• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contract Farming Pattern In Salt Farming (Case Study Sumenep, Madura-East Java).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Contract Farming Pattern In Salt Farming (Case Study Sumenep, Madura-East Java)."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

POLA KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT

(Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura – Jawa Timur)

NIDA NURDIANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat (Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura – Jawa Timur) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013 Nida Nurdiani

(4)

RINGKASAN

NIDA NURDIANI. Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat (Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura-Jawa Timur). Dibawah bimbingan SUHARNO sebagai ketua dan AMZUL RIFIN sebagai anggota.

Garam merupakan salah satu komoditi strategis dan penting, karena digunakan sebagai bahan baku industri dan bahan pangan yang dibutuhkan oleh hampir semua masyarakat. Secara geografis, Indonesia memiliki potensi alam yang mendukung dalam pemenuhan kebutuhan garam nasional. Indonesia termasuk negara maritim dengan luas lautan sebesar 70 persen (5.8 juta km2) dari total luas wilayahnya. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sepanjang 95 181 km dan memiliki lahan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan tambak garam seluas 34 000 hektar (Balitbang KKP, 2012) yang saat ini baru sebesar 20 000 hektar yang dimanfaatkan.

Masalah mendasar bagi sebagian besar petani garam di Kabupaten Sumenep adalah produksi dan kualitas garam yang masih rendah. Tentu saja hal ini mempengaruhi posisi petani dalam penetapan kualitas dan harga garam itu sendiri (Suherman et al, 2011). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain adalah keterbatasan tehnologi yang digunakan, metode yang diterapkan, akses permodalan dan informasi pasar yang masih sangat minim. Posisi petani yang hanya sebagai produsen, menjadikan pedagang pengumpul sangat mendominasi dalam saluran pemasaran garam. Hubungan antara petani dan pedagang pengumpul tidak hanya sebatas dalam pemasaran saja, melainkan dalam permodalan juga. Untuk itu, petani sangat bergantung pada pedagang pengepul, ketergantungan ini mengakibatkan petani garam tidak memiliki posisi tawar yang baik. Ketidaksetaraan yang terjadi memberikan dampak satu pihak diuntungkan dan ada pihak lain yang dirugikan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tawar petani adalah dengan membangun kelembagaan kemitraan (Vermulen dan Cotula, 2011).

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis pola kerjasama yang telah dilakukan oleh petani garam dengan beberapa pihak terkait, (2) Merumuskan dan memberikan rekomendasi pola kemitraan yang sesuai guna meningkatkan posisi tawar dan kesejahteraan petani garam di Kabupaten Sumenep.

(5)

Secara umum, menurut North & Thomas dalam Anggraini (2005), komponen umum biaya transaksi yang akan diperhitungkan dalam usaha garam mencakup: (1) biaya untuk mencari informasi, seperti informasi mengenai harga, kualitas garam dan variasi dari garam berdasarkan kualitas; (2) biaya pembuatan kontrak, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk melegalkan kontak; (3) biaya pelaksanaan, biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan suatu kontrak/transaksi.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa bentuk kerjasama yang telah dilakukan adalah (1) Kerjasama antara PT Garam (Persero) dengan petani garam dalam penyewaan lahan tambak garam, (2) Kerjasama antara penyewa lahan dengan petani penggarap, pola yang diterapkan sistem bagi hasil sebesar 4 : 6, (3) Kerjasama antara petani garam dengan pemilik lahan perorangan dengan sistem bagi hasil 4 : 6 dan (4) Kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul. Berdasarkan kriteria pemilihan, yaitu pendapatan usahatani, analisis B/C ratio serta biaya transaksi menunjukkan bahwa pola kemitraan yang sesuai adalah kemitraan antara Petani dan Koperasi dengan model yang diajukan adalah Model Intermediary.

(6)

SUMMARY

NIDA NURDIANI. Contract Farming Pattern In Salt Farming (Case Study Sumenep, Madura-East Java). Supervised by SUHARNO and AMZUL RIFIN.

Salt is one of the strategically important commodity, because it is used as an industrial raw materials and foodstuffs needed by almost all people. Geographically, Indonesia has natural resources that support the needs of national salt. Indonesia is a maritime country with a vast ocean of 70 percent (5.8 million km2) of the total area. In addition, Indonesia is also a country with the second longest coastline in the world along 95 181 km and has the potential land that could be used as a salt pond area of 34 000 hectares (Balitbang KKP, 2012), is currently only 20 000 hetares are being used.

The fundamental problem for most salt farmers in Sumenep is salt production and the quality is still low. Of course this affects the position of farmers in determining the quality and price of the salt it self (Suherman et al, 2011). This was caused by several factors there are limitations of technology used, methods applied, access to capital and market information is still very minimal. Position of farmers that only as a producer, it caused the midlle men dominate in the salt marketing. Relationship between farmers and middle men are not only in marketing, but also in the capital. Therefore, farmers rely on merchants collectors, this reliance made salt farmers do not have a good bargaining position. The impacts of inequality occurs no one benefit and the other one gets lose. One of way that can be done to increase the bargaining power of farmers is through building institutional contract farming (Vermulen and Cotula, 2011).

This study aims to (1) To analyze the pattern of cooperation has been carried out by salt farmers with some related sides, (2) Formulate and recommend an appropriate model of contract farming institutions in order to increase the bargaining position dan the welfare of salt farmers.

Sampling methods are done intentionally (purposive sampling). The analysis of the data used, is descriptive analysis that aims to describe how the characteristics of the doers, described the mechanism of the existing pattern of cooperation, and the costs incurred for the creation of contract farming pattern. For describe statistical describe of the average amount of salt production and data of average price of sales price of salt by using tabulation. Revenue analysis is done to measure the success of farm. Total farm income is the difference between the total revenue expenditure total. To know whether the models contract farming are built worth or not worth doing analysis Benefit-Cost Ratio (B/C). To measure efficiency levels used transaction cost analysis. Transaction costs are the costs incurred in conducting economic transactions. Generally, according to the North & Thomas in Anggraini (2005), the general components of transaction costs that will be taken into account in the salt business includes: (1) the cost to get information, such as information about the price, salt quality and variance of salt that based on quality, (2) contracting costs, how much it cost to legalize the contract, (3) the cost of implementation, cost incurred to do a contract/transaction.

(7)

system of 4 : 6, (3) Cooperation between salt farmers and private land owners by the sharing system 4 : 6, and (4) Cooperation between farmers and midlle men. Based on the selection criteria, is farm income, analysis of B/C ratio and transaction costs or economic aspect show that the model is a suitable contract farming between Farmers and Cooperation proposed model is Model Intermediary.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

POLA KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT

(Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura – Jawa Timur)

NIDA NURDIANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS

(11)
(12)

Judul : Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat

(Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura-Jawa Timur)

Nama : Nida Nurdiani

NIM : H451110461

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suharno, M.Adev Dr. Amzul Rifin, SP. MA Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

(13)
(14)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan karuni-Nya, sehingga Tesis yang berjudul “Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat (Studi Kasus Kabupaten Sumenep, Madura-Jawa Timur)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agibisnis, Sekolah Pascasarjana (SPs), Institut Pertanian Bogor (IPB) dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak akan tersusun tanpa bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Suharno, M.Adev selaku ketua Komisi Pembimbing atas waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan, perhatian dan pengertiannya dalam penyusunan tesis.

2. Dr. Amzul Rifin, SP, MA selaku anggota Komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan dalam penyusunan dan penyelesaian tesis.

3. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukkan dan saran dalam penyusunan tesis.

4. Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku penguji dari program studi Agribisnis 5. Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina

MS beserta staf yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran akademik selama pendidikan penulis.

6. BU BPKLN yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa selama pendidikan berlangsung.

7. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dan Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Sumenep beserta staf yang telah membantu penulis.

8. Kepala Biro Umum PT Garam (Persero), M Farid Zahid beserta seluruh staf yang telah memberikan waktu dan informasinya kepada penulis.

9. Para petani garam dan tokoh masyarakat Kabupaten Sumenep yang telah menyediakan waktunya untuk bekerjasama dengan penulis dalam memberikan informasi.

10. Suami (Risa Arisman) dan anak (M. Attar Putrasyahrisa) tercinta, serta kedua orangtua dan seluruh keluarga yang selalu memberikan doa restu, dukungan dan semangat yang tak henti-hentinya.

