintaan dari pasar dunia yang biasanya lebih ketat lagi.

Industri penunjang dan terkait

Suatu industri akan berkembang lebih pesat apabila di sekeliling industri tersebut terdapat industri-industri terkait dan penunjang yang bekerja secara bersama-sama melayani pasar. Industri perbankan yang kokoh, misalnya, akan mendukung operasi industri manufaktur melalui dukungan penyaluran dana dan penyediaan fasilitas-fasilitas perbankan lainnya. Demikian juga, sektor agroindustri baru dapat berkembang dan memiliki daya saing yang tinggi apabila didukung oleh ketersediaan bahan baku yang berkualitas dan kontinu serta aktivitas perdagangan yang intensif. Selain itu, keberadaan lembaga riset berperan penting dalam pengembangan sektor agroindustri.

Strategi, struktur, dan lingkungan bersaing perusahaan

Perusahaan yang sudah terbiasa bersaing di dalam negeri dan yang struktur dan strateginya memang sudah dirancang untuk mengantisipasi persaingan domestik dianggap akan lebih siap menghadapi persaingan global yang biasanya lebih ketat. Kondisi persaingan domestik berkaitan erat dengan sifat permintaan domestik dan dengan jumlah serta tingkat persaingan domestik.

Kondisi lingkungan jauh

Lingkungan jauh, yaitu kondisi ekonomi, sosial, politik, teknologi, dan lingkungan hidup di suatu negara merupakan sumber peluang (chance) sekaligus ancaman (threat) yang dapat mempengaruhi daya saing industri negara tersebut di pasar

(35)

global. Lingkungan jauh dianggap merupakan faktor yang berada di luar jangkauan industri untuk mengendalikannya.

Pemerintah

Pemerintah di suatu negara berperan besar, baik positif maupun negatif, atas kelima variabel di atas. Pemerintah dapat mengeluarkan peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan penyaluran kredit perbankan, as uransi usaha, kegiatan ekspor-impor, investasi asing, tenaga kerja, lingkungan hidup, dan sebagainya. Pemerintah juga dapat memutuskan untuk mendukung industri tertentu dan mengabaikan atau mengesampingkan industri yang lain sesuai dengan strategi pembangunan yang dipilih.

Keenam variabel dalam Model Diamond Porter di atas merupakan variabel-variabel yang menentukan tingkat daya saing produk suatu negara di pasar global. Strategi pembangunan negara seyogyanya mempertimbangkan variabel-variabel tersebut dalam menentukan komoditas unggulan yang akan dipasarkan oleh suatu negara di pasar global.

Model Diamond Porter kemudian dikembangkan oleh Cho dan Moon (2003) menjadi Model Sembilan Faktor yang oleh Cho dan Moon dinyatakan sebagai model yang lebih mampu menjelaskan keberhasilan negara Korea Selatan dalam arena persaingan global. Cho dan Moon (2003) berpendapat bahwa Model Sembilan Faktor lebih cocok untuk kondisi negara berkembang ketimbang Model Diamond. Model Sembilan Faktor menyatakan bahwa daya saing global suatu industri di suatu negara dipengaruhi oleh sembilan faktor berikut:

1. Faktor politisi dan birokrasi (pemerintah) 2. Faktor pekerja

3. Faktor teknisi dan manajer profesional

(36)

4. Faktor kewirausahaan 5. Faktor lingkungan bisnis 6. Faktor sumber daya alam 7. Faktor permintaan domestik

8. Faktor industri terkait dan industri penunjang 9. Faktor akses dan kesempatan.

[image:36.612.77.575.87.746.2]

Model Sembilan Faktor Choo disajikan dalam Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Model sembilan faktor untuk keunggulan bersaing suatu negara (Cho dan Moon, 2003)

Perbedaan pokok antara Model Diamond Porter dan Model Sembilan Faktor Choo terletak pada faktor manusia, yang pada Model Diamond hanya dimasukkan sebagai salah satu komponen dalam faktor produksi, sementara pada Model Choo faktor manusia mendapatkan perhatian yang jauh lebih besar dengan merincinya ke dalam tiga kelompok (faktor pekerja, faktor teknisi dan manajer profesional, dan faktor kewirausahaan). Dalam hal ini tampaknya pandangan Choo bersesuaian

Formatted: Swedish (Sweden)

Formatted: Swedish (Sweden)

(37)

dengan pandangan Grant (1995) yang merinci aspek sumber daya manusia ke dalam tiga kelompok, yaitu pengetahuan dan keterampilan, kemampuan komunikasi dan interaksi, dan motivasi.

