• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagaan mengandung dua pengertian yaitu menurut institusi/pranata dan organisasi. Pengertian kelembagaan sebagai organisasi lebih mudah dikenali dalam bentuk nyata seperti KUD, bank pemerintahan, dan sebagainya. Sedangkan pengertian sebagai pranata dapat dikenali melalui pemahaman unsur-unsurnya. Kelembagaan sebagai arti institusi/pranata mengandung empat unsur pokok, yaitu aturan main (rule of game), pengaturan hak dan kewajiban (property right), batas yurisdiksi/ikatan serta adanya sanksi. Aturan main menyangkut pada bagaimana seharusnya dilakukan. Property right menyangkut pada apa yang seharusnya dilakukan seseorang dan apa yang diperolehnya. Ciri-cirinya adalah adanya struktur, tujuan yang jelas, mempunyai partisipasi, teknologi dan sumber daya (Murniningtyas, 2005).8

Penataan institusi dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu : aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom 1985). Sedangkan Menurut North (1994), kelembagaan diartikan sebagai aturan- aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia yang dapat menciptakan ketertiban dan mengurangi ketidakpastian dalam melakukan pertukaran. Oleh karenanya, kelembagaan memiliki 3 (tiga) komponen, yakni aturan formal (pemerintah/politik, ekonomi (pasar), hukum), aturan informal (tradisi, norma, agama dan pengalaman) dan mekanisme (penegakan, kelembagaan tidak akan efektif apabila tidak diikuti dengan penegakan).

Kemitraan merupakan salah satu bentuk ekonomi kelembagaan, dimana semua aturan dalam kegiatan ekonomi antara petani dengan pihak mitra diatur

8

http://yessymsari.blogspot.com/2012/10/konsepsi-kelembagaan-kemitraan.html [Diunduh Tanggal 28 April 2013]

secara formal dan terikat secara kontrak, sehingga semua pihak yang terlibat mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. Disinilah keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya lembaga kemitraan, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Dalam usaha garam rakyat di Kabupaten Sumenep belum terdapat pola kemitraan antara petani dengan pihak lain, yang ada hanya bentuk kerjasama yang bersifat informal. Pola kerjasama yang terjalin saat ini belum mencerminkan kerjasama yang saling menguntungkan dan ideal, karena tidak adanya desain aturan yang diberlakukan dalam kerjasama tersebut. Sehingga menimbulkan adanya ketidaksetaraan dalam posisi tawar. Kerjasama dalam bentuk kemitraan harus memiliki komitmen yang minimal memiliki 4 unsur, yakni harga, kualitas, kuantitas dan waktu (Singh, 2002) yang tertuang dalam bentuk kontrak. Kesepakatan dalam bentuk kontrak dapat menjadi pedoman baik baik petani maupun pihak mitra.

Pola Kemitraan Petani Garam dan Pedagang Pengumpul

Hubungan antara petani garam dengan pedagang pengumpul dapat dikatakan sebagai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, ketergantungan petani garam terhadap pedagang pengumpul sangat tinggi. Hingga akhirnya keberadaan pedagang pengumpul (midlle agent) sulit untuk dihilangkan. Pada dasarnya, kerjasama yang terjalin ini dapat diperbaiki dengan membuat kesepakatan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sehingga dapat membentuk pola kemitraan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Pola kemitraan antara petani dengan pedagang pengumpul dapat dibangun dengan pola kemitraan informal. Menurut Eaton dan Shepherd (2001), pola informal adalah suatu pola yang dicirikan oleh pengusaha kecil atau wirausahawan perseorangan yang membuat kontrak kerjasama secara sederhana dan informal dengan para petani secara musiman, tidak adanya desain aturan yang mengikat untuk kedua belah pihak. Pada model ini sebenarnya terdapat banyak kekurangan, antara lain tidak ada jaminan harga, rendahnya kontrol kualitas, tidak tersedianya input serta tidak adanya jaminan kompensasi. Namun pada kegiatan usaha garam, hubungan kerjasama antara petani dan pengumpul dapat didasarkan pada keterbukaan dan kepercayaan yang tinggi. Beberapa kesepakatan yang dapat dibuat dalam usaha garam adalah (1) adanya keterbukaan dari pihak pedagang pengumpul mengenai ukuran berat garam, (2) pengukuran/penimbangan dilakukan secara bersama dengan petani, (3) Pinjaman modal yang diberikan oleh pengumpul, tidak memiliki pengaruh terhadap penentuan harga namun tetap harus dibayarkan oleh petani pada saat panen tiba.