11. Sahabat satu bimbingan (Dara, Dini, dan Nita) dan sahabat MSA angkatan 2 yang telah membantu dan memberi semangat yang besar untuk penulis. 12. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan

laporan ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis juga berharap laporan ini akan memberikan kontribusi bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Agustus 2013

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Usaha Garam Rakyat 6

Kelembagaan Kemitraan 8

Manfaat Kemitraan 9

3 KERANGKA PEMIKIRAN 11

Landasan Teori Terkait Kemitraan Garam Rakyat 11

Kerangka Pemikiran Operasional 19

4 METODOLOGI PENELITIAN 21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Jenis dan Sumber Data 21

Metode Pengambilan Contoh 22

Metode Analisis Data 22

Perumusan Model Kemitraan 24

5 GAMBARAN UMUM INDUSTRI GARAM 25

Kondisi dan Potensi Wilayah 25

Pelaku Industri Garam 26

Analisis Kondisi Usaha Garam 29

Pola dan Aturan Kerjasama Yang Ada Dalam Usaha Garam 36

6 POLA KEMITRAAN USAHA GARAM RAKYAT 42

Pola Kemitraan Petani Garam dan Pedagang Pengumpul 43 Pola Kemitraan Petani Garam dan Koperasi 45 Pola Kemitraan Petani dan PT Garam (Persero) 47

Analisis Biaya Transaksi 50

Komparasi Pola Kemitraan Usaha Garam 51

7 SIMPULAN DAN SARAN 54

Simpulan 54

Saran 54

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 58

(16)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah Produksi Garam di Wilayah Pulau Madura 3

2 Harga Garam Berdasarkan Kualitas 4

3 Jenis dan Sumber Data yang Digunakan 22

4 Luas Lahan Tambak Berdasarkan Kepemilikkan 25 5 Profil Responden Petani Garam Kabupaten Sumenep 27

6 Produksi Garam yang Dihasilkan 33

7 Analisis Investasi Usaha Garam Rakyat 35

8 Struktur Biaya dan Pendapatan Usaha Garam Rakyat Kondisi Existing 40 9 Perbandingan Antara Kerjasama yang Ada dengan Kerjasama Ideal 42 10 Estimasi Struktur Biaya dan Pendapatan Petani dengan Pedagang

Pengumpul 44

11 Aturan Kerjasama Antara Petani dan Koperasi 46 12 Estimasi Struktur Biaya dan Pendapatan Petani dengan Koperasi 47 13 Aturan Kerjasama Antara Petani dan PT Garam (Persero) 48 14 Estimasi Struktur Biaya dan Pendapatan Petani dengan PT Garam

(Persero) 49

15 Pola kemitraan petani garam dengan pihak mitra berdasarkan kriteria 51

DAFTAR GAMBAR

1 Grafik Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Garam Nasional

Tahun 2001- 2011 1

2 Kebutuhan Impor Garam Berdasarkan Jenisnya tahun 2008-2012 2

3 Kerangka Pemikiran Operasional 21

4 Struktur Kepengurusan Koperasi Astagina 29

5 Petakan Lahan Garam Rakyat 31

6 Proses Produksi Garam Rakyat 31

7 Proses Pembuatan Garam PT. Garam (Persero) 33 8 Pemasangan Geo Membran Pada Lahan PT. Garam (Persero) 34

9 Saluran Pemasaran Garam Rakyat 37

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data Responden Petani Garam 58

2 Data Hasil Panen Petani Responden 61

3 Analisis Biaya Tetap Responden 63

4 Analisis Biaya Variabel Responden 72

5 Surat Kontrak Kemitraan Antara Petani dan Koperasi 75

(17)
(18)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Garam merupakan salah satu komoditi strategis dan penting, karena digunakan sebagai bahan baku industri dan bahan pangan yang dibutuhkan oleh hampir semua masyarakat. Pada sektor industri, garam digunakan diberbagai keperluan seperti industri tekstil, minyak, keramik, farmasi dan kertas, industri klor alkali, industri pengolahan logam, industri sabun, industri karet. Garam sebagai bahan pangan merupakan bahan pelengkap dan salah satu sumber gizi yang tidak dapat digantikan oleh produk lainnya.

Secara geografis, Indonesia memiliki potensi alam yang mendukung dalam pemenuhan kebutuhan garam nasional. Indonesia termasuk negara maritim dengan luas lautan sebesar 70 persen (5.8 juta km2) dari total luas wilayahnya. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia sepanjang 95 181 km dan memiliki lahan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan tambak garam seluas 34 000 hektar (Balitbang KP, 2011) dan saat ini baru sebesar 20 000 hektar yang dimanfaatkan.

Gambar 1 Grafik perkembangan produksi dan kebutuhan garam nasional tahun 2001- 2011

Sumber : Kementerian Perindustrian (2012)

Gambar 1 menunjukkan bahwa produksi garam yang dihasilkan oleh Indonesia masih sangat rendah dalam memenuhi kebutuhan garam nasional. Kebutuhan garam dari tahun ke tahun semakin meningkat sebesar 6 persen pertahun seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan industri di Indonesia (Kurniawan dan Azizi, 2012). Kebutuhan garam nasional selama ini dipenuhi melalui produksi dalam negeri dan impor. Saat ini, kebutuhan Indonesia akan garam mencapai 3.2 juta ton, sementara produksi garam yang dihasilkan baru mencapai 1.4 juta ton pada tahun 2011. Produksi garam berasal dari garam rakyat dan PT Garam (Persero), namun sebagian besar produksi berasal dari garam rakyat. Jumlah produksi garam pada rentang tahun 2001-2009 berkisar di

0

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

(19)

angka 1 juta, kecuali untuk tahun 2010 produksi garam Indonesia menurun drastis hanya 30 000 ton, hal ini diakibatkan oleh cuaca yang sangat ekstrim.

Industri garam merupakan industri yang strategis dan terus berkembang, sehingga permintaan baik jenis dan penggunaan garam terus meningkat. Pada perkembangannya, terdapat permasalahan mendasar dalam kegiatan usaha garam antara lain adalah 1) sumberdaya manusia dan kelembagaan, 2) infrastruktur dan fasilitas produksi yang digunakan, 3) masalah permodalan, 4) regulasi perdagangan, 5) sistem tataniaga yang didominasi oleh pedagang pengumpul, dengan pasar yang mengarah kepada pasar monopsoni dan 6) produksi garam dengan tehnologi yang masih sederhana sehingga mempengaruhi kualitas garam yang dihasilkan (KKP, 2012).

Faktor lain yang mempengaruhi garam, baik dari segi kualitas maupun kuantitas adalah lahan garam yang dikelola oleh petani secara umum tidak lebih dari 1 ha, lahan garam yang dikelola tidak berada dalam satu hamparan, produksi yang dilakukan masih secara sederhana dan konvensional yaitu menggunakan metode kristalisasi total, singkatnya waktu pungutan garam yang rata-rata 5-7 hari, dan infrastruktur yang belum memadai. Saat ini, produksi garam Indonesia baru memenuhi kebutuhan garam konsumsi. Sedangkan garam industri, Indonesia masih bergantung kepada impor. Sebagian besar kandungan NaCl garam Indonesia masih dibawah 94 persen, untuk garam industri dibutuhkan kandungan NaCl minimal sebesar 98 persen. Oleh karena itu, mengapa Indonesia masih melakukan impor garam dan kurang berkembangnya industri garam rakyat. Berikut jumlah kebutuhan impor garam tersaji dalam Gambar 2.

Gambar 2 Kebutuhan Impor Garam Berdasarkan Jenisnya Tahun 2008-2012

Sumber : Kementerian Perindustrian (2013)

Salah satu sentra penghasil garam di Indonesia adalah Kabupaten Sumenep. Kabupaten Sumenep merupakan tempat awal dimulainya industri garam rakyat di Indonesia. PT Garam (Persero) menjadi simbol kejayaan dan pabrik garam briket pertama di Indonesia yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda. Lahan pegaraman yang dimiliki terbagi atas dua kepemilikan, yaitu lahan yang dimiliki oleh PT Garam (Persero) seluas ± 3 400 ha dan lahan petani garam rakyat dengan luas areal ± 2 068 ha. Daerah penghasil garam terbesar di Kabupaten Sumenep berada di Kecamatan Kalianget, Gapura, Pragaan dan Saronggi, serta sebagian

500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000

2008 2009 2010 2011 2012

(20)

kecil di Kecamatan Bluto. Jumlah produksi garam Kabupaten Sumenep dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Jumlah produksi garam di wilayah Pulau Madura

Sumber : KKP, 2012

Dalam mata rantai usaha garam di Kabupaten Sumenep, penggarap merupakan pihak yang paling kecil memperoleh keuntungan sedangkan pedagang pengumpul memiliki peran penting dalam pemasaran. Penetapan harga ditentukan secara sepihak oleh pedagang pengumpul, kesepakatan yang terjalin antara petani garam dengan pedagang pengumpul dapat dikatakan belum ideal karena masih terdapat pihak yang merasa dirugikan dan adanya pihak yang mendapatkan keuntungan dimana mereka tidak berkontribusi dalam biaya (free rider). Hal ini mengindikasikan adanya ketidaksetaraan dalam hubungan kerjasama. Menurut Yustika (2010), ketidaksetaraan antar pelaku dalam wujud posisi tawar memerlukan mekanisme dan desain aturan main (kelembagaan) yang bertujuan untuk membangun kesetaraan antar pelakunya, baik daya tawar maupun kelengkapan infomasi. Kelembagaan (aturan main) yang dimaksud dalam hal ini adalah kelembagaan dalam wujud pola kemitraan.

