PERANAN KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KOTA BINJAI
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
ARIZA PRATAMA NIM. 070200044
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
PERANAN KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KOTA BINJAI
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
ARIZA PRATAMA NIM. 070200044
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, SH, MH
Pembimbing I
Liza Erwina, SH.M.Hum
Pembimbing II
Dr, Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
ABSTRAKSI
*Ariza Pratama **Liza Erwina,SH,M.Hum
***DR. Mahmud Mulyadi, SH,M.Hum
Tindak pidana korupsi telah menjadi gaya hidup orang banyak di Indonesia sekarang ini, orang- orang yang banyak melakukan korupsi mulai dari pusat sampai daerah. Di Indonesia saja tindak pidana korupsi meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini membawa dampak buruk terhadap perekonomian nasional. Orang- orang yang menduduki jabatan strategis pada instansi negara/ pemerintahan, berlomba- lomba melakukan tindak pidana korupsi. Saat ini skala korupsi jauh lebih luas, lebih sistematis, dan lebih canggih. Praktek korupsi yang meningkat telah menjadi masalah yang serius bagi upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama di lembaga Kejaksaan yang berwenang sebagai Penuntut Umum dan Penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Permasalahan yang diuraikan dalam tulisan skripsi ini adalah hal- hal mengenai bagaimana pengaturan hukum dan kedudukan Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana di jelaskan bagaimana Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, serta bagaimana kendala- kendala yang dihadapi Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan dan pembahasan skripsi ini adalah secaya yuridis normatif dan yuridis empiris. Secara yuridis normatif yakni melakukan pengumpulan data melalui bahan kepustakaan hukum maupun peraturan perundang- undangan. Sedangkan yuridis empiris dengan melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara yang penulis lakukan di Kejaksaan Negeri Binjai.
Berdasarkan temuan data yang ada saat ini, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan Kejaksaan baik secara penal dan nonpenal belum dapat dikatakan maksimal dan masih bayak terdapat kendala dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, sehingga pemberantasan perkara korupsi menjadi kurang optimal. Hal ini menjadi tugas bagi Kejaksaan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, kejaksaan berupaya meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya, terutama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi masalah serius dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kata Kunci: Peranan Kejaksaan, Tindak Pidana Korupsi
*Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I; Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Pertama tama Penulis ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Allah
SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan baik dan tepat waktu.
Adapun tujaun dari penulisan skripsi yang berjudul “Peranan Kejaksaan
dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Kota Binjai” adalah untuk
memenuhi persyaratan kelulusan dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara untuk meraih gelar sarjana hukum.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena
masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penulisan. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati penulis memohon kemurahan pembaca kiranya
memberikan masukan dan kritik membangun bagi penyempurnaan penulisan
skripsi ini.
Dalam proses penulisan ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari
berbagia pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar- besarnya kepada :
1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.Hum. sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara serta para Pembantu Dekan.
2. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan masukan, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam
3. Bapak DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum sebagai Dosen Pmbimbing II
yang telah memberikan masukan, bimbingan dan arahan kepada penulis
dalam penulisan skipsi ini.
4. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum USU yang telah mendidik dan
membina penulis selama masa perkuliahan.
5. Seluruh staf Departemen Hukum Pidana khususnya dan seluruh staf
Administrasi Fakultas Hukum USU di mana penulis menimba ilmu selama
ini.
6. Kedua orang tua penulis tercinta ( H. Athaillah, SE dan Hj. Ita Zurahma,
Sos), kepada Bapak yang menjadi motivasi dan menjadi penyemangat
penulis selama ini serta kepada Mama yang selalu mendoakan dan
memberikan dukungannya serta memotivasi penulis dalam menyelasaikan
penulisan skripsi ini.
7. Adikku tersayang M. Alfan Theofani yang selalu memberikan dukungan
dan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
8. Kepada teman- teman penulis selama berada di Fakultas Hukum USU
khususnya Karonya Tamsei Peunawa dan Farah Meutia, serta pacar saya
M. Arief dan sahabat saya Devi Andriani Luta yang telah memberikan
semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada semua orang yang telah membantu dan mendukung penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini dan tidak mungkin penulis sebutkan satu
Akhir kata, Penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan, baik itu
kata-kata maupun perbuatan. Semoga yang penulis sajikan dalam skripsi ini dapat
membawa manfaat bagi kita semua.