Estimasi Struktur Biaya dan Pendapatan Petani

Pada Tabel 10 di bawah menunjukkan bahwa terdapat beberapa perubahan struktur biaya dan penerimaan petani dalam kegiatan usaha garam.

Tabel 10 Estimasi struktur biaya dan pendapatan petani dengan pedagang pengumpul

No Uraian Jumlah Persentase (%)

Per Ha/Musim (Rp) 1 Pengeluaran Usaha

a. Biaya Persiapan Lahan ( 4 orang x 12 hari x Rp40 000)

1 920 000 13.48 b. Biaya Pemanenan

(3 orang x 20 x Rp30 000)

1 800 000 12.64 c. Biaya Angkut dari Lahan ke Truk

(Rp950 x 2 040 karung)

1 938 000 13.61 d. Biaya Pengemasan (Rp400 x 2 040 karung) 816 000 5.73 e. Tenaga Pemeliharaan (2 orang x Rp30 000 x 60 hari) 3 600 000 25.28 f. Biaya Pemeliharaan 607 133 4.26 g. Penyusutan 1 658 250 11.65 h. PBB 80 000 0.56 2 Biaya Transaksi

i. Komisi Penjualan (102 ton x Rp10 000) 1 020 000 7.16

j. Biaya Pertemuan 600 000 4.21

k.Biaya komunikasi 200 000 1.40

Total Pengeluaran Usaha 14 239 383 100.00

3 Penerimaan a. Garam KP 1(41.8 ton x Rp475 000) 19 855 000 51.57 b. Garam KP 2(41.8 ton x Rp325 000) 13 585 000 35.29 c. Garam KP 3 (18.4 ton x Rp275 000) 5 060 000 13.14 Total Penerimaan 38 500 000 100.00 4 Keuntungan Usaha 24 260 617 Rasio B/C 1.7

Setelah adanya perbaikan penimbangan, terdapat peningkatan jumlah garam sebesar 20 persen, sehingga total produksi garam petani meningkat menjadi 102 ton. Adanya peningkatan ini, petani mengalami juga kenaikan dalam membayar komisi penjualan kepada pedagang pengumpul sebesar Rp1 020 000 dan penambahan jumlah karung menjadi 2 040 buah. Pengeluaran petani meliputi biaya tenaga kerja (persiapan, pemeliharan, pengemasan, dan pengangkutan), biaya pemeliharaan, penyusutan dan biaya transaksi yang terdiri dari biaya komisi penjualan, biaya pertemuan dan biaya komunikasi, sehingga total pengeluaran petani sebesar Rp14 239 383, sedangkan untuk penerimaan usaha sebesar Rp38 500 000 dan keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp24 260 617 diiringi dengan adanya peningkatan nilai B/C ratio menjadi 1.7. Perbaikan dalam perhitungan berat garam memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan petani, sehingga usaha garam di Kabupaten Sumenep menjadi layak untuk dilakukan.

Pola Kemitraan Petani dan Koperasi

Koperasi merupakan kelembagaan ekonomi pedesaan yang mampu memberikan posisi tawar yang tinggi bagi petani. Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, sehingga petani dalam hal ini petani garam dapat berdayasaing dalam kegiatan usaha garam guna meningkatkan kesejahteraan kehidupannya (Suhud, 2005)9.