Vermulen dan Cotula (2011) mengemukan kemitraan yang ideal adalah kemitraan yang dapat menciptakan kesetaraan dalam pengambilan keputusan, pembagian risiko dan distribusi keuntungan yang proposional. Untuk itu, perlu dirumuskan pola kemitraan yang keberlanjutan dalam usaha garam rakyat. Pola kemitraan dibangun agar dapat menciptakan manfaat ekonomi bagi pelaku usaha garam rakyat sehingga dapat terwujudnya bentuk kerjasama baru yang lebih efisien dan berkeadilan. Sebagai strategi bisnis maka kemitraan dapat dijadikan sebagai suatu inovasi salah satu mekanisme yang mungkin dapat meningkatkan penghidupan/kesejahteraan petani garam kecil di daerah pesisir.

Perumusan Masalah

Masalah mendasar bagi sebagian besar petani garam di Kabupaten Sumenep adalah produksi dan kualitas garam yang masih rendah. Tentu saja hal ini mempengaruhi posisi petani dalam penetapan kualitas dan harga garam itu sendiri (Suherman et al, 2011). Lemahnya posisi petani garam dalam hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain adalah keterbatasan tehnologi yang digunakan, metode yang diterapkan, akses permodalan dan informasi pasar yang masih sangat minim. Berdasarkan Peraturan Dirjen Perdagangan Luar Kabupaten Luas lahan (ha) Produksi (ton)

2007 2008 2009 2011

PT.Garam 5 190 200 000 216 000 300 000 -

Bangkalan 115.89 4 000 - - 3 515

(21)

Negeri Tentang Penetapan Harga Penjualan Garam bahwa telah ditetapkan harga dasar garam disesuaikan dengan kualitasnya. Berikut daftar harga garam berdasarkan kualitas tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2Harga garam berdasarkan kualitas

No Kualitas Kriteria Harga (Rp/kg)

1 KP 1 Kadar NaCl minimal 94.7 %, putih bening

dan bersih serta ukuran minimal 4 mm ≥ 750

2 KP 2 Kadar NaCl antara 85 % dan 94.7 %,

warna putih dan butiran mininal 3 mm ≥ 550

Sumber : Kementrian Perdagangan, 2011

Harga garam ditingkat petani tidak sesuai dengan harga garam yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk kualitas 1 (KP 1) dengan harga berkisar Rp450/kg-Rp550/kg, Kualitas 2 (KP 2) dengan harga Rp300/kg-Rp400/kg dan untuk kualitas 3 (KP 3) dibawah Rp300/kg. Tekanan harga yang lebih kuat terjadi pada saat panen raya telah tiba dan pada umumnya harga ditentukan oleh pedagang pengumpul yang mengikuti mekanisme pasar. Posisi petani yang hanya sebagai produsen menjadikan pedagang pengumpul sangat mendominasi dalam saluran pemasaran garam. Hubungan antara petani dan pedagang pengumpul tidak hanya sebatas dalam pemasaran saja, melainkan dalam permodalan juga. Pedagang pengumpul menyediakan modal awal usaha dan kebutuhan sehari-hari petani garam, oleh karenanya petani memiliki keterikatan dengan pedagang pengumpul. Konsekuensi dari peminjaman tersebut mengharuskan petani menjual hasil produksinya kepada para pedagang pengumpul (tengkulak) dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh pengumpul (Suherman et al, 2011).

Usaha garam merupakan usaha turun temurun, namun selama ini petani garam tidak memiliki akses pemasaran secara langsung kepada perusahaan pengolah, padahal garam yang diproduksi merupakan garam curah yang tidak dapat digunakan secara langsung melainkan harus adanya pengolahan terlebih dahulu. Tentu saja hal ini sebenarnya menjadi peluang bagi petani garam untuk bekerjasama secara langsung dengan perusahaan pengolah. Bekerjasama dengan pedagang pengumpul, memberikan keuntungan bagi perusahaan yaitu perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi pengangkutan dan pedagang pengumpul mampu menyediakan garam dalam jumlah besar dengan berbagai kualitas. Untuk itu, petani sangat bergantung pada pedagang pengumpul, ketergantungan ini mengakibatkan petani garam tidak memiliki posisi tawar yang baik. Ketidaksetaraan yang terjadi antar pelaku ekonomi dalam bentuk posisi daya tawar maupun informasi memberikan dampak satu pihak diuntungkan dan ada pihak lain yang dirugikan. Dengan sistem yang berlaku selama ini, pedagang pengumpul adalah pihak yang banyak menikmati keuntungan/manfaat lebih.

(22)

pihak dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan, membesarkan dan saling memberikan keuntungan untuk kedua belah pihak. Sistem ini dapat dilihat juga sebagai suatu terobosan untuk mengurangi biaya transaksi yang tinggi akibat adanya kegagalan pasar dan/atau kegagalan pemerintah dalam menyediakan sarana (input) yang diperlukan (misalnya kredit, asuransi, informasi, prasarana dan faktor-faktor produksi lainnya) dan lembaga-lembaga pemasaran. Sehingga dapat memberikan insentif yang lebih baik dan adil untuk kedua belah pihak.

Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas maka permasalahan yang akan dianalisis adalah :

1. Sejauhmana pola kerjasama yang telah dilakukan oleh petani garam.

2. Pola kemitraan yang sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga dapat membentuk sebuah lembaga kemitraan yang meningkatkan posisi tawar dan kesejahteraan petani garam rakyat.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis pola kerjasama yang telah dilakukan oleh petani garam dengan beberapa pihak terkait.

2. Merumuskan dan memberikan rekomendasi pola kemitraan yang sesuai guna meningkatkan posisi tawar dan kesejahteraan petani garam di Kabupaten Sumenep.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil kajian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan dan instansi terkait baik Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Sumenep maupun pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk penyempurnaan pelaksanaan fasilitasi kemitraan usaha garam rakyat

2. Sebagai bahan masukan bagi pelaku usaha garam dalam mencari alternatif pola kemitraan yang sesuai dan berkelanjutan

3. Bagi Penulis, untuk melatih kemampuan menganalisis permasalahan usaha garam rakyat khususnya kemitraan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi adalah :

1. Petani garam yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah petani garam yang merupakan petani pemilik sekaligus penggarap, petani penggarap, petani penyewa lahan.

(23)

3. Pemilihan Pola kemitraan didasarkan pada analisis pendapatan usahatani, analisis biaya transaksi dan analisis B/C ratio. Analisis pendapatan usahatani dalam hal ini hanya menghitung pendapatan yang akan diterima oleh petani. Analisis biaya transaksi untuk menghitung berapa biaya yang dikeluarkan agar sebuah kerjasama dapat dijalankan dan bersifat efisien, sedangkan analisis B/C ratio untuk mengetahui bentuk usaha tersebut memberikan manfaat/tidak dan layak/tidak layak.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Usaha Garam Rakyat

Usaha garam rakyat adalah suatu usaha dalam memproduksi garam yang pengelolaannya dilakukan oleh rakyat/masyarakat. Pelaku usaha garam rakyat terdiri dari petani garam rakyat yang memproduksi garam krosok, dalam pengolahannya dilakukan oleh industri/perusahaan untuk mengolah garam krosok menjadi garam halus dan briket, para pelaku pemasaran pada umumnya berlokasi di sekitar pusat tambak garam rakyat. Dalam mata rantai usaha garam rakyat, petani merupakan pihak yang memperoleh insentif paling rendah dibandingkan pihak lainnya yang terlibat.

Beberapa tahun kebelakang, isu garam mulai mencuat ke permukaan publik seiring hadirnya garam impor. Kemunculan garam impor memberikan dampak yang sangat besar, baik bagi pemerintahan maupun para pelaku industri garam terutama para petani. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan komoditas garam pun mulai banyak dilakukan, terutama yang mengacu pada garam rakyat. Hal ini dilakukan dalam rangka peningkatan industri garam nasional, sehingga angka impor garam dapat ditekan semaksimal mungkin, guna meningkatkan industri garam konsumsi dan dapat menciptakan garam industri.

Kajian Sukesi (2011), menyebutkan bahwa bila dilihat secara kacamata sosial ekonomi bahwa masyarakat pesisir dapat dikatakan sangat tertinggal bila dibandingkan dengan masyarakat lainnya, dengan demikian dapat dipahami bahwa daerah pesisir merupakan pusat kemiskinan. Petani garam merupakan salah satu dari masyarakat pesisir yang selama ini dinilai kurang mendapat perhatian melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat penanggulangan kemiskinan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan qualitative research, yaitu memberikan deskripsi/gambaran secara jelas mengenai kondisi perilaku sosial, dan ekonomi masyarakat petani garam terhadap hasil usahanya dengan menggunakan analisis SWOT. Berdasarkan temuan di lapangan, bahwa permasalahan yang dihadapi oleh petani garam di Pasuruan adalah permasalahan di bidang pemasaran dan permodalan.

