MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI NENAS
DI KABUPATEN SUBANG DENGAN PENDEKATAN KEMITRAAN SETARA PETANI-PENGUSAHA INDUSTRI PENGOLAHAN
Oleh: AGUS MAULANA
975092/TIP
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI NENAS
DI KABUPATEN SUBANG DENGAN PENDEKATAN KEMITRAAN SETARA PETANI-PENGUSAHA INDUSTRI PENGOLAHAN
Oleh: AGUS MAULANA
975092/TIP
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Format t ed:Swedish (Sweden)
Judul disertasi : Model Pengembangan Agroindustri Nenas
Di Kabupaten Subang Dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani-Pengusaha Industri Pengolahan
Nama : Agus Maulana NRP : 975092
Program Studi : Teknologi Industri Pertanian
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA Dev. Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M Eng. Anggota Anggota
Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Prof. Dr. Martani Huseini, MBA Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Irawadi Jamaran Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc.
Tanggal ujian: 27 Juni 2005 Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 1952 sebagai putra dari pasangan H. Mohamad Noerdin (alm.) dan Hj. Nyi Ayu Djuariah. Penulis memperoleh gelar Sarjana Teknik Kimia dari Institut Teknologi Bandung dan Master of Science in Management (MSM) dari Arthur D’Little Management Education Institute, Cambridge, Massachussets, Amerika Serikat. Pada tahun 1997 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke pogram doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada saat ini penulis menjadi pengajar tidak tetap di berbagai perguruan tinggi di Indonesia pada jenjang S1 dan S2. Penulis juga telah menerjemahkan sekitar 100 buku teks manajemen yang digunakan sebagai buku pegangan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
A Model for Developing Pineapple Agroindustry at Kabupaten Subang based on Equal Partnership Farmer- Processing Industry1)
Agus Maulana2), Irawadi Jamaran, E. Gumbira Sa ’id, Syamsul Maarif, Ani Suryani, and Martani Huseini3)
ABSTRACT .
In order to empower and to increase the welfare of small farmers, the equal partnership between farmers and processing industry in pineapple agroindustry needs to be developed. This kind of partnership should be well managed through integrated system. The Decision Support System (DSS) model named AINI-MS (Agroindustri Nenas Indonesia Mitra Setara) Model was designed to support the effective planning and implementation of this equal partnership.
The AINI-MS Model was developed by using system techniques including Exponential Comparative Method (ECM) and Interpretative Structural Modeling (ISM) and also a technique for analyzing financial feasibility . This model includes submodel for selecting processed pineapple products suitable to be developed, submodel for selecting the best location of pineapple agroindustry, submodel for analyzing the feasibility of pineapple plantation and pineapple processing industry , submodel for identifying aspects that must be considered in planning and implementing equal partnership program in pineapple agroindustry, and submodel for determining selling price s of fresh pineapple that equalize Benefit/Cost Ratio for pineapple plantation and pineapple processing industry.
Verification of the AINI-MS Model was conducted through a case study at Kecamatan Jalancagak, Subang, West Java. Kecamatan Jalancagak was selected as research location because it has been a production center of pineapple in Jawa Barat, and in 1990’s there was pineapple agroindustry at Subang that did not live long. It was found that AINI-MS DSS Model could be used to select kinds of pineapple products that suitable to be developed, to select best location of pineapple agroindustry, and to analyze the feasibility of pineapple agroindustry. The AINI-MS Model was also useful to identify aspects that must be considered in planning and implementing equal partnership program in pineapple agroindustry, and to determine selling price of fresh pineapple that equalize s the value of Benefit-Cost Ratio (BCR) for pineapple plantation and pineapple processing industry.
The result of the study also proposed institutional form and three-phase implementation plan that would be effective in implementing equal partnership program. The equal partnership program that was resulted from this study is expected to give benefits for small farmers, pineapple processing industry, and county government. Key words: equal partnership, pineapple farmers, pineapple canned industry bu sinessmen, benefit-cost ratio.
AGUS MAULANA. Model Strategi Pengembangan Agroindustri Nenas di Kabupaten Subang dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani-Pengusaha Industri Pengolahan. Di bawah bimbingan Irawadi Jamaran sebagai ketua, E. Gumbira Sa’id, Syamsul Maarif, Ani Suryani, dan Martani Huseini sebagai anggota.
ABSTRAK
Dalam rangka memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan petani nenas, perlu dikembangkan kemitraan yang melibatkan petani dan pengusaha industri pengolahan nenas dalam usaha agroindustri nenas. Kemitraan tersebut perlu dikelola dengan baik melalui suatu sistem pengelolaan yang terpadu yang menyetarakan kedudukan petani dan industri pengolahan nenas. Model kemitraan yang diusulkan dinamakan model kemitraan setara. Model Sistem Penunjang Keputusan (SPK) yang diberi nama Model AINI-MS (singkatan dari Agroindustri Nenas Indonesia Mitra Setara) dirancang untuk mendukung perencanaan dan implementasi yang efektif dari usaha kemitraan setara tersebut.
Model AINI-MS dikembangkan dengan menggunakan teknik-teknik sistem yang meliputi Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) dan Permodelan Struktural Interpretatif (Interpretative Structural Modeling, ISM), serta teknik analisis kelayakan usaha. Model ini meliputi (1) submodel pemilihan produk nenas olahan yang dapat membantu pemilihan produk-produk nenas olahan yang layak dikembangkan, (2) submodel pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas yang dapat membantu pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas yang sesuai , (3) submodel analisis kelayakan usaha perkebunan dan pengolahan nenas untuk mengetahui kelayakan usaha kebun dan usaha pengolahan nenas, (4) submodel untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan implementasi program kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas, serta (5) submodel untuk menentukan harga jual nenas segar dari kebun ke industri pengolahan nenas yang menyamakan rasio biaya-manfaat (benefit/cost ratio) usaha perkebunan nenas dan usaha pengolahan nenas.
Verifikasi Model AINI-MS dilakukan melalui studi kasus di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Kecamatan Jalancagak dipilih sebagai lokasi penelitian karena kecamatan tersebut merupakan pusat penghasil nenas di Jawa Barat, khususnya Kabupaten Subang, dan Kabupaten Subang pernah menjadi lokasi agroindustri nenas dengan pola kemitraan di tahun 1990-an tetapi mengalami kegagalan. Dihasilkan kesimpulan bahwa Model SPK AINI-MS dapat digunakan untuk memilih jenis produk nenas olahan yang tepat untuk dikembangkan, untuk memilih lokasi usaha agroindustri nenas, dan untuk menganalisis kelayakan usaha agroindustri nenas. Model AINI-MS juga bermanfaat untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan implementasi program kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas, serta untuk menentukan harga jual nenas segar dari kebun ke industri pengolahan nenas yang menyamakan nilai rasio BCR kebun dan industri.
Penelitian juga menghasilkan usulan bentuk kelembagaan dan rencana implementasi tiga tahap yang diyakini efektif dalam mengimplementasikan program kemitraan setara. Program kemitraan setara yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi petani nenas, pengusaha industri pengolahan nenas, dan pemerintah daerah tempat usaha agroindustri nenas berada.
Kata-kata kunci: kemitraan setara, petani nenas, pengusaha industri pengolahan nenas, rasio biaya-manfaat.