Pada dasarnya peningkatan posisi tawar petani adalah untuk meningkatkan akses masyarakat dalam hal ini petani di pedesaan dalam kegiatan ekonomi yang adil, sehingga segala bentuk kesenjangan dan kerugian yang dialami oleh petani dapat terhindarkan. Pengembangan masyarakat petani melalui koperasi ataupun kelembagaan pertanian/kelompok tani merupakan salah satu upaya pemberdayaan terencana yang dilakukan secara sungguh-sungguh melalui usaha bersama petani untuk memperbaiki keragaan sistem perekonomian masyarakat pedesaan. Saat ini, petani garam telah memiliki kelompok-kelompok yang dibentuk pada saat kegiatan PUGAR (Pemberdayaan Usaha Garam). Untuk itu, dengan adanya penguatan kelompok dapat terhindar dari perpecahan dan ketidaksepahaman.

Koperasi garam yang saat ini masih aktif di Kabupaten Sumenep adalah koperasi Astagina. Kemudahan akses pemasaran yang dimiliki oleh koperasi Astagina, menjadikan koperasi ini memiliki peran yang besar dan penting dalam tataniaga garam rakyat. Namun sayangnya hingga saat ini, koperasi Astagina belum menunjukkan kinerja yang baik bagi petani garam rakyat. Masih terdapatnya kepentingan secara pribadi yang sulit untuk dihindari oleh para pengurus koperasi dan kurangnya keberpihakkan koperasi terhadap petani menimbulkan kesan keberadaan koperasi cenderung tidak memberikan perbaikan dalam kegiatan usaha garam rakyat. Oleh sebab itu, jika hal ini terus berlangsung kerjasama yang terjalin tidak akan berjalan secara sehat.

Hubungan kerjasama yang dimiliki koperasi sangat berpotensi dalam kegiatan usaha garam terutama untuk pemasarannya. Untuk itu, keberadaan koperasi dapat diperbaiki dari berbagai aspek, yang antara lain adalah perbaikan aspek manajeman/pengelolaan, aturan main yang jelas, dan komitmen yang esar baik pengurus maupun anggota dalam mewujudkan kepentingan bersama dan kesejahteraan anggotanya terutama petani. Koperasi yang dibangun harus bersifat independen/netral tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, sehingga dapat dijalankan berdasarkan aturan main yang telah ditetapkan. Pola kemitraan yang dapat dilakukan antara petani dan koperasi adalah pola kemitraan intermediary (perantara), dalam pola ini minimal terdapat tiga pihak yang terlibat yaitu pengolah/pedagang besar, Koperasi (perantara) dan petani (Eaton dan Sheperd, 2001). Berikut beberapa aturan (Tabel 11) yang dapat diterapkan guna mewujudkan koperasi yang sesuai dengan tujuan.

9

http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2010/07/12/peran-koperasi-sebagaelembagaan- agribisnis-dalam-peningkatan-posisi-tawar-petani-192026 [ Diunduh Tanggal 6 Mei 2013]

Tabel 11 Aturan kerjasama antara petani dan koperasi

Estimasi Struktur Biaya dan Pendapatan Petani

Berdasarkan Tabel 12 di bawah menunjukkan peningkatan pendapatan ketika petani bekerjasama dengan koperasi menjadi Rp31 394 617. Struktur biaya yang dikeluarkan hampir sama dengan struktur biaya pada pada kerjasama dengan pedagang pengumpul, yang membedakan adalah biaya transaksi yang dikeluarkan oleh petani meliputi biaya komunikasi, biaya simpanan (wajib dan pokok) dan biaya materai yang diperlukan sebagai penguat surat kontrak.

