• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Stres pada Saudara Kandung dengan Anak Autisme di Kota Tangerang Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Stres pada Saudara Kandung dengan Anak Autisme di Kota Tangerang Selatan"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN STRES PADA SAUDARA KANDUNG DENGAN

ANAK AUTISME DI KOTA TANGERANG SELATAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh:

INDAH FITRIASTARINA SURYADI

1110104000044

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

Nama : Indah Fitriastarina Suryadi

Tempat Tanggal Lahir : Tarakan, 24 Maret 1993

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Aria Putra Komplek Kedaung Hijau Blok E-16

Ciputat Tangerang Selatan

Telepon : 085246132008

E-mail : fitriastarina@gmail.com

Riwayat Pendidikan

1. SDN 004 Tarakan (1998-2004)

2. SMPN 1 Tarakan (2004-2007)

3. SMAN 1 Tarakan (2007-2010)

4. S1 Keperawatan (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) (2010-2014)

Pengalaman Organisasi

1. PMR sebagai Anggota (2004-2006), (2007-2008), sebagai Ketua (2006-2007), (2008-2009)

2. BEM Jurusan Program Studi Ilmu Keperawatan sebagai Anggota Departemen Informasi dan Komunikasi (2010 – 2012)

Pengalaman Pelatihan, Seminar, dan Workshop

1. Seminar Kesehatan “Perawatan Pasien Hipertensi dan Diabetes di Rumah” Tahun 2010

2. Simposium Nasional “Perspektif Islam dalam Membangun Karakter Bangsa pada Era Milenium Kesehatan” Tahun 2010

3. Pelatihan Nursing Camp “Memaksimalkan Peran Organisasi Keperawatan

dalam Menghadapi Tantangan Global” Tahun 2011 4. Talk Show “Osteoarthritis” Tahun 2011

(7)

vii

6. Seminar Keperawatan “Nursing as Partner Society and Delivering Public Health” Tahun 2011

7. Seminar Nasional “Uji Kompetensi Nasional Meningkatkan Peran dan Mutu

(8)

viii Skripsi, Juni 2014

Indah Fitriastarina Suryadi, NIM: 1110104000044

Gambaran Stres pada Saudara Kandung dengan Anak Autisme di Kota Tangerang Selatan

xviii – 74 halaman – 15 tabel – 2 bagan – 3 lampiran

ABSTRAK

Autisme adalah kekurangan dalam interaksi sosial, komunikasi, termasuk kekurangan berbahasa dan dalam aktivitas serta ketertarikan. Stres adalah respon individu terhadap stresor yaitu situasi dan peristiwa yang mengancam dan melebihi kemampuan mereka untuk mengatasinya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran stres saudara kandung dengan anak autisme di Kota Tangerang Selatan. Sampel penelitian yang digunakan sebanyak 30 responden didapat dengan teknik nonprobability sampling dengan sampling jenuh. Desain yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Teknik analisa data menggunakan analisa univariat deskriptif dan frekuensi dengan menggunakan bantuan program aplikasi statistik dalam pengolahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran stres dari 30 responden yang mengalami stres (50,0%) dan yang tidak stres (50,0%). Berdasarkan respon stres dari respon stres fisiologis mayoritas responden mengalami stres (60,0%), berdasarkan respon stres kognitif mayoritas responden mengalami stres (53,3%), berdasarkan respon stres psikologis mayoritas responden mengalami stres (53,3%) dan berdasarkan respon stres tingkah laku seimbang antara stres dan tidak stres masing-masing (50,0%). Dari 15 responden yang stres secara keseluruhan berdasarkan karakteristik responden usia mayoritas remaja pertengahan 15-17 tahun (46,7%), jenis kelamin mayoritas perempuan (60,0%), hubungan dengan saudara kandung mayoritas kakak (73,7%) dan urutan lahir mayoritas anak pertama (53,3%).

Kata Kunci : Autisme, Stres, Saudara Kandung

(9)

ix

SCHOOL OF NURSING

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

ISLAMIC STATE UNIVERSITY (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Undergraduate Thesis, June 2014

Indah Fitriastarina Suryadi, NIM: 1110104000044

Sibling’s Stress with Autism Children in Tangerang Selatan Year 2014

xviii + 74 pages + 15 tables + 2 charts +3 attachments

ABSTRACT

Autism is a deficiency in social interaction, communication, and language including deficiencies in the activity and interest. Stress is an individual's response to stressors the situations and events that threaten and exceed their ability to cope. This study aims to look at the picture of stress with siblings of children with autism in South Tangerang City. The sample used by 30 respondents obtained with nonprobability sampling technique with saturated sampling. The design used is descriptive quantitative approach. Collecting data using a questionnaire research instruments. The data analysis using univariate descriptive and frequency with the help of statistical application program in its processing. The results showed that the stress picture of the 30 respondents who experienced stress (50.0%) and non-stress (50.0%). Based on the non-stress response of the physiological non-stress response of the majority of respondents experienced stress (60.0%), based on the cognitive stress response majority of respondents experienced stress (53.3%), based on psychological stress responses stressed the majority of respondents (53.3%) and based on the response behavioral stress balance between stress and no stress, respectively (50.0%). Of the 15 respondents overall stress on the characteristics of respondents aged 15-17 years mid teens majority (46.7%), the majority of female gender (60.0%), relationships with siblings sister majority (73.7%) and the sequence majority of first born children (53.3%).

Keywords: Autism, Stress, Sibling

(10)

x

ِي ِ َلا ِم ْ َلا ِ ِيْ ِ

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Bismillahirahmanirahim. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Gambaran Stres pada Saudara Kandung dengan Anak Autisme di Kota Tangerang Selatan”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW serta

para sahabatnya yang telah menerangi jalan manusia dari zaman kebodohan menuju zaman yang terang benderang.

Dalam penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang peneliti jumpai namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Terselesaikannya skripsi ini tidak akan lepas dari bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang telah membantu penulis tanpa letih. Oleh karena itu penulis mengucapkan rasa syukur dan ucapan terima kasih ini disampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. dr. Dr (hc) M.K Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep, MKM selaku Ketua Program Studi dan Ibu Eni

Nur’aini Agustini selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Maulina Handayani, S.Kp, M.Sc, selaku pembimbing 1 dan Ibu Nia Damiati, S.Kp, M.SN selaku pembimbing 2 yang selalu membimbing, memberikan saran dan kritik kepada penulis tanpa letih.

5. Segenap staf pengajar dan karyawan di lingkungan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, dorongan dan motivasi pada penulis.

6. Segenap staf bidang akademik FKIK dan Program Studi Ilmu Keperawatan serta Perpustakaan FKIK yang telah membantu dalam pengadaan bahan rujukan skripsi. 7. Kepala Sekolah Khusus Al-Ikhsan, Sekolah Khusus Putra Putri Mandiri, Sekolah Khusus

Nur Asih dan Terapi Wila Kertia yang telah bersedia membantu penulis dalam mengumpulkan data.

(11)

xi

9. Orang tua penulis tercinta yang selalu memberikan kasih sayang tak terhingga kepada anaknya, mendoakan serta memberikan dorongan dan masukan baik materiil maupun non materiil.

10. Teman-teman FKIK angkatan 2010, PSIK 2009-2013, BEMJ Ilmu Keperawatan. Sahabat-sahabat terbaik PSIK 2010 yang telah memberikan dukungan dan memacu semangat penulis untuk menyelesaikan tugas akhir.

11. Serta semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis sangat menyadari bahwa pada penyusunan skripsi ini, masih terdapat banyak kekurangan dan belum sempurna karena keterbatasan yang peneliti miliki, karena sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga peneliti dapat memperbaiki skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pembaca yang mempergunakannya terutama untuk proses kemajuan pendidikan selanjutnya.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, Juli 2014

(12)

xii

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan teringat. Lembar ini saya dedikasikan untuk mereka yang selalu sedia membantu dan menyemangati dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih sedalam-dalamnya saya ucapkan kepada:

1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Bambang Suryadi dan Ibunda Suryawati, malaikat tanpa sayap yang doanya selalu memberikan keajaiban-keajaiban besar dalam hidup saya, yang cinta dan kasih sayangnya menjadi semangat utama dalam menyelesaikan skripsi ini, dan yang selalu rela berjuang untuk keberhasilan anak-anaknya. Mereka adalah penjaga utama api hidup saya agar tidak padam.