Format t ed:Swedish (Sweden)
Format t ed:Spanish (Venezuela)
Format t ed:Swedish (Sweden)
Format t ed:Swedish (Sweden)
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul:
MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DENGAN PENDEKATAN KEMITRAAN SETARA
PETANI-PENGUSAHA INDUSTRI PENGOLAHAN
Merupakan gagasan atau hasil disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2005
AGUS MAULANA 975092
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN... 1
1. Latar Belakang ... 1
2. Tujuan Penelitian ... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA... 7
1. Nenas dan Agroindustri Nenas di In donesia... 7
a. Tanaman Nenas... 7
b. Agroindustri Nenas di Indonesia... 11
2. Model Berbasis Pasar dan Model Berbasis Sumber Daya dalam Pengembangan Industri... 14
3. Kemitraan Strategik ... 27
4. Pendekatan Sistem ... 39
5. Penelitian Terdahulu ... 42
III. LANDASAN TEORETIS... 44
1. Pemodelan Deskriptif dengan Metode ISM (Interpretative Structural Modeling)... 44
a. Penyusunan hirarki... 45
b. Klasifikasi subelemen ... 47
2. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ... 49
3. Analisis Kelayakan Usaha ... 50
4. Analisis Harga Kesetaraan ... 56
IV. METODE PENELITIAN... 58
1. Kerangka Pemikiran ... 58
2. Tahap-tahap Penelitian ... 60
3. Pelaksanaan Penelitian ... 62
a. Waktu dan Tempat ... 62
b. Teknik Pengumpulan Data... 63
c. Analisis Data... 64
V. ANALISIS SISTEM AGROINDUSTRI NENAS... 66
1. Analisis Kebutuhan dalam Sistem Usaha Agroindustri Nenas ... 67
2. Perumusan Masalah dalam Sistem Usaha Agroindustri Nenas ... 68
3. Identifikasi Sistem Usaha Agroindustri Nenas ... 70
VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS... 72
iii
b. Basis Data Pemilihan Produk Nenas Olahan ... 76
c. Basis Data Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas ... 76
d. Basis Data Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas ... 77
e. Basis Data Kelembagaan Kemitraan Setara Usaha Agroindustri Nenas . 77 3. Sistem Manajemen Basis Model dalam Model AINI-MS ... 78
a. Submodel Pemilihan Lokasi Usaha Agroindustri Nenas ... 78
b. Submodel Pemilihan Produk Nenas Olahan ... 80
c. Submodel Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas ... 81
d. Submodel Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas... 82
e. Submodel Kelembagaan Kemitraan Setara... 83
4. Sistem Manajemen Dialog... 84
VII. ANALISIS SITUASI USAHA PERKEBUNAN DAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DAN KARAWANG... 86
1. Lokasi Penelitian Lapang ... 86
2. Perkebunan dan Agroindustri Nenas di Subang dan Karawang ... 88
a. Perkebunan Nenas Rakyat di Kecamatan Jalancagak ... 89
b. Industri Pengalengan Nenas di Karawang ... 92
c. Industri Dodol Nenas di Subang ... 92
VIII. VERIFIKASI MODEL AINI-MS... 95
1. Submodel Pemilihan Lokasi Usaha Agroindustri Nenas ... 95
2. Submodel Pemilihan Produk Nenas Olahan ... 98
3. Submodel Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas ... 100
4. Submodel Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas... 102
5. Submodel Kelembagaan Kemitraan Usaha Agroindustri Nenas ... 105
Elemen Kebutuhan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ... 106
Elemen Kendala Utama Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ... 109
Elemen Tujuan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ... 112
Elemen Indikator Pencap aian Tujuan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ... 115
Elemen Aktivitas Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas... 118
Elemen Pelaku Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ... 121
6. Submodel Harga Kesetaraan ... 124
IX. MODEL KEMITRAAN SETARA AINI-MS... 126
1. Konsep Dasar Kemitraan Usaha AINI-MS... 127
2. Manajemen Usaha Kebun Nenas ... 131
a. Manajer Umum ... 133
b. Manajer Administrasi dan Keuangan. ... 133
c. Manajer Pemasaran ... 134
d. Manajer Operasional. ... 134
3. Lembaga Pengembangan Usaha ... 134
4. Layanan Teknis ... 135
5. Rancangan Implementasi Kemitraan Setara dalam Agroindustri Nenas ... 135
6. Hak dan Kewajiban Pihak-pihak dalam Kemitraan Setara... 139
X. KESIMPULAN DAN SARAN... 145
A. Kesimpulan ... 145
DAFTAR PUSTAKA... 151
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Kandungan gizi buah nenas segar tiap 100 gram bahan ... 10
Tabel 2.2. Produksi nenas di Indonesia tahun 2003 (BPS, 2004)... 10
Tabel 2.3. Produsen nenas olahan di Indonesia dan kapasitas terpasangnya (CIC,
2000) ... 11
Tabel 2.4. Ekspor nenas olahan dari Indonesia, 2000 -2004 (BPS, 2003 dan 2005,
diolah penulis)... 13
Tabel 2.5. Impor nenas olahan Indonesia, 2000-2004 (BPS, 2003 dan 2005, diolah
penulis)... 13
Tabel 3.1. Keterkaitan antar-subelemen dalam teknik ISM (Marimin, 2004) ... 46
Tabel 3.2. Matriks keputusan dengan teknik MPE (Eriyatno, 1999)... 50
Tabel 5.1. Kebutuhan pelaku yang terlibat dalam kemitraan usaha agroindustri
nenas ... 68
Tabel 8.1. Matriks keputusan pemilihan lokasi usaha agroindustri n enas di
Kabupaten Subang ... 98
Tabel 8.2. Matriks pemilihan produk nenas olahan di Kabupaten Subang... 100
Tabel 8.3. Hasil analisis kelayakan usaha kebun nenas dengan luas 1.500 hektar
untuk kurun waktu 20 tahun. ... 101
Tabel 8.4. Hasil analisis kelayakan usaha pengalengan nenas dengan kapasitas
40.000 ton nenas kaleng/tahun untuk kurun waktu 20 tahun... 103
Tabel 8.5. Hasil analisis kelayakan usaha dodol nenas untuk kurun waktu 20 tahun . 104
Tabel 8.6. Matriks reachability untuk elemen Kebutuhan Program Kemitraan
Setara... 107 Tabel 8.7. Matriks reachibility untuk elemen Kendala Program Kemitraan Setara ... 110 Tabel 8.8. Matriks reachibility untuk elemen Tuju an Program Kemitraan Setara ... 113 Tabel 8.9. Matriks reachibility untuk elemen Indikator Pencapaian Tuju an Program
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Model Identifikasi Faktor (Jumlah, Skala, Pakar, dan Objek)... 156
Lampiran 2. Model Identifikasi Faktor (Inisialisasi Skala Penilaian)... 156
Lampiran 3. Model Identifikasi Faktor (Inisialisasi Pakar)... 157
Lampiran 4. Model Identifikasi Faktor (Inis ialisasi Item yang Dinilai)... 157
Lampiran 5. Model Identifikasi Faktor (Matriks Pendapat Pakar)... 158
Lampiran 6. Model Identifikasi Faktor (Hasil Agregasi Pendapat) ... 158
Lampiran 7. Model Identifikasi Faktor (Hasil Agregasi Pendapat yang Sudah Difilter) ... 159
Lampiran 8. Model Pemilihan Produk (Registrasi Objek)... 159
Lampiran 9. Model Pemilihan Produk (Registrasi Faktor/Kriteria)... 160
Lampiran 10. Model Pemilihan Produk (Registrasi Pakar/Pengambil Keputusan) ... 160
Lampiran 11. Model Pemilihan Produk (Matriks Pendapat dan Resume Agregat) ... 161
Lampiran 12. Model Pemilihan Lokasi (Registrasi Objek)... 161
Lampiran 13. Model Pemilihan Lokasi (Registrasi Faktor/Kriteria) ... 162
Lampiran 14. Model Pemilihan Lokasi (R egistrasi Pakar/Pengambil Keputusan)... 162
Lampiran 15. Model Pemilihan Lokasi (Matriks Pendapat dan Resume Agregat)... 163
Lampiran 16. Model Kelayakan Finansial Integrasi ... 163
Lampiran 17. Hasil Analisis Break Even ... 164
Lampiran 18. Model Kelembagaan (Halaman Utama) ... 165
Lampiran 19. Model Kelembagaan (Detail Sub Elemen) ... 165
Lampiran 20. Model Kelembagaan (Detail Pakar/Pengambil Keputusan) ... 166
Lampiran 21. Model Kelembagaan (Matriks Pendapat Individu)... 166
Lampiran 22. Model Kelembagaan (Matriks Pendapat Agregat) ... 167
Lampiran 23. Model Kelembagaan (Matriks Reachibility Pendapat Agregat) ... 167
Lampiran 24. Model Kelembagaan (Matriks Revisi Pendapat Agregat) ... 168
Lampiran 25. Model Kelembagaan (Elemen Kunci Pendapat Agregat) ... 168
Lampiran 26. Model Kelembagaan (Grafik Driver Power – Dependency Pendapat Agregat) ... 169
Lampiran 27. Model Kelembagaan (Struktur Sub Elemen Pendapat Agregat) ... 169
Lampiran 28. Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Kebun Nenas ... 170
Lampiran 29. Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Pabrik Peng alengan Nenas ... 172
I.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebagai negara tropis Indonesia seharusnya memiliki keunggulan komparatif
untuk produk-produk berbasis pertanian. Dalam kenyataan, pengembangan
agroindustri Indonesia saat ini sudah tertinggal dari negara-negara tetangga sesama
negara tropis, misalnya Thailand dan Malaysia. Belum lagi negara-negara lain,
terutama negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan
Selandia Baru yang tidak pernah meninggalkan pengembangan sektor pertanian.
Kontribusi sektor pertanian di Indonesia selama kurun waktu 1993-2003
ternyata mengalami sedikit penurunan. Pada tahun 1993 sektor pertanian
menyumbang 17,6 persen dari PDB (Tampubolon, 1996), sementara pada tahun 2003
angka tersebut adalah sebesar 15,83 persen (BPS, 2004). Padahal 51,2 persen
penduduk Indonesia menggantungkan hidup pada bidang pertanian (BPS, 2004).
Di pihak lain, industri-industri manufaktur di Indonesia pada umumnya
menggunakan bahan baku impor, sehingga ketika nilai rupiah anjlok terhadap dolar,
sektor tersebut mengalami kesulitan. Berdasarkan hal ini, maka Indonesia perlu
kembali menggalakkan sektor pertanian sebagai sumber devisa yang penting. Salah
satu sektor yang diharapkan dapat menjadi andalan bagi Indonesia adalah
agroindustri berbasis buah-buahan. Potensi sektor ini di Indonesia sangat besar.
Produk dari sektor ini dapat berupa buah segar atau olahan, baik sebagai bahan
makanan maupun sebagai bahan baku industri hilir seperti farmasi, kosmetika, dan
kimia.
