• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

KENDALA YANG DIHADAPI KEJAKSAAN DALAM

A. Kendala yang Dihadapi Jaksa dalam Pemberantasan Korups

2. Kendala Non Yuridis

Kejujuran aparat penegak hukum termasuk kejaksaan yang memiliki kewenangan sebagai penuntut dan penyidik tindak pidana korupsi sangatlah penting adanya.apabila kewenangan tersebut disalahgunakan maka kepercayaan masyarakat akan kinerja lembaga ini akan berkurang.

Undang-Undang No:16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia memberikan landasan hukum yang kuat untuk melaksanakan penyidikan beserta kelanjutannya menyangkut tindak pidana tertentu, termasuk diantaranya tindak pidana Korupsi. Oleh karena itu Kejaksaan sangat dituntut kemampuan serta tanggung jawabnya untuk melaksanakan tuntutan keinginan maupun harapan masyarakat. Dengan kata lain bidang tindak pidana khusus

harus meningkatkan kinerja yang baik dengan cara mengevaluasi pelaksanaan tugas, memecahkan permasalahan yang timbul diseluruh tahapan mulai penyidikan, penuntutan sampai upaya hukum dan eksekusi84

Dampak dari citra yang terbentuk terhadap Kejaksaan telah menimbulkan ketidakpercayaan pada masyarakat. Hal ini perlu diatasi dengan adanya pendekatan lembaga dan sosialisasi konsep pemberantasan korupsi yang strategis. Harus diakui bahwa partispasi masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana

. Faktor kinerja aparat yang tidak bagus dimata masyarakat telah menjadi kelemahan intenal Kejaksaan, di mana sumber daya manusia yang belum menunjukkan integritas tertinggi bagi bangsa dan negaranya.

Profesionalisasi Jaksa dalam pengumpulan bukti-bukti terjadinya kasus korupsi, haruslah cermat dan kuat secara yuridis tanpa terkontaminasi aspek lain yang bukan ranah kewenangannya. Untuk mencapai profesionalisme ini tidak ada pilihan lain kecuali berlatih dan terus belajar (menambah wawasan pengetahuan), menyangkut tugas dan wewenangnya selaku pejabat fungsional di bidang penegakan hokum, walaupun tunjangan kesejahteraannya masih belum memadai, seoarang yang berpredikat Jaksa dituntut untuk memberikan yang terbaik kepada bangsa dan Negara sebagai wujud pengabdian.

Berbagai cobaan dan godaan yang datang, tidak akan ada artinya jika dihadapi dengan kejujuran dan kepribadian yang tangguh aspek moralnya, ingat prinsip ketika menjadi awal mahasiswa hukum yaitu; Fiat Juticia Ruatcoelum

yakni meskipun langit akan runtuh, keadilan harus ditegakkan.

84

korupsi, mampu mewujudkan iklim kondusif dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu upaya terobosan untuk mengoptimalkan peran masyarakat beserta perangkat sosial yang dimilikinya, yakni budaya. Selama ini reaksi masyarakat terhadap perilaku korupsi masih sangat minim. Korupsi masih merupakan “peristiwa elit” dan hanya kalangan tertentu saja yang menggagap sebagai sebuah kejahatan besar sehingga harus diperangi. Umumnya masyarakat kurang peduli terhadap korupsi dan seolah terlepas dari kehidupan sehari-hari85

Sebagai aparat penegak hukum, Jaksa harus dapat menghindarkan tindak tanduknya dari budaya- budaya seperti memberi suap, upeti, imbalan jasa, dan hadiah. Hal ini terjadi karena adanya kepentingan dari pihak- pihak lain dalam

.

Dalam kontek budaya, korupsi belum menjadi kata yang menggetarkan di dalam sukma masyarakat. Kata korupsi belum mengalirkan makna yang kuat dan jelas sehingga siapapun yang mendengarnya akan secara spontan memberikan reaksi-reaksi tertentu dengan cepat. Berbeda dengan misalnya kata maling, copet atau rampok. Untuk sebagian besar masyarakat kita, kata tersebut telah memiliki pengertian dan makna yang jelas dalam alam pikir dan kehidupan sehari-hari. Bila suatu saat ada orang berteriak keras menyebut kata tersebut disuatu tempat, maka percayalah secara spontan masyarakat yang mendengarnya akan memberikan reaksi cepat dan spontan.

85

korupsi

kasus korupsi tersebut sehingga membawa kesulitan bagi Kejaksaan untuk mengungkap kasus- kasus korupsi yang masuk86

Berdasrkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Junaidi, SH sebagai Kasi Intelejen Kejaksaan Negeri Binjai, yang menyatakan bahwa adapun hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum khusunya Jaksa sebagai penuntut umum sekaligus menjadi penyidik tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut

.