2. Muhammad Satrio Pradana Suryadi, kakak yang sangat super dengan segala perhatiannya yang luar biasa dan selalu fast respond disaat-saat genting. Adik saya, Tulivia Rizkikarunia Suryadi yang kepolosannya selalu mencairkan suasana.

3. Tante dan Om saya yang dengan segala kebaikannya membantu saya sehingga dapat menyelesaikan kuliah saya, Nenek yang selalu mendoakan, dan teman-teman BANDIT yang banyak membantu dan memberikan support kepada saya.

4. Sahabat “The Last Group” tersayang yang telah menemani selama 4 tahun dan semoga

seterusnya (Febty, Ratna, Rafika, Fitriyani, Gaby, Rosi, Galuh, Laras, dan Hilma) yang selalu siap dengan bantuan, semangat, dan doanya tanpa perlu diminta.

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENYATAAN PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

ABSTRAK ... viii

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 8

1. Tujuan Umum ... 8

2. Tujuan Khusus ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

1. Bagi Peneliti ... 9

2. Bagi Institusi Keperawatan ... 9

3. Bagi Orang Tua ... 10

4. Bagi Peneliti selanjutnya ... 10

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Autisme ... 11

1. Pengertian Autisme ... 11

(14)

xiv

1. Pengertian Stres ... 16

2. Penggolongan Stres ... 18

3. Respon Stres ... 19

4. Gejala Stres ... 19

5. Penyebab Stres ... 21

6. Dampak Stres ... 23

7. Penilaian Stres ... 24

C. Stres Saudara Kandung ... 26

D. Kerangka Teori... 32

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 33

A. Kerangka Konsep ... 33

B. Definisi Operasional... 34

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Desain Penelitian ... 39

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

C. Populasi dan Sampel ... 40

1. Populasi ... 40

2. Sampel ... 40

D. Teknik Pengambilan Sampel... 41

E. Instrumen Penelitian... 41

F. Perencanaan Uji Validitas dan Reliabilitas ... 44

1. Validitas ... 44

2. Reliabilitas ... 46

G. Teknik Pengumpulan Data ... 46

H. Pengolahan Data... 47

I. Analisa Data ... 48

J. Etika Penelitian yang Digunakan ... 48

BAB V HASIL PENELITIAN ... 50

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 50

B. Karakteristik Responden ... 52

1. Usia ... 52

2. Jenis Kelamin ... 53

3. Hubungan dengan Anak Autisme. ... 53

4. Urutan Lahir. ... 53

C. Gambaran Stres ... 54

1. Respon Stres Fisiologis ... 54

2. Respon Stres Kognitif ... 55

3. Respon Stres Psikologis ... 55

(15)

xv

5. Respon Stres Berdasarkan Usia Saudara Kandung ... 56

6. Respon Stres Berdasarkan Jenis Kelamin Saudara Kandung ... 57

7. Respon Stres Berdasarkan Hubungan Saudara Kandung dengan Anak Autisme ... 57

8. Respon Stres Berdasarkan Urutan Lahir Saudara Kandung ... 58

BAB VI PEMBAHASAN ... 59

A. Gambaran Karakteristik Responden ... 59

B. Gambaran Stres pada Saudara Kandung dengan Anak Autis ... 60

1. Respon Stres Fisiologis ... 62

2. Respon Stres Kognitif ... 63

3. Respon Stres Psikologis ... 65

4. Respon Stres Tingkah Laku ... 66

5. Respon Stres Berdasarkan Usia Saudara Kandung ... 67

6. Respon Stres Berdasarkan Jenis Kelamin Saudara Kandung ... 69

7. Respon Stres Berdasarkan Hubungan Saudara Kandung dengan Anak Autisme ... 70

8. Respon Stres Berdasarkan Urutan Lahir Saudara Kandung ... 71

C. Keterbatasan Penelitian ... 71

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73

1. Bagi institusi dan perawat ... 73

2. Bagi peneliti lain ... 74

3. Bagi orang tua ... 74

4. Bagi sekolah autisme... 74

(16)

xvi

Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian ... 34

Tabel 4.1 Blue Print Skala Respon Stres ... 43

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia ... 52

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Hubungan dengan Anak Autisme ... 53

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Urutan Lahir ... 53

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Nilai Stres pada Saudara Kandung yang Mengalami Respon Stres Tahun 2014 ... 54

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Nilai Stres pada Saudara Kandung yang Mengalami Respon Stres Fisiologis Tahun 2014 ... 54

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Nilai Stres pada Saudara Kandung yang Mengalami Respon Stres Kognitif Tahun 2014 ... 55

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Nilai Stres pada Saudara Kandung yang Mengalami Respon Stres Fisiologis Tahun 2014 ... 55

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Nilai Stres pada Saudara Kandung yang Mengalami Respon Stres Tingkah Laku Tahun 2014 ... 56

Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Stres Berdasarkan Usia Saudara Kandung dari Anak Autisme di Tangerang Selatan Tahun 2014 ... 56

Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Stres Berdasarkan Jenis Kelamin Saudara Kandung dari Anak Autisme di Tangerang Selatan Tahun 2014 ... 57

Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi Stres Berdasarkan Hubungan Saudara Kandung dengan Anak Autisme di Tangerang Selatan Tahun 2014 ... 57

(17)

xvii

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian ... 32

(18)

xviii

1. Lembar Pernyataan Persetujuan Responden 2. Kuesioner Gambaran Stres

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak special needs atau anak dengan kebutuhan khusus merupakan anak

yang mengalami hambatan dalam perkembangan perilakunya. Perilaku

tersebut antara lain wicara, okupasi, intelegensi, emosi dan perilaku sosial

yang tidak dapat berkembang dengan baik. Jenis dari anak dengan kebutuhan

khusus ini ada bermacam-macam, diantaranya autisme. Istilah autisme sendiri

baru diperkenalkan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner (Handojo, 2008).

Satu dari enam anak di Amerika Serikat mempunyai ketidakmampuan

perkembangan di tahun 2006-2008, mulai dari ketidakmampuan sedang

seperti gangguan bicara dan bahasa hingga ketidakmampuan perkembangan

yang serius, seperti ketidakmampuan intelektual, cerebral palsy, dan autisme.

Penelitian di Asia, Eropa, dan Amerika Utara mengidentifikasi individu

penyandang autisme dengan prevalensi rata-rata sekitar 1 %. Penelitian

terakhir di Korea Selatan melaporkan prevalensi rata-rata penyandang

autisme sekitar 2,6 % (Baio, 2013).

Keberadaan anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat di

Indonesia belum memiliki data yang pasti. Menurut WHO jumlah anak

berkebutuhan khusus di Indonesia adalah sekitar 7% dari total jumlah anak

(20)

2009 Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia menyebutkan

data siswa penyandang autisme yang terdaftar di SLB Autisme adalah 638

orang (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suraiya (2008) menyebutkan,

perawatan anak autisme dapat menyebabkan stres pada orang tua. Beberapa

faktor yang dapat menyebabkan stres pada orang tua yang memiliki anak

autisme meliputi kebingungan diagnosa, karakteristik pada anak autisme,

serangkaian tes dan tempat terapi yang belum terbukti, dan sikap orang lain

terhadap anak autisme mereka. Dukungan sosial berupa informasi, emosional,

penilaian, pelayanan, reaksi pasangan atau lingkungan sekitar juga menjadi

faktor yang berpengaruh terhadap stres yang dialami orang tua dengan anak

autisme.

Faktor terberat yang dirasakan orang tua ialah perilaku anak yang

bermacam-macam, seperti anak yang suka menyakiti diri sendiri ketika jenuh

atau kesal, pola tidur yang tidak biasa, dan ketika perilaku diterapi akan

memunculkan perilaku lain. Perilaku atau tanggapan dari lingkungan juga

dapat menjadi tekanan bagi orang tua. Lingkungan memaksa agar anak dapat

berinteraksi seperti pada umumnya anak-anak (Suraiya, 2008).