Di antara tumbuh-tumbuhan tropis yang tumbuh dengan baik di Indonesia,
segar Indonesia adalah 677.089 ton (BPS, 2004). Selain dipasarkan dalam bentuk
buah segar, nenas juga berpotensi dipasarkan dalam bentuk produk olahan, seperti
nenas kalengan dan jus nenas . Kapasitas produksi terpasang perusahaan -perusahaan
nenas olahan di Indonesia mencapai 259.989 ton untuk nenas kalengan dan 109.048
ton untuk jus nenas (CIC, 2000). Pada tahun 2002, ekspor nenas olahan Indonesia
mencapai 181.095 ton dengan nilai (FOB) US$ 101.569.186. Angka ini mengalami
penurunan pada tahun 2004 menjadi sebesar 144.350 ton dengan nilai (FOB) US$
73.203.000.
Usaha agroindustri nenas terbesar di Indonesia pada saat ini adalah sebuah
perusahaan pengolahan nenas di Lampung. Perusahaan tersebut memiliki kapasitas
produksi terpasang sebesar 187.000 ton nenas kalengan dan 100.000 ton jus nenas
(CIC, 2000). Untuk mendukung industrinya, perusahaan tersebut memiliki
perkebunan nenas sendiri seluas 32.300 hektar. Perusahaan ini menerapkan sistem
terintegrasi dalam menjalankan kegiatan agroindustri nenas, artinya, perusahaan ini
memiliki sendiri perkebunan nenas sebagai sumber bahan baku bagi industri nenas
olahannya. Sistem ini diterapkan oleh perusahaan karena kekhawatiran akan tidak
menentunya pasok nenas segar dari kebun petani. Seperti diketahui, pasok nenas
segar merupakan faktor sangat penting bagi kelangsungan hidup usaha agroindustri
nenas. Dua perusahaan nenas kalengan di Indonesia – sebuah di Sumatera Utara,
tepatnya di Pematang Siantar dan satu lagi di Kabupaten Subang, Jawa Barat –
terpaksa menghentikan operasi akibat tidak menentunya pasok bahan baku nenas
segar dari petani setempat (CIC, 2000).
Pengintegrasian perkebunan nenas ke dalam usaha agroin dustri nenas, di satu
pihak, memang mengurangi risiko ketidak -pastian bahan baku, tetapi, di pihak lain,
3 agroindustri nenas. Oleh karena itu, perlu dipikirkan pengembangan usaha
agroindustri nenas yang melibatkan petani nenas sebagai pemasok nenas segar yang
dapat memberikan kepastian akan kesinambungan dan kualitas pasok nenas segar
bagi industri pengolahan nenas. Dengan dicanangkannya program revitalisasi
pertanian oleh pemerintah yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan taraf
hidup petani, pengembangan agroindustri nenas yang melibatkan petani sebagai salah
satu pelaku utamanya menjadi hal yang sangat penting.
Berbagai bentuk kemitraan di antara petani dan industri telah diterapkan di
berbagai sektor industri, di antaranya adalah bentuk kemitraan inti-plasma. Dalam
agroindustri kelapa sawit, misalnya, bentuk kemitraan inti-plasma yang diharapkan
dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani ternyata lebih menempatkan
petani sebagai price taker, yaitu pihak yang harus menerima saja tingkat harga jual
yang ditentukan berdasarkan perhitungan pihak Direkorat Jenderal Perkebunan yang
mendasarkan perhitungan harga jual tandan buah segar dari petani pada harga FOB
minyak kelapa sawit (harga jual CPO oleh pabrik pengolahan kelapa sawit).
Akibatnya ada kemungkinan petani menerima harga yang tidak terlalu
menguntungkan atau menjual tandan buah segar (TBS) kelapa sawit ke pihak lain
yang menawarkan harga lebih baik.
Kemitraan dalam usaha agroindustri nenas pernah dilakukan di Kabupaten
Subang pada tahun 1990-an. Usaha yang dirintis oleh PT Morelli itu melibatkan
petani sebagai pemasok nenas segar untuk industri pengalengan nenas yang didirikan
perusahaan tersebut. Kemitraan yang dilakukan menggunakan model inti-plasma
seperti yang diterapkan pada agroindustri kelapa sawit. Kegiatan usaha ini akhirnya
ditutup karena tidak sinambungnya pasok nenas segar dari petani mitra yang lebih
Kegagalan usaha ini tentu saja memprihatinkan mengingat potensi Kabupaten
Subang sebagai daerah penghasil nenas segar yang cukup besar (pada tahun 2003
produksi nenas segar dari Kabupaten Subang mencapai 135.296 ton, BPS, 2004).
Berdasarkan kenyataan di atas, dirasakan perlu untuk merancang model yang
dapat digunakan untuk menata kemitraan antara petani dan pengusaha industri
pengolahan dalam usaha agroindustri nenas yang memberikan kesempatan kepada
petani untuk ikut menentukan harg a jual nenas segar kepada pengusaha industri
pengolahan nenas. Model ini dinamakan Model Pengembangan Agroindustri Nenas
dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani dan Pengusaha Industri Pengolahan,
atau Model AINI MS (singkatan dari Agroindustri Nenas Indonesia Mitra Setara).
Kemitraan Setara dalam penelitian ini didefinisikan sebagai bentuk kerjasama
antara petani, sebagai pemilik lahan dan penyedia bahan baku nenas, dan pengusaha
industri pengolahan nenas, sebagai produsen produk-produk nenas olahan, yang
menempatkan kedua pihak dalam posisi tawar yang setara. Pengertian posisi tawar
setara adalah posisi di mana petani dapat, bersama pengusaha industri pengolahan,
menentukan harga jual nenas segar ke industri pengolahan dengan memperhatikan
tingkat keuntungan yang wajar bagi usaha perkebunan nenas dan industri pengolahan
nenas yang menjual produk nenas olahannya kepada pasar, baik domestik maupun
luar negeri. Dengan demikian model kemitraan setara ini merupakan penyempurnaan
dari model kemitraan inti-plasma yang diharapkan dapat mendorong petani untuk
menjual nenas segar kepada industri pengolahan, dan sebaliknya industri pengolahan
bersedia membeli nenas segar dari petani, karena harga yang diperoleh dirasakan
menguntungkan kedua pihak. Untuk membuat model ini terlebih dulu ditetapkan
kriteria kesetaraan yang berpedoman pada kesesuaian tingkat usaha yang dilakukan
5 rantai nilai (value chain) dari Porter (Porter, 1992) yang menggambarkan hubungan
antara usaha hulu (dalam hal ini usaha perkebunan nenas) dan usaha hilir (dalam hal
ini usaha pengolahan nenas).
2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menghasilkan model pengembangan agroindustri nenas
yang menyetarakan posisi petani dan pengusaha industri pengolahan nenas. Model
tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani nenas, usaha agroindustri
nenas, dan pendapatan asli daerah (PAD).
Sesuai tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian mencakup perencanaan
pengembangan agroindustri nenas yang mendudukkan petani dan pengusaha industri
pengolahan nenas dalam posisi tawar yang setara. Ini meliputi perencanaan
kelembagaan, keterkaitan di antara para pelaku yang terlibat dalam agroindustri
nenas serta pola manajemen agroindustri nenas yang mengutamakan peningkatan
keterlibatan dan pendapatan petani nenas .
Kemitraan setara dalam agroindustri nenas dirancang dengan
mempertimbangkan kelayakan usaha agroindustri nenas, analisis manajemen
operasional, dan analisis risikonya. Analisis sistem kemitraan dalam agroindustri
nenas dilakukan dengan menggunakan teknik ISM berdasarkan elemen -elemen
kebutuhan program, kendala-kendala utama program, tujuan program, ukuran
pencapaian tujuan, aktivitas -aktivitas yang dibutuhkan dalam progra m, dan
pelaku/lembaga yang terlibat dalam usaha agroindustri nenas.
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa (1) sumbangan
pengetahuan dalam mengkaji sistem pengembangan agroindustri nenas dengan
pendekatan kemitraan setara, dan (2) alternatif model kemitraan untuk
usaha agroindustri nenas, dan pendapatan asli daerah. Model yang dihasilkan
diharapkan dapat digunakan oleh investor yang berminat menerjuni usaha
agroindustri nenas untuk mengembangkan usaha ini dengan membentuk kemitraan
bersama petani (pemilik lahan) yang saling menguntungkan dan saling memperkuat.
Pemerintah juga dapat memanfaatkan model ini untuk membantu meningkatkan
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Nenas dan Agroindustri Nenas di Indonesia
a. Tanaman Nenas
Nenas atau nanas (Ananas comosus (L.) Merr.) bukan merupakan tan aman asli
Indonesia. Tanaman tersebut diyakini berasal dari Brazilia dan Paraguay dan
disebarkan oleh orang-orang Indian ke bagian -bagian lain dari Amerika Selatan dan Tengah (Economic Research Service, USDA, 2003). Tanaman nenas diduga masuk wilayah Indonesia pada abad 15, mula-mula hanya sebagai tanaman pekarangan,
tetapi berangsur-angsur meluas dan dikebunkan di lahan-lahan kering di seluruh Indonesia. Menurut taksonomi tumbuhan, nenas diklasifikasikan sebagai berikut
(Rukmana, 1996):
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Kelas : Angiospermae (berbiji tertutup)
Ordo : Farionsae (Bromeliales) Famili : Bromeliaceae
Genus : Ananas
Spesies : Ananas comosus (L.) Merr.