(24)

Permodalan yang masih mereka butuhkan tidak dapat dipenuhi, hal ini dikarenakan lemahnya peranan lembaga koperasi yang merupakan salah satu lembaga yang diharapkan oleh petani garam agar dapat menyediakan fasilitas peminjaman modal usaha. Terbatasnya akses permodalan menjadikan usaha garam rakyat sulit berkembang. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Suherman (2011) dan Rochwulaningsih (2008), Lembaga Pembiayaan melihat usaha garam memiliki risiko yang tinggi karena keberhasilan produksi sangat tergantung oleh faktor cuaca. Hal ini menyebabkan sebagian besar petani garam menggunakan jasa tengkulak dalam membantu permasalahan modal yang dipergunakan dalam kegiatan produksi. Belum optimalnya kelembagaan koperasi sebagai kelembagaan permodalan yang mampu menunjang peningkatan usaha garam di Kota Pasuruan, permodalan diperoleh oleh petani dengan meminjam ke petani yang lebih sukses, hal ini tidak terlepas dari pola budaya yang terbentuk.

Selain itu, kelemahan lainnya adalah terletak pada aspek pemasaran. Petani garam tidak memiliki saluran pemasaran yang baik untuk mendistribusikan hasil produksinya. Kondisi pemasaran tersebut dirasa kurang menguntungkan bagi petani garam, peranan tengkulak cukup dominan dalam proses pemasaran hasil garam. Sebanyak 100 persen petani menyatakan harus menggunakan jasa tengkulak dalam memasarkan hasil garam di Kota Pasuruan. Masalah saluran pemasaran ini diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Suherman et al (2011) mengenai Analisis Pemasaran Garam Rakyat di desa Kertasada, Kecamatan Kalianget-Sumenep. Kajian ini melakukan analisis kualitatif dan analisis marjin pemasaran. Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa dalam saluran pemasarannya, petani garam dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu (1) kelompok petani garam dengan tengkulak, dalam kelompok ini petani garam menjual semua hasilnya kepada satu tengkulak karena adanya keterikatan dalam peminjaman modal usaha; (2) petani garam dengan asosiasi/organisasi APGAT (Asosiasi Petani Garam Rakyat), fungsi APGAT ini hanya sebagai memberi informasi harga dari para tengkulak, memberikan arahan dan saran dalam transaksi dengan tengkulak. Hal ini menunjukkan lemahnya peranan lembaga koperasi, yang seharusnya dapat memberikan banyak manfaat akan keberadaan untuk petani garam, seperti penyediaan fasilitas kredit modal, kemudahan dalam pemasaran dan sebagainya; (3) kelompok petani garam yang tidak terikat kepada siapapun, mereka bebas menjual namun tetap saja tidak memberikan nilai yang lebih dalam menjual hasil garamnya.

(25)

sebesar 11 persen dalam arti harga yang diterima oleh petani garam sebesar Rp220 000/ton, sedangkan harga di tingkat konsumen sebesar Rp2 000 000/ton, sementara marjin terbesar diperoleh tengkulak dan pabrik. Hal ini sangat tidak menguntungkan bagi petani garam.

Kelembagaan Kemitraan

Menurut Hermanto (2007), terdapat beberapa bentuk kelembagaan yang dibutuhkan oleh petani antara lain: (1) kelembagaan keuangan mikro (micro-finance) untuk mengatasi kelangkaan modal usaha dan kebutuhan konsumsi, (2) kelembagaan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), (3) kelembagaan Klinik Agribisnis, dan (4) kelembagaan Kemitraan Bermediasi. Saptana et al (2009) menyatakan bahwa kelembagaan kemitraaan yang memiliki keunggulan adalah contract farming, dimana diketahui bahwa kelembagaan ini memiliki dampak positif terhadap produktivitas dan pendapatan petani. Contract farming memiliki keunggulan seperti mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk berkualitas, memudahkan petani untuk memperoleh fasilitas kredit, serta adanya jaminan kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra, efisiensi pengumpulan dan pengangkutan hasil, serta penetapan harga yang relatif stabil.

Berbagai bentuk contract farming (kemitraan) telah dilakukan oleh pemerintah Thailand dalam rangka memproduksi dan mempromosikan produk pertanian yang dihasilkan oleh petani. Selama tiga dekade terakhir, Thailand mengalami kemajuan luar biasa dalam menjalankan kemitraan dengan petani. Dalam pelaksanaannya, tidak semua bentuk contract farming melibatkan pemerintah, justru sektor swasta yang lebih banyak berperan. Namun bukan berarti, tidak ada peran pemeritah. Pemerintah tetap berperan dalam pemberian penyuluhan dan bimbingan untuk para petani. Pengalaman Thailand mengungkapkan bahwa pertanian kontrak telah menjadi sarana yang sukses untuk pemasaran oleh petani miskin. Hal tersebut memiliki potensi guna pengembangan kapasitas petani dalam produksi dan pemasaran, dari kontrak untuk membuka pasar. Contract farming melalui kepastian harga sangat membantu dalam risiko pendapatan. Pertanian kontrak tampaknya menjadi sebuah kendaraan yang menjanjikan untuk pengembangan agroindustri. Desain pengaturan dalam kontrak perlu memperhitungkan lingkungan sosial dan ekonomi lokal. Untuk mendapatkan kendaraan bergerak cepat dan lancar, memerlukan upaya lembaga lokal dalam memfasilitasi, membimbing dan memantau pengaturan untuk keadilan semua pihak yang terlibat (Songsak dan Aree, 2005).

(26)

penggarap 1 bagian dari hasil bersih, sedangkan untuk lahan yang masih baru diusahakan, pemilik mendapatkan 1 bagian dan penggarap 1 bagian dari hasil bersih. Pelaksanaan sistem bagi hasil seperti ini dilakukan tanpa tertulis dan hanya didasarkan kepada kesepakatan bersama sehingga tidak adanya aturan yang jelas.

Manfaat Kemitraan

Munculnya kemitraan disebabkan oleh adanya ketidaksempurnaan pasar. Kesulitan dalam akses kredit, mendapatkan informasi pasar, informasi tehnologi baru, kemudahan akan kebutuhan input dan aspek pasar untuk produk yang akan dipasarkan. Sehingga ketidaksempurnaan pasar ini mengakibatkan petani khususnya petani kecil harus mengeluarkan banyak biaya dalam mengatasinya dan dapat menimbulkan permasalahan di sektor lainnya. Oleh karenanya, salah satu cara yang dimungkinkan dapat mengatasi hal tersebut, yang dapat meminimumkan biaya-biaya transaksi yang tinggi dan menjadi satu kemungkinan yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani adalah contract farming (pertanian kontrak) yang lebih sering dikenal dengan kemitraan.

Isu-isu dalam kemitraan telah sering dikemukan dalam berbagai bidang, khususnya bidang pertanian. Permasalahan di bidang pertanian, seperti aspek harga, aspek pemasaran dan berbagai risiko di bidang pertani menyebabkan insentif yang diperoleh oleh petani masih rendah. Kemitraan dinilai menjadi salah satu solusi dalam permasalahan yang dihadapi oleh petani dan dapat memberikan beberapa manfaat lebih. Contract Farming atau yang lebih dikenal dengan kemitraan menurut Kartasasmita dalam Indrayani (2008) adalah hubungan kerjasama antara badan usaha yang sinergis bersifat sukarela dan dilandasi oleh prinsip saling membutuhkan, memperkuat, menghidupi dan saling menguntungkan yang memberikan hasil yang bukanlah zero sum game akan tetapi positive sum game dengan kata lain win-win solution.

Manfaat pertama yang dapat diperoleh dari kemitraan (contract farming) adalah peningkatan dalam pendapatan usahatani yang dapat dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan suatu hubungan kemitraan. Pernyataan tersebut dipaparkan pada penelitian yang dilakukan oleh Indrayani (2008), Analisis Pola Kemitraan Dalam Pengadaan Beras Pandanwangi Bersertifikat (Kasus Gapoktan Citra Sawargi dan CV Quasindo). Kajian ini dilakukan atas dasar adanya pencampuran beras pandanwangi dengan beras lain, seperti diketahui bahwa beras pandanwangi merupakan salah satu beras kualitas baik.

(27)

Berdasarkan metode analisis kualitatif (deskriptif) yang digunakan, dihasilkan bahwa bentuk kemitraan yang terjalin selama ini adalah Pola Dagang Umum. Melalui pola kemitraan tersebut, ternyata memberikan peningkatan dalam pendapatan usahatani dengan adanya pelaksanaan kemitraan dibandingkan dengan tidak bermitra. Rataan pendapatan usahatani petani mitra lebih tinggi 22.54 persen dibandingkan petani non mitra. Dari hasil analisis marjin tataniaga, kedua pihak yang bermitra memperoleh marjin keuntungan yang relatif proporsional/sebanding, yaitu masing-masing 7 persen (Gapoktan) dan 6 persen (CV Quasindo).

Untuk mengevaluasi dan mencari pola kemitraan yang ideal yang diharapakan oleh kedua belah pihak, maka dilakukan dengan menggunakan metode analytical hierarchi process (AHP) dan hasil yang diperoleh adalah pola kemitraan yang lebih ideal adalah Pola Inti Plasma, pola kemitraan ini dibentuk mengingat lemahnya modal yang dimiliki oleh Gapoktan. Sedangkan analisis strengths, weaknesses, opportunities and threats (SWOT) digunakan untuk mengidentifikasi faktor–faktor yang mempengaruhi kinerja kemitraan dan penyusunan strategi pengembangan usaha. Berdasarkan hasil analisis kualitatif dan kuantitatif tersebut, maka dapat disusun model konseptual pengadaan beras unggul lokal tersertifikat berbasis model pengadaan beras Pandanwangi bersertifikat.