Tipe komunikasi sosial yang tidak umum pada anak autisme dapat

menyebabkan orang tua tidak dapat berinteraksi secara biasa. Keadaan ini

terjadi ketika muncul diantaranya pola interaksi yang tiba-tiba marah tanpa

mengerti penyebabnya sehingga dapat membuat orang tua merasa tertekan.

Pola interaksi seperti ini mungkin disebabkan oleh pengaruh perkembangan

(21)

3

mahal untuk terapi atau sekolah khusus anak autisme dapat menyebabkan

orang tua menjadi stres (Suraiya, 2008).

Selain stres yang dapat terjadi pada orang tua yang memiliki anak dengan

autisme, stres juga dapat dialami oleh saudara kandung. Keadaan autisme ini

dapat menyebabkan beberapa dari saudara kandung merasa malu atau

dipermalukan, dan mungkin secara bersamaan merasa bersalah, marah dan

cemburu terhadap saudaranya yang sakit. Selain itu, untuk dapat

berpartisipasi dalam aktivitas ekstrakulikuler, ataupun kegiatan sosial akan

berkurang karena kebiasaan sehari-hari terbebani oleh kondisi saudaranya

yang sakit (Wong, 2006).

Saudara kandung dari anak dengan gangguan perkembangan pervasif

seperti autisme pada umumnya mendapatkan perhatian yang lebih sedikit dari

orang tuanya dan lebih sering dimarahi dibanding daripada saudara

autismenya. Namun ada beberapa anak yang juga merasa bersalah jika

membuat perilaku saudara autismenya menjadi lebih parah. Hal ini dapat

menimbulkan kemarahan dan ketidaktenangan bagi lingkungan anak maupun

saudaranya yang mengalami gangguan autisme (Paternotte, 2010).

Hasil penelitian mengenai bagaimana pengaruh anak berkebutuhan

khusus terhadap saudara kandung tidak konsisten. Secara umum, terdapat

dampak negatif pada saudara kandung dari anak dengan penyakit kronis

ketika dibandingkan dengan saudara kandung dari anak sehat (Wong, 2006).

Lobato dan Kao (2002) dalam (Wong, 2006) menyebutkan beberapa

faktor yang dapat meningkatkan risiko dari dampak negatif untuk saudara

(22)

perbedaan perlakuan dari orang tua, dan kurangnya sumber penghasilan

keluarga dan waktu untuk rekreasi.

Beberapa kesulitan untuk saudara kandung timbul dari tuntutan kondisi

saudaranya yang sakit. Sebagai contoh, diagnosa anak berkebutuhan khusus

membuat orang tua lebih fokus dan konsentrasi kepada anak tersebut

dibanding anak normalnya. Frekuensi berobat di rumah sakit, terapi klinik

atau fisik mengganggu rutinitas keluarga seperti liburan, jalan-jalan, dan

acara spesial lain. Saudara kandung mungkin merasa terganggu karena orang

tua menjadi kurang memperhatikan sekolahnya, waktu bermain, atau aktivitas

lain, serta tidak banyak waktu tersedia untuk mereka baik secara fisik maupun

emosional (Wong, 2006).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ambarini (2006) menunjukkan bahwa saudara kandung dari anak autisme memiliki perasaan yang berubah-ubah terhadap saudara autisme mereka. Hal ini dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, dan urutan lahir (birth order) saudara kandung. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pola perilaku agresif lebih banyak muncul pada hubungan saudara sekandung dengan jenis kelamin berbeda, dimana anak perempuan lebih menunjukkan perilaku merawat dan mengasuh saudaranya.

(23)

5

menjadi judgemental dan belum memahami kebutuhan-kebutuhan khusus dari saudara autisme mereka (Ambarini, 2006).

Masa kanak-kanak pertengahan (6-12 tahun) dideskripsikan oleh Freud

sebagai periode laten dimana anak-anak mulai membina hubungan dengan

teman sebaya sesama jenis setelah pengabaian pada tahun-tahun sebelumnya

dan didahului oleh ketertarikan pada lawan jenis yang menyertai pubertas.

Erikson mengatakan dalam periode perkembangan kepribadian, pada masa ini

dapat terjadi rasa inferioritas yakni perasaan kurang berharga yang dapat

diperoleh dari anak itu sendiri maupun lingkungan sosial mereka. Banyak

anak mengalami stres akibat konflik di rumah, lingkungan sekolah, dan

komunitas lingkungan (Wong, 2009).

Ketika anak memasuki usia remaja, pemikiran dan perilaku mereka

berfluktuasi antara masa anak dan masa dewasa. Mereka tumbuh dewasa dan

dengan cepat menuju ke arah kematangan yang mungkin melampaui koping

mereka (Wong, 2009).

Sebagian besar remaja memiliki hambatan-hambatan dalam kehidupan

mereka. Banyak dari remaja yang mengalami berbagai permasalahan yang

disebabkan kurangnya perhatian, kasih sayang dan bimbingan dari orang tua.

Hal ini akan mengganggu kesehatan fisik dan emosi mereka, menghancurkan

motivasi dan kemampuan menuju sukses di sekolah, dapat merusak hubungan

pribadi mereka serta berdampak pada tingkat stres yang dialami (Kristanti,

2013).

(24)

autismenya, lebih diberikan peran mengasuh dan sebagai pendisiplin bagi saudara autismenya. Saudara sekandung yang lebih muda kehilangan teman bermain yang normal, role model, dan sebagian berperan sebagai anak yang lebih tua daripada saudara autisme mereka. Ketika bermain tidak terjadi hubungan komunikasi dua arah sehingga sulit bagi saudara kandung untuk menjalin hubungan yang memuaskan dengan saudaranya (Ambarini, 2006).

Salah satu peran perawat dalam ruang lingkup keperawatan anak

khususnya dengan kebutuhan khusus adalah memberdayakan keluarga yang

memiliki anak dengan disability atau anak dengan kondisi kronis, yaitu

dengan cara membantu orang tua untuk memilih strategi koping yang tepat,

mengajarkan komunikasi yang efektif di dalam keluarga, melatih keluarga

dalam menggunakan strategi dan kemampuan manajemen konflik (Serr dkk,

2005 dalam Koesoemo, 2009).

Perawat dapat mendorong orang tua untuk berbicara dengan saudara

kandung tentang bagaimana mereka memandang saudara mereka yang sakit

untuk menerima perasaan saudara mereka yang sakit itu. Perawat dapat

menjadi pendidik yang ideal dan konsultan dari saudara kandung selama

menghadapi kondisi saudaranya yang sakit (Shepard & Mahon, 2000 dalam

Wong, 2006).

Peran perawat sebagai advokat anak atau guru kesehatan bersifat

mendukung melalui pendekatan individual yang sangat alamiah. Dukungan

dapat diberikan dengan cara seperti mendengar, menyentuh, dan kehadiran

fisik. Konseling melibatkan pertukaran pendapat dan ide yang memberi dasar

(25)

7

untuk mendorong ekspresi perasaan dan pikiran, dan melakukan pendekatan

untuk membantu keluarga mengatasi stres (Wong, 2009). Berdasarkan uraian

tersebut, peneliti merasa perlu untuk meneliti tentang tingkat stres saudara

kandung dengan anak autisme.

Peneliti telah melakukan studi pendahuluan dengan mewawancarai 4

orang saudara kandung dari murid di Sekolah Al-Ikhsan. Dari 4 orang yang

diwawancarai, 3 orang mengatakan bahwa mereka merasa kurang mendapat

perhatian dari orang tua dibanding saudaranya yang menderita autisme.

Mereka mengatakan tidak suka ketika orang tuanya menyuruh mereka

menemani saudara autisnya bermain. Sedangkan satu responden yang lain

mengatakan cukup mendapatkan perhatian dari orang tua dan merasa senang

dapat membantu menemani saudara autisnya bermain.