Penerimaan petani dalam satu musim panen garam sebesar Rp45 230 000 dan pengeluaran petani sebesar Rp13 235 383. Hal inipun, berpengaruh terhadap pendapatan dan nilai B/C ratio yang diperoleh petani yaitu sebesar 2.42. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai B/C ratio pada kemitraan sebelumnya. Pola kemitraan yang terjalin menggambarkan bahwa usaha yang dilakukan layak dan akan memberikan manfaat secara ekonomi maupun sosial. Harga yang berlaku ketika petani bermitra dengan koperasi berdasarkan harga jual koperasi yang diberikan kepada pedagang pengumpul, harga yang yang berlaku ini dirasakan telah memberikan keuntungan kepada petani garam.

Uraian Aturan

Petani Koperasi Kewajiban •Sebagai anggota •Sebagai koordinator petani

•Membayar iuran sebesar Rp 30 000/bulan •Membayar iuran pokok Rp 250 000/tahun •Menyediakan lahan dan mengolahnya •Ikut serta dalam penyuluhan dan bimbingan •Membayar kredit yang disediakan

•Menyediakan garam sesuai kualitas dan kuantitas yang diinginkan

•Mengikuti sosialisasi dan rapat anggota

•Sebagai fasilitator •Membantu dalam

penyediaan sarana dan prasarana

•Penetapan harag dasar garam •Memberikan penyuluhan

dan bimbingan

•Membeli dan memasarkan garam petani

•Mengadakan rapat anggota Hak •Mendapatkan kepastian harga

•Mendapatkan informasi yang lengkap •Laporan Berkala dari koperasi •Memperoleh kemudahan kredit

• Garam yang sesuai kualitas • Pembayaran kredit tepat

waktu

Biaya •Semua biaya pengangkutan •Biaya sewa truk angkut Sengketa •Petani menjual garam kepada pihak lain •Koperasi tidak membeli

garam petani

Penyelesaian

•Melanggar peraturan yang telah ditetapkan

•Musyawarah

•Melanggar kesepakatan bersama

Tabel 12 Estimasi struktur biaya dan pendapatan petani dengan koperasi

Jumlah Persentase (%)

No Uraian Per Ha/Musim

(Rp)

1 Pengeluaran Usaha

a. Biaya Persiapan Lahan

(4 orang x 12 hari x Rp40 000) 1 920 000 14.51 b. Biaya Pemanenan

(3 orang x 20 kali x Rp30 000) 1 800 000 13.60 c. Biaya Angkut dari Lahan ke Truk

(Rp950 x 2 040 karung) 1 938 000 14.64 d. Biaya Pengemasan (Rp400 x 2 040 karung) 816 000 6.17 e. Tenaga Pemeliharaan (2 orang x Rp30 000 x 60 hari) 3 600 000 27.20 f. Biaya Pemeliharaan 607 133 4.59 g. Penyusutan 1 658 250 12.53 h. PBB 80 000 0.60 2 Biaya Transaksi i. Simpanan Wajib 360 000 2.72 j. Simpanan Pokok 250 000 1.89 k.Biaya Komunikasi 200 000 1.51 l.Biaya Materai 6 000 0.05

Total Pengeluaran Usaha 13 235 383 100.00

3 Penerimaan a. Garam KP 1(41.8 ton x Rp550 000) 22 990 000 50.83 b. Garam KP 2 (41.8 ton x Rp400 000) 16 720 000 36.97 c. Garam KP 3 (18.4 ton x Rp300 000) 5 520 000 12.20 Total Penerimaan 45 230 000 100.00 4 Keuntungan Usaha 31 994 617 Rasio B/C 2.42

Pola Kemitraan Petani dan PT Garam (Persero)