Dalam penelitian mengenai “ Contract Farming: Problems, Prospects and its Effect on Income and Employment” yang dilakukan oleh Jagdish dan Prakash (2008), bahwa contract farming mempengaruhi tingkat pendapatan. Pendapatan yang diperoleh melalui contract farming telah meningkatkan hampir 2 kalinya dari pendapatan sebelumnya. Namun terdapat juga masalah mengenai ketidakleluasaan petani dalam menentukan kualitas dan terlibat pada pelanggaran, sedangkan ketidakleluasaan yang dihadapi oleh petani non contract farming adalah kurangnya air irigasi dan harga panen yang rendah. Penelitian ini menunjukkan sebesar 57 persen petani memilih untuk mempertahankan keberadaan contract farming dan banyak petani non sewa yang ingin bergabung dalam contract farming.

Manfaat kedua yang dapat diperoleh dalam kemitraan adalah pengurangan dalam biaya transaksi. Perhitungan biaya transaksi dilakukan untuk mengetahui efisien atau tidaknya suatu lembaga, dalam hal ini adalah lembaga kemitraan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sirajuddin (2010), mengenai Analisis Biaya Transaksi Usaha Sapi Perah Sistem Kemitraan dan Sistem Mandiri Serta Strategi Pengembangannya Di Propinsi Sulawesi Selatan. Analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah Logit model dan analisis deskriptif. Logit model digunakan untuk menganalisis biaya transaksi dalam pengembangan usaha sapi perah, sedangkan analisis deskriptif digunakan untuk perbandingan antara sistem bermitra dengan sistem mandiri. Variabel yang digunakan dalam analisis terdiri dari variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen adalah sistem kemitraan dan non kemitraan usaha sapi perah, sedangkan variabel indepeden yaitu biaya transportasi, biaya penyuluhan dan biaya adminstrasi, biaya distribusi susu dan biaya kontrol kualitas.

(28)

susu (Rp98 816.7) dan biaya tanda pengenal ternak (Rp1 527.8). Sedangkan biaya transaksi yang dikeluarkan sistem mandiri yaitu biaya transportasi (Rp3 036 933.3), biaya administrasi (Rp416 667.7), biaya penyuluhan (Rp3 600) dan biaya cicilan kredit (Rp1 166 667.7). Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa biaya transaksi yang dikeluarkan oleh sistem bermitra lebih rendah dibandingkan dengan sistem mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa dengan bermitra biaya transaksi dapat diminimalkan/dikurangi. Dengan bermitra, petani mitra dapat mengurangi biaya penyuluhan karena biasanya dalam konteks kemitraan, pendamping atau penyuluhan disediakan oleh perusahaan mitra.

Manfaat lainnya adalah kemitraan sebagai risk management, dalam arti dengan kemitraan risiko dapat dibagi oleh kedua belah pihak. Manfaat kemitraan sebagai strategi manajemen risiko telah dibuktikan oleh berbagai hasil penelitian dan survey. Penelitian yang dilakukan oleh Knoeber dan Thurman (1995)1, menguraikan komposisi dan pergeseran risiko pada kemitraan ayam pedaging di Amerika Serikat. Komponen risiko yang utama adalah risiko harga sebesar 84 persen sedangkan risiko produksi sebesar 3 persen dan sisanya kombinasi risiko. Perusahaan mitra menanggung sebesar 97 persen dari risiko harga dan produksi, sementara petani mitra hanya sebesar 3 persen. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan mencerminkan bahwa kemitraan telah memberikan manfaat dan kontribusi yang lebih baik untuk petani maupun pihak sponsor/perusahaan. Penelitian-penelitian tersebut telah menjelaskan bahwa dengan kemitraan, petani dapat meningkatkan pendapatan usahataninya, petani dapat mengurangi biaya transaksi dan adanya pembagian risiko, sehingga diharapkan petani dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Garam merupakan salah satu komoditas yang tidak dapat digantikan oleh barang lain dan tidak memiliki saluran pemasaran yang beragam, sehingga mayoritas petani garam belum memperoleh kesejahteraan. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, penulis akan mencoba untuk mengidentifikasi pola kemitraan yang bagaimana yang sesuai untuk petani garam dengan studi kasus di Kabupaten Sumenep dengan melihat dari aspek analisis pendapatan usahatani, biaya transaksi dan B/C ratio.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Landasan Teori Terkait Kemitraan Garam Rakyat

Usaha Garam

Berdasarkan fisiknya garam adalah benda padatan putih yang berbentuk kristal yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Clorida lebih dari 80 persen serta senyawa lainnya seperti magnesium Clorida, Magnesium Sulfat, Calsium Clorida dan lain-lain. Garam memiliki karakteristik higrokopis yang berarti mudah nyerap dalam air, bulk tingkat kepadatan (density)

1

(29)

sebesar 0.8-0.9 dan titik lebur pada tingkat suhu 8010C (Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 2011).

Tiga unsur yang terkandung dalam industrialisasi usaha garam rakyat adalah a) mekanisasi, b) inovasi teknologi, dan c) efisiensi. Dalam mekanisasi ada upaya transformasi produksi garam rakyat yang menggunakan teknologi tradisional kearah rekayasa teknis (social engineering) yang memanfaatkan teknologi yang lebih modern lebih ditonjolkan, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih efisien untuk meningkatkan produksi per satuan unit lahan. Industrialisasi usaha garam rakyat merupakan proses perubahan kebijakan pengelolaan usaha garam rakyat yang meliputi peningkatan kapasitas pengelola, pengembangan infrastruktur, inovasi teknologi, peningkatan produksi, mekanisasi pengolahan, pengaturan tata niaga, dan fasilitasi kemitraan bagi petani garam rakyat yang dilakukan secara terintegrasi berbasis industri modern untuk meningkatkan produksi ke skala ekonomis, efisien dan mempunyai nilai tambah tinggi (KKP, 2012).

Ekonomi Kelembagaan

Menurut North (1990), Kelembagaan adalah aturan-aturan formal dan konvensi informal serta tata perilaku, mengatur juga larangan-larangan dan persyaratan-persyaratan. Pada dasarnya ekonomi kelembagaan terdiri dua arus hubungan, yaitu ekonomi dan kelembagaan. Pendekatan ini mengupas efek dari kelembagaan terhadap ekonomi (Kasper dalam Yustika, 2010). Secara praktikal, kelembagaan (aturan main) yang ada dalam aktivitas ekonomi yang akan menentukan seberapa efisien hasil ekonomi yang didapatkan, sekaligus akan menentukan seberapa besar penyebaran ekonomi yang didapat oleh masing-masing partisipan (Yustika, 2010). Pada kondisi ini, dapat dikatakan bahwa kelembagaan memiliki pengaruh terhadap pencapaian ekonomi. Sementara itu, jangka waktu tertentu, pencapaian yang diperoleh partisipan akan menentukan pandangan terhadap aturan main yang digunakan saat ini. Bila dinilai kelembagaan yang sekarang tidak efisien, maka keinginan untuk mengubah kelembagaan tersebut dipastikan akan terjadi. Ekonomi kelembagaan selalu bertujuan untuk menciptakan representasi yang menyeluruh dari proses ekonomi, baik di dalamnya maupun bagian dari sistem sosial yang komplek dan interaksi yang terjadi di dalamnya (Kapp dalam Yustika, 2010).

Ekonomi kelembagaan pertanian adalah organisasi-organisasi yang berhubungan dengan segala kegiatan ekonomi pertanian atau petani. Kelembagaan pertanian pada dasarnya dikembangkan guna mendukung segala kegiatan atau aktivitas petani dalam proses produksi, peningkatan pendapatan pertanian dan saluran kebijakan fiskal. Kelembagaan pertanian ini sangat diharapkan dapat mendorong ekonomi pertanian atau memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani. Namun, seringkali kelembagaan ini tidak berperan sebagaimana mestinya. Sebuah kelembagaan pertanian akan abadi dan bersinambungan, apabila dalam perjalanannya dijaga sebaik mungkin oleh stakeholdersnya dalam hal ini adalah petani. Disisi lain, stakeholders akan memelihara kelembagaan ini jika kelembagaan ini dirasakan dapat memberikan manfaat.

(30)

Teori Kontrak

Secara umum kontrak digambarkan sebagai kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada pihak lain tentunya ada konsekuensi tindakan balasan dalam bentuk pembayaran (Dixit dalam Yustika, 2010). Adanya perbedaan terhadap kesinambungan dalam hubungan kontrak merupakan alasan yang membuat para pelaku dalam kontrak memiliki derajat insentif kesukarelaan alami yang berbeda dalam menyetujui isi atas kontrak yang dibuat.