B. Rumusan Masalah

Perilaku maladaptif dan anti sosial anak autisme menyebabkan anak

kesulitan untuk berkomunikasi dan lebih senang menyendiri. Hal ini dapat

membuat saudara sekandung sulit untuk menciptakan hubungan komunikasi

yang baik dan tidak ada hubungan timbal balik yang tercipta. Saudara

sekandung akan merasa frustasi dalam melakukan sesuatu dengan saudara

autismenya. Sikap overprotective yang diterapkan orang tua kepada saudara

sekandung dari anak autisme serta pembebanan peran mengasuh dari orang

tua akan membuat saudara kandung merasa stres.

(26)

ada dalam satu keluarga tersebut. Perawat sering kali berada dalam posisi yang penting dalam mengarahkan perhatian dari kondisi patologis, dengan

fokus pada kelemahan dan masalah-masalah yang terjadi, untuk memenuhi

kebutuhan unik anak dan keluarga.

Dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran stres pada saudara kandung dengan anak autisme dan bagaimana gambaran stres berdasarkan karakteristik saudara kandung (jenis kelamin, usia, hubungan saudara kandung dengan anak autisme, dan urutan kelahiran).

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat diambil beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran stres pada saudara kandung dengan anak autisme?

2. Bagaimana gambaran stres berdasarkan karakteristik saudara kandung (jenis kelamin, usia, hubungan saudara kandung dengan anak autisme dan urutan kelahiran)?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

(27)

9

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah ingin melihat:

a. Diketahui gambaran karakteristik saudara kandung dengan anak autisme.

b. Diketahui stres pada saudara kandung dengan anak autisme. c. Diketahui gambaran stres berdasarkan karakteristik saudara kandung (jenis kelamin, usia, hubungan saudara kandung dengan anak autisme, dan urutan kelahiran).

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dalam melakukan penelitian dan menambah pengetahuan serta wawasan peneliti tentang gambaran stres saudara kandung dengan anak autisme, dan gambaran stres berdasarkan karakteristik saudara kandung (jenis kelamin, usia, hubungan saudara kandung dengan anak autisme, dan urutan kelahiran).

2. Bagi institusi keperawatan

(28)

3. Bagi orang tua

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran stres pada saudara kandung dengan saudara autisme kepada orang tua sehingga mampu mengenali stres yang terjadi pada anak mereka dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh stres yang dialami oleh saudara kandung.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi baik secara teori maupun data bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti

tentang stres saudara kandung pada anak autisme.

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan desain penelitian deskriptif dengan tujuan utama membuat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen lembar kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah saudara kandung dari murid penderita autisme di empat SLB di Kota Tangerang Selatan yaitu

Sekolah Khusus Al-Ikhsan, Sekolah Khusus Putra Putri Mandiri, Sekolah

Khusus Nur Asih dan Terapi Wila Kertia yang berjumlah 30 orang. Penelitian

(29)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Autisme

1. Pengertian Autisme

Autisme berasal dari kata “auto” yang berarti sendiri. Penyandang autisme seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autisme baru

diperkenalkan sejak tahun 1943 oleh Leo Kanner, sekalipun kelainan

ini sudah ada sejak berabad-abad yang lalu (Handojo, 2008).

Nolen (2004) mendefinisikan autisme adalah kekurangan dalam

interaksi sosial, komunikasi, termasuk kekurangan berbahasa dan dalam

aktivitas serta ketertarikan. Copel (2007) mengatakan autisme

merupakan gangguan perkembangan pervasif pada masa kanak-kanak

yang dimanifestasikan dengan kerusakan hebat dalam interaksi sosial

dan keterampilan berbahasa serta kurangnya aktivitas imajinatif. Dalam

klasifikasi DSM-IV gangguan autisme dimasukkan dalam kategori

gangguan perkembangan pervasif dengan kode 299.00.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa autisme

adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan kerusakan pada

interaksi soaial, komunikasi dan aktivitas serta bahasa.

2. Tanda dan Gejala Autisme

Terdapat tiga gejala utama yang dimiliki anak dengan autisme.

(30)

Mereka terlihat hidup dalam dunianya sendiri dan tidak memberikan

respon kepada orang lain yang ada di sekitarnya (Copel, 2007).

Kedua, adalah gangguan komunikasi verbal dan non verbal.

Mereka membisu atau hanya mengeluarkan bunyi-bunyi yang tidak

mengandung arti dan tidak biasa digunakan untuk berkomunikasi

dengan orang lain. Anak autisme dalam berbicara sering

memperlihatkan pola pembicaraan yang khas, misalnya ekolalia yakni

mengulangi apa yang dikatakan kepadanya, atau pembalikan kata ganti

(Copel, 2007).

Gejala ketiga yaitu aktivitas dan minat yang terbatas dan

diulang-ulang. Misalnya dengan kaku meletakkan mainan ataupun

barang-barang di suatu tempat dan mereka akan merasa bingung bila kebiasaan

tersebut diubah (Copel, 2007).

Gejala utama yang dialami oleh anak autisme menurut

Mangunsong (2002) adalah memiliki:

a. Gangguan interaksi sosial, seperti pada bayi atau balita autisme

tidak berespon normal ketika diangkat atau dipeluk. Pada saat

berinteraksi dengan orang tua, saudara kandung, ataupun orang

lain anak-anak dengan autisme tidak menunjukkan perbedaan

respon dan enggan berinteraksi dengan aktif. Anak dengan

autisme tidak berminat pada orang lain, cenderung asyik sendiri

dengan benda-benda dan lebih senang menyendiri, tersenyum

pada situasi yang tidak tepat, menghindari kontak mata, dan tidak

(31)

13

b. Gangguan komunikasi seperti tidak ingin berkomunikasi untuk

tujuan sosial. Mereka yang mampu bicara mengalami

abnormalitas dalam intonasi, nada, volume, dan isi bahasa. Anak

autisme sering tidak memahami ketika diajak bicara, sering

mengulang kata-kata tanpa bermaksud berkomunikasi, dan

mengalami gangguan komunikasi non verbal.

c. Gangguan perilaku, seperti repetitif atau pegulangan seperti

gerakan memutar-mutar objek, bergerak maju mundur, dan

lain-lain. Anak autisme sering terlihat asyik sendiri dengan objek

tertentu dan tidak suka perubahan yang ada di lingkungannya

ataupun perubahan rutinitas.

Menurut Handojo (2008) penyandang autisme mempunyai

karakteristik antara lain selektif berlebihan terhadap rangsang,

kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru, respon

stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial, dan mempunyai

respon unik terhadap imbalan.

Handojo juga menggolongkan perilaku autistik dalam dua jenis,

yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) dan perilaku yang defisit

(berkekurangan). Perilaku berlebihan seperti hiperaktif dan tantrum

berupa menjerit, berteriak, mengamuk, memukul, dan bahkan menyakiti

dirinya sendiri. Sedangkan perilaku defisit ditandai dengan gangguan

bicara, menyendiri, emosi tidak tepat, bermain tapi tidak benar,

(32)

Kriteria DSM-IV dalam Handojo (2008) untuk Autis Masa

Kanak adalah:

a. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan

minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2)

dan (3):

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal

balik, minimal harus ada 2 gejala dari gejala-gejala dibawah

ini:

a) Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup

memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka

kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.

b) Tak bisa bermain dengan teman sebaya.

c) Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

d) Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang

timbal balik

(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti

ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala di bawah

ini:

a) Berbicara terlambat atau bahkan sama sekali tak

berkembang (dan tak ada usaha untuk mengimbangi

komunikasi dengan cara lain tanpa bicara)

b) Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk

(33)

15

c) Sering menggunakan bahasa yang aneh dan

diulang-ulang

d) Cara bermain yang kurang variatif, kurang imajinasi

dan kurang bisa meniru

(3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari

perilaku, minat, dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari

gejala di bawah ini:

a) Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara

yang sangat khas dan berlebihan

b) Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau

rutinitas yang tak ada gunanya

c) Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan

diulang-ulang

d) Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda

b. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau

gangguan dalam bidang:

(1) Interaksi sosial,

(2) Bicara dan bahasa,

(3) Cara bermain yang kurang variatif

c. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan

(34)

3. Penyebab Autisme

Nolen (2004) menyebutkan penyebab autisme adalah kekurangan

teori dalam otak, kecenderungan genetik, kromosom yang abnormal,

kekurangan neurologis, komplikasi pada kehamilan dan kelahiran, serta

ketidakseimbangan neurotransmiter.