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bentuk kerjasama yang telah dilakukan antara PT Garam (Persero) dan petani garam rakyat. Kerjasama tersebut dalam bentuk penyewaan lahan tambak, kerjasama ini didasarkan pada konteks CSR (Coorperate Social Responsibility) pihak perusahaan untuk masyarakat. Program CSR ini dapat dijadikan sebagai peluang dan potensi dalam melakukan hubungan kemitraan dengan petani garam. Selain sebagai BUMN, PT Garam (Persero) juga memiliki sumberdaya yang cukup besar dan kemampuan untuk berbagi tehnologi dengan petani garam di sekitar. Tehnologi yang PT Garam gunakan adalah Geo Membran, tehnologi tersebut digunakan untuk mempercepat

proses evaporasi dan meningkatnya kandungan NaCl. Penggunaan Geo Membran dapat meningkatkan produksi ± 30 persen dan kandungan NaCl sebesar menjadi 95-96 persen yang sebelumnya 94 persen. Tehnologi ini diperoleh dari Kementerian Perindustrian sebagai bentuk pilot project dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas garam. Untuk saat ini, pembagian tehnologi Geo Membran tersebut belum dapat dilakukan dalam waktu dekat oleh PT Garam (Persero) mengingat biaya yang dibutuhkan cukup besar dalam pengadaan dan dalam pemasangannya memerlukan tenaga ahli dari luar. Bentuk kerjasama lain yang dapat dilakukan oleh petani dan PT Garam (Persero) untuk saat ini adalah pemasaran dan pengolahan garam. Aspek pemasaran merupakan ujung tombak dalam suatu usaha, harga yang stabil dan kemudahan pasar menjadi kebutuhan petani yang paling utama.

Pola kemitraan yang dapat dilakukan adalah pola kemitraan Terpusat (Sentralisasi). Menurut Eaton dan Sheperd (2001), Pola Terpusat (centralized model) adalah suatu model kemitraan yang klasik, dimana pembeli (koperasi) membeli hasil panen dari banyak petani yang kemudian diolah dan hasilnya dipasarkan. Banyaknya hasil panen dari awal musim panen dengan mutu dan harga yang baik. Model lembaga kemitraan tersebut diharapkan dapat diterapkan pada pola kerjasama antara petani dengan PT Garam (Persero), sebagai salah satu upaya perbaikan dalam kegiatan usaha garam rakyat terutama pada sistem pemasaran. Kesepakatan antara dua pihak dapat berjalan dengan baik, bila terdapat aturan dan disepakati bersama sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalankan kemitraan antara PT Garam (Persero) dan petani. Dengan adanya rancangan aturan ini diharapkan dapat meminimalisir biaya transaksi, dapat tercapainya efisiensi, keuntungan yang proposional, adanya keterbukaan dan kepercayaan diantara keduanya, serta terjadinya peningkatan pendapatan. Aturan yang dapat diterapkan pada pola kemitraan ini adalah sebagai berikut.

Tabel 13 Aturan kerjasama antara petani dan PT Garam (Persero)

Uraian Aturan

Petani PT Garam (Persero) Kewajiban •Mengolah lahan sendiri

•Menghasilkan garam kualitas 1 •Menjual semua garam kualitas 1 yang

diproduksi

•Mengirimkan garam tepat

•Mentaati segala peraturan yang telah disepakati

•Ikut serta dalam penyuluhan dan bimbingan

• Membeli garam kualitas 1 • Membantu penyediaan sarana

prasarana, penyuluhan dan kredit bila dibutuhkan

• Membayar garam tepat waktu • Mentaati segala peraturan yang

telah disepakati Hak •Mendapatkan kepastian harga dan

pembayaran garam

•Mendapatkan informasi yang lengkap •Memperoleh kemudahan kredit

• Garam yang sesuai kualitas • Pembayaran kredit tepat waktu • Melakukan pengawasan dan

peninjauan kegiatan usaha garam

Biaya •Semua biaya pengangkutan •Biaya sewa truk angkut Sengketa •Petani menjual garam kepada pihak lain •Perusahaan tidak membeli dan