Menurut Furubotn dan Ritcher (2000) dalam Yustika (2010), pada kegiatan ekonomi modern terdapat 3 tipe teori kontrak yang dapat dijadikan sebagai pilihan, yaitu : (1) teori kontrak agen (agency-contract theory), teori kontrak agen diasumsikan terdapat dua pelaku yang berhubungan yakni prinsipal dan agen. Prinsipal adalah pihak yang memperkerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau layanan yang diinginkan oleh prinsipal, diluar itu prinsipal juga memfasilitasi keberhasilan sebuah aktivitas yang didelegasikan kepada agen. Dalam teori agency diasumsikan kesepakatan dapat ditegakkan secara hukum, (2) Teori kesepakatan otomatis (self-enforcing agreements theory), dalam teori kesepakatan otomatis tidak seluruh transaksi dapat ditegakkan secara hukum. Teori ini didesain untuk memastikan keuntungan untuk berbuat curang lebih rendah dari keuntungan yang diperoleh apabila mematuhi kontrak yang telah disepakati. Dalam hal ini tidak ada pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada kontrak kesepakatan otomatis lebih banyak mencakup norma-norma perilaku ketimbang pembagian risiko, dan (3) teori kontrak relasional (relational-contract theory), teori ini memainkan peranan penting dalam ekonomi modern dimana permasalahan yang terjadi dalam hubungan kontrak dapat diselesaikan melalui keseimbangan kerjasama dan pemaksaan. Kontrak relasional biasanya diaplikasikan dalam situasi dimana terdapat ketergantungan dua pihak pelaku transaksi karena eksistensi dari transaksi investasi yang spesifik.

Pada contract farming merujuk kepada sistem untuk memproduksi dan menyuplai komoditas pertanian dibawah perjanjian yang disiapkan. Inti dari kontrak ini adalah komitmen untuk menyediakan produk pertanian yang mencakup 4 (empat) hal, yaitu harga, kualitas, kuantitas dan waktu yang harus disepakati (Sukhpal Singh, 2002). Kontrak atau transaksi tunggal antara dua pihak yang melakukan hubungan ekonomi merupakan basis unit analisis dalam pendekatan ekonomi biaya transaksi (Yustika, 2010).

Teori Ekonomi Biaya Transaksi

Pokok dari New Institutional Economics adalah seluruh transaksi yang terjadi antara aktor ekonomi membutuhkan biaya. Dalam konsep kelembagaan selalu berhubungan dengan konsep biaya transaksi, tiga pelopor teori ekonomi biaya transaksi ini adalah Oliver Williamson, Ronald Coase dan North. Ekonomi biaya transaksi adalah salah satu alat analisis yang populer dalam ilmu ekonomi kelembagaan.

(31)

Menurut Williamson dalam Yustika (2010), biaya transaksi adalah biaya untuk menjalan sistem ekonomi dan biaya untuk menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan. Secara sederhana, biaya transaksi adalah biaya-biaya yang timbul akibat adanya kontrak (eksplisit/implisit) dalam dunia bisnis. Sementara itu, North mendefinisikan bahwa biaya transaksi sebagai biaya untuk menspesifikasikan dan memaksakan (enforcing) kontrak yang mendasari pertukaran, sehingga dengan sendirinya mencakup semua biaya organisasi politik dan ekonomi yang memungkinkan kegiatan ekonomi mengambil keuntungan dari perdagangan (pertukaran), singkatnya adalah biaya untuk melakukan negosiasi, mengukur dan memaksakan pertukaran. Sedangkan menurut Coase biaya transaksi adalah biaya untuk menentukan dan memberlakukan hak-hak kepemilikkan atas barang dan jasa.

Komponen umum biaya transaksi terdiri dari: (1) biaya untuk mencari informasi; (2) biaya pembuatan kontrak; (3) biaya monitoring (pengecekan kuantitas, kualitas, dan lain-lain); dan (4) biaya adaptasi. Komponen tersebut berubah-ubah tergantung dari aktor-aktor yang terlibat (Kirchner dan Picot, 1987)2. Biaya mencari informasi adalah biaya yang ditimbulkan untuk memperoleh informasi mengenai barang yang diinginkan dari dari pasar, (Misalnya biaya untuk memperoleh harga termurah, kualitas terbaik, variasi jenis barang dll).Biaya membuat kontrak/negosiasi (bargaining cost) adalah biaya yang diperlukan untuk menerima suatu persetujuan/kontrak dengan pihak lain atas suatu transaksi, (Misalnya biaya notaris). Biaya monitoring adalah biaya yang ditimbulkan adanya kegiatan untuk mengawasi pihak lain dalam melaksanakan kontrak, (Misalnya, biaya cek kualitas, cek kuantitas, cek harga, ketepatan waktu kirim, keamanan dll). Biaya adaptasi (selama pelaksanaan kesepakatan) adalah biaya yang ditimbulkan karena dilakukannya penyesuaian-penyesuaian pada saat suatu kesepakatan transaksi dilakukan, (Misalnya penyesuaian biaya produksi karena kenaikan sebagian besar harga bahan baku, dll ).

Menurut Yustika (2010), biaya transaksi dipisahkan menjadi biaya transaksi sebelum kontrak (ex-ante) dan setelah kontrak (ex-post). Ex-ante terjadi ketika salah satu pihak memiliki informasi yang terbatas tentang pembelian/penjualan potensial, namun kerugiannya bisa dihilangkan setelah transaksi tersebut lengkap (ex biaya membuat draft, negosiasi dan mengamankan kesepakatan). Ex-post terjadi ketika salah satu pihak memiliki informasi terbatas bahkan setelah transaksi tersebut terjadi (ex. Biaya kegagalan adaptasi, biaya negosiasi/tawar menawar untuk menghadapi kegagalan, biaya untuk merancang dan menjalankan kegiatan, serta biaya pengikatan agar komitmen yang telah dilakukan).

Biaya transaksi juga dapat terjadi karena adanya penyimpangan dalam wujud : (1) lemahnya jaminan hak kepemilikan, (2) penyimpangan pengukuran atas tugas yang kompleks dan prinsip yang beragam, (3) penyimpangan intertemporal yang dapat berbentuk kontrak yang timpang dan ketersembunyian informasi yang panjang, (4) penyimpangan yang muncul karena kelemahan kebijakan kelembagaan dan (5) kelemahan integritas (James Wilson dalam Yustika, 2010). Kegiatan pertukaran atau perdagangan dapat terjadi dengan biaya transaksi yang rendah dan murah, ketika masing-masing pelaku ekonomi harus

2

(32)

mengeluarkan sumberdaya dalam tiga wilayah yang tergolong kegiatan kontrak yaitu (1) mengukur atribut yang bisa dinilai sehingga proses transaksi terjadi, (2) melindungi hak-hak terhadap barang dan jasa yang telah dipertukarkan dan (3) meregulasi dan menegakkan kesepakatan.

Teori Kemitraan

Ketidaksempurnaan pasar dan ketidaksetaraan diantara pelaku ekonomi merupakan permasalahan utama dalam suatu kegiatan ekonomi. Pasar tidak sempurna sering terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Jika satu sektor mengalami ketidaksempurnaan, maka akan menimbulkan permasalahan di sektor lainnya. Hal ini berdampak pada pelaku pertanian, terutama para petani kecil yang mengalami kesulitan dalam akses informasi pasar, akses kredit, pembelian input dan hal-hal lainnya yang berkaitan dalam sistem agribisnis. Ketidaksetaraan antara pelaku diwujudkan dalam posisi tawar dan informasi yang tidak lengkap (asimetris.) sehingga menimbulkan ketimpangan diantara pelakunya. Hal ini menunjukkan kegiatan ekonomi yang ada belum ideal karena masih terdapat adanya pihak yang diuntungkan dan pihak yang dirugikan. Sehingga diperlukan bentuk aturan main (kelembagaan) lain yang dapat mengatasi ketidaksempurnaan pasar dan ketidaksetaraan ini dalam bentuk kelembagaan kemitraan.

Kelembagaan Kemitraan yang memiliki keunggulan adalah Contract Farming (Saptana et al, 2009). Contract Farming merupakan suatu sistem yang selain dapat memberikan manfaat kebebasan (keterbukaan) ekonomi dan memberikan peluang dalam meningkatkan penghidupan petani kecil di daerah pedesaan. Menurut Charles Eaton (2001), kemitraan (contract farming) diartikan sebagai suatu perjanjian dua belah pihak antara petani dan perusahaan untuk menghasilkan dan memasarkan produk-produk pertanian yang diatur di dalam kesepakatan awal, biasanya yang sering dilakukan kesepakatan dalam bentuk penentuan harga. Kesepakatan yang biasa dilakukan adalah pihak pembeli akan menyediakan sejumlah dukungan produksi, antara lain yaitu pasokan input dan penyediaan konsultasi teknis. Sedangkan, pihak petani dipersyaratkan untuk menyediakan komoditas spesifik berdasarkan standar mutu dan jumlah yang ditentukan oleh pihak pembeli, selanjutnya pihak perusahaan juga diharuskan untuk memberikan komitmen di dalam mendukung produksi petani dan membeli produksi yang dihasilkan.