Kerabat dekat spesies nenas cukup banyak, terutama nenas liar yang biasanya dijadikan tanaman hias, seperti A. bracteatus (Lindl.) Schultes, dan A. ananassoides
(Bak.) L. B. L. B. Smith. Tanaman nenas berbentuk semak dan hidupnya bersifat tahunan (perennial). Tubuh tanaman nenas terdiri atas akar, batang, daun, bunga,
buah, dan tunas. Perakaran nenas sebagian berada di dalam tanah dan sebagian lagi
Batang tanaman nenas berbentuk gada dengan panjang antara 20 dan 25 cm
atau lebih, berdiameter 2,0 – 3,5 cm, dan beruas pendek. Batang nenas berfungsi sebagai tempat melekat akar, daun, bunga, tunas, dan buah. Secara visual batang nenas tidak terlihat karena tertutup daun. Tangkai bunga atau buah merupakan
perpanjangan dari batang.
Bunga atau buah nenas muncul pada ujung tanaman. Tiap tangkai bunga terdiri
atas 100 – 200 kuntum bunga yang melekat saling berhimpitan. Sifat pembungaan
nenas termasuk penyerbukan silang. Tanpa melalui penyerbukan silang, buah nenas tidak menghasilkan biji (partenocarpi).
Kumpulan kuntum bunga yang mengalami proses penyerbukan akan
menghasilkan kumpulan buah kecil berjumlah 100 – 200 buah. Buah -buah kecil tersebut bergabung menjadi satu dan dihubungkan oleh batang tengah yang disebut
hati, sehingga secara visual terlihat hanya sebagai satu buah berbentuk bulat dengan
bagian ujung seperti kerucut. Tiap buah yang sebelumnya mengalami penyerbukan buatan berpotensi menghasilkan 6.000 – 9.000 biji. Meskipun demikian, buah nenas umumnya tidak berbiji karena bakal biji pada waktu bunga mulai membuka akan
gugur dan hanya sedikit yang menjadi biji dalam buah nenas.
Berdasarkan bentuk daun dan buah, nenas dapat dibagi ke dalam empat
golongan, yaitu: Cayenne, Queen, Spanish, dan Abacaxi. Nenas Simadu dari
Kabupaten Subang termasuk golongan Cayenne, sedangkan nenas Bogor dan nenas Palembang termasuk golongan Queen (Rukmana, 1996). Bagian utama yang bernilai ekonomi penting dari nenas adalah buahnya. Selain dikonsumsi segar, buah nenas
juga dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, di antaranya nenas kalengan (canned pineapple), jus nenas, dan selai. Buah nenas mengandung enzim bromelain,
9 sehingga dapat digunakan untuk melunakkan daging. Limbah nenas berupa kulit
buah dan batang nenas juga dapat dimanfaatkan. Kulit buah dapat diolah menjadi sirup atau diekstraksi cairannya untuk pakan ternak. Batang nenas dapat diambil tepungnya. Serat daun nenas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas dan
tekstil. Pohon industri nenas dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Pohon industri nenas (Ditjen IKAH – Deperindag R.I., 2004)
Dari pohon industri nenas di atas dapat dilihat bahwa usaha agroindustri nenas mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan mengingat banyaknya produk
olahan yang dapat dihasilkan. Selain itu, buah nenas mengandung gizi yang cukup lengkap, seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1. Dari Tabel 2.1 tampak bahwa baik
buah, bonggol, maupun kulit buah nenas dapat diolah menjadi berbagai produk
olahan yang bernilai tinggi.
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
Tabel 2.1. Kandungan gizi buah nenas segar tiap 100 gram bahan
(Direktorat Gizi Depkes R.I., 1981 dalam Rukmana, 1996)
Kandungan Gizi Satuan Jumlah
Kalori kal 52.00
Protein g 0.40
Lemak g 0.20
Karbohidrat g 16.00
Fosfor g 11.00
Zat Besi mg 0.30
Vitamin A S.I 130.00
Vitamin B1 mg 0.08
Vitamin C mg 24.00
Air g 85.30
Bagian dapat dimakan (BDD) % 53.00
Di Indonesia nenas dihasilkan oleh hampir semua wilayah, dengan Jawa Timur sebagai penghasil terbesar (275.373 ton pada tahun 2003), diikuti oleh Jawa Barat
(161.497 ton) , Sumatera Selatan (69.701 ton), dan Lampung (44.267 ton). Kebanyakan nenas di Indonesia dihasilkan oleh perkebunan -perkebunan kecil yang
standar kualitasnya belum ada dan dikonsumsi sebagai buah segar (CIC, 2000). Pada
Tabel 2.2. disajikan data produksi nenas di Indonesia tahun 2003. Tabel 2.2. Produksi nenas di Indonesia tahun 2003 (BPS, 2004)
No. Propinsi Produksi
(Ton) 1 Nanggroe Aceh Darussalam 4,146 2 Sumatera Utara 31,032 3 Sumatera Barat 849,000
4 Riau 17,750
5 Jambi 3,809
6 Sumatera Selatan 69,701
7 Bengkulu 175,000
8 Lampung 44,267
9 Bangka Belitung 726,000 10 DKI Jakarta
-11 Jawa Barat 161,497
12 Jawa Tengah 21,992 13 D.I. Yogyakarta 690,000
14 Jawa Timur 275,373
15 Banten 970,000
16 Bali 2,252
17 NTB 1,083
18 NTT 3,719
19 Kalimantan Barat 5,886 20 Kalimantan Tengah 10,003 21 Kalimantan Selatan 1,300 22 Kalimantan Timur 4,159 23 Sulawesi Utara 3,369 24 Sulawesi Tengah 421,000 25 Sulawesi Selatan 6,881 26 Sulawesi Tenggara 677,000
27 Gorontalo 175,000
28 Maluku 561,000
29 Maluku Utara 3,016
30 Papua 610,000
Formatted: Swedish (Sweden)
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: 1
11
b. Agroindustri Nenas di Indonesia
Agroindustri nenas merupakan rangkaian kegiatan yang mengolah nenas menjadi berbagai produk olahan nenas sampai ke pendistribusiannya. Di Indonesia, produk agroindustri nenas yang utama adalah nenas kalengan (canned pineapple) dan
jus nenas (pineapple juice). Kapasitas terpasang pabrik-pabrik pengolahan nenas di Indonesia mencapai 259.989 ton untuk nenas kalengan dan 109.048 ton untuk jus
nenas (CIC, 2000). Pada Tabel 2.3 disajikan data pabrik pengolahan nenas di
Indonesia.
Tabel 2.3. Produsen nenas olahan di Indonesia dan kapasitas terpasangnya (CIC, 2000)
Produk Ton
1 PT Great Giant Pineapple Lampung Tengah Nenas Kalengan 187,000 Jus Nenas 100,000 2 PT Tris Delta Agrindo Lampung Nenas Kalengan 32,659 Jus Nenas 4,032
3 PT Pulau Sambu Riau Nenas Kalengan 24,000
Jus Nenas 3,000
4 PT Para Sawita Sumatera Utara Jus Nenas 2,000
5 PT Kencana Acid Indo Perkasa Lampung Utara Nenas Kalengan 16,330 Jus Nenas 2,016
6 PT Sari Segar Alami Riau Jus Nenas 2,000
Kapasitas Total Terpasang Nenas Kalengan 259,989
Jus Nenas 109,048
Kapasitas Produksi/Tahun Lokasi
Nama Perusahaan No.
Selain perusahaan-perusahaan yang tercantum dalam tabel, ada dua perusahaan
nenas kalengan lain yang sekarang telah berhenti beroperasi, yaitu PT Pineapple Cannery of Sumatera (PT PCS) di Pematang Siantar dan PT Morelli di Subang.
Kedua perusahaan di atas terpaksa berhenti beroperasi akibat tidak menentunya
pasok bahan baku dari petani kecil se tempat (CIC, 2000). Selain itu, Taifung Group dari Taiwan juga pernah mengembangkan usaha agroindustri nenas di Lampung. Kelompok usaha dari Taiwan tersebut menyewa lahan perkebunan nenas dari petani
lahan yang disewakan tersebut dan sebagai akibatnya Taifung Group kehilangan
lahan perkebunan nenas dan terpaksa menghentikan operasi pengalengan nenasnya pada tahun 2000 (Asopa, 2003).
Bahan baku untuk agroindustri nenas dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
bahan baku utama (buah nenas yang dihasilkan oleh perkebunan nenas) dan bahan penolong yang diperlukan untuk proses produksi dan pengalengan berupa asam sitrat,
gula, alkohol, dan sebagainya. Di Indonesia pasokan buah nenas merupakan faktor
sangat penting bagi agroindustri nenas, dan seperti telah disebutkan di atas, kegagalan industri pengalengan nenas di Kabupaten Subang disebabkan oleh tidak menentunya pasok nenas dari pekebun. Berdasarkan pengalaman tersebut, beberapa
perusahaan produsen nenas kalengan membangun perkebunan nenas sendiri untuk menjamin pasok nenasnya, di antaranya adalah usaha agroindustri nenas yang dapat
dikatakan sukses di Indonesia, yaitu sebuah perusahaan swasta di Lampung.
Kapasitas terpasang perusahaan tersebut masih yang terbesar di Indonesia, yaitu 187.000 ton nenas kalengan dan 100.000 ton jus nenas yang berasal dari 23 lini produksi. Sampai tahun 2005 perusahaan berencana menambah lini produksinya
menjadi 36 lini. Perusahaan ini memiliki 32.300 ha kebun nenas untuk mendukung industrinya. Produksi buah nenas perusahaan mencap ai 69 ton per hektar, atau sekitar
450.000 ton/tahun.