Berbagai kondisi biologis seperti rubella pada ibu hamil, anoksia

selama proses kelahiran, fenilketonuria yang tidak diobati, dan

ensefalitis, telah dikaitkan dengan munculnya gangguan autisme. Riset

neurobiologis menyatakan bahwa komplikasi pranatal menciptakan

kerusakan dalam sistem saraf pusat. Masalah-masalah imunologis

misalnya ketidakcocokan antara jaringan ibu dan janin, seperti juga

perubahan fungsi otak akibat cedera dan faktor-faktor genetik dapat

juga mendukung terbentuknya autisme (Copel, 2007).

B. Stres

1. Pengertian Stres

Stres menurut King (2010) adalah respon individu terhadap

stresor (hal-hal yang menimbulkan stres), yaitu situasi dan peristiwa

yang mengancam dan melebihi kemampuan mereka untuk

mengatasinya.

National Safety Council (2003) mengatakan stres adalah reaksi

tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan,

(35)

17

mendefinisikan stres sebagai ketidakmampuan mengatasi ancaman

yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia.

Robert S. Feldman (1989) dalam Richard (2011) mengatakan

stres adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu

yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan dan individu

merespon peristiwa itu pada level psikologis, emosional, kognitif dan

perilaku.

Stres menurut Smeltzer (2002) adalah suatu keadaan yang

dihasilkan oleh suatu perubahan lingkungan yang dianggap sebagai

suatu hal yang menantang, mengancam, atau bahkan merusak

kehidupan seseorang. Perubahan tersebut adalah stresor, yang

didefinisikan oleh Werner (1993) dalam Smeltzer (2002) sebagai suatu

kejadian, kondisi, situasi dan kunci internal maupun eksternal yang

berpotensi menimbulkan reaksi fisik dan psikososial.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan

stres adalah situasi yang mengancam, menantang dan membahayakan

yang menimbulkan ketegangan, emosi, perubahan, maupun tekanan

yang direspon oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia.

Stres memiliki ciri identik dengan perilaku beradaptasi dengan

lingkungannya, dimana lingkungan ini bisa berupa hal di luar diri atau

yang biasa disebut outer world, dan bisa juga datang dari dalam diri itu

(36)

2. Penggolongan Stres

Kusmiati dan Desminiarti (1990) dalam National Safety Council

(2003) menggolongkan stres menjadi:

a. Stres fisik, disebabkan oleh suhu, suara, ataupun sinar yang

terlalu rendah atau terlalu tinggi.

b. Stres kimiawi, disebabkan oleh obat-obatan, zat beracun, gas, dan

hormon.

c. Stres mikrobiologi, disebabkan oleh virus, bakteri maupun

parasit.

d. Stres fisiologik, disebabkan oleh gangguan struktur, fungsi

jaringan, organ, atau sistemik sehingga menimbulkan fungsi

tubuh yang tidak normal.

e. Stres proses pertumbuhan dan perkembangan, disebabkan oleh

gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi

hingga tua.

f. Stres psikis/emosional, disebabkan oleh gangguan hubungan

interpersonal, sosial, budaya, atau keagamaan.

Stres dibagi menjadi dua yaitu stres baik dan stres buruk (distres).

Stres baik yang disebut juga stres positif adalah situasi ataupun kondisi

apapun yang dapat memotivasi dan memberikan inspirasi. Sedangkan

stres buruk (distres) adalah stres yang membuat marah, tegang,

bingung, cemas dan merasa bersalah. Distres dibagi menjadi dua yakni

(37)

19

menghilang sedangkan stres kronik muncul tidak terlalu kuat tetapi

hingga berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan

(Sutardjo, 2005).

3. Respon Stres

Taylor (1991) dalam Videbeck (2008) menyatakan bahwa stres

dapat menghasilkan berbagai respon. Respon stres dapat dilihat dari

berbagai aspek sebagai berikut :

a. Respon fisiologis, dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan

darah, detak jantung, nadi, dan pernapasan.

b. Respon kognitif, dapat terlihat melalui terganggunya proses

kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya

daya konsentrasi, pikiran berulang dan tidak wajar.

c. Respon psikologis atau emosional, dapat muncul sangat luas,

seperti takut, cemas, malu, marah dan sebagainya.

d. Respon tingkah laku, dapat melawan situasi yang menekan atau

menghindari situasi yang menekan.

4. Gejala Stres

Gejala yang muncul sebagai respon terhadap stres menurut

Sutardjo (2005) antara lain denyut jantung meningkat, tekanan darah

meningkat, ketegangan otot meningkat, produksi keringat meningkat,

dan aktivitas metabolik meningkat.

Hawari (2001) dalam National Safety Council (2003)

menyebutkan tahapan yang akan dialami pada saat seseorang

(38)

a. Tahap pertama, disertai perasaan nafsu bekerja yang berlebihan,

mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga

yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.

b. Tahap kedua, disertai keluhan seperti bangun pagi tidak segar,

cepat lelah, tidak dapat rileks, atau perut tidak nyaman.

c. Tahap ketiga, tahapan stres dengan keluhan seperti defekasi tidak

teratur, otot tegang, emosional, insomnia, sulit tidur dan mudah

terjaga.

d. Tahap keempat, keluhan yang muncul seperti tidak mampu

bekerja sepanjang hari, aktivitas pekerjaan terasa sulit dan

menjenuhkan, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur,

konsentrasi dan daya ingat menurun serta timbul ketakutan dan

kecemasan.

e. Tahap kelima, ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, tidak

mampu menyelesaikan tugas yang sederhana dan ringan,

gangguan pencernaan berat, rasa takut , cemas dan panik

meningkat.

f. Tahap enam, paling berat dengan tanda-tanda seperti jantung

berdebar keras, berkeringat, sesak napas, badan gemetar dan

dingin, atau pingsan.

Menurut Johnston (2006) ada beberapa gejala stres yang paling

umum adalah; Gejala fisik adalah ketegangan otot (rahang, gigi

grinding, bahu), peningkatan tekanan darah, gelisah, sakit kepala, sakit

(39)

21

terhadap kritik/kritis terhadap orang lain, kemurungan (tegang, mudah

tersinggung), masalah konsentrasi, keragu-raguan, kaku berpikir dan

tidak ada rasa humor; Gejala perilaku adalah insomnia, perubahan nafsu

makan, menarik diri dari orang lain, kurang kontrol diri (merokok,

minum, makan berlebihan) dan ledakan emosi secara lisan.

Hans Selye (1946) dalam Nasir dan Muhith (2011) menjelaskan

gejala stres memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot, dan daya tahan

tubuh menurun. Stres menyebabkan terjadinya mekanisme pertahanan

tubuh seperti pengaktifan hormon yang berakibat pada meningkatnya

volume darah. Hormon lainnya dilepas untuk meningkatkan kadar gula

darah yang bertujan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi.

Epinefrin dan norepinefrin teraktivasi mengakibatkan denyut jantung

meningkat dan terjadi peningkatan darah ke otot. Selain itu juga terjadi

peningkatan pengambilan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental.

5. Penyebab Stres

National Safety Council (2003) menyebutkan faktor yang

mempengaruhi stres antara lain:

a. Faktor biologis, herediter, konstitusi tubuh, kondisi fisik,

neurofisiologis, dan neurohormonal.

b. Faktor psikoedukatif/sosio kultural – perkembangan kepribadian, pengalaman, dan kondisi lain yang mempengaruhi.