Model Diamond Porter (1993) kemudian dipadukan dengan teori klaster industri untuk mendapatkan keunggulan bersaing berbasis lokasi (Porter, 1996). Porter menyatakan bahwa input faktor (factor inputs) haruslah mencakup faktor-faktor selain aset berwujud (tangible assets, seperti infrastruktur fisik), misalnya, informasi, sistem hukum, serta institusi riset perguruan tinggi. Faktor yang terakhir (institusi riset) sangat berperan dalam menghasilkan inovasi yang selanjutnya sangat penting untuk pengembangan produk yang dapat diterima pasar.

(38)

[image:38.612.83.456.103.354.2]

Gambar 2.7. Sumber daya saing berbasis lokasi (Porter, 1996).

Huseini (2000) memperkenalkan model Saka-Sakti (Satu Kabupaten-Satu Kompetensi Inti) sebagai model alternatif untuk memberdayakan ekonomi daerah. Meskipun menggunakan unit analisis kabupaten sebagai basis modelnya, Huseini menyatakan bahwa unit analisis ini dapat saja diperluas menjadi provinsi atau negara ataupun dipersempit menjadi kecamatan atau kota. Pengambilan unit kabupaten dalam Model Saka-Sakti lebih dipengaruhi oleh gagasan oto nomi daerah yang menempatkan kabupaten sebagai fokus pembangunan daerah di Indonesia. Model Saka-Sakti didasarkan pada konsep daya saing berkelanjutan (sustainable competitive advantage, SCA) yang dikemukakan Hunt (Hunt, 1999, dalam Huseini, 2000). Huseini berpendapat bahwa daya saing suatu daerah harus dicapai melalui pendekatan kompetensi inti (core competence) dan bukan melalui pendekatan komoditas unggulan. Model Saka-Sakti menganjurkan penggalian potensi dasar sumber daya saing yang menurut Huseini ada tiga, yaitu yang bersifat tangibles,

LINGKUNGAN PERSAINGAN DAN STRATEGI PERUSAHAAN KONDISI FAKTOR (INPUT) KONDISI PERMINTAAN INDUSTRI TERKAIT DAN PENDUKUNG

• Lingkungan setempat yang merangsang investasi dan perbaikan berkelanjutan

• Persaingan ketat di antara pesaing-pesaing lokal

Kuantitas dan biaya Sumber daya alam Sumber daya manusia Infrastruktur fisik Infrastruktur administratif Infrastruktur informasi Infrastruktur iptek Kualitas faktor Spesialisasi faktor

•Adanya pemasok lokal yang kapabel

•Adanya industri terkait yang kompetitif

* Pelanggan domestik yang kritis

* Kebutuhan pelanggan yang berkembang * Permintaan lokal yang

bersifat khusus dan dapat dilayani secara global

Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

(39)

intangibles, dan sumber daya manusia. Model Saka-Sakti pada dasarnya merupakan model berbasis sumber daya dan sejalan dengan teori klaster industri Porter (1996) yang tampaknya memadukan pendekatan berbasis pasar dan pendekatan berbasis sumber daya dan menganjurkan pengelompokan regional berdasarkan perusahaan, industri, ataupun sektor guna membangun suatu sentra industri yang homogen.

Baik model klaster industri maupun model Saka-Sakti menitik-beratkan perlunya integrasi penuh seluruh kegiatan di sepanjang rantai nilai (value chain) industri. Tetapi model klaster industri, meskipun sudah mulai mengadopsi asumsi dari model berbasis sumber daya, tampaknya belum secara spesifik menegaskan pentingnya identifikasi sumber daya sebagai sumber kompetensi inti. Di pihak lain, model Saka-Sakti menyatakan bahwa sumber keunggulan bersaing terletak pada kemampuan organisasi dalam mengidentifikasi sumber daya fisik, sumber daya tidak berwujud, dan sumber daya manusia. Secara implisit model Saka-Sakti tampaknya sejalan dengan pendapat Tuomi (1999) dan Rubin (1993) dalam Hidayat dan Syamsulbahri (2001) yang menyatakan pentingnya pengembangan keunggulan bersaing berbasis komunitas. Sasaran utama model Saka-Sakti adalah penciptaan daya saing yang berkelanjutan (Sustainable Competitive Advantages, atau SCA) melalui identifikasi kompetensi inti dalam berbagai proses yang ada dalam rantai nilai industri. Hitt, Ireland, dan Hoskisson (2001) mengajukan empat kriteria untuk SCA, yaitu, (1) penting bagi organisasi untuk memanfaatkan peluang dan meredam ancaman, (2) bersifat langka, (3) sulit ditiru pihak lain, dan (4) tidak tergantikan (nonsubstitable).