membayar garam petani Penyelesaian

•Melanggar peraturan yang telah ditetapkan •Musyarawarah

•Melanggar kesepakatan bersama •Musyawarah

Estimasi Struktur Biaya dan Pendapatan Petani

Kerjasama dalam bentuk pola kemitraan antara petani dan PT Garam (Persero) juga telah memberikan keuntungan sehingga adanya peningkatan pendapatan para petani garam. Pada Tabel 14 di bawah menunjukkan bahwa tingkat penerimaan petani cenderung mengalami peningkatan ketika bekerjasama dengan PT Garam (Persero) yaitu menjadi Rp43 725 000 dengan biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp13 025 383, biaya ini lebih kecil dibandingkan biaya yang dikeluarkan ketika petani bermitra dengan pedagang pengumpul atau koperasi Astagina.

Tabel 14 Estimasi struktur biaya dan pendapatan petani dengan PT Garam (Persero)

No Uraian Jumlah

Per Ha/Musim (Rp) Persentase (%)

1 Pengeluaran Usaha

a. Biaya Persiapan Lahan

(4 orang x 12 hari x Rp40 000) 1 920 000 14.74 b. Biaya Pemanenan

(3 orang x 20 kali x Rp30 000) 1 800 000 13.82 c. Biaya Angkut dari Lahan ke Truk

(Rp950 x 1 204 karung) 1 143 800 8.78 (Rp950 x 836 karung) 794 200 6.10 d. Biaya Pengemasan (Rp400 x 1 204 karung) 481 600 3.70 (Rp400 x 836 karung) 334 400 2.57 e. Tenaga Pemeliharaan (2 orang x Rp30 000 x 60 hari) 3 600 000 27.64 f. Biaya Pemeliharaan 607 133 4.66 g. Penyusutan 1 658 250 12.73 h. PBB 80 000 0.61 2 Biaya Transaksi i. Biaya Pertemuan 600 000 4.61 j. Biaya materai 6 000 0.05

Total Pengeluaran Usaha 13 025 383 100.00

3 Penerimaan a. Garam KP 1(41.8 ton x Rp600 000) 25 080 000 57.36 b. Garam KP 2 (41.8 ton x Rp325000) 13 585 000 31.07 c. Garam KP 3 (18.4 ton x Rp275 000) 5 060 000 11.57 Total Penerimaan 43 725 000 100.00 4 Keuntungan Usaha 30 699 617 Rasio B/C 2.36

Biaya pengemasan untuk kualitas 1 ditanggung oleh PT Garam (Persero) karena karung untuk pengemasan disediakan oleh perusahaan, sehingga petani hanya membayar biaya pengemasan untuk kualitas 1 dan 2 saja. Kerjasama ini juga memberikan peningkatan pendapatan juga kepada petani menjadi Rp30 699

617 dan peningkatan nilai B/C ratio menjadi 2.36. Biaya transaksi yang dikeluarkan lebih rendah yaitu sebesar Rp606 000, biaya ini meliputi biaya pertemuan dan biaya materai untuk pembuatan surat kontrak kerjasama. Harga dasar garam yang berlaku pada pola ini merupakan harga yang diberlakukan oleh PT Garam (Persero) di tingkat pedagang pengumpul. Kerjasama ini dilakukan untuk tujuan keefisienan dalam saluran pemasaran, tanpa merugikan pihak lain. Karena PT Garam (Persero) hanya menerima garam kualitas 1, untuk kualitas 2 dan kualitas 3 petani masih secara bebas menjual kepada pihak lain sehingga harga yang berlaku untuk kualitas 2 dan 3 masih berdasarkan mekanisme pasar.

Analisis Biaya Transaksi

Biaya transaksi adalah biaya untuk menjalan sistem ekonomi dan biaya untuk menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan. North & Thomas (1973) membagi biaya transaksi menjadi tiga tipe, yaitu : (1) Biaya pencarian adalah biaya untuk mendapatkan informasi tentang keuntungan atau kerugian suatu transaksi, (2) Biaya negosiasi yaitu biaya merundingkan syarat-syarat suatu transaksi dan (3) Biaya pelaksanaan yaitu biaya untuk melaksanakan suatu transaksi.