Medan, Desember 2011
Penulis ,
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI……… i
KATA PENGANTAR……… ii
DAFTAR ISI……….. v
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Permasalahan………. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
D. Keaslian Penulisan
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Peranan
2. Pengertian Kejaksaan
3. Pengertian Tindak Pidana
4. Pengertian Korupsi
F. Metode Penulisan
G. Sistematika Penulisan
BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA
B. Bentuk Tindak Pidana Korupsi, Subyek, dan Pertanggungjawaban dalam
Delik Korupsi
C. Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Menurut UU
Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001
BAB III KEDUDUKAN DAN PERANAN JAKSA DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Peranan Jaksa dari Sudut Pandang Penal Policy dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
B. Peranan Jaksa dari Sudut Pandang Non Penal Policy dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
C. Proses Pemberantasan dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi yang
Dilakukan oleh Jaksa di Kota Binjai
BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI KEJAKSAAN DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Kendala yang Dihadapi Jaksa dalam Pemberantasan Korupsi
1. Kendala Yuridis
2. Kendala Nonyuridis
B. Upaya yang Dilakukan Kejaksaan dalam Menghadapi Kendala
C. Keberhasilan Kejaksaan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
1. Jumlah Perkara yang Ditangani Kejaksaan
2. Hasil wawancara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
ABSTRAKSI
*Ariza Pratama **Liza Erwina,SH,M.Hum
***DR. Mahmud Mulyadi, SH,M.Hum
Tindak pidana korupsi telah menjadi gaya hidup orang banyak di Indonesia sekarang ini, orang- orang yang banyak melakukan korupsi mulai dari pusat sampai daerah. Di Indonesia saja tindak pidana korupsi meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini membawa dampak buruk terhadap perekonomian nasional. Orang- orang yang menduduki jabatan strategis pada instansi negara/ pemerintahan, berlomba- lomba melakukan tindak pidana korupsi. Saat ini skala korupsi jauh lebih luas, lebih sistematis, dan lebih canggih. Praktek korupsi yang meningkat telah menjadi masalah yang serius bagi upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama di lembaga Kejaksaan yang berwenang sebagai Penuntut Umum dan Penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Permasalahan yang diuraikan dalam tulisan skripsi ini adalah hal- hal mengenai bagaimana pengaturan hukum dan kedudukan Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana di jelaskan bagaimana Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, serta bagaimana kendala- kendala yang dihadapi Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan dan pembahasan skripsi ini adalah secaya yuridis normatif dan yuridis empiris. Secara yuridis normatif yakni melakukan pengumpulan data melalui bahan kepustakaan hukum maupun peraturan perundang- undangan. Sedangkan yuridis empiris dengan melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara yang penulis lakukan di Kejaksaan Negeri Binjai.
Berdasarkan temuan data yang ada saat ini, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan Kejaksaan baik secara penal dan nonpenal belum dapat dikatakan maksimal dan masih bayak terdapat kendala dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, sehingga pemberantasan perkara korupsi menjadi kurang optimal. Hal ini menjadi tugas bagi Kejaksaan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, kejaksaan berupaya meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya, terutama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi masalah serius dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kata Kunci: Peranan Kejaksaan, Tindak Pidana Korupsi
*Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**Dosen Pembimbing I; Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum
dan ekonomi bagi suatu negara, karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan
tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk
juga di Indonesia. Korupsi sudah dianggap masyarakat sebagai masalah yang
paling berbahaya di Indonesia. Bahkan, perkembangan masalah korupsi di
Indonesia saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar
biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.1
Korupsi berasal dari kata latin Corupptio atau Corupption yang kemudian
muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corupption,dalam bahasa Belanda
Korupptie dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi.
Istilah korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam
Peraturan Penguasa Perang No. Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan
Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan juga dalam Undang- Undang No.
24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi. Undang- Undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-
Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi, yang
kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang- Undang No. 31
Tahun 1999 dan akan dimulai berlaku efektif paling lambat 2 tahun kemudian (16
1
Agustus 2001), dan kemudian diubah dengan Undang- Undang No. 20 Tahun
2001 tanggal 21 November 2001.2
Korupsi telah banyak terjadi di banyak bidang dalam proses pembangunan,
karena seiring dengan pesatnya pembangunan yang semakin maju, terasa pula
semakin meningkatnya kebocoran- kebocoran dana tenaga pembangunan, terbukti
dalam kasus korupsi yang bermilyar rupiah. Perkembangan masalahkorupsi di
Indonesia sudah sedemikian parahnya dan dianjurkan suatu tindakan tegas,
sehingga timbul ketakutan untuk melakukan tindak pidana korupsi.3
Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi- sendi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh
tindak pidana korupsi sudah masuk dalam katagori “mebahayakan”.4
Praktek korupsi yang semakin meningkat merupakan pekerjaan serius bagi
upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama pihak Kejaksaan. Ketentuan yang
terdapat dalam pasal 2 UU Pokok Kejaksaan No. 15 Tahun 1961 jo. UU No. 5
tahun 1991 jo. UU No. 16 tahun 2004 merumuskan tugas Kejaksaan dibidang Korupsi di
Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan “darurat” yang
telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif
lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat membantu
menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta
kekayaan yang hilang.