3. Kemitraan Strategik

(40)

dan Radebaugh (1996) mendefinisikan kemitraan strategik sebagai kesepakatan di antara perusahaan -perusahaan yang secara strategik penting bagi kemampuan bersaing perusahaan-perusahaan tersebut. Sementara itu Hafsah (1999) mendefinisikan kemitraan sebagai strategi usaha yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Hitt (1995) mendefinisikan kemitraan strategik sebagai kemitraan di antara beberapa perusahaan di mana sumber daya, kapabilitas, dan kompetensi inti perusahaan -perusahaan tersebut dipadukan untuk mencapai kepentingan bersama.

Hitt (1995) menyatakan bahwa kemitraan strategik dapat menghindari persaingan yang tidak perlu di suatu pasar. Selain itu, kemitraan strategik memberikan kesempatan kepada suatu perusahaan untuk mendapatkan akses ke sumber daya yang bersifat komplementer dengan sumber daya yang telah dimiliki dan meminimalkan risiko. Kemitraan strategik dapat membantu perusahaan mempertahankan atau mengembangkan SCA (Sustainable Competitive Advantages). Hafsah (1999) menambahkan bahwa kemitraan usaha harus memberikan manfaat pemerataan kesejahteraan.

Gumbira-Sa’id (2000) membahas konsep estate farming dan collective farming

yang menyangkut pola sistem kemitraan terpadu yang juga bermuara pada peningkatan produktivitas. Gumbira-Sa’id (2000) menegaskan bahwa pemberdayaan sektor agribisnis/agroindustri untuk peningkatan ekonomi Indonesia harus diarahkan pada pencapaian tujuh sasaran di bawah ini:

(41)

2.Peningkatan penerimaan devisa melalui pe ningkatan ekspor nonmigas dan peningkatan nilai tambah produk, di antaranya produk hortikultura yang pasar ekspornya sangat besar.

3.Struktur agroindustri yang kuat yang dilandaskan pada usaha kecil dan menengah yang kuat, yang mampu memanfaatkan keunggulan komparatif guna mencapai keunggulan kompetitif dalam menghadapi persaingan global.

4.Sektor agribsnis/agroindustri yang tangguh khususnya pada kinerja tanaman pangan dan hortikultura sebagai landasan pembangunan ekonomi Indonesia menuju era industrialisasi.

5.Daya saing produk domestik yang tinggi melalui peningkatan produktivitas dengan mempercepat inovasi dan diseminasi teknologi terap dan tepat-sasaran.

6.Standar mutu yang dapat diterima oleh pasar global.

7.Pembangunan ekonomi rakyat yang berkelanjutan yang mampu mendorong pembangunan wilayah yang seimbang.

Gumbira-Sa’id (2000) menyatakan bahwa sasaran-sasaran di atas dapat dicapai melalui pola sistem kemitraan terpadu, yaitu sistem kemitraan untuk memperkuat eksistensi integrasi vertikal suatu atau sekelompok komoditas. Konsep di atas dikenal sebagai konsep estate farming dan collective farming.

(42)

dispersal, pihak pengusaha lebih kuat dibandingkan produsen (dalam hal ini petani). Kondisi seperti ini menimbulkan kesenjangan dalam sistem bisnis hulu dan hilir. Kesenjangan yang terjadi berupa asimetri informasi tentang harga, mutu, teknologi, dan akses permodalan. Sumardjo et al. (2004) menegaskan bahwa kesenjangan-kesenjangan seperti itu dapat diatasi dengan menggunakan kemitraan tipe sinergis. Dalam kemitraan tipe sinergis kesenjangan tersebut dihilangkan dengan menjembatani subsistem bisnis hulu-hilir (produsen-industri pengolahan-pemasaran) dan hulu-hulu (sesama produsen).