87

1. Adapun biaya penanganan perkara tidak sebanding dengan jumlah laporan yang masuk di Kejaksaan Negeri Binjai.

:

2. Jumlah personil Jaksa yang menyidik tidak sebanding dengan jumlah laporan yang masuk di Kejaksaan Negeri Binjai.

3. Jumlah perkara pidana umum yang masuk ke Kejaksaan Negeri Binjai lebih banyak sehingga perkara korupsi tidak dapat di sidik semana mestinya.

4. Saksi dan terdakwa yang terlalu lama karena sering berpindah- pindah tempat tinggalnya, sehingga menjadikan penyidikan memakan waktu yang lama. 5. Kesulitan yang timbuk adalah dalam hal penyidik untuk menemukan harta

benda tersangka atau keluarganya yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi untuk disita sebagai barang bukti. Penyitaan sangat penting untuk mengembalikan keuangan negara yang telah dikorupsi, untuk digunakan untuk pembangunan.

Dalam tahun 2010 sedikitnya 700 kasus tindak pidana umum yang ditangani di Pengadilan Negeri Binjai. Jumlah perkara meningkat 20 persen

86

Edi Yunara, op cit

87

Hasil wawancara dengan Junaidi Lubis,SH, Kasi Intelejen Kejaksaan Negeri Binjai pada tanggal 19 Desember 2011

dibanding tahun 2009 yang hanya 500 perkara. Dari jumlah tersebut, kasus narkoba paling banyak ditangani sekitar 40 persen.

Data Perkara Korupsi pada Tahap Penyidikan

Periode Tahun 2009-2011

Sumber : Laporan Tahunan Kejaksaan Negeri Binjai 2009-2011

Data Hukum dan Grasi Tindak Pidana Korupsi Tahun 2010-2011 di

Kejaksaan Negeri Binjai

Jenis Tindak pidana

dan upaya Hukum

2010 2011

Banding 1 kasus 1 kasus

Kasasi - 4 kasus

Peninjauan Kembali - -

Grasi - -

No. Tahun Penyidik Kejaksaan Negeri

Binjai 1 2 3 2009 2010 2011 3 kasus 3 kasus 6 kasus

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasikl wawancara lansung yang penulis lakukan di Kejaksaan Negeri Binjai terungkap bahwa data terbaru pada tahun 2009 ada 3 kasus penyidikan, tahun 2010 ada 3 kasus penyidikan, dan tahun 2011 ada 6 kasus dalam penyidikan.

Data Penangan Perkara Korupsi dalam Tahap Penyidikan

dan Penuntutan di Kejaksaan Negeri Binjai

pada Bulan Mei Tahun 2010 dan 2011

Penyidikan Penuntutan

9 perkara yang terdiri :

- Tindak pidana korupsi selaku pejabat pembuat komitmen proyek pada Pembangunan Prasarana dan Sarana Dasar Pemukiaman Berbasis Masyarakat tahun 2009, biaya proyek Rp.851.500.000,-. - Tindak pidana korupsi selaku direktur

sebuah CV dalam proyek fasilitas pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat tahun 2009, biaya proyek Rp. 851.500.000,- - Tindak pidana korupsi selaku direktur

3 kasus yang terdiri dari: - Kasus yang sama

- Kasus yang sama

sebuah CV Lancang kuning dalam pembangunan pelaksanaan proyek fasilitasi prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat, biaya proyek Rp. 851.300.000,-

- Tindak pidana korupsi selaku bendahara pengeluaran bidanag bina marga yang berasal dari anggaran swakelola pemeliharaan jalan dan jembatan tahun 2010 pada Dinas Pekerajaan Umum Binjai, biaya proyek Rp.4.500.000.000,- - Tindak pidana korupsi selaku bendahara

pengeluaran bidang cipta karya dan pengairan, biaya proyek Rp. 4.500.000.000,- .

- Tindak pidana korupsi selaku direktur CV Ikhsan proyek fasilitasi pembangunan prasarana dan sarana dasar pemukiman berbasis masyarakat tahun 2009, biaya proyek Rp. 530.000.000 .

- Tindak pidana korupsi selaku direktur CV.Raka Putra proyek fasilitasi pembangunan prarana dan sarana dasar

pemukiman berbasis masyarakat, biaya proyek Rp.859.000.000,-

- Tindak pidana korupsi selaku direktur CV.Karya Binjai dengan kasus yang sama seperti di atas dengan biaya proyek Rp.811.000.00,-

- Tindak pidana korupsi selaku kepala Dinas Umum kota Binjai dalam pembangunan jalan dan jembatan sistem swakelola tahun 2010 biaya proyek Rp.4.500.000.000,-

Sumber : Laporan Bulanan Kegiatan Penyidikan Tindak Pidana Khusu Bulan Mei tahun 2011

Data penyelamatan keuangan Negara Periode Juni 2010 dan Agustus 2011

Berdasarkan Putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap

No. Jenis pengembalian uang Nilai Pengembalian

(Rp) bulan Juni 2010 Nilai Pengembalian (Rp) bulan Agustus 2011 1 2 3 Denda Biaya perkara Uang pengganti 50 juta + 75 juta 10 ribu - 50 juta 5 ribu 235.461.754,64

Keberhasilan kejaksaan dalam mengungkap kasus korupsi tidak lepas adanya peran serta dari beberapa pihak seperti halnya Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Presiden pun merupakan orang nomor satu di pemerintahan yang juga sangat berperan dalam pemberantasan korupsi.