Hampir semua produk agroindustri nenas di Indonesia, termasuk produk perusahaan yang disebutkan di atas , dijual ke pasar ekspor. Pasar domestik untuk nenas kalengan relatif kecil (Hadi, 2001). Permintaan akan nenas kalengan di luar
negeri sangat tinggi sehingga produsen Indonesia mengalami kesulitan dalam memenuhinya. Ekspor nenas olahan Indonesia sejak tahun 2000 sampai 2004 dapat
13 tahun 2000 dan 2004 volume ekspor nenas olahan Indonesia menunjukan sedikit
penurunan 0,95% per tahun. Harga rata-rata nenas olahan ekspor selama kurun waktu lima tahun terakhir ini adalah sebesar US$ 520/ton. Sebagai komoditas ekspor, nenas olahan Indonesia telah diekspor ke negara-negara Asia, Eropa, dan Amerika Serikat.
(BPS, 2005), dengan pasar utama adalah Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Belanda, dan Jepang (Asopa, 2003).
Tabel 2.4. Ekspor nenas olahan dari Indonesia, 2000-2004 (BPS, 2003 dan 2005, diolah penulis)
Tahun Volume
(Ton) Pertumbuhan (%) Nilai FOB (000US$) Pertumbuhan (%) 2000 2001 2002 2003 2004 154.758 158.762 181.095 145.768 144.350 - 2,59 14,07 - 19,50 - 0,97
72.599 76.728 101.569 84.971 73.203 - 5,68 32,37 -16,34 -13,85
Meskipun merupakan negara pengekspor, Indonesia juga mengimpor nenas
olahan dari beberapa negara dalam jumlah yang berfluktuasi. Pada tahun 2004 Indonesia mengimpor nenas olahan sebanyak sekitar 216 ton dengan nilai sekitar US$ 149.659. Impor nenas olah an Indonesia berasal dari Amerika Serikat,
Singapura, dan Australia. Dilihat dari nilai dolar, nenas olahan impor memperoleh harga di atas harga ekspor, sebagai contoh, harga rata-rata per ton nenas olahan impor
pada tahun 2004 adalah US$ 694/ton, sementara harga rata-rata nenas olahan impor
selama kurun waktu 2000 – 2004 adalah sebesar US$ 703/ton. Tabel 2.5 menyajikan data impor nenas olahan Indonesia 2000-2004.
Tabel 2.5. Impor nenas olahan Indonesia, 2000-2004 (BPS, 2003 dan 2005, diolah penulis)
Tahun Volume
(Ton) Pertumbuhan (%) Nilai CIF (US$) Pertumbuhan (%) 2000 2001 2002 2003 2004 158,21 587,88 98,47 239,50 215,68 - 271,58 - 83,25 143,22 - 9,96
123.465 194.680 81.833 210.130 149.659 - 57,68 -57,94 156,78 - 28,78
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
Dalam mengekspor nenas olahan, produsen biasanya berhubungan langsung
dengan pembeli (trading company). Sistem distribusi nenas mulai dari petani sampai ke pasar ekspor disajikan pada Gambar 2.2. Dari Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa nenas segar dari petani tidak ada yang dibeli oleh industri pengolahan atau eksportir
besar. Industri pengolahan dan eksportir besar mendapatkan nenas segar dari kebun sendiri, sementara petani hanya dapat menjual nenas segar ke pedagang perantara
(pengumpul) dan ke industri pengolahan atau eksportir kecil.
Gambar 2.2. Sistem distribusi nenas dari petani sampai ke pasar ekspor ( Hadi, 2001).
2. Model Berbasis Pasar dan Model Berbasis Sumber Daya dalam Pengembangan Industri
Terdapat dua model utama menyangkut faktor penentu daya saing global. Model pertama adalah model organisasi industrial (industrial organization model) atau model I/O yang dikenal juga sebagai model berbasis pasar (market-based
model). Model ini berpendapat bahwa kondisi dan karakteristik lingkungan eksternal
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
15 organisasi merupakan faktor penentu utama dalam perumusan strategi yang akan
menghasilkan keuntungan di atas rata-rata.
Model I/O didasarkan pada tiga asumsi penting (Hitt, et al., 2001). Asumsi pertama adalah bahwa lingkungan eksternal organisasi memunculkan tekanan dan
kendala yang akan me mpengaruhi strategi yang dapat diterapkan organisasi. Asumsi kedua, sebagian besar organisasi/perusahaan yang bersaing dalam suatu industri
memiliki sumber daya strategik yang sama dan mendasarkan strategi pada sumber
daya tersebut. Asumsi ketiga, sumber daya yang digunakan untuk mengimplementasikan strategi memiliki mobilitas tinggi. Karena mobilitas sumber daya yang tinggi ini, perbedaan kepemilikan sumber daya di antara berbagai
organisasi tidak akan bertahan lama. Kunci keberhasilan menurut model I/O adalah kejelian organisasi dalam memilih industri tempat organisasi bersaing (Hitt, et al.,
2001). Salah satu model yang didasarkan pada model I/O adalah model lima
kekuatan persaingan dalam industri (five forces model of competition) dari Porter (1996) yan g berlanjut ke konsep strategi generik.
Model lima kekuatan persaingan dalam industri Porter di atas berpendapat
bahwa intensitas persaingan dalam suatu industri, yang merupakan penentu tingkat laba dalam industri yang bersangkutan, dipengaruhi oleh lima kekuatan, yaitu: (1)
posisi tawar (bargaining position) pembeli industri, (2) posisi tawar pemasok
industri, (3) ancaman pendatang baru, (4) ancaman produk substitusi, dan (5) persaingan di antara para anggota industri itu sendiri. Interaksi di antara kekuatan-kekuatan ini akan mendorong organisasi/perusahaan untuk memilih satu di antara
tiga strategi generik yang tersedia, yaitu (1) strategi keunggulan biaya menyeluruh, (2) strategi diferensiasi, dan (3) strategi fokus. Gambar 2.3 menyajikan model lima
Gambar 2.3. Model lima kekuatan persaingan dalam industri (Porter, 1996).
Model kedua adalah model berbasis sumber daya (resource-based model).
Model ini mengasumsikan bahwa organisasi merupakan kumpulan sumber daya dan kapabilitas yang unik (khas) yang menjadi sumber kompetensi khas (Distinctive
competencies) serta landasan bagi strategi organisasi dan merupakan sumber utama
profitabilitas (Andersen dan Kheam, 1998). Dalam perjalanan waktu, organisasi akan memperoleh berbagai sumber daya yang berbeda-beda dan mengembangkan kapabilitas yang bersifat unik. Model berbasis sumber daya mengasumsikan bahwa
sumber daya tidak sepenuhnya bersifat mobil. Perbedaan kepemilikan sumber daya, menurut model di atas, merupakan landasan keunggulan bersaing. Pendekatan
berbasis sumber daya ini kemudian berkembang menjadi pendekatan berbasis
pengetahuan (knowledge-based approach), yang diperkenalkan antara lain oleh von Krogh, Ichijo, dan Nonaka (2000), dan Tuomi (1999).
Pendekatan berbasis sumber daya sesungguhnya sudah diperkenalkan oleh
Adam Smith melalui teori keunggulan absolut, yang selanjutnya dikembangkan oleh David Ricardo (teori keunggulan komparatif) dan Hecksher-Ohlin (teori
keberlimpahan faktor). (Daniels dan Radebaugh, 1996). Ketiga teori di atas lebih
menekankan pada keunggulan sumber daya alam (fisik). Selanjutnya beberapa pakar
PERSAINGAN SESAMA ANGGOTA INDUSTRI
ANCAMAN PENDATANG BARU
POSISI TAWAR PEMBELI POSISI TAWAR
PEMASOK
ANCAMAN PRODUK SUBSTITUSI
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
17 mengembangkan teori berbasis keunggulan sumber daya alam ini menjadi teori-teori
yang tidak hanya didasarkan pada keunggulan sumber daya alam.
Hunt (1999) memperkenalkan konsep keunggulan bersaing berkelanjutan (sustainable competitive advantage, SCA). Collis dan Montgomery (1997)
mengklasifikasikan sumber daya ke dalam tiga kategori, yaitu, aset berwujud (tangible assets), aset tidak berwujud (intangible assets), dan kapabilitas organisasi
(organizational capabilities). Aset berwujud menurut Collis dan Montgomery (1997)
merupakan aset yang paling mudah dihitung nilainya dan seringkali merupakan sat u-satunya kelompok sumber daya yang muncul dalam neraca organisasi/perusahaan. Beberapa contoh aset berwujud adalah fasilitas produksi, bahan baku, dan lahan.
Collis dan Montgomery (1997) berpendapat bahwa meskipun sumber daya berwujud mungkin berperan pe nting bagi strategi organisasi, sumber daya ini jarang
sekali menjadi sumber keunggulan bersaing. Walaupun demikian ada beberapa
pengecualian. Sumber daya berwujud berupa lokasi perumahan yang berdekatan dengan lokasi pariwisata, misalnya, dapat menjadi sumber keunggulan bersaing. Aset tidak berwujud meliputi reputasi organisasi, merek, kultur, penguasaan teknologi,
hak paten dan merek dagang, serta pengalaman dan hasil pembelajaran terakumulasi. Aset tidak berwujud sering berperan penting dalam keunggulan bersaing organisasi
dan aset tersebut memiliki karakteristik yang penting, yaitu tidak habis dikonsumsi.