Stresor adalah tuntutan untuk menyesuaikan diri. Ada tiga sumber

stres yaitu frustasi, konflik, dan tekanan. Frustasi adalah suatu keadaan

(40)

upaya untuk mencapai tujuannya. Reaksi frustasi dikategorikan dalam

dua macam yaitu unfrustated behavior dan frustated behavior. Konflik

dikatakan sebagai suatu dilema karena di satu sisi memiliki sifat positif

dan di sisi lain memiliki sifat negatif pula sehingga harus

mempertimbangkan jalan mana yang akan dipilih. Sedangkan tekanan

adalah suatu keadaan yang menimbulkan konflik, dimana seseorang

dipaksa untuk melakukan hal yang tidak diinginkannya (Fauziah,

2005).

Stresor dapat bersifat fisik, fisiologis, dan psikososial. Stresor

fisik dapat berupa suhu dingin, panas atau agen kimia. Stresor

fisiologis meliputi nyeri, kelelahan sedangkan stresor psikologis dapat

terjadi akibat reaksi emosi. Stresor juga dapat dikelompokkan menjadi

stresor harian seperti kemacetan, stresor yang melibatkan kelompok

besar seperti bencana alam, dan stresor yang lebih jarang dan

melibatkan lebih sedikit orang, contohnya kematian, kelahiran,

perceraian dan pensiun. Sesuai durasinya, stresor digolongkan menjadi

stresor akut dan stresor kronik intermiten. Stresor kronik intermitten

adalah sumber stres yang masih terjadi dari waktu ke waktu (Smeltzer,

2002).

Menurut Nasir dan Muhith (2011), sumber-sumber stres yang biasa

terjadi dalam kehidupan yaitu sumber stres dari individu, sumber stres

dalam keluarga, dan sumber stres dalam lingkungan dan komunitas.

Sumber stres dalam keluarga salah satunya adalah mempunyai anggota

(41)

23

Maramis (2004) menyebutkan ada empat sumber atau penyebab

stres psikologis, yaitu:

a. Frustasi, disebabkan karena kegagalan dalam mencapai tujuan

karena ada yang menghalangi. Frustasi ada yang bersifat intrinsik

(cacat badan, dan kegagalan usaha) dan ekstrinsik (kecelakaan,

bencana alam, kematian orang yang dicintai, kegoncangan

ekonomi, pengangguran, perselingkuhan, dll)

b. Konflik, timbul karena tidak bisa memilih antara dua pilihan atau

lebih keinginan, kebutuhan, atau tujuan. Bentuknya

approach-approach conflict, approach-approach-avoidance conflict, atau

avoidance-avoidance conflict

c. Tekanan, disebabkan akibat tekanan hidup sehari-hari. Tekanan

bisa berasal dari dalam individu maupun luar diri individu.

d. Krisis, yaitu keadaan yang mendadak, yang menimbulkan stres

pada individu misalnya kematian orang yang disayangi,

kecelakaan, penyakit akut maupun kronis.

6. Dampak Stres

Stres yang berat akan menyebabkan perilaku yang tidak efisien

dan tidak efektif, tidak mampu memanfaatkan sumber daya yang

adaptif, dan sedikit menggunakan sistem. Dalam kasus yang cukup

berat, stres bisa membebani dan mempengaruhi kepribadian. Pada

sistem fisiologis dapat menyebabkan kelemahan dan menurunkan

kemampuan seseorang dalam melawan virus atau bakteri, sedangkan

(42)

yang semakin menyempit dan proses kognisi yang rigid (Fauziah,

2005).

Bagi keluarga-keluarga yang tidak berhasil keluar dari tekanan

hidup dan memiliki level stres yang tinggi akan mempengaruhi

pandangan FQoL (Family Quality of Live) sebuah keluarga. Mereka

memaknai kesehatan keluarga yang buruk, kesejahteraan ekonomi yang

rendah, relasi keluarga yang kurang harmonis, sedikit mendapat

dukungan sosial dan dukungan bagi anak, dan sedikit meluangkan

waktu bagi keluarga untuk kegiatan kebersamaan serta interaksi sosial

yang terbatas dengan komunitas (Hartanto, 2013).

Sebagian besar remaja memiliki hambatan-hambatan dalam

kehidupan mereka. Banyak dari remaja yang mengalami berbagai

permasalahan yang disebabkan kurangnya perhatian, kasih sayang dan

bimbingan dari orang tua. Hal ini akan mengganggu kesehatan fisik dan

emosi mereka, menghancurkan motivasi dan kemampuan menuju

sukses di sekolah, dapat merusak hubungan pribadi mereka serta

berdampak pada tingkat stres yang dialami (Kristanti, 2013).

7. Penilaian Stres

Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk menilai stres

adalah sebagai berikut.

a. Depression Anxiety and Stress Scale (DASS)

DASS dikembangkan oleh Australian Center of

Posttraumatic Mental Health dengan skala Likert. Kuesioner ini

(43)

25

mengukur keadaan emosional negatif seperti depresi, ansietas,

dan stres. Masing-masing dari tiga skala berisi 14 pertanyaan

dibagi menjadi sub skala 2-5 item dengan isi yang serupa.

Skala depresi menilai disporia, keputusasaan, devaluasi

diri, kurang minat, anhedonia dan inersia. Skala kecemasan

menilai efek otot dan saraf otonom, kecemasan situasional dan

pengalaman subjektif mengenai kecemasan. Skala stres menilai

kesulitan berelaksasi, gugup, mudah marah, lebih reaktif dan

tidak sabar.

b. Stress Indicators Questionnaire

Kuesioner ini menggunakan skala Likert dengan jumlah

pertanyaan 73 yang terdiri dari 5 indikator yaitu 21 pertanyaan

untuk physical indicators, 5 pertanyaan untuk sleep indicators,

17 pertanyaan untuk behavior indicators, 21 pertanyaan untuk

emotional indicators, dan 9 pertanyaan untuk personal habits.

Stres dinilai berdasarkan jumlah skor masing-masing indikator

dengan level sangat rendah, sedang, tinggi, sangat tinggi, dan

bahaya.

c. NSAD Stress Questionnaire

Kuesioner ini dibuat oleh International Stress Management

Association UK yang terdiri dari 25 pertanyaan dengan skala

Guttman dengan nilai 1 untuk jawaban ya dan nilai 0 untuk

(44)

C. Stres Saudara Kandung

Saudara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan

sebagai orang yang seibu dan seayah ataupun hanya seibu atau seayah

baik itu kakak maupun adik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2013).

Definisi sibling relationship menurut Cicirelli (1995) dalam

Rinaldhy (2008) adalah interaksi total (fisik, verbal, dan komunikasi

non verbal) dari sua atau lebih individu yang mempunyai orang tua

biologis sama dimana mereka memiliki keterikatan dalam pengetahuan,

persepsi, sikap, kepercayaan dan perasaan sepanjang masa, sejak

seorang saudara kandung menyadari kehadiran saudaranya yang lain.

Saudara kandung dapat menjadi ujian atas sesuatu yang tidak

ingin dialami oleh saudara, dan mereka cenderung saling menggunakan

satu sama lain untuk perbandingan. Mereka saling mempengaruhi satu

sama lain, mereka memberikan suasana aman untuk mengalami

perilaku dan peran baru sebelum mengalaminya dengan orang tua atau

teman sebaya yang bukan keluarga (Wong, 2009).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ambarini (2006) menunjukkan bahwa saudara kandung dari anak autisme memiliki perasaan yang berubah-ubah terhadap saudara autisme mereka. Hal ini dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, dan urutan lahir (birth order) saudara kandung.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012) pada remaja putra

dan putri dengan obesitas didapatkan hasil bahwa remaja putri

(45)

27

obesitas lebih merasa tidak mampu mengatasi masalah, merasa dirinya

terabaikan oleh orang lain, lebih cemas atau tertekan, sering merasa

bosan, dan mengubah pola minum, merokok, atau makan.

Perbedaan ini disebabkan karena pada saat stres laki-laki cenderung

menggunakan mekanisme problem-focus coping sementara perempuan

cenderung menggunakan mekanisme emotional focused coping.