Prestasi dan keberhasilan menjalankan tugas dan wewenangnya ada juga sebagian dari mereka tercoreng namanya akibat ulag beberapa jaksa yang nakal. Mengingat lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dirasakan paling riskan dipengaruhi kultur feodalisme karena langsung di bawah kendali presiden, maka pengawasan masyarakat dan LSM harus ekstra ketat terhadap dua lembaga tersebut. Memang ada juga kekhawatiran bahwa sebagian LSM juga bisa dibayar,

yang mau bergerak jika dibayar, dan tidak mau bergerak kalau penguasa bilang tidak boleh, namun LSM demikian hanyalah sebagian kecil88

88

Sumber: www.beritaindonesia.co.id/.../feodalisme-hambat-pemberantasan-korupsi .

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasanyang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut, masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB). Peraturan

Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949. Undang- Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP.

2. Pengaturan hukum dan kedudukan Jaksa di Indonesia awal adanya UU No. 15 tahun 1961 tentang Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, kemudian kejaksaan ditingkatkan menjadi Departemen Kehakiman pada tanggal 22 Juli 1991 UU No.5 tahun 1991 mengenai kedudukan, organisasi, jabatan, tugas dan wewenang kejaksaan untuk menggantikan UU No.15 tahun 1961 yang sudah tidak sesuai lagi. Kemudian UU No.5 tahun 1991 digantikan dengan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaab Republik Indonesia.

3. Peranan jaksa dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan dengan cara penal policy (memakai ketentuan pidana), Usaha pemberantasan kejahatan lewat pembuatan undang- undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan pemberantasan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana) , maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap formulasi/ kebijakan legislasi yang merupakan tugas dari aparat pembuat undang- undang, harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial. Dalam sarana penal sendiri, Kejaksaan harus melakukan koordinasi aparat- aparat penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan. Sedangkan secara nonpenal, dilakukan dengan mengingat faktor korelatif

terjadinya tindak pidana korupsi yang erat kaitannya dengan persoalan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya.

4. Kendala- kendala yang dihadapi Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah kendala yuridis dan non yuridis. Kendala yuridis menyangkut perundang- undangan yang tidak jelas dan kurang mempercepat pemberantasan tindak pidana korupsi, Sulitnya mengungkap pelaku tindak pidana korupsi juga diakibatkan adanya kegagalan Jaksa Penuntut Umum dalam memberikan alat bukti yang dapat meyakinkan Hakim, dan dalam penangannya membutuhkan konsentrasi serta pemahaman yang tepat terhadap Undang- undang Korupsi. Sedangkan kendala nonyuridis, berupa faktor aparat penegak hukum yaitu kurangnya sumber daya manusia dalam menangan kasus korupsi dan masih jauh dari yang diharapkan yaitu adanya kejujuran dan kedisiplinan dari kejaksaan tersebut. Faktor lainnya adalah budaya yang sangat buruk dalam instansi Kejaksaan, misalnya saja adanya budaya memberi suap, imbalan jasa dalam pelaksanaan tugas di Kejaksaan.

B.Saran

ada beberapa hal yang penulis sarankan dengan hasil penelitian terhadap Kejaksaan Negeri Binjai dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi yaitu:

1. Diperlukannya pengaturan hukum secara tegas dalam menentukan kewenangan Jaksa untuk menyidik tindak pidana korupsi di dalam UU No.31 Tahun 1999 yang telah di ubah menjadi UU No.20 Tahun 2001.

2. Diperlukannya peningkatan koordinasi antara penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi baik secara penal maupun nonpenal sehubungan dengan peran jaksa sebagai penyidik sekaligus sebagai penuntut umum dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. Jaksa juga harus secara sigap dan cepat dalam melakukan penyidikan sehingga tidak sulit dalam menemukan harta benda tersangka dan keluarganya sebagai barang bukti yang dibutuhkan.

3. Peran masyarakat juga penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Jika ada kerjasama yang baik antara masyarakat dan aparat serta Kejaksaan maka dengan mudah akan didapatkan laporan- laporan tentang adanya oknum yang jaksa yang telah menerima suap. Laporan yang diberikan masyarakat terkait dengan adanya suap yang dilakukan aparat dan jaksa harusnya ditindak secara tegas dan direspon dengan cepat, sehingga upaya pemberantasan tindak pidana korupsi bisa menjadi lebih mudah dalam pengerjaannya.

Bebrapa saran penulis tersebut hanyalah sebagian kecil saja yang dapat dilakukan oleh aparat dan para Jaksa kita. Masih banyak lagi hal- hal yang dapat dilakukan, agar nama baik Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum menjadi baik dan penting dalam sistem peradilan pidana, sehingga dapat menimbulkan kepercayaan lagi terhadap masyarakat.