Bahkan, jika dimanfaatkan secara bijaksana, aset tidak berwujud akan terus berkembang ketika digunakan. Kapabilitas organisasi menurut Collis dan Montgomery (1997) bukanlah faktor input seperti aset berwujud dan tidak berwujud.
output. Kapabilitas organisasi yang terus menerus diasah dapat menjadi sumber
keunggulan bersaing.
Chaterjee dan Wernerfelt (1991) dalam Huseini (2000) mengembangkan konsep sumber daya dengan mengklasifikasikan sumber daya ke dalam tiga kategori,
yaitu sumber daya fisik (tangible), sumber daya tidak berwujud (intangible), dan sumber daya keuangan. Selanjutnya Grant (1995) mengolompokkan sumber daya
tidak berwujud ke dalam empat kategori, yaitu: sumber daya manusia, sumber daya
teknologi, reputasi, dan aset organisasi. Sumber daya manusia dikelompokkan ke dalam sumber daya tidak berwujud karena penekanannya adalah pada aspek kompetensi, yang oleh Grant (1995) dikelompokkan menjadi empat kategori
kompetensi SDM, yaitu: (1) kompetensi pencapaian tujuan, (2) kompetensi pemecahan masalah, (3) kompetensi interaksi sesama, dan (4) kompetensi kerjasama.
Hamel dan Prahalad (1995) menegaskan bahwa pendekatan berbasis pasar
belum cukup, pendekatan ini harus dilengkapi dengan pengasahan kompetensi inti (pendekatan berbasis sumber daya). Hamel dan Prahalad menegaskan bahwa untuk menciptakan daya saing yang tinggi di tingkat global organisasi harus mampu
mengidentifikasi kompetensi inti yang dibutuhkan, mengembangkan kompetensi tersebut, memanfaatkannya untuk menghasilkan produk-produk yang inovatif, dan
mendidik pasar untuk menerima produk tersebut melalui penciptaan jalur migrasi
(migration path). Kompetensi inti sendiri didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan dan keterampilan yang terintegrasi dalam struktur organisasi (Tuomi, 1999). Tuomi selanjutnya menyatakan bahwa kumpulan pengetahuan dan
keterampilan tersebut akan menghasilkan keunggulan bersaing yang khas organisasi sehingga tidak mudah untuk ditiru organisasi lain. Sveiby (1997) dan Stewart (1997)
19 saing perseorangan, perusahaan, dan negara. Pengetahuan juga dipandang sebagai
faktor penting yang menggerakkan perubahan ekonomi dan sosial, teknologi, serta kehidupan sehari-hari (Tuomi, 1999).
Tuomi lebih lanjut berpendapat bahwa sumber nilai (value) organisasi ada dua,
yaitu modal keuangan (financial capital) dan modal sumber daya manusia (human
capital). Modal sumber daya manusia sendiri dapat dirinci ke dalam tiga aspek, yaitu, kompetensi (competence), sikap (attitude), dan keuletan intelektual (intelectual
agility). Menurut Tuomi (1999), pengembangan kompetensi inti haruslah melibatkan bukan hanya organisasi, melainkan juga komunitas di lingkungan organisasi tersebut berada. Dengan demikian, pengembangan kompetensi inti dapat berlangsung melalui
pengembangan komunitas. Ini sesungguhnya merupakan hal yang wajar karena kumpulan pengetahuan tersimpan dalam komunitas. Oleh sebab itu Tuomi
menegaskan bahwa kompetensi inti harus dikembangkan melalui fasilitasi
pembelajaran sosial dalam komunitas (masyarakat), fasilitasi pembelajaran dan komunikasi di antara komponen-komponen yang ada dalam masyarakat, dan dengan melibatkan komponen-komponen masyarakat yang penting.
Pendapat ini sejalan dengan konsep Pembangunan Berbasis Komunitas (Community-Based Development, CBD) yang sudah diimplementasikan di
negara-negara maju sejak awal 1970-an (Hidayat dan Syamsulbahri, 2001). Konsep CBD
menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai obyek, melainkan juga sebagai subyek pembangunan. Pada dasarnya konsep CBD selalu melibatkan masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun pelaksanaan program yang dilakukan (Rubin, dalam
Hidayat dan Syamsulbahri, 2001).
Grant (1995) menggambarkan proses pencapaian keunggulan bersaing melalui
Gambar 2.4. Pada gambar ini dapat dilihat bahwa titik tolak analisis keunggulan
bersaing adalah identifikasi sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki oleh organisasi. Kapabilitas didefinisikan sebagai kemampuan (kapasitas) sekumpulan sumber daya untuk secara terintegrasi melaksanakan suatu tugas atau aktivitas (Hitt,
Ireland, dan Hoskisson, 2001). Grant (1995) menegaskan bahwa meskipun berbagai sumber daya yang dimiliki organisasi harus dianalisis secara terpisah, kapabilitas
hanya dapat diciptakan dengan memadukan sumber daya tersebut secara tepat.
Gambar 2.4. Meraih keunggulan bersaing berdasarkan sumber daya dan kapabilitas (Grant, 1995).
Porter (1993) memperke nalkan model Diamond untuk menjelaskan
keberhasilan atau kegagalan suatu negara dalam persaingan internasional. Menurut model ini, ada enam atribut yang mempengaruhi lingkungan bersaing suatu industri
di tingkat global. Keenam atribut ini akan mendorong atau menghambat terciptanya
keunggulan bersaing. Atribut-atribut tersebut adalah sebagai berikut: a. Ketersediaan faktor produksi dan infrastruktur (factors condition) b. Keadaan permintaan domestik (demand condition)
Formatted: Swedish (Sweden)
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
21 c. Adanya industri terkait dan industri penunjang (related and supporting industries)
d. Struktur, strategi, dan lingkungan bersaing perusahaan (firm structure, strategy, and rivalry)
e. Pengaruh lingkungan jauh (the role of chance)
f. Peran pemerintah (the role of government)
Saling keterkaitan di antara atribut-atribut tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5 .
Gambar 2.5. Model Diamond untuk Keunggulan Bersaing Negara (Porter, 1993)
Kondisi faktor
Kondisi faktor adalah ketersediaan faktor-faktor sumber daya di suatu negara untuk menunjang produksi. Faktor-faktor ini adalah, antara lain, sumber daya manusia,
sumber daya fisik atau alam termasuk lahan untuk kegiatan produksi, sumber daya
pengetahuan dan teknologi, sumber daya keuangan, serta infrastruktur seperti jalan raya, sarana komunikasi, listrik, dan air.
Kondisi permintaan
Kondisi permintaan yang dimaksud di sini adalah situasi permintaan domestik akan produk dan/atau jasa yang dihasilkan oleh industri-industri di negara yang
bersangkutan. Kondisi permintaan domestik tergambar antara lain dalam pola
Formatted: Swedish (Sweden)
Formatted: Swedish (Sweden)
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
pertumbuhan kebutuhan domestik, komposisi permintaan domestik, pertumbuhan
pasar domestik, dan tuntutan konsumen domestik akan kualitas produk/jasa. Industri yang sudah terbiasa melayani permintaan domestik yang menuntut persyaratan ketat akan lebih mampu memenuhi permintaan dari pasar dunia yang biasanya lebih ketat
lagi.
Industri penunjang dan terkait
Suatu industri akan berkembang lebih pesat apabila di sekeliling industri tersebut
terdapat industri-industri terkait dan penunjang yang bekerja secara bersama-sama melayani pasar. Industri perbankan yang kokoh, misalnya, akan mendukung operasi industri manufaktur melalui dukungan penyaluran dana dan penyediaan
fasilitas-fasilitas perbankan lainnya. Demikian juga, sektor agroindustri baru dapat berkembang dan memiliki daya saing yang tinggi apabila didukung oleh ketersediaan
bahan baku yang berkualitas dan kontinu serta aktivitas perdagangan yang intensif.
Selain itu, keberadaan lembaga riset berperan penting dalam pengembangan sektor agroindustri.
Strategi, struktur, dan lingkungan bersaing perusahaan
Perusahaan yang sudah terbiasa bersaing di dalam negeri dan yang struktur dan strateginya memang sudah dirancang untuk mengantisipasi persaingan domestik
dianggap akan lebih siap menghadapi persaingan global yang biasanya lebih ketat.
Kondisi persaingan domestik berkaitan erat dengan sifat permintaan domestik dan dengan jumlah serta tingkat persaingan domestik.
Kondisi lingkungan jauh
Lingkungan jauh, yaitu kondisi ekonomi, sosial, politik, teknologi, dan lingkungan hidup di suatu negara merupakan sumber peluang (chance) sekaligus ancaman
(threat) yang dapat mempengaruhi daya saing industri negara tersebut di pasar
23 global. Lingkungan jauh dianggap merupakan faktor yang berada di luar jangkauan
industri untuk mengendalikannya.
Pemerintah
Pemerintah di suatu negara berperan besar, baik positif maupun negatif, atas kelima
variabel di atas. Pemerintah dapat mengeluarkan peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan penyaluran kredit perbankan, as uransi usaha, kegiatan
ekspor-impor, investasi asing, tenaga kerja, lingkungan hidup, dan sebagainya. Pemerintah
juga dapat memutuskan untuk mendukung industri tertentu dan mengabaikan atau mengesampingkan industri yang lain sesuai dengan strategi pembangunan yang dipilih.