(33)

Kemitraan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menyatakan bahwa

“Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil,dan Menengah dengan Usaha Besar”.3

a. Bentuk Kemitraan

Eaton dan Shepherd (2001) mengemukakan bentuk kemitraan kedalam 5 (lima) model contract farming, yaitu :

1. Model Terpusat (centralized model) adalah suatu model kemitraan yang klasik, dimana pembeli membeli hasil panen dari banyak petani yang kemudian diolah dan hasilnya dipasarkan. Banyaknya hasil panen telah ditentukan dari awal musim panen dengan mutu yang baik. Biasanya untuk komoditas kakao, tebu, tembakau, dan lain-lain.

2. Model Inti-Plasma merupakan model variasi dari model terpusat. Perusahaan (sponsor) memiliki dan mengelola suatu perkebunan yang biasanya disebut dengan “kebun inti’. Selain itu, sponsor juga memperkenalkan tehnologi dan tehnik budidaya kepada petani plasma untuk menjamin kualitas panen yang dihasilkan. Model ini biasanya jika di Indonesia diterapkan pada wilayah transmigrasi atau perkebunan kelapa sawit dan peternakan sapi.

3. Model Multipartite atau Multipihak, pada model ini umumnya melibatkan badan regulasi atau pemerintah dengan perusahaan yang menjalin kerjasama dengan petani. Model multipihak ini bertanggungjawab dalam penyediaan kredit privat, manajemen, produksi, penyuluhan, pengolahan dan pemasarannya. Karena melibatkan badan pemerintah, maka terkadang hubungan antara perusahaan dan petani dapat dipengaruhi oleh kepentingan politisi dari badan tersebut.

4. Model informal, yaitu suatu model yang dicirikan oleh pengusaha kecil atau wirausahawan perseorangan yang membuat kontrak kerjasama secara sederhana dan informal dengan para petani secara musiman, khususnya untuk komoditas buah tropis dan sayuran.

5. Model Intermediary (Perantara), dalam model ini minimal terdapat tiga pihak yang terlibat yaitu pengolah/pedagang besar, pengumpul (perantara) dan petani. Model ini yang biasanya lazim digunakan di negara Asia Tenggara dan terkadang menimbulkan kelemahan karena seringkan adanya ketidakadilan insentif.

b. Bentuk Kemitraan di Indonesia

Di Indonesia, model kemitraan (contract farming) dipersempit menjadi 4 (empat) jenis model. Direktorat pengembangan usaha, Departemen Pertanian (2002) memberikan panduan mengenai beberapa jenis pola kemitraan yang telah banyak dilaksanakan di Indonesia, yaitu :

1. Pola Inti Plasma

Merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana perusahaan mitra bertindak sebagai inti dan kelompok mitra

3

(34)

bertindak sebagai plasma. Dalam pola kemitraan inti plasma, kewajiban bagi kelompok mitra adalah : a) Berperan sebagai plasma, b) Pengelola seluruh usaha bisnisnya sampai panen, c) Menjual hasil produksi kepada perusahaan mitra. d) Memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Sedangkan perusahaan mitra wajib : a) Berperan sebagai perusahaan inti, b) Menampung hasil produksi, c) Membeli hasil produksi, d) Memberikan bimbingan teknis dan pembinaan manajemen kepada kelompok mitra e) Memberikan pelayanan kepada kelompok mitra berupa permodalan atau kredit, sarana produksi dan teknologi, f) Mempunyai usaha budidaya pertanian atau memproduksi kebutuhan perusahaan, dan g) Menyediakan lahan.

2. Pola Subkontrak

Merupakan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra, dimana di dalamnya kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Pola kemitraan subkontrak mensyaratkan bahwa kelompok mitra harus a) Memproduksi kebutuhan yang dibutuhkan oleh perusahaan mitra sebagai komponen produksinya, b) Menyediakan tenaga kerja, dan c) membuat kontrak bersama yang mencantumkan volume, harga, dan waktu. Sedangkan tugas perusahaan mitra adalah : a) Menampung dan membeli komponen produksi yang dihasilkan oleh kelompok mitra, b) Menyediakan bahan baku atau modal kerja, dan c) Melakukan kontrol kualitas produksi.

3. Dagang Umum

Pola dagang umum merupakan hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang didalamnya usaha menengah atau usaha besar memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha besar mitranya.

4. Kerjasama Operasional

Pola kerjasama operasional merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan perusahaan mitra yang didalamnya petani menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal serta sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi perternakan.

5. Pola Kemitraan Penyertaan Saham (Waralaba)

Berdasarkan PP No. 16 Tahun 1997 dan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdaganggan No.259/MPP/Kep/7/1997 tentang ketentuan dan tatacara pelaksanaan pendaftaran usaha waralaba ditetapkan bahwa pengertian waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaaan intelaktual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pihak lain, dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa.

c. Manfaat Kemitraan

Manfaat yang dapat dicapai dari usaha kemitraan antara lain (Hafsah, 1999):

1. Produktivitas

(35)

ditanggung oleh petani. Melalui model kemitraan petani dapat memperoleh tambahan input, kredit, dan penyuluhan yang tersedia oleh perusahaan inti.

2. Efisiensi

Perusahaan dapat menghemat efisiensi dengan menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan tenaga kerja yang dimiliki petani. Sebaliknya bagi petani yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi dan sarana produksi, dengan bermitra akan dapat menghemat waktu produksi melalui teknologi produksi yang disediakan oleh perusahaan.

3. Jaminan Kualitas, Kuantitas, dan Kontinuitas

Kualitas, kuantitas dan kontinuitas sangat erat kaitannya dengan efisiensi dan produktifitas di pihak petani yang menentukan terjaminnya pasokan pasar dan pada gilirannya menjamin keuntungan perusahaan.

4. Risiko

Kemitraan dilakukan untuk mengurangi risiko yang dihadapi oleh kedua belah pihak. Kontrak akan mengurangi risiko yang dihadapi oleh pihak inti jika harus mengandalkan pengadaan bahan baku sepenuhnya dari pasar terbuka. Perusahaan inti juga akan memperoleh keuntungan lain karena mereka tidak harus menanamkan investasi atas tanah dan mengelola pertanian yang sangat luas.

Analisis Pendapatan Usahatani

Salah satu indikator keberhasilan kemitraan di tingkat petani adalah meningkatnya pendapatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama usahatani dijalankan selama jangka waktu yang ditetapkan. Secara umum pendapatan usahatani dapat didefinisikan sebagai sisa (beda) dari pengurangan nilai-nilai penerimaan usahatani dengan biaya-biaya yang dikeluarkannya. Dari jumlah pendapatan ini kemudian dapat dinyatakan besarnya balas jasa atas penggunaan tenaga kerja petani dan keluarganya, modal sendiri dan keahlian pengelolaan petani (Tjakrawiralaksana dan Soeriaatmadja, 1983). Biaya didefinisikan sebagai pengorbanan yang dilakukan oleh produsen dalam mengelola usahanya untuk memperoleh hasil yang maksimal. Biaya usahatani dibedakan atas biaya tetap (FC) dan biaya variabel (VC). Kedua biaya ini dijumlahkan untuk mengetahui jumlah biaya total (Soekartawi, 2002).

Biaya total adalah seluruh biaya yang dikeluarkan/digunakan pada saat produksi. Biaya total terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel, untul biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan yang besar tidak terpengaruh oleh unsur lain. Biaya tetap terbagi atas 2 (dua) bagian yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan (tenaga kerja dalam keluarga dan penyusutan). Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan dalam usaha garam dan besarnya dapat berubah tergantung pada kebutuhan.

(36)

Untuk mengetahui besar manfaat yang diperoleh petani maka dilakukan analisis B/C Ratio. B/C ratio merupakan salah satu alat penilaian kelayakan usaha atas besarnya investasi atau modal yang ditanam untuk melakukan suatu kegiatan usaha baik untuk investasi atas usaha baru maupun yang sifatnya penggantian atau perluasan usaha. Menurut Soekartawi (2002), Benefit-Cost Ratio (B/C) digunakan untuk menghitung besarnya manfaat yang akan diperoleh. Suatu usahatani akan memberikan manfaat ketika B/C lebih dari 1 (B/C > 1). B/C ratio adalah perbandingan antara biaya/pengeluaran dengan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha yang dilakukan selama jangka waktu perencanaan investasi atau pembiayaan. B/C ratio dapat dihitung berdasarkan aliran dana atau pendapatan yang diterima dan biaya yang dikeluarkan (cash flow) atau atas dasar laporan pendapatan dan biaya usaha yang telah disusun. Kriteria yang digunakan berdasarkan B/C adalah :

a) jika nilai B/C > 1 berarti memberikan manfaat/layak untuk dijalankan

b) jika nilai B/C < 1 berarti tidak memberikan manfaat/tidak layak untuk dijalankan dan

c) jika nilai B/C = 1, maka keputusan tergantung pada investor (proyek tidak rugi dan untung).