2
Darmawab Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, halaman 1.
3
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, halaman 4.
4
yustisial, yaitu melakukan pemeriksaan pendahuluan, yang meliputi penyidikan,
penyidikan lanjut dan mengadakan pengawasan dan koordinasi alat- alat
penyidikan lainnya.
Masalah korupsi yang melanda Indonesia termasuk yang paling parah di
dunia, sebagaimana diungkapkan oleh berbagai survei yang dilakukan
Transparansi International (TI), posisi Indonesia dalam peringkat negara terkorup
di dunia senantiasa berada di urutan teratas. Posisi Indonesia dalam urutan negara
terkorup di dunia pada tahun 2000 misalnya, adalah juara kedua di Asia, dan juara
kelima di dunia setelah Nigeria,Somalia,Azerbaijan,dan Ukrania.
Posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang paling korup itu
sebenarnya sudah sering dipertanyakan oleh masyarakat sejak era pemerintahan
Orde Baru. Hanya saja, sepanjang era pemerintahan Soeharto itu, pertanyaan-
pertanyaan masyarakat tersebut cenderung diabaikan oleh para pejabat pemerintah
Indonesia. Tetapi sejak Indonesia mengalami krisis moneter pada pertengahan
tahun 1997 lalu, alasan-alasan ala Orde Baru itu sudah tidak ada lagi gunanya.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia korban krisis moneter lainya seperti
Thailand, Korea Selatan dan Malaysia, krisis moneter yang dialami Indonesia
ternyata tidak hanya tergolong paling parah, tetapi juga tergolong paling sulit
dalam proses pemulihannya. Semakin parah tingkat korupsi yang dialami suatu
negara, ternyata semakin parah pula tingkat krisis ekonomi,yang dialami oleh
negara yang bersangkutan. Sebaliknya, pada negara dengan tingkat korupsi yang
tidak terlalu parah, tingkat krisis ekonomi yang dialami oleh negara tersebut juga
masih terus berlanjut hingga saat ini, Secara tidak langsung mengungkapkan
sangat parahnya tingkat korupsi yang dialami negara ini.
Secara teoritik tingkat perkembangan korupsi cenderung berkaitan dengan
tingkat kemutlakan kekuasaan, maka para ahli ekonomi dan politik pada
umumnya sepakat bahwa demokratisasi ekonomi dan politik mutlak dilakukan
sebagai obat mujarab untuk memerangi korupsi. Sebagaimana antara lain
dikemukakan oleh David H Bayley, korupsi memang dapat diartikan sebagai
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan
tujuan untuk memperoleh kemanfaatan pribadi. Tetapi dalam praktik, sesuai
dengan tingkat perkembangan korupsi, perilaku korupsi tidak dapat hanya dibatasi
sebagai perilaku pejabat pemerintah sebagai perseorangan. Ketika wabah korupsi
yang melanda suatu birokrasi pemerintahan bergerak dari tingkat korupsi personal
ke korupsi intisutional, perilaku korupsi mengalami perubahan dari perilaku
perseorangan para pejabat pemerintah, menjadi perilaku kolektif sebuah instansi.
Artinya, pada tingkat korupsi institusional, semua pejabat pemerintah yang
bekerja pada suatu instansi tertentu dapat berkolusi atau membangun kesepakatan
untuk secara bersama-sama melakukan penyalahgunaan wewenang dengan tujuan
untuk memperoleh kemanfaatan mereka bersama. Lebih buruk dari itu adalah
ketika korupsi berkembang mencapai tingkat sistemik. Pada tingkat ini, perilaku
korupsi tidak lagi terbatas sebagai perilaku suatu instansi tertentu dalam
lingkungan pemerintahan, tetapi berkembang menjadi perilaku institusi
Pada tingkat korupsi ini, pemerintah secara keseluruhan sebenarnya telah
berubah dari pelayan masyarakat menjadi sebuah institusi yang bekerja untuk
melayani penguasa dan para birokrat. Untuk keperluan itu, pemerintah yang
bersangkutan biasanya tidak hanya berusaha menyelubungi korupsi yang terjadi
dengan memanipulasi perangkat- perangkat hukum. Bahkan bila diperlukan,
sebuah pemerintahan kadang-kadang tidak segan-segan melembagakan suatu
sistem penyalahgunaan wewenang bersama yang memudahkan para pejabatnya
untuk melakukan korupsi lebih lanjut.5
1. Penuntut Umum tanggal 8 Oktober 2008: Print-42/N.2.11 sejak tanggal 8
Oktober 2008 sampai tanggal 27 Oktober 2008.