Biaya Pencarian

Menurut kategori North & Thomas (1973), biaya perantara (midleman cost) termasuk pada tipe search cost yaitu biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku ekonomi untuk mendapatkan informasi pasar. Biaya perantara yang terjadi dalam kegiatan usaha garam adalah biaya komunikasi dan harga dari kelebihan pengisian garam dalam karung kemasan. Untuk komunikasi dengan pedagang pengumpul, biasanya petani meggunakan telpon seluler dengan biaya tidak lebih dari Rp 200 000 dalam satu musim garam, kemudian kehilangan berat garam dari setiap satu kali musim sebesar 20 persen, maka nilai yang hilang agar garam dapat terjual adalah untuk kualitas 1 sebesar Rp3 895 000 (8.2 ton dikali Rp475 000/ton), untuk kualitas 2 sebesar Rp2 275 000 (7 ton dikali Rp325 000/ton) dan untuk kualitas 3 sebesar Rp550 000 (2 ton dikali Rp275 000/ton).

Sedangkan biaya pencarian yang dikeluarkan kerjasama antara petani dan koperasi hampir sama dengan pedagang pengumpul pada saat keadaan existing, hal ini dikarenakan pola yang diterapkannya hampir sama. Setelah dilakukannya perbaikan maka biaya yang pencarian yang dikeluarkan pada kemitraan antara koperasi dan petani adalah hanya biaya komunikasi saja sebesar Rp200 000.

Biaya Negosiasi

Pertemuan adalah hal biasa yang dilakukan antara petani dengan pedagang pengumpul untuk membicarakan hal yang berkaitan dengan kegiatan usaha garam. Dalam pertemuan tersebut, biasa petani/tuan rumah menyediakan rokok dan makanan kecil. Biaya yang dikeluarkan dalam 1 kali pertemuan sekitar Rp50 000 dan dalam 1 bulan pertemuan biasanya diadakan sekitar 3 kali. Jadi diasumsikan dalam satu kali musim panen terdapat 12 kali pertemuan sehingga biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 600 000. Pertemuan seperti ini akan tetap dan rutin dilakukan, untuk menjaga silahturahmi dan sebagai ajang pertukaran

informasi diantara pihak-pihak yang bermitra. Selain itu, biaya materai untuk pembuatan kontrak sebesar Rp6 000.

Sedangkan biaya negosiasi yang dikeluarkan untuk pola kemitraan antara koperasi dengan petani adalah biaya materai sebesar Rp6 000 dan kemitraan antara petani dengan PT Garam (Persero) meliputi biaya pertemuan sebesar Rp600 000. Biaya pertemuan ini adalah biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi para petani saat proses membuatan kontrak dan materai sebesar Rp6 000.

Biaya Pelaksanaan

Untuk biaya pelaksanaan (pada saat penjualan), petani diharuskan membayar komisi kepada pedagang pengumpul sebesar Rp10 000/ton, pada pola kerjasama yang dilakukan perhitungan biaya komisi didasarkan pada perhitungan berat garam yang dilakukan oleh pengumpul rata-rata sebanyak 85 ton yaitu sebesar Rp850 000. Sedangkan biaya komisi yang dikeluarkan oleh petani setelah adanya pola kemitraan dengan pedagang pengumpul mengalami peningkatan, hal ini terjadi karena adanya perbaikan perhitungan yang sesuai dengan produksi garam rata- rata sebanyak 102 ton, maka biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp1 020 000. Biaya pelaksanaan yang dikeluarkan oleh petani ketika bermitra dengan koperasi meliputi biaya simpanan pokok dan simpanan wajib per bulan. Untuk simpanan pokok sebesar Rp250 000 dan biaya simpanan wajib sebesar Rp30 000/bulan.