Kerangka Pemikiran Operasional

Lahan tambak yang luas, tenaga kerja yang mendukung dan iklim yang sesuai menjadikan Kabupaten Sumenep sebagai salah satu sentra penghasil garam di Indonesia. Potensi yang dimiliki ini, tentu saja harus diikuti dengan peningkatkan produksi, kualitas dan pemasaran sehingga produksi garam yang dihasilkan memiliki daya saing. Usaha garam merupakan sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Sumenep. Petani garam, pedagang pengumpul/perantara dan industri pengolah garam merupakan pihak-pihak yang memiliki andil besar dalam industri usaha garam. Namun di sisi lain, produksi garam nasional saat ini menghadapi beberapa kendala diantaranya adalah kegagalan bersaing dengan produk impor dan informasi yang asimetris. Hal ini menjadi indikasi adanya kegagalan pasar, kegagalan pasar adalah ketika pasar bebas gagal dalam menjalankan perannya sebagai pengatur alokasi sumberdaya. Untuk itu, diperlukan sebuah koordinator lain yang didasarkan pada mekanisme perjanjian dalam bentuk kontrak untuk menggantikan mekanisme penawaran dan permintaan yang ditawarkan dalam proposisi pasar bebas.

Contract farming merupakan pelaksanaan ideal yang dipakai untuk mewujudkan konsep kontraktual tersebut. Pihak-pihak yang bertransaksi dalam contract farming menggantikan mekanisme penawaran dan permintaan dalam bentuk perundingan di awal, bahkan jauh sebelum produk garam dihasilkan. Kesepakatan yang utama disepakati adalah penetapan harga. Kesepakatan lain diantaranya adalah kualitas, ukuran dan jadwal penyerahan (baik barang maupun uang). Namun, tidak menutup kemungkinan yang disepakati lebih banyak dan detail disesuaikan dengan keinginan atau tuntutan para pihak yang terlibat.

(37)

diperhitungkan sebagai korbanan yang telah dikeluarkan dalam posisinya masing masing, apakah sebagai produsen/pengolah maupun sebagai perantara. Hal yang pasti dari contract farming adalah dengan kesepakatan di awal maka setiap pihak bisa terhindar dari risiko kerugian. Ini menjadi ciri penting contract farming yang membedakannya dari mekanisme pembentukan harga melalui mekanisme penawaran dan permintaan on the spot. Dengan adanya kesepakatan penjualan sebelum produksi dipastikan bahwa harga yang disepakati akan memberikan tingkat keuntungan yang telah diperhitungkan.

Mengikuti kaidah ekonomi kelembagaan yang diusung oleh Williamson, North, dan Coase dalam Yustika (2010) mengeksplorasi gagasan kelembagaan non pasar (hak kepemilikan, kontrak) sebagai jalan untuk mengompensasi kegagalan pasar. Dalam mekanisme kontrak (ekonomi kelembagaan) keputusan kontraktual berimplikasi pada biaya kelembagaan, yang disebut biaya transaksi sebagaimana dirumuskan sebelum ini. Secara singkat biaya transaksi merupakan semua korbanan yang perlu ditanggung oleh para pihak yang berkontrak yang diperlukan untuk menjamin bahwa kesepakatan berjalan. Berdasarkan pandangan North dalam Sirajuddin (2010) menyatakan bahwa kelembagaan yang dapat menurunkan biaya transaksi adalah kunci keberhasilan indikator ekonomi.

Pada kontrak yang terjadi pada industri garam di daerah Kabupaten Sumenep, biaya transaksi yang mungkin adalah biaya pencarian, biaya negosiasi dan biaya pelaksanaan. Biaya transaksi besarnya sangat bervariasi, ditentukan oleh tingkat kepercayaan antar pihak yang bertransaksi. Dalam satu ekstrem biaya bisa sedemikian tinggi sehingga menjadi disinsentif bagi para pihak untuk berkontrak. Pada ekstrim yang lain, biaya ini bisa menjadi 0 (nol) karena adanya trust yang sempurna antar pihak yang berkontrak. Hadirnya trust secara teoretik bisa meniadakan biaya transaksi. Mengingat posisinya yang penting, maka pemahaman dan akurasi dalam menghitung biaya transaksi bisa memprediksi tingkat keberhasilan contract farming, maka analisis biaya transaksi menjadi penting dan diperlukan dalam membangun atau menginisiasi contract farming

(38)

Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional

4 METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sumenep, Madura Provinsi Jawa Timur dengan 4 Kecamatan, yaitu Gapura, Dungkek, Kalianget dan Pragaan. Pemilihan lokasi didasarkan pada fakta bahwa Kabupaten Sumenep merupakan daerah awal dimulainya industri garam di Indonesia dan juga merupakan daerah sentra produksi garam terbesar di Indonesia. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari-Februari 2013.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner secara langsung kepada sumber atau objek yang sedang diteliti. Informasi/fakta yang dikategorikan sebagai data primer adalah harga jual garam, jumlah pendapatan usahatani, biaya produksi, persepsi para pelaku usaha garam mengenai kerjasama yang ada, faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan usaha garam rakyat.

Data sekunder pada penelitian ini diperoleh antara lain melalui studi pustaka, data publikasi Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan dan sumber-sumber lainnya yang relevan. Informasi/fakta yang dikategorikan sebagai data sekunder adalah jumlah produksi

Potensi Usaha Garam di Kabupaten Sumenep

Persaingan dengan Produk Impor dan Informasi yang Asimetris

Para Pelaku Industri Garam

Pola Kemitraan Usaha Garam Rakyat

Indikasi Adanya Kegagalan Pasar

Pola Interaksi Kerjasama Antar Pelaku

(39)

garam, jumlah lahan garam, jumlah petani, jumlah kebutuhan garam, karakteristik petani garam. Data primer dikumpulkan untuk mengetahui pola kerjasama yang ada yang terdiri dari : siapa saja peserta yang terlibat dalam pola kerjasama dan jenis pola kerjasama apa yang dilakukan. Data primer juga diperlukan untuk menggambarkan struktur biaya yang ada. Sedangkan penggunaan data sekunder, untuk mengetahui kinerja industri garam yang telah ada dan bagaimana kontribusi akan keberadaannya. Uraian ringkas tentang jenis dan sumber data yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis dan sumber data yang digunakan

No. Jenis data Bentuk data Sumber

Instrumen pengumpulan

data yang dipakai 1. Data primer Struktur penerimaan Wawancara langsung Kuesioner Biaya produksi Wawancara langsung Kuesioner Harga garam Wawancara langsung Kuesioner Persepsi para pelaku usaha Wawancara langsung Kuesioner

2. Data

sekunder

Jumlah produksi Kemenperin Literatur

Jumlah petani garam Kemenperin Literatur Luas lahan tambak DKP Kabupaten Sumenep Literatur Bentuk kerjasama yang ada DKP Kabupaten Sumenep Literatur Lembaga terkait usaha garam DKP Kabupaten Sumenep Literatur

Metode Pengambilan Contoh

Metode pengambilan contoh yang diterapkan pada penelitian ini adalah teknik pengambilan contoh secara sengaja (purposive sampling) dengan memilih sendiri pihak-pihak yang menjadi responden, responden yang digunakan adalah para pelaku usaha garam di Kabupaten Sumenep. Adapun pihak-pihak yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani garam sebanyak 30 orang dengan 3 kriteria yaitu pemilik sekaligus penggarap, pemilik dengan penggarap, dan penyewa lahan dengan penggarap, pengurus Koperasi Astagina sebanyak 4 orang, pedagang pengumpul sebanyak 3 orang dan 2 orang perwakilan dari PT Garam (Persero).

Metode Analisis Data

Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan beberapa alat analisis data sesuai dengan data dan informasi yang diperoleh. Analisis data yang digunakan sebagai kriteria dalam penentuan pola kemitraan adalah sebagai berikut :

Analisis Deskriptif

Gambar

Tabel 1 Jumlah produksi garam di wilayah Pulau Madura
Gambar 3  Kerangka pemikiran operasional
Tabel 3  Jenis dan sumber data yang digunakan
Tabel 5  Profil responden petani garam Kabupaten Sumenep
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mohon Hadir tepat waktu dan masing-masing Perusahaan agar membawa Dokumen Penawaran Asli dan Dokumen Kualifikasi Asli + foto copy dokumen.. Demikian undangan kami sampaikan,

Diplomasi publik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kerjasama antar- negara melalui aktor non-negara. Diantaranya adalah gastro diplomasi yang menjadi

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Tingkat Strata Satu ( S1 ) Teknik Informatika..

Undergraduate Thesis: A Descriptive Study on the Mastery of Reading of the Eighth Year Students of SMP N 2 Delanggu in Academic Year 2014/2015.. The problem of the study is: How

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Alat dan bahan pembuatan kerajinan cukli, (2) Proses pembuatan kerajinan cukli (3) Bentuk kerajinan yang dibuat pada

Cakupan data dasar dari hasil SP2010 adalah jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin, berikut parameter- parameter turunannya seperti kepadatan penduduk,

A. Latar Belakang Bioteknologi adalah pemanfaatan mikroorganisme untuk menghasilkan suatu produk yang dapat digunakan oleh

Komunikasi WOM yang dilakukan dengan baik dapat meningkatkan Niat calon nasabah untuk membuka rekening di Bank Syariah Muamalat Surabaya. Hal ini membuktikan