Hubungan hulu-hilir di atas sejalan dengan model rantai nilai Porter (1993). Porter (1993) mendefinisikan rantai nilai sebagai rangkaian kegiatan mulai dari pemerolehan bahan baku dan bahan penolong sampai ke produk akhir yang dinikmati konsumen. Kegiatan -kegiatan ini dapat berupa proses pembelian, proses desain, proses produksi, proses pemasaran, dan sebagainya yang secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Rantai nilai generik (Porter, 1993).

Model rantai nilai Porter mengelompokkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan organisasi ke dalam dua golongan, yaitu: (1) kegiatan primer yang langsung terlibat dalam proses produksi, pemasaran, dan penyerahan produk akhir kepada konsumen dan (2) kegiatan pendukung. Selanjutnya Porter (1993) menyatakan ada lima kegiatan utama, yaitu:

Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed

(43)

1.Logistik ke dalam, meliputi penerimaan, penyimpanan, dan penyampaian bahan baku dan sebagainya untuk diolah, seperti penanganan bahan, pergudangan, pengendalian sediaan, penjadwalan kendaraan pengangkut, dan pengembalian bahan yang rusak atau tidak memenuhi standar kepada pemasok.

2.Operasi, yaitu kegiatan yang berkaitan dengan perubahan (konversi) masukan menjadi produk akhir, seperti masinasi, pengemasan, perakitan, pemeliharaan peralatan, pengujian, dan pengoperasian fasilitas.

3.Logistik ke luar, meliputi pengumpulan, penyimpanan, dan distribusi fisik produk kepada pembeli, seperti penyimpanan barang jadi, penanganan barang jadi, operasi kendaraan pengirim, dan pemrosesan pesanan.

4.Pemasaran dan penjualan, meliputi penyediaan sarana yang memungkinkan pembeli membeli produk dan mempengaruhi pembeli untuk melakukan pembelian, seperti periklanan, promosi penjualan, tenaga penjual, pemilihan saluran distribusi, hubungan dengan penyalur, dan penetapan harga.

5.Layanan, meliputi layanan untuk meningkatkan dan mempertahankan nilai produk, seperti pemasangan, perbaikan, penyediaan suku cadang, dan penyesuaian produk.

Sementara itu, kegiatan pendukung dikelompokkan ke dalam empat kategori sebagai berikut (Porter, 1993):

1. Kegiatan pembelian, meliputi fungsi pembelian input yang digunakan dalam rantai nilai perusahaan.

2. Pengembangan teknologi, menyangkut semua teknologi yang digunakan dalam setiap titik dalam rantai nilai.

3. Manajemen sumber daya manusia, berkaitan dengan kegiatan seleksi, penerimaan, pelatihan dan pengembangan, promosi, dan kompensasi karyawan.

(44)

4. Infrastruktur perusahaan, mencakup manajemen umum, perencanaan, keuangan, hukum, hubungan dengan pemerintah, manajemen mutu, dan sebagainya.

Menurut Porter (1993), organisasi harus mengidentifikasi rantai nilainya, dan kemudian mengidentifikasi perubahan (pertambahan) nilai yang dihasilkan pada setiap titik proses (mata rantai). Organisasi kemudian dapat memusatkan perhatian pada proses yang dapat dikerjakannya secara efisien dan dengan demikian memberikan nilai tambah tinggi bagi organisasi dan selanjutnya meningkatkan kompe tensinya dalam proses (proses-proses) tersebut. Organisasi seringkali dapat menyerahkan saja proses-proses lain yang tidak dapat dilakukannya secara efisien kepada pihak lain yang dapat melakukannya secara lebih efisien dan dengan demikian melibatkan pihak -pihak lain dalam pembuatan suatu produk (outsourcing). Kerjasama di antara beberapa organisasi di sepanjang rantai nilai ini dikenal sebagai aliansi (kemitraan) strategik.