Komparasi Pola Kemitraan Usaha Garam

Dilihat dari perspektif kelembagaan, lemahnya posisi tawar petani pada dasarnya erat kaitannya dengan kondisi unsur-unsur sistem organisasi dari sebuah kelembagaan. Unsur-unsur tersebut antara lain adalah : 1) Aturan main kelembagaan; 2) Partisipasi (sumberdaya manusia); 3) teknologi; 4) Tujuan; dan 5) Lingkungan (alam, sosial, ekonomi dan budaya) (Pakpahan, 1991). Perbaikan terhadap kelima unsur tersebut atau hanya pada unsur-unsur tertentu saja akan sangat menentukan upaya perubahan kelembagaan dalam meningkatkan posisi tawarnya. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, bahwa pemilihan lembaga kemitraan usaha garam rakyat didasarkan pada analisis pendapatan usahatani, analisis biaya transaksi dan analisis B/C ratio. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Pola kemitraan petani garam dengan pihak mitra berdasarkan kriteria

Pola kemitraan petani usaha garam

Kriteria

Penerimaan Pendapatan Biaya

transaksi Ratio biaya transaksi B/C ratio Existing 32 125 000 11 767 617 8 370 000 0.26 0.58 Pedagang pengumpul 38 500 000 24 260 617 1 820 000 0.05 1.70 Koperasi 45 230 000 31 994 617 816 000 0.02 2.42 PT Garam (Persero) 43 725 000 30 699 617 606 000 0.01 2.36

Pada Tabel 15 diatas, menunjukkan bahwa dengan pola kemitraan yang terjalin antara petani dengan pihak lain baik pedagang pengumpul, koperasi maupun PT Garam (Persero) secara umum meningkatkan pendapatan petani dan B/C ratio serta menurunkan ratio biaya transaksi. Peningkatan pendapatan yang paling besar ketika petani bermitra dengan koperasi yaitu sebesar Rp45 230 000 dengan nilai B/C ratio sebesar 2.42 dan ratio biaya transaksi sebesar 0.02. Sedangkan pendapatan yang diperoleh petani ketika bekerjasama dengan PT Garam (Persero) sebesar Rp43 725 000 dengan nilai B/C ratio sebesar 2.36 dan ratio biaya transaksi sebesar 0.01.

Berdasarkan analisis biaya transaksi, dapat dilihat rasio antara biaya transaksi dengan pendapatan petani, nilai rasio terbesar ketika petani masih dalam keadaan saat ini atau existing yaitu sebesar 0.26 yang artinya bahwa setiap penerimaan Rp100 petani harus mengeluarkan biaya transaksi sebesar Rp26. Sedangkan rasio petani dengan pedagang pengumpul sebesar 0.05, maka setiap penerimaan sebesar Rp100 petani mengeluarkan transaksi sebesar Rp5. Rasio petani dengan koperasi sebesar 0.02 dan antara petani dengan PT Garam (Persero) sebesar 0.01 maka setiap penerimaan petani sebesar Rp100, biaya transaksi yang harus dikeluarkan sebesar Rp1. Menurut Yustika (2010), dalam mengukur efisien atau tidak efisiennya suatu desain kelembagaan adalah dengan menggunakan biaya transaksi. Rasio biaya transaksi menunjukkan pola kemitraan yang dibangun antara petani dan koperasi lebih efisien, nilai pendapatan pola kemitraan antara petani dan koperasi juga memberikan keuntungan dan nilai B/C ratio yang lebih tinggi yaitu sebesar 2.42.

Sehingga pola kemitraan antara petani dan koperasi ini memberikan keuntungan dari segi ekonomi dan segi sosial. Secara ekonomi, pola ini memberikan peningkatan pendapatan petani dan layak dilakukan sebagai suatu usaha bersama. Sedangkan secara sosial, peluang kemitraan antara petani dan koperasi lebih besar untuk dilakukan. Koperasi memiliki jangkauan pemasaran

Dokumen terkait