Keenam variabel dalam Model Diamond Porter di atas merupakan variabel-variabel yang menentukan tingkat daya saing produk suatu negara di pasar global.
Strategi pembangunan negara seyogyanya mempertimbangkan variabel-variabel
tersebut dalam menentukan komoditas unggulan yang akan dipasarkan oleh suatu negara di pasar global.
Model Diamond Porter kemudian dikembangkan oleh Cho dan Moon (2003)
menjadi Model Sembilan Faktor yang oleh Cho dan Moon dinyatakan sebagai model yang lebih mampu menjelaskan keberhasilan negara Korea Selatan dalam arena
persaingan global. Cho dan Moon (2003) berpendapat bahwa Model Sembilan Faktor
lebih cocok untuk kondisi negara berkembang ketimbang Model Diamond. Model Sembilan Faktor menyatakan bahwa daya saing global suatu industri di suatu negara dipengaruhi oleh sembilan faktor berikut:
1. Faktor politisi dan birokrasi (pemerintah) 2. Faktor pekerja
3. Faktor teknisi dan manajer profesional
4. Faktor kewirausahaan
5. Faktor lingkungan bisnis 6. Faktor sumber daya alam 7. Faktor permintaan domestik
8. Faktor industri terkait dan industri penunjang 9. Faktor akses dan kesempatan.
[image:36.612.73.570.40.754.2]Model Sembilan Faktor Choo disajikan dalam Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Model sembilan faktor untuk keunggulan bersaing suatu negara (Cho dan Moon, 2003)
Perbedaan pokok antara Model Diamond Porter dan Model Sembilan Faktor Choo terletak pada faktor manusia, yang pada Model Diamond hanya dimasukkan
sebagai salah satu komponen dalam faktor produksi, sementara pada Model Choo
faktor manusia mendapatkan perhatian yang jauh lebih besar dengan merincinya ke dalam tiga kelompok (faktor pekerja, faktor teknisi dan manajer profesional, dan faktor kewirausahaan). Dalam hal ini tampaknya pandangan Choo bersesuaian
Formatted: Swedish (Sweden)
Formatted: Swedish (Sweden)
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
25 dengan pandangan Grant (1995) yang merinci aspek sumber daya manusia ke dalam
tiga kelompok, yaitu pengetahuan dan keterampilan, kemampuan komunikasi dan interaksi, dan motivasi.
Model Diamond Porter (1993) kemudian dipadukan dengan teori klaster
industri untuk mendapatkan keunggulan bersaing berbasis lokasi (Porter, 1996). Porter menyatakan bahwa input faktor (factor inputs) haruslah mencakup
faktor-faktor selain aset berwujud (tangible assets, seperti infrastruktur fisik), misalnya,
informasi, sistem hukum, serta institusi riset perguruan tinggi. Faktor yang terakhir (institusi riset) sangat berperan dalam menghasilkan inovasi yang selanjutnya sangat penting untuk pengembangan produk yang dapat diterima pasar.
Lingkungan persaingan dan strategi perusahaan menurut model ini berbeda antara ekonomi yang tingkat produktivitasnya lebih rendah dan ekonomi yang tingkat
produktivitasnya tinggi. Pergeseran dari ekonomi produktivitas rendah ke ekonomi
produktivitas tinggi akan mengubah sifat persaingan dari persaingan upah ke persaingan biaya total. Ini akan mengurangi peran komponen upah dalam menentukan daya saing dan menuntut ditingkatkannya efisiensi produksi dan
pelayanan. Selanjutnya persaingan biaya akan bergeser ke persaingan diferensiasi dan ini mengakibatkan peralihan dari strategi imitasi ke st rategi inovasi. Persaingan
juga bergeser dari investasi rendah ke investasi tinggi, tidak hanya pada aset fisik
melainkan juga pada aset tidak berwujud seperti kompetensi dan teknologi. Konsep klaster industri akan berperan sangat penting dalam perubahan ini. Paduan Model Diamond dan konsep klaster industri akan menghasilkan sumber daya saing berbasis
[image:38.612.65.515.38.760.2]
Gambar 2.7. Sumber daya saing berbasis lokasi (Porter, 1996).
Huseini (2000) memperkenalkan model Saka-Sakti (Satu Kabupaten-Satu
Kompetensi Inti) sebagai model alternatif untuk memberdayakan ekonomi daerah.
Meskipun menggunakan unit analisis kabupaten sebagai basis modelnya, Huseini menyatakan bahwa unit analisis ini dapat saja diperluas menjadi provinsi atau negara ataupun dipersempit menjadi kecamatan atau kota. Pengambilan unit kabupaten
dalam Model Saka-Sakti lebih dipengaruhi oleh gagasan oto nomi daerah yang menempatkan kabupaten sebagai fokus pembangunan daerah di Indonesia. Model
Saka-Sakti didasarkan pada konsep daya saing berkelanjutan (sustainable competitive
advantage, SCA) yang dikemukakan Hunt (Hunt, 1999, dalam Huseini, 2000). Huseini berpendapat bahwa daya saing suatu daerah harus dicapai melalui pendekatan kompetensi inti (core competence) dan bukan melalui pendekatan
komoditas unggulan. Model Saka-Sakti menganjurkan penggalian potensi dasar sumber daya saing yang menurut Huseini ada tiga, yaitu yang bersifat tangibles,
LINGKUNGAN PERSAINGAN DAN STRATEGI PERUSAHAAN KONDISI FAKTOR (INPUT) KONDISI PERMINTAAN INDUSTRI TERKAIT DAN PENDUKUNG
• Lingkungan setempat yang merangsang investasi dan perbaikan berkelanjutan • Persaingan ketat di
antara pesaing-pesaing lokal
Kuantitas dan biaya Sumber daya alam Sumber daya manusia Infrastruktur fisik Infrastruktur administratif Infrastruktur informasi Infrastruktur iptek Kualitas faktor Spesialisasi faktor
•Adanya pemasok lokal yang kapabel
•Adanya industri terkait yang kompetitif
* Pelanggan domestik yang kritis
* Kebutuhan pelanggan yang berkembang * Permintaan lokal yang
bersifat khusus dan dapat dilayani secara global
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
27 intangibles, dan sumber daya manusia. Model Saka-Sakti pada dasarnya merupakan
model berbasis sumber daya dan sejalan dengan teori klaster industri Porter (1996) yang tampaknya memadukan pendekatan berbasis pasar dan pendekatan berbasis sumber daya dan menganjurkan pengelompokan regional berdasarkan perusahaan,
industri, ataupun sektor guna membangun suatu sentra industri yang homogen. Baik model klaster industri maupun model Saka-Sakti menitik-beratkan
perlunya integrasi penuh seluruh kegiatan di sepanjang rantai nilai (value chain)
industri. Tetapi model klaster industri, meskipun sudah mulai mengadopsi asumsi dari model berbasis sumber daya, tampaknya belum secara spesifik menegaskan pentingnya identifikasi sumber daya sebagai sumber kompetensi inti. Di pihak lain,
model Saka-Sakti menyatakan bahwa sumber keunggulan bersaing terletak pada kemampuan organisasi dalam mengidentifikasi sumber daya fisik, sumber daya tidak
berwujud, dan sumber daya manusia. Secara implisit model Saka-Sakti tampaknya
sejalan dengan pendapat Tuomi (1999) dan Rubin (1993) dalam Hidayat dan Syamsulbahri (2001) yang menyatakan pentingnya pengembangan keunggulan bersaing berbasis komunitas. Sasaran utama model Saka-Sakti adalah penciptaan
daya saing yang berkelanjutan (Sustainable Competitive Advantages, atau SCA) melalui identifikasi kompetensi inti dalam berbagai proses yang ada dalam rantai
nilai industri. Hitt, Ireland, dan Hoskisson (2001) mengajukan empat kriteria untuk
SCA, yaitu, (1) penting bagi organisasi untuk memanfaatkan peluang dan meredam ancaman, (2) bersifat langka, (3) sulit ditiru pihak lain, dan (4) tidak tergantikan (nonsubstitable).
3. Kemitraan Strategik
dan Radebaugh (1996) mendefinisikan kemitraan strategik sebagai kesepakatan di
antara perusahaan -perusahaan yang secara strategik penting bagi kemampuan bersaing perusahaan-perusahaan tersebut. Sementara itu Hafsah (1999) mendefinisikan kemitraan sebagai strategi usaha yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Hitt (1995) mendefinisikan kemitraan
strategik sebagai kemitraan di antara beberapa perusahaan di mana sumber daya,
kapabilitas, dan kompetensi inti perusahaan -perusahaan tersebut dipadukan untuk mencapai kepentingan bersama.
Hitt (1995) menyatakan bahwa kemitraan strategik dapat menghindari
persaingan yang tidak perlu di suatu pasar. Selain itu, kemitraan strategik memberikan kesempatan kepada suatu perusahaan untuk mendapatkan akses ke
sumber daya yang bersifat komplementer dengan sumber daya yang telah dimiliki
dan meminimalkan risiko. Kemitraan strategik dapat membantu perusahaan mempertahankan atau mengembangkan SCA (Sustainable Competitive Advantages). Hafsah (1999) menambahkan bahwa kemitraan usaha harus memberikan manfaat
pemerataan kesejahteraan.