Mutis dalam Hafsah (1999) berpendapat bahwa dalam suatu kemitraan strategik harus ada kodeterminasi yang mengakui bahwa semua pihak yang terlibat dalam aliansi mempunyai peran yang penting. Kemitraan harus dilakukan secara partisipatif dan tidak boleh ada pihak yang mengalami marginalisasi dalam prosesnya. Mutis mengaitkan konsep kemitraan dengan paradigma strategic intent

(45)

Hafsah (1999) berpendapat bahwa kemitraan usaha di antara usaha besar dan menengah dengan usaha kecil/koperasi akan mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi. Karena usaha kecil dan koperasi merupakan bag ian terbesar dari pelaku ekonomi nasional, Hafsah menegaskan perlunya usaha kecil dan koperasi diberi peluang dan peran yang lebih besar untuk menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Ini sesuai dengan pendapat Gumbira-Sa’id (2000) yang menyatakan perlunya pemberdayaan sektor usaha kecil/menengah dan koperasi.

Selanjutnya Hafsaah (1999) mengemukakan bahwa tujuan kemitraan adalah sebagai berikut:

1.Memacu peningkatan pendapatan usaha kecil dan masyarakat pada umumnya. 2.Memberikan nilai tambah yang besar bagi pelaku kemitraan.

3.Memacu tingkat pertumbuhan ekonomi desa, wilayah, dan nasional. 4.Menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar.

5.Memeratakan dan memberdayakan masyarakat dan usaha kecil.

Sanim (2000) menambahkan bahwa tujuan suatu kemitraan usaha juga mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Upaya untuk mengurangi kesenjangan dan kecemburuan sosial dalam rangka memelihara stabilitas nasional dan mengembangkan wawasan kebangsaan. 2. Memperluas kesempatan kerja dan usaha bagi usaha kecil, menengah dan koperasi

sekaligus juga meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

3. Meningkatkan nilai tambah sumber daya sebagai aset nasional, agar dinikmati rakyat banyak.

(46)

perusahaan besar sementara perusahaan besar memperoleh manfaat berupa kontinuitas bahan baku, fleksibilitas, dan skala ekonomis. Di samping itu, kemitraan juga dapat mengurangi bentuk monopoli atau terkonsentrasinya usaha pada sebagian kecil kelompok masyarakat.

Menurut Hafsah (1999) ada lima pola kemitraan yang banyak dilaksanakan di Indonesia saat ini, seperti dijelaskan di bawah ini:

(47)

2.Pola Subkontrak, yaitu hubungan kemitraan di mana suatu perusahaan menyerahkan sebagian kegiatan produksinya kepada perusahaan lain. Pola subkontrak ditandai dengan adanya kesepakatan bersama yang mencakup volume, harga, mutu, dan waktu penyerahan (Sumardjo et al., 2004). Perusahaan Toyota di Jepang telah berhasil mengembangkan pola subkontrak dengan menyerahkan produksi berbagai komponen otomotifnya kepada perusahaan menengah dan kecil di Jepang (Hafsah, 1999). Sumardjo et al. (2004) menegaskan bahwa dalam banyak kasus pola subkontrak memungkinkan terciptanya alih-teknologi dan terjaminnya pemasaran produk kelompok mitra. Namun demikian pola ini cenderung mengisolasi produsen kecil dan dapat mengarah ke situasi monopoli atau monopsoni, terutama dalam penyediaan bahan baku dan pemasaran.

3.Pola Dagang Umum, yaitu hubungan kemitraan antara mitra usaha yang memasarkan hasil produksi dengan mitra usaha yang melakukan kegiatan produksinya. Beberapa usaha agribisnis di kawasan Puncak, Jawa Barat, menerapkan pola ini, di mana kelompok usaha tani yang melakukan kegiatan produksi bermitra dengan toko swalayan yang memasarkan hasil produksi. Pada dasarnya pola ini didasarkan pada hubungan jual-beli biasa sehingga diperlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak-pihak yang bermitra (Sumardjo et al,

(48)

membuat pembayaran bagi pengusaha mitra penjual tertunda, dan ini membuat beban modal ditanggung oleh pengusaha mitra penjual.

4.Pola Keagenan, yaitu hubungan kemitraan di mana usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang/jasa hasil produksi usaha menengah atau besar. Pola ini menguntungkan pengusaha kecil mitra yang modalnya kurang kuat karena biasanya produk yang dipasok oleh produsen besar diberikan atas dasar konsinyasi. Namun demikian, usaha kecil mitra seringkali menetapkan harga yang terlalu tinggi sehingga merugikan konsumen (Sumardjo et al, 2004).