Penelitian yang dilakukan oleh Rubin (dalam Hastuti, 2013) pria lebih

cenderung untuk memilih problem-focused coping, sedangkan wanita

cenderung untuk memilih emotion-focused coping.

Pria cenderung menggunakan problem-focused coping karena pria

biasanya menggunakan rasio atau logika sehingga mereka lebih

memilih untuk langsung menyelesaikan masalah yang dihadapi atau

langsung menghadapi sumber stres. Sedangkan wanita dikatakan lebih

cenderung menggunakan emotion-focused coping karena mereka lebih

menggunakan perasaan atau lebih emosional sehingga mereka

cenderung untuk mengatur emosi mereka dalam menghadapi sumber

stres (Rubin) dalam (Hastuti, 2013).

(46)

Urutan lahir (birth order) mempengaruhi peran saudara kandung dimana saudara kandung yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan saudara autismenya, lebih diberikan peran mengasuh dan sebagai pendisiplin bagi saudara autismenya. Saudara sekandung yang lebih muda kehilangan teman bermain yang normal, role model, dan sebagian berperan sebagai anak yang lebih tua daripada saudara autisme mereka. Ketika bermain tidak terjadi hubungan komunikasi dua arah sehingga sulit bagi saudara kandung untuk menjalin hubungan yang memuaskan dengan saudaranya (Ambarini, 2006).

Anggota keluarga yang mempunyai penyakit serius atau memiliki

keterbatasan dapat menyebabkan stres yang signifikan bagi kehidupan

keluarga. Hanya dengan perkembangan individu, perkembangan

keluarga mungkin akan terganggu atau mungkin mengalami

kemunduran dalam mencapai fungsi keluarga (Wong, 2006).

Selain stres yang dapat terjadi pada orang tua yang memiliki anak

dengan autisme, stres juga dapat dialami oleh saudara kandung.

Keadaan autisme ini dapat menyebabkan beberapa dari saudara

kandung merasa malu atau dipermalukan, dan mungkin secara

bersamaan merasa bersalah, marah dan cemburu terhadap saudaranya

yang sakit. Selain itu, untuk dapat berpartisipasi dalam aktivitas

ekstrakulikuler, ataupun kegiatan sosial akan berkurang karena

kebiasaan sehari-hari terbebani oleh kondisi saudaranya yang sakit

(47)

29

Beberapa faktor misalnya ukuran keluarga dan jarak usia anak

tampaknya mempengaruhi penyesuaian saudara kandung. Namun,

faktor yang paling penting adalah perasaan, persepsi, dan reaksi orang

tua (Wong, 2009). Sibling rivalry juga terjadi ketika jarak terlalu dekat

yaitu 2-4 tahun karena pada jarak tersebut anak sama-sama menuntut

mendapatkan perhatian yang sama (Woolfson, 2005).

Autism Society of America menjelaskan jenis stres yang biasa

dihadapi oleh saudara nonautistik diantaranya kecemburuan selama

orang tua menghabiskan waktu dengan saudara autisme, malu setiap

berada di masyarakat, dan rutinitas saudara autisme yang membuat

keluarga lebih fokus. Saudara nonautistik merasa frustrasi atas kesulitan

interaksi sosial dengan saudara autismenya, dan sering menjadi target

perilaku saudara autisme agresif. Selain itu, saudara nonautistik merasa

khawatir tentang orang tua yang stres, namun takut untuk diberi beban

untuk merawat saudara autismenya (Autism Society of America, 2012).

Masa kanak-kanak pertengahan (6-12 tahun), perkembangan fisik,

kognitif, dan sosial meningkat. Anak mulai mengembangkan

kemampuan berkomunikasi, kecepatan dan kehalusan motorik

meningkat, keterampilan lebih individual, ingin terlibat dalam segala

hal, menyukai kelompok, dan mencari teman secara aktif (Nasir dan

Muhith, 2011).

Erik H. Erickson dalam teori perkembangan kepribadiannya

menyebutkan pada usia sekolah (6-12 tahun) dunia sosial anak meluas

(48)

dan orang dewasa lainnya. Namun anak juga dapat mengalami perasaan

inferior yang terjadi akibat ketidaksuksesan perkembangan

keterampilan dan mencari teman (Nasir dan Muhith, 2011). Rasa

inferioritas yakni perasaan kurang berharga dapat diperoleh dari anak

itu sendiri maupun lingkungan sosial mereka. Banyak anak mengalami

stres akibat konflik di rumah, lingkungan sekolah, dan komunitas

lingkungan (Wong, 2009).

Jika dilihat berdasarkan teori tugas perkembangan menurut Robert

Havighurst dalam Nasir dan Muhith (2011), menyebutkan tahap

perkembangan anak usia sekolah diantaranya belajar bergaul dengan

teman sebaya, belajar peran sosial terkait dengan maskulinitas dan

feminitas, mengembangkan konsep-konsep yang dibutuhkan dalam

kehidupan sehari-hari, membangun moralias, pencapaian kemandirian

dan membangun perilaku dalam kelompok sosial maupun institusi

(sekolah).

Teori perkembangan kognitif Piaget juga menjelaskan bahwa pada

usia 8-11 tahun anak memasuki tahap operasional konkret dimana anak

mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan

untuk bisa memecahkannya. Sedangkan berdasarkan teori

perkembangan moral Kohlberg, anak usia 9-11 tahun memasuki tingkat

morelitas konvensional dimana keinginan untuk menyenangkan dan

membantu orang lain merupakan hal yang paling sering (Nasir dan

(49)

31

Wong (2009) mengkategorikan remaja dalam tiga tahap yaitu usia

11-14 tahun merupakan periode remaja awal, usia 15-17 tahun periode

remaja pertengahan, dan usia 18-20 tahun sebagai periode remaja akhir.

Ketika anak memasuki usia remaja, pemikiran dan perilaku mereka

berfluktuasi antara masa anak dan masa dewasa. Mereka tumbuh

dewasa dan dengan cepat menuju ke arah kematangan yang mungkin

melampaui koping mereka (Wong, 2009). Banyak hal yang dialami dan

terjadi pada masa remaja. Apabila masa ini tidak ditangani secara

bijaksana dan dihadapi dengan baik maka timbul stres yang berdampak

pada kedewasaan seseorang (Mumpuni & Wulandari, 2010).

Pada remaja, konsep diri berubah sesuai dengan perkembangan

biologis, lebih menyesuaikan diri dengan standar kelompok, dan timbul

perasaaan takut ditolak oleh teman sebaya. Pada tahap ini hubungan

anak dengan orang tua mencapai titik terendah dimana anak mulai

melepaskan diri dari orang tua. Suasana hati berubah-ubah (emosi labil)

sehingga stres meningkat terutama pada saat terjadi konflik (Nasir dan

Muhith, 2011).

Pada remaja dapat terjadi kegagalan dalam mengembangkan rasa

identitas, yaitu kebingungan peran, yang sering muncul dari perasaan

tidak adekuat, isolasi, dan keragu-raguan. Remaja memiliki tugas

perkembangan yaitu membina hubungan baru yang lebih dewasa

dengan teman sebaya, pencapaian peran sosial, dan pencapaian

kemandirian emosi baik dari orang tua, saudara, maupun orang lain

(50)

Bagan 2.1. Kerangka Teori

Sumber: Nasir dan Muhith (2011), Maramis (2004), Fauziah (2005), Kristanti (2013), Ambarini (2006)

- Perilaku yang tidak efisien dan tidak efektif - Mengganggu kesehatan fisik dan

emosi

- Menghancurkan motivasi

(51)

33

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah hubungan atau kaitan antara suatu konsep

dengan konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka

konsep berguna untuk menghubungkan dan menjelaskan secara rinci

tentang suatu topik yang akan dibahas (Setiadi, 2007).

Berdasarkan teori yang telah diuraikan pada tinjauan pustaka, maka

peneliti membuat kerangka konsep untuk memudahkan mengidentifikasi

konsep-konsep sesuai penelitian sehingga dapat dimengerti.

Penelitian ini mengunakan metode penelitian kuantitatif dengan

desain deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan tingkat stres pada

saudara kandung dengan anak autisme.