Kenyataan yang masih banyak terjadi adalah kasus korupsi yang masih
belum terungkap, hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi pesimis dengan
kesungguhan Kejaksaan dalam mengungkap berbagai kasus tindak pidana korupsi
yang sedang terjadi saat ini.ada banyak kasus korupsi yang terjadi di Kota Binjai,
yang sebagian sudah dapat teratasi dan sebagiannya lagi masih belum ada
penyelesaiannya dan sanksi hukum yang pantas untuk para pelaku tindak pidana
korupsi.
Salah satu kasus yang terjadi di kota Binjai adalah seorang Pegawai
Negeri sipil selaku Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura
yang bernama Drs. Ngasiken Pinem berumur 51 Tahun bertempat tinggal di
Binjai telah ditahan dalam Rumah Tahanan Negara berdasarkan Surat Perintah
Penahanan :
5
2. Hakim tanggal 27 Oktober 2008, No.385/Pend.Pid/2008/PN.BJ sejak tanggal
24 Oktober 2008 sampai tanggal 22 Nopember 2008.
3. Perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri tanggal 7 Nopember
2008 No.385/Pend.Pid/2008/PN-BJ sejak tanggal 23 Nopember 2008 sampai
tanggal 21 Januari 2009.
4. Perpanjangan Penahanan oleh Pengadilan Tinggi sejak tanggal 22 Januari 2009
sampai dengan 20 Pebruari 2009.
5. Perpanjangan Penahanan oleh Pengadilan Tinggi yang II sejak tanggal 21
Pebruari 2009 sampai 22 Maret 2009.
Terdakwa didampingi penasehat hukumnya yaitu Muhammad
Syarifuddin,SH dan Aripin H Sagala,SH. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang
dibacakan dipersidangan pada hari Selasa tanggal 10 Pebruari 2009 yang
menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Drs. Ngasiken Pinem, telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyalahgunakan
kewenangan atau sarana yang ada padanya yang merugikan keuangan Negara”,
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 jo pasal 18 UU No.31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No.20 tahun
2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. Ngasiken Pinem dengan pidana
penjara 2 tahun 6 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan
3. Menghukum terdakwa Drs. Ngasiken Pinem, untuk membayar uang pengganti
sebesar Rp. 83.955.000 secara tanggung renteng dengan drs. Ngasiken Pinem
dan ahmad saimin selaku direktur CV. Seribu Jaya dengan ketentuan apabila
dalam jangka 1 bulan terdakwa tidak membayar maka hartabenda terdakwa
dapat dirampas dan dilelang untuk Negara dan apabila terdakwa tidak memiliki
haerta yang cukup untuk mengganti uang tersebut maka terdakwa dikenakan
pidana pengganti dengan penjara selama 10 bulan.
4. Menyatakan barang bukti berupa:
- Handtractor merk Yamaguchi/ Yanmar 7 unit
- Power Thereser Multiguna 6 unit
- Rice Transplanter 2 unit
- Dinamo Mesin 2 buah
- Salurabn Pembuang Sisa 1 unit
- Papan Lapis 366 unit
- Perangkat Uji Lahan 11 unit
- Ventilater 2 unit
- Handtarctor model KAI 711 dilengkapi gandengannya 4 unit
- Uang sejumlah Rp. 62.000.000
Mengadili tedakwa Drs. Ngasiken Pinem telah terbukti bersalah secara sah
dan meyakinkan telah melakukan Tindak Pidan Korupsi secara Bersama- sama
dan dijatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar
Rp.50.000.000 dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda maka
Dengan adanya kasus di atas telah ada bukti bahwasannya kinerja
Kejaksaan sudah tidak diragukan lagi, walaupun tetap ada beberapa kasus tindak
pidana korupsi yang belum terungkap. Masih banyak lagi kasus korupsi yang akan
dibahas serta peran dari kejaksaannya, yang khusunya akan di bahas yang terjadi
di Kota Binjai. Alasan mengapa saya membahas masalah tindak pidana korupsi
di kota Binjai adalah ingin memberikan sedikit gambaran bahwasannya di kota
Binjai bayak sekali kasus korupsi yang terjadi. Di mana sebagian telah terungkap
dan sebagiannya belum terungkap. Sudah cukup bagus menurut saya kinerja
Kejaksaan yang ada di Kota Binjai yang telah mampu menyelesaikan masalah
korupsi yang ada di kota Binjai salah satunya contoh kasus korupsi yang
dilakukan oleh seorang pegawai negeri sipil di kota Binjai, di mana ia sudah
mendapatkan hukuman yang sepantasnya sesuai dengan perbuatan yang telah
dilakukannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meninjau serta membahas
lebih luas lagi mengenai masalah kasus korupsi dalam skripsi yang berjudul “
PERANAN KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI KOTA BINJAI.”
B. Permasalahan
Dari latar belakang yang telah diurakan di atas, maka dapat diangkat
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan dan peran Jaksa dalam pemberantasan tindak
3. Apa saja yang menjadi kendala dan hambatan dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan
Berdasarkan ruang lingkup permasalahn yang telah dikemukakan di atas,
maka yang menjadi tujuan penulisan adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum tondak pidana korupsi yang
berlaku di Indonesia.
b. Untuk mengetahui bagaiamana kedudukan dan peran jaksa dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
c. Untuk mengetahui bagaiamana kendala dan hambatan yang dihadapi
kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain:
a. Secara teoritis
Secara teoritis, penulis skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi
bagi para akademis maupun sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan,
serta dapat menambah tulisan ilmiah di perpustakaan, khususnya di Jurusan
b. Secara Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak
pidana korupsi, serta dapat sebagai informasi bagi masyarakat mengenai
kedudukan dan peranan Kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, serta dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi akademi untuk
menambah wawasan ilmu terutama dalam bidang tindak pidana korupsi.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul “Peranan Kejaksaan dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi” adalah merupakan hasil pemikiran penulis sendiri, yang
mana setelah penulis membaca dan melihat bahwa pada saat sekarang ini banyak
terjadi kasus korupsi dan bagaiamana peranan dan kedudukan Jaksa dalam
menangani masalah tindak pidana korupsi yang sedang banyak terjadi di
Indonesia salah satunya di Kota Binjai. Maka penulis merasa tertarik untuk
membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Kemudian setelah penulis
memriksa judul- judul skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas Hukum, ada
beberapa judul yang mempunyai kemiripan dengan judul yang sedang penulis
bahas saat ini, namun sudut pembahasannya masing- masing tulisan pasti berbeda,
E.Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Peranan
Dalam ilmu sosial,kata peranan diartikan dengan kata “role”. Peranan
merupakan aspek dinamis dari kedudukan atau status. Lebih lanjut dikatakan
Levinson dalam bukunya yang berjudul “Role Personality and Social memberikan
ruabg lingkup sebagai berikut6
a. Peranan adalah meliputi norma- norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat sesorang dalam masyarakat. :
b. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting sebagai
struktur sosial.
Melihat pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan pengertian dari
peranan yaitu bahwa peranan itu merupakan keikutsertaan seseorang atau
kelompok karena situasi dan bahwa peranan itu merupakan tata nilai individu atau
organisasi yang didapatkan dari suatu penialain atas kemampuan yang
dimilikinya.
Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia, peranan adalah sesuatu yang
jadi bagian atau memegang pimpinan yang terutama.7
6
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit U.I, Cetakan Ke IV, 1997, halaman 146-147
7
2. Kejaksaan
Pada pasal 1 butir 1 Undang- Undang No.16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional
yang diberi wewenang oleh Undang- Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut
umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum serta wewenang lain berdasarkan undang- undang. Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga negara Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, yakni
dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak
hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,
perlindungan kepentingan umum, penegak hak asasi, serta pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Di dalam pasal 1 butir 6 Undang- Undang Nomor 8 tahun 1981 disebutkan
bahwa:
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pada saat KUHAP berlaku sejak diundangkannya pada tanggal 31
Indonesia. Setelah 10 tahun KUHAP berlaku, Kejaksaan mengajukan rancangan
UU tentang Kejaksaan Indonesia untuk mengubah UU No.15 Tahun 1961 tentang
Ketentuan- Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang- Undang
No.16 Tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi yang dirasakan sudah
tidak sesuai lagi dengan perekembangan masyarakat, serta sudah tidak sesuai lagi
dengan jiwa KUHAP. Kemudian kejaksaan RI diatur dalam Undang- Undang
Republik Indonesia tahun 1945, Undang- Undang 4 tahun 2004, tentang
Kekuasaan Kehakiman, dan beberapa Undang- Undang yang baru, serta
berdasarkan perkembangan kebutuhan masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan
maka Undang- Undang No.5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik indonesia
sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif
dengan membentuk Undang- Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.8
3. Tindak Pidana
Sebelum menguraikan pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan
pengertian tindak pidana. Tindak pidana sering juga disebut dengan kata “delik”.9
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut:
“Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang- undang tindak pidana”.10
8
Penjelasan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004.
9
Kata “delik” disebut juga dengan delictum (Latin), delict (Jerman dan Belanda), dan
delit (Prancis)
10
Pembentukan undang- undang kita menggunakan istilah straafbaarfeit
untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan
secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.11
Dalam Bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentukan
kata yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam Bahasa Belanda diartikan
sebagian dari kenyataan, sedangkan straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga
secara harafiah perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang
dapat dihukum.12
Pengertian dari straafbaarfeit menurut dari salah satu sarjana yaitu E.
Utrecht adalah menterjemahkan dengan istilah peristiwa yang sering juga disebut
delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu
melalaikan natalen- negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena
perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa
hukum yaitu peristiwa kemsyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh
hukum. Tindakan semua unsur dari peristiwa pidana, yaitu perilaku manusia yang
bertentangan dengan hukum ( unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat
dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung
jawab. Sedangkan menurut Moeljanto, straafbaarfeit adalah perbuatan yang
dilarang suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi beruoa pidana
tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan
bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam
11
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008, hal 5.
12
pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan
(yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan
ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).13
4. Korupsi
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa latin:
Corruptio atau penyuapan, corruptore atau merusak) gejala di mana para pejabat,
badan- badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Secara harafiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan
merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan
kenyataan semacam itu karena menyangkut segi- segi moral, sifat, dan keadaan
yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta
penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabtannya. Dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa
sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.14
a. Korupsi penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan
sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
b. Korupsi, busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan
kepadanya, dapat digosok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).
13
Ibid, halaman 7
14
F. Metode Penulisan
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat
dipertanggung jawabkan maka digunakan berbagai metode penulisan, kemudian
dilakukan penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut cara tertentu.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah secara
yuridis normatif dan yuridis empiris (studi lapangan). Secara yuridis normatif
yakni dengan melakukan pengumpulan data secara studi pustaka yaitu dengan
meneliti data sekunder yang mencakup bahan- bahan kepustakaan hukum dan
dokumen- dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan
sebagai literatur dan referansi dalam penyusunan materi yang antara lain berupa
sejumlah buku, himpunan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan
objek pembahasan skripsi ini. Studi lapangan (yuridis empiris) yakni dengan
melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wanwancara dari informan
yang secara langsung ikut terlibat dalam upaya penanggulangan tindak pidana
korupsi, yaitu dengan pedoman wawancara dengan Jaksa yang menangani perkara
secara langsung ataupun Jaksa- Jaksa yang menguasai dan mendalami bidang
tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Binjai yang menjadi lokasi penelitian
2. Sumber dan Pengumpulan Data
a. Sumber Data
Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dengan mengumpulkan
data primer dan data sekunder yaitu data primer yang diperoleh dari penelitian
lapangan yaitu melalui wawancara dengan para Jaksa yang secara langsung ikut
terlibat dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi. Data sekunder dalam
penulisan skripsi ini adalah bahan- bahan kepustakaan hukum dan dokumen-
dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan. Data sekunder
yang dikumpulkan melalui studi pustaka dilakukan untuk mencari berbagai
konsepsi, teori- teori, asas- asas, doktrin- doktrin dan berbagai dokumen yang
berhubungan dengan pokok persoalan.
b. Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah melalui
wawancara dan penelitian kepustakaan, untuk utu digunakan pedoman wawancara
dengan Jaksa yang menangani perkara korupsi. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas dan lengkap mengenai peran dan
tanggung jawab Kejaksaan dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi.
3. Analisis Data
Data yang dikumpulkan berdasarkan sumber- sumber, bahan- bahan
hukum primer dan sekunder untuk kemudian akan dialisis secara kualitatif dengan
mempelajari data yang diperoleh. Semua data yang dikumpulkan, diseleksi serta
dengan kata yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya
terhadap permalahan yang ingin dijawab.
G.Sistematika Penulisan
Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi serta pesan yang ingin
di sampaikan maka penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam
skripsi ini. Dalam penulisan skrpsi ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam Bab I ini akan diuraikan tentang latar belakang pemikiran penulis
sehingga mengangkat judul dengan perumusan masalahnya, tujuan dan manfaat
yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika penulisan skripsi.
BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA
Dalam Bab ini diuaraikan tentang pengaturan hukum tindak pidana
korupsi yang ada di Indonesia, jenis penjatuhan pidana pada perkara tindak pidana
korupsi, bentuk tindak pidana korupsi, subyek dan pertanggungjawaban dalam
BAB III KEDUDUKAN DAN PERANAN JAKSA DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai kedudukan dan peranan Jaksa dan
segala upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
BAB IV KENDALA- KENDALA DAN HAMBATAN YANG DIHADAPI
KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang hal- hal apa saja yang menjadi
kendala dan hambatan yang dihadapi Kejaksaan dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi yang terjadi Indonesia dan di Kota Binjai.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran
atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan. Dalam hal ini penulis skrpsi
menyimpulkan dan memberikan jawaban dari permasalahan dan kemudian
penulis memberikan saran- saran untuk masalah yang ada dalam masyarakat dan
BAB II
PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk
menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan
sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah
korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya
Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat
(Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur
mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut15
1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
:
a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh
Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan
Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada
dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk
kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan
suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian
keuangan atau perekonomian.16
15
Evi Hartanti, Op.cit, halaman 22
16
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001, halaman 13
Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang
bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan
kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya
oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan
material baginya.17
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang
pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat
secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk
perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya
lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda
(PHB).
c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan
peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh
Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang
dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari
Pengadilan Tinggi.
d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor
PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor
PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor
42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan
Laut.18
17
Ibid, halaman 13-14
18
2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.19 Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari
berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan,
menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.20 Undang-
Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang
Nomor 1 Tahun 1961.21
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387),
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan
undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150),
tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember
2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137.
TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang
hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal tersebut
dinyatakan, “ Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini
19
Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, halaman 15
20
Konstitusi RIS dicabut dengan berlakunya UUDS 1950 dan UUDS 1950 dicabut dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959
21
juga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan
lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang- Undang ditentukan lain.”22
Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP
dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan
tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-
undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis
serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan
berlakunya Undang- Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi,
maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388
KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang- undangan mengatur
lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk
aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi
Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan
perundang- undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-
ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.
Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya
terdapat ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang
melakukan delik jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat
yang terkait dengan korupsi.
22
419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434
KUHP dinyatakan tidak berlaku.23
Perumusan tindak pidana korupsi menutur pasal 2 ayat 1 Undang- undang
Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang
memenuhi unsur/elemen dari pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak
pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan
Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus
sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau
perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut:24
1. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku
menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.
2. Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari
pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau
bertambahnya harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku
langsung.
3. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi,
yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1
undang- undang Nomor 31 Tahun 1999).
23
Ibid, Halaman 25.
24
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak
peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana
korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang- Undang
Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun
2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur
berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak
pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana
korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri
telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang
tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum
sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang-
undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula
dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut
umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam
segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan
sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan
mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran
Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana
dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang
memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa
lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan
dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi inia
adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil
korupsi yang ada di luar negeri.25
B. Bentuk Tindak Pidana Korupsi, Subyek, dan Pertanggungjawaban
dalam Delik Korupsi
Dalam praktek kita mengenal dua bentuk korupsi diantaranya
Administrative Coruption, di mana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai
dengan hukum/ peraturan yang berlaku. Akan tetapi, individu- individu tertentu
memperkaya dirinya sendiri. Misalnya dalam hal proses rekruitmen pegawai
negeri, di mana dilakukan ujian seleksi mulai dari seleksi administratif sampai
ujian pengetahuan atau kemampuan. Akan tetapi. Yang harus diluluskan sudah
tertentu orangnya. Selain itu ada juga yang disebut dengan Against the rule
corruption, artinya korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan
dengan hukum. Misalnya penyuapan, penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Di masa orde lama masalah
korupsi ini diperangi dengan Peraturan Penguasa Perang Nomor
25
Prt/Perpu/013/1958, yang diumumkan pada tanggal 16 April 1958 dan disiarkan
dalam Berita Negara nomor 40 Tahun 1958.26
Subjek delik korupsi menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999, terbagi dalam dua kelompok, yang kedua-duanya
jika melakukan perbuatan pidana diancam sanksi. Pelaku ataupun subjek delik
tersebut adalah manusia, korporasi, pegawai negeri, dan setiap orang.27
Ada beberapa perumusan delik dalam tindak pidana korupsi diantaranya
adalah:
28
1. Memperkaya Diri atau Orang Lain Secara Melawan Hukum
Perumusan tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat 1 Undang- Undang
Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang (orang- perorangan atau korporasi)
yang memenuhi unsur/ elemen dari pasal tersebut.dengan demikian, pelaku tindak
pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap orang”, tidak ada keharusan
Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus
sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau
perkumpulan.
2. Melakukan Perbuatan Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi
Adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen ini adalah:
26
Darwan Prinst, op.cit, halaman 10-11
27
Evi Hartanti, op.cit, halaman 21
28
a. Memperkaya diri sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu
pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya
sendiri.
b. Memperkaya orang lain, yaitu akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku
ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau
bertambahnya harta bendanya. Jadi yang diuntungkan bukan pelaku
langsung.
c. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga mendapat keuntungan dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu
korporsi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekeyaan yang terorganisasi,
baik merupakan badan hukum maupun badan hukum (pasal 1 angka 1
Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999).
3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Apabila perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, perbuatan pidana sudah selesai dan sempurna dilakukan.
Adapun yang dimaksud dengan keugangan neagar adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,
termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di
daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
maupun di daerah. Hukumannya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000,- dan paling banyak Rp.1.000.000.000,-
Delik dalam pasal 3 (penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau
sarana), yang pertama sekali perlu dipahami, bahwa pelaku tindak pidana menurut
pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini adalah setiap orang, yakni
orang perorangan dan korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.29
Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum
pidana umum. Hal itu nyata dalam hal, kemungkinan penjatuhan pidana secara in
absentia (pasal 23 ayat 1 sampai ayat 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi 1971, pasal 38 ayat 1,2,3 dan 4 UU Tindak Pidana Korupsi 1990).
Perampasan barang- barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal
dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (pasal 23 ayat 5 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971, pasal 38 ayat 5 UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi 1999), bahkan kesempatan banding tidak ada. Perumusan
delik dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971 yang sangat luas
ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada pasal 1 ayat 1 sub a dan b UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971, pasal 2 dan 3 UU pemberantasan
tindak pidana Korupsi 1999. Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik
penggelapan (pasal 415 KUHP) oleh Yurisprudensi baik di Belanda maupun di
Indonesia sangat luas. Uraian mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana
29
tersebut di atas dilanjutkan di bawah ini, pasal ini diadopsi menjadi pasal 8 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2001).30
C.Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Menurut
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001
Berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis
penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana
korupsi adalah sebagai berikut:
a. Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi
1. Pidana Mati, baik berdasarkan pasal 69 KUHP, UU PTPK maupun
berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena
pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang
merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi
atau diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari
ditemukan kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar- benar
berat yang diancam oleh pidana mati. Dan setiap pasal yang mencantumkan
pidana mati selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak
disertai merta pasti menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar pasal
yang diancam pidana mati. Misalnya pidana mati atau penjara seumur hidup
atau pidana sementara paling lama 20 tahun sebagaimana tercantum dalam
pasal 340 KUHP, prinsip ini juga diikuti UU lain termasuk UU PTPK.31
30
Jur. Andi hamzah, op.cit, halaman 93
31
Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010, halaman 7.
dalam UU No.31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam
mati yaitu pasal 2 ayat 2. Pidana mati di sini “dapat diancam apabila tindak
pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu
dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan
bahaya sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu
negara dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter.
2. Pidana Penjara, merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak
dasar diambil secara paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak
dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial sesuai yang ia kehendaki.
Namun, waktu pemidanaannya dipergunkan demi kepentingan reclassering
(Pemasyarakatan atau pembinaan). Pengaturan pidana penjara menurut
KUHP adalah sebagai berikut:
- Seumur hidup (tanpa minimal atau maksimal).
- Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun
sesuai pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas
maksimum umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 tahun dalam hal:
- Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau penjara sementara 20 tahun.
- Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana
- Ada pemberatan umum yaitu, concursus / pembarengan yang diatur dalam
pasal 65 hingga pasal 70, reseidve / pengulangan yang diatur dalam pasal
486 hingga pasal 488, pasal 52 mengenai pengalahgunaan wewenang
jabatan, dan pasal 52a tentang menyalahgunakan bendera RI.
- Ada pemberatan khusus, seperti pasal 355 jo pasal 356 mengenai
penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya.
Semua tindak pidana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, diancam dengan pidana penjara baik penjara seumur hidup maupun
sementara. Pidana penjara seumur hidup terdapat dalam pasal 2 ayat 1,3,12,12B
ayat 2. Pidana penjara sementara diancam dengan batas maksimum dan batas
minimum. Batas minimum ditentukan dalam pasal- pasal dalam UU ini sebagai
salah satu upaya dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Pidana penjara sementara
berkisar antara 1 tahun hingga 20 tahun. Pidana 20 tahun sebagai alternatif
penjara seumur hidup.32
3. Pidana Tambahan33
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang- barang
tersebut.
32
Ibid, halaman 7- 9
33
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penuntupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu 1 bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut.
f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
4. Gugatan Perdata kepada ahli warisnya, dalam hal ini terdakwa meninggal
dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan
salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
kepada ahli warisnya.34
34
5. Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh atas nama suatu korporasi, di
mana pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan
ketentuan maksimum ditambah 1/3. Penjatuhan pidana ini melalui prosedural
ketentuan pasal 20 ayat 1-66 Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah
sebagai berikut:35
a. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi atau pengurusnya.
b. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang- orang baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama- sama.
c. Dala hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan
kepada orang lain.
d. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
e.Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengadilan
untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Tindak pidana korupsi dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu tindak
pidana korupsi murni dan tindak pidana tidak murni. Tindak pidana murni dalam
35
perumusanya memuat norma dan sanksi sekaligus. Adapun tindak pidana tidak
murni dalam perumusannya hanya memuat sanksi saja, sedangkan normanya
terdapat dalam KUHP.36
Adanya pembedaan ancaman pidana baik penjara maupun denda sesuai
bobot delik termasuk kualifikasinya dalam UU Pemberantasan Tindak pidana
Korupsi Tahun 1999. Dengan demikian, ada yang diancam dengan pidana penjara
maksimum seumur hidup (pasal 2), dan denda maksimum satu milyar.37
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, maka penjatuhan hukuman menurut beberapa pasal yaitu,
pada pasal 5 yang rumusannya diadopsi dari