5.Pola Waralaba, yaitu hubungan kemitraan di mana salah satu pihak bertindak sebagai pemilik merek dan memberikan lisensi kepada pihak lain untuk menggunakan merek tersebut dan memasarkan produk yang menggunakan merek tersebut dengan membayarkan sejumlah royalti kepada pihak pemilik merek. Contoh usaha yang menggunakan pola ini adalah McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, dan Es Teler 77.

(49)

untuk mengembangkan usaha mitranya (industri kecil). Pada pola kemitraan ini usaha yang dilakukan tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha perusahaan bapak angkat.

Dalam kaitan hubungan kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil/menengah, Hafsah (1999) mengusulkan pendekatan tiga tahap sebagai berikut: 1.Kemitraan Sederhana. Pada tahap ini hubungan bisnis biasa ditingkatkan menjadi

hubungan kemitran yang memberikan tanggung jawab kepada masing-masing mitra yang terlibat. Secara garis besar usaha besar bertanggung jawab untuk memberikan bantuan modal atau kemudahan memperoleh modal kepada usaha kecil mitranya guna mengembangkan usaha dan menyediakan sarana produksi yang dibutuhkan. Usaha kecil bertanggung jawab untuk memasok hasil produksinya kepada usaha besar dalam jumlah dan kualitas yang sesuai dengan standar yang telah disepakati bersama. Dalam kemitraan ini usaha besar juga bertanggung jawab memberikan pembinaan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia usaha kecil/menengah.

2.Kemitraan Tahap Madya. Pada tahap ini peran usaha besar dalam membina usaha kecil mulai dikurangi. Usaha besar tidak lagi memberikan bantuan modal dan manajemen usaha. Peran usaha besar lebih dipusatkan pada bantuan teknologi, peralatan untuk meningkatkan produksi dan kualitas produk, industri pengolahan, serta jaminan pemasaran.

(50)

akibat kepemilikan saham diharapkan dapat menghasilkan sinergi. Meskipun ideal, kemitraan tahap utama menuntut persyaratan yang berat khususnya bagi usaha kecil karena tahap ini menuntut usaha kecil untuk memiliki kemampuan manajerial yang memadai serta pengetahuan bisnis yang luas.

Hafsah (1999) menegaskan bahwa pada tahap manapun, pemerintah seyogyanya berperan sebagai fasilitator. Sebagai fasilitator, pemerintah diharapkan menciptakan iklim usaha yang kondusif, misalnya dalam bentuk penyediaan fasilitas dan kemudahan dalam berinvestasi, penyediaan/pembangunan sarana tansportasi, telekomunikasi dan listrik, serta perangkat perundang-undangan yang mendukung kemitraan usaha.

Gumbira-Sa’id (2001) mengidentifikasi tujuh penyebab kegagalan sistem kemitraan yang selama ini telah dilakukan di Indonesia, seperti yang didaftarkan di bawah ini:

1. Kemitraan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil tidak didasarkan pada prinsip saling membutuhkan.

2. Kemitraan tidak disertai prinsip keadilan distribusi nilai tambah dalam suatu sistem nilai komoditas.

3. Kemitraan tidak disertai prinsip transfer pengetahuan dan pengalaman, sehingga pihak pengusaha (petani) tidak mendapatkan peningkatan profesionalisme. 4. Kemitraan tidak didasarkan pada prinsip bisnis, melainkan hanya keterpaksaan

untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan pemerintah.

5. Kemitraan seringkali hanya sebatas rencana dan MoU, sementar a implementasinya tidak terealisasi sesuai harapan.

(51)

7. Kemitraan hanya didasarkan pada pola pikir yang sempit, yaitu sekadar menyalurkan bantuan dana kepada pengusaha kecil tanpa ada pertanggungjawaban penggunaannya. Ini tidak mendidik masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dalam merencanakan dan memperbaiki masa depannya.

Di masa mendatang, kemitraan yang dibentuk hendaknya mampu menghindari hal-hal tersebut di atas, dan oleh karenanya, kemitraan harus dibangun berdasarkan prinsip bisnis yang saling menguntungkan. Kemitraan harus dilandaskan pada kesadaran bahwa pihak -pihak yang bermitra mempunyai keinginan untuk tumbuh dan berkembang bersama, serta harus ada keadilan dalam distribusi nilai tambah yang dihasilkan.