Bagan 3.1. Kerangka Konsep Penelitian Stres pada saudara kandung dengan anak

autisme

Karakteristik Saudara Kandung:

- Jenis kelamin - Usia

- Urutan lahir Diteliti

(52)

A. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian

No. Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur

Skala

Ukur

1 Karakteristik

Responden

a. Usia Usia saudara kandung dengan

anak autisme terhitung dari

lahir sampai dengan usia saat

ini.

Kuesioner data demografi 1. Anak (8-10 tahun)

2. Remaja awal (11-14 tahun)

3. Remaja pertengahan (15-17

tahun)

4. Remaja akhir (18 tahun)

(Wong, 2009)

(53)

35

Jenis kelamin saudara

kandung dengan anak

autisme.

Saudara kandung merupakan

kakak atau adik dari anak

autisme

Saudara kandung dengan

(54)

No. Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur

Skala

Ukur

2 Stres saudara

kandung

Stres yang dialami oleh

saudara kandung yang

mempunyai saudara autisme.

Kuesiner yang digunakan adalah

kuesioner yang dibuat oleh peneliti

dengan mengacu pada teori yang

dikemukakan oleh Taylor (1991) dalam

Videbeck (2008). Kuesioner terdiri dari

30 pertanyaan yang terdiri dari 4 respon

stres yaitu respon fisiologis, kognitif,

psikologis, dan tingkah laku. Dari 30

pertanyaan 12 item favorable dan 18

item unfavorable. Kuesioner

menggunakan skala Gutman, yaitu 0 =

tidak dan 1 = ya. Uji normalitas

 Nilai respon stres:

0 = tidak stres, jika skor <

median (<6,5)

1 = stres, jika skor > median

(>6,5)

(55)

37

No. Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur

Skala

Ukur

menggunakan Shapiro-Wilk dengan

nilai 0,007 distribusi tidak normal.

 Respon psikologis sebanyak 8 item

pertanyaan (nomor 1-8),

 Respon kognitif sebanyak 7 item

pertanyaan (nomor 9-15),

 Nilai respon stres fisiologis:

0 = tidak stres, jika skor <

median (<2,0)

1 = stres, jika skor > median

(>2,0)

 Nilai respon stres kognitif:

0 = tidak stres, jika skor <

median (<2,0)

1 = stres, jika skor > median

(56)

No. Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur

Skala

Ukur

 Respon psikologis sebanyak 8 item

pertanyaan (nomor 16-22, nomor

30),

 Respon tingkah laku sebanyak 7

item pertanyaan (nomor 23-29).

 Nilai respon stres psikologis:

0 = tidak stres, jika skor <

median (<2,0)

1 = stres, jika skor > median

(>2,0)

 Nilai respon stres tingkah laku:

0 = tidak stres, jika skor <

median (<1,5)

1 = stres, jika skor > median

(57)

39

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan desain

deskriptif. Penelitian deskriptifadalah metode penelitian yang dilakukan

dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan

secara objektif. Metode ini digunakan untuk memecahkan atau menjawab

permasalahan yang sedang diteliti. Langkah-langkah yang dilakukan dalam

metode ini antara lain pengumpulan data, pengolahan data, membuat

kesimpulan dan laporan. (Setiadi, 2007). Pada penelitian ini akan

memberikan gambaran stres pada saudara kandung dengan anak autisme.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlokasi di beberapa sekolah yang terletak di wilayah

Tangerang Selatan. Sekolah yang menjadi lokasi penelitian ini ada empat

sekolah yaitu Sekolah Khusus Al-Ikhsan, Sekolah Khusus Putra Putri

Mandiri, Sekolah Khusus Nur Asih dan Terapi Wila Kertia.

Lokasi penelitian dipilih karena belum pernah ada yang meneliti

terkait stres saudara kandung pada anak autisme di sekolah-sekolah tersebut.

Penelitian mulai dilaksanakan pada bulan Juni 2014, mulai dari

(58)

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan

karakteristik tertentu yang akan diteliti (Hidayat, 2007). Populasi

dalam penelitian ini adalah saudara kandung dari murid penderita

autisme di beberapa SLB di wilayah Tangerang Selatan yaitu Sekolah

Khusus Al-Ikhsan, Sekolah Khusus Putra Putri Mandiri, Sekolah

Khusus Nur Asih dan Terapi Wila Kertia yang berjumlah 30 orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian-bagian dari populasi yang dipilih

berdasarkan kemampuan mewakilinya (Setiadi, 2007). Pengambilan

sampel menggunakan teknik nonprobability sampling dengan

sampling jenuh dimana semua anggota populasi dijadikan sampel.

Sampel penelitian ini adalah populasi saudara kandung dari murid

penderita autisme di beberapa SLB di wilayah Tangerang Selatan

yaitu Sekolah Khusus Al-Ikhsan, Sekolah Khusus Putra Putri Mandiri,

Sekolah Khusus Nur Asih dan Terapi Wila Kertia yang berjumlah 30

orang.

Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah:

a. Saudara kandung dari murid autisme di SLB di wilayah

Tangerang Selatan yang berusia dalam rentang 8-18 tahun.

(59)

41

c. Tidak sedang mengalami sakit pada saat pengambilan

data.

d. Saudara kandung hanya mempunyai satu saudara autisme.

D. Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan total sampling sebagai teknik dalam

pengambilan sampel. Total sampling adalah teknik pengambilan sampel

dimana jumlah sampel sama dengan populasi (Dahlan, 2010). Jumlah

sampel dalam penelitian ini adalah jumlah populasi saudara kandung dari

murid penderita autisme di beberapa SLB di wilayah Tangerang Selatan

yaitu Sekolah Khusus Al-Ikhsan, Sekolah Khusus Putra Putri Mandiri,

Sekolah Khusus Nur Asih dan Terapi Wila Kertia yang berjumlah 30 orang.

Jumlah sampel ada 52 orang, namun 18 orang tidak mengembalikan

kuesioner kepada peneliti dikarenakan lupa, tidak sempat mengisi, dan

lembar kuesioner hilang. Sedangkan 4 orang menolak untuk menjadi

responden dikarenakan saudara kandung sedang tidak di rumah, saaudara

kandung tidak tinggal serumah dengan orang tua, dan ada orang tua yang

tidak bersedia sehingga jumlah sampel yang bisa menjadi responden

sebanyak 30 orang.

E. Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat untuk

pengumpulan data. Kuesioner merupakan suatu cara pengumpulan data

Gambar

gambaran stres pada saudara kandung dengan anak autisme dan bagaimana
gambaran stres pada saudara kandung dengan saudara autisme kepada
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian
Tabel 4.1. Blue Print Skala Respon Stres
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi / karya ilmiah saya, dengan judul : VALIDASI METODE ANALISIS CAMPURAN VITAMIN B 1 , B 2 , DAN B 6 DALAM SEDIAAN

Pemeriksaan kadar hCG pasca evakuasi mola komplit dianjurkan setiap dua minggu pasca evakuasi,(1, 2, 5) hingga terjadi normalisasi (&lt;5 mIU/ml) hingga tiga bulan, kemudian

Track roller yang terdapat pada sebuah undercarriage berfungsi sebagai pembagi berat unit ke track dan sebagai pengarah track link , bukan untuk menggulung track.. Track

 DALAM PENELITIAN KESEHATAN HARUS ADA NORMA YANG DIIKUTI YAITU APA YG BOLEH / TIDAK BOLEH DILAKUKAN  PENELITIAN HARUS DILAKUKAN9.

Kecepatan angin di daerah yang lebih terbuka di tepian pantai lebih besar dari pada dari perbukitan sehingga rumah adat di Kampung Ratenggaro perlu tambahan horisontal bracing

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Pengetahuan petani peserta PKM mengenai pengaturan produksi komoditas sayuran mengalami peningkatan dari kategori

(3) Untuk mengetahui kreativitas guru PAI dalam penggunaan metode demonstrasi untuk meningkatkan pemahaman materi pada peserta didik. Skripsi ini bermanfaat bagi