Gumbira-Sa’id (2000) membahas konsep estate farming dan collective farming
yang menyangkut pola sistem kemitraan terpadu yang juga bermuara pada
peningkatan produktivitas. Gumbira-Sa’id (2000) menegaskan bahwa pemberdayaan sektor agribisnis/agroindustri untuk peningkatan ekonomi Indonesia harus diarahkan pada pencapaian tujuh sasaran di bawah ini:
29 2.Peningkatan penerimaan devisa melalui pe ningkatan ekspor nonmigas dan
peningkatan nilai tambah produk, di antaranya produk hortikultura yang pasar ekspornya sangat besar.
3.Struktur agroindustri yang kuat yang dilandaskan pada usaha kecil dan menengah
yang kuat, yang mampu memanfaatkan keunggulan komparatif guna mencapai keunggulan kompetitif dalam menghadapi persaingan global.
4.Sektor agribsnis/agroindustri yang tangguh khususnya pada kinerja tanaman
pangan dan hortikultura sebagai landasan pembangunan ekonomi Indonesia menuju era industrialisasi.
5.Daya saing produk domestik yang tinggi melalui peningkatan produktivitas
dengan mempercepat inovasi dan diseminasi teknologi terap dan tepat-sasaran.
6.Standar mutu yang dapat diterima oleh pasar global.
7.Pembangunan ekonomi rakyat yang berkelanjutan yang mampu mendorong pembangunan wilayah yang seimbang.
Gumbira-Sa’id (2000) menyatakan bahwa sasaran-sasaran di atas dapat dicapai
melalui pola sistem kemitraan terpadu, yaitu sistem kemitraan untuk memperkuat eksistensi integrasi vertikal suatu atau sekelompok komoditas. Konsep di atas dikenal
sebagai konsep estate farming dan collective farming.
Sumardjo et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat dua tipe kemitraan yang berkembang di Indonesia, yaitu tipe dispersal dan tipe sinergis. Tipe kemitraan dispersal dicirikan oleh tidak adanya ikatan formal yang kuat di antara pihak-pihak
yang bermitra. Jaringan dalam kemitraan ini hanya terikat pada mekanisme pasar dan hubungan di antara pihak-pihak yang bermitra bersifat tidak langsung dan hanya
dispersal, pihak pengusaha lebih kuat dibandingkan produsen (dalam hal ini petani).
Kondisi seperti ini menimbulkan kesenjangan dalam sistem bisnis hulu dan hilir. Kesenjangan yang terjadi berupa asimetri informasi tentang harga, mutu, teknologi, dan akses permodalan. Sumardjo et al. (2004) menegaskan bahwa
kesenjangan-kesenjangan seperti itu dapat diatasi dengan menggunakan kemitraan tipe sinergis. Dalam kemitraan tipe sinergis kesenjangan tersebut dihilangkan dengan
menjembatani subsistem bisnis hulu-hilir (produsen-industri pengolahan-pemasaran)
dan hulu-hulu (sesama produsen).
Hubungan hulu-hilir di atas sejalan dengan model rantai nilai Porter (1993). Porter (1993) mendefinisikan rantai nilai sebagai rangkaian kegiatan mulai dari
pemerolehan bahan baku dan bahan penolong sampai ke produk akhir yang dinikmati konsumen. Kegiatan -kegiatan ini dapat berupa proses pembelian, proses desain,
proses produksi, proses pemasaran, dan sebagainya yang secara lengkap dapat dilihat
[image:42.612.91.454.97.770.2]pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Rantai nilai generik (Porter, 1993).
Model rantai nilai Porter mengelompokkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
organisasi ke dalam dua golongan, yaitu: (1) kegiatan primer yang langsung terlibat dalam proses produksi, pemasaran, dan penyerahan produk akhir kepada konsumen dan (2) kegiatan pendukung. Selanjutnya Porter (1993) menyatakan ada lima
kegiatan utama, yaitu:
Formatted: Swedish (Sweden)
Field Code Changed
31 1.Logistik ke dalam, meliputi penerimaan, penyimpanan, dan penyampaian bahan
baku dan sebagainya untuk diolah, seperti penanganan bahan, pergudangan, pengendalian sediaan, penjadwalan kendaraan pengangkut, dan pengembalian bahan yang rusak atau tidak memenuhi standar kepada pemasok.
2.Operasi, yaitu kegiatan yang berkaitan dengan perubahan (konversi) masukan menjadi produk akhir, seperti masinasi, pengemasan, perakitan, pemeliharaan
peralatan, pengujian, dan pengoperasian fasilitas.
3.Logistik ke luar, meliputi pengumpulan, penyimpanan, dan distribusi fisik produk kepada pembeli, seperti penyimpanan barang jadi, penanganan barang jadi, operasi kendaraan pengirim, dan pemrosesan pesanan.
4.Pemasaran dan penjualan, meliputi penyediaan sarana yang memungkinkan pembeli membeli produk dan mempengaruhi pembeli untuk melakukan
pembelian, seperti periklanan, promosi penjualan, tenaga penjual, pemilihan
saluran distribusi, hubungan dengan penyalur, dan penetapan harga.
5.Layanan, meliputi layanan untuk meningkatkan dan mempertahankan nilai produk, seperti pemasangan, perbaikan, penyediaan suku cadang, dan penyesuaian
produk.
Sementara itu, kegiatan pendukung dikelompokkan ke dalam empat kategori
sebagai berikut (Porter, 1993):
1. Kegiatan pembelian, meliputi fungsi pembelian input yang digunakan dalam rantai nilai perusahaan.
2. Pengembangan teknologi, menyangkut semua teknologi yang digunakan dalam setiap titik dalam rantai nilai.
3. Manajemen sumber daya manusia, berkaitan dengan kegiatan seleksi, penerimaan,
pelatihan dan pengembangan, promosi, dan kompensasi karyawan.
4. Infrastruktur perusahaan, mencakup manajemen umum, perencanaan, keuangan,
hukum, hubungan dengan pemerintah, manajemen mutu, dan sebagainya.
Menurut Porter (1993), organisasi harus mengidentifikasi rantai nilainya, dan kemudian mengidentifikasi perubahan (pertambahan) nilai yang dihasilkan pada
setiap titik proses (mata rantai). Organisasi kemudian dapat memusatkan perhatian pada proses yang dapat dikerjakannya secara efisien dan dengan demikian
memberikan nilai tambah tinggi bagi organisasi dan selanjutnya meningkatkan
kompe tensinya dalam proses (proses-proses) tersebut. Organisasi seringkali dapat menyerahkan saja proses-proses lain yang tidak dapat dilakukannya secara efisien kepada pihak lain yang dapat melakukannya secara lebih efisien dan dengan
demikian melibatkan pihak -pihak lain dalam pembuatan suatu produk (outsourcing). Kerjasama di antara beberapa organisasi di sepanjang rantai nilai ini dikenal sebagai
aliansi (kemitraan) strategik.
Mutis dalam Hafsah (1999) berpendapat bahwa dalam suatu kemitraan strategik harus ada kodeterminasi yang mengakui bahwa semua pihak yang terlibat dalam aliansi mempunyai peran yang penting. Kemitraan harus dilakukan secara
partisipatif dan tidak boleh ada pihak yang mengalami marginalisasi dalam prosesnya. Mutis mengaitkan konsep kemitraan dengan paradigma strategic intent
dari Hamel dan Prahalad (1995), dan menegaskan bahwa kemitraan strategik harus
memadukan strategic intent dari pihak-pihak yang bermitra, sehingga kemitraan tersebut dapat menghasilkan nilai baru. Strategic intent didefinisikan sebagai pemanfaatan sumber daya internal, kapabilitas, dan kompetensi inti perusahaan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang sebelumnya dianggap tidak akan tercapai dengan mengingat lingkungan persaingan yang dihadapi perusahaan (Hitt, Ireland, dan
33 Hafsah (1999) berpendapat bahwa kemitraan usaha di antara usaha besar dan
menengah dengan usaha kecil/koperasi akan mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi. Karena usaha kecil dan koperasi merupakan bag ian terbesar dari pelaku ekonomi nasional, Hafsah menegaskan
perlunya usaha kecil dan koperasi diberi peluang dan peran yang lebih besar untuk menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Ini sesuai dengan pendapat
Gumbira-Sa’id (2000) yang menyatakan perlunya pemberdayaan sektor usaha kecil/menengah
dan koperasi.
Selanjutnya Hafsaah (1999) mengemukakan bahwa tujuan kemitraan adalah sebagai berikut:
1.Memacu peningkatan pendapatan usaha kecil dan masyarakat pada umumnya. 2.Memberikan nilai tambah yang besar bagi pelaku kemitraan.
3.Memacu tingkat pertumbuhan ekonomi desa, wilayah, dan nasional.
4.Menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar.
5.Memeratakan dan memberdayakan masyarakat dan usaha kecil.
Sanim (2000) menambahkan bahwa tujuan suatu kemitraan usaha juga mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Upaya untuk mengurangi kesenjangan dan kecemburuan sosial dalam rangka
memelihara stabilitas nasional dan mengembangkan wawasan kebangsaan. 2. Memperluas kesempatan