(52)

4. Pendekatan Sistem

Sistem didefinisikan sebagai kumpulan komponen yang saling berinteraksi untuk menjalankan fungsinya sebagai satu kesatuan yang lengkap (Maani dan Cavana, 2000). Muhammadi, Aminullah, dan Soesilo (2001) menambahkan bahwa sistem harus mempunyai tujuan. Haines (1998) menekankan prinsip saling terkait dan saling bergantung yang ada pada sebarang sistem. Haines selanjutnya menegaskan bahwa ada dua macam sistem, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup bersifat terisolasi, artinya, sistem tertutup memiliki batas yang kedap (tidak tembus) terhadap pengaruh lingkungan. Sistem ini hanya ada dalam anggapan saja untuk kepentingan analisis (Muhammadi, et al., 2001). Haines memberikan contoh dari sistem tertutup ini yaitu eksperimen di laboratorium yang memang dibuat steril. Semua sistem hidup bersifat terbuka. Kesadaran bahwa sistem bersifat terbuka mengharuskan pengambil keputusan, ketika melakukan perubahan, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah, untuk mempertimbangkan aspek lingkungan selain juga komponen-komponen dalam sistem itu sendiri (Haines, 1998).

(53)

yang mempengaruhi dan/atau berkontribusi secara tidak langsung dikategorikan sebagai lingkungan sistem (Muhammadi, Aminullah, dan Soesilo, 2001).

Boulding (1964) dalam Haines (1998) menyatakan terdapat tujuh tingkat sistem terbuka sebagai berikut:

1. Sel – unit kehidupan yang paling dasar

2. Organ – sistem organik dalam tubuh benda hidup

3. Organisme – organisme tunggal seperti manusia dan hewan

4. Kelompok (grup) – tim, departemen, keluarga, dan badan-badan serupa yang memiliki anggota

5. Organisasi – perusahaan, rukun tetangga, rukun warga, kota, organisasi nirlaba 6. Masyarakat – Negara, provinsi, kabupaten, kawasan

7. Sistem supranasional – sistem global, benua, bumi

Pendekatan sistem sendiri merupakan suatu metode pemecahan masalah yang dimulai dengan dilakukan nya identifikasi kebutuhan yang selanjutnya akan menghasilkan sistem operasi yang efektif (Eriyatno, 1999). Untuk dapat bekerja secara sempurna pendekatan sistem harus memiliki delapan faktor, yaitu (1) metode untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) tim multidispliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang non-kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimisasi, dan (8) aplikasi komputer. (Eriyatno, 1999). Selanjutnya Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa pendekatan sistem perlu memperhatikan tahap-tahap kerja yang sistematis yang secara diagramatis diperlihat kan pada Gambar 2.9 .

Formatted: Swedish (Sweden)

Formatted: Swedish (Sweden)

(54)
[image:54.612.108.402.104.394.2]

Gambar 2.9. Tahap-tahap dalam analisis sistem (Eriyatno, 1999). 5. Penelitian Terdahulu

Hasbi (2001) melakukan penelitian mengenai kemitraan pola MAKS (Mini Agroindustri Kelapa Sawit) untuk usaha agroindustri kelapa sawit yang berlokasi di PTP Minanga Ogan, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Hasbi (2001) menemukan bahwa pola MAKS yang menghasilkan alih-kelola dari investor kepada petani pada suatu kurun waktu tertentu mampu meningkatkan kesejahteraan petani peserta program kemitraan pola MAKS tersebut. Hasbi (2001) menganalisis struktur kelembagaan kemitraan dengan menggunakan teknik ISM dan mengambl empat elemen program yang diperkenalkan Saxena, yaitu 1) elemen kebutuhan program, 2) elemen kendala utama program, 3) elemen tujuan program, dan 4) elemen lembaga yang terlibat dalam program.

Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Cha

Gambar

Gambar 2.4. Meraih keunggulan bersaing berdasarkan sumber daya dan
Gambar 2.6. Model sembilan faktor untuk keunggulan bersaing suatu negara (Cho dan
Gambar 2.7. Sumber daya saing berbasis lokasi (Porter, 1996).
Gambar 2.9. Tahap-tahap dalam analisis sistem (Eriyatno, 1999).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu cara menentukan bahan baku minyak pala yang baik bagi industri produk olahan unggulan minyak pala di lokasi yang potensial di Kabupaten Bogor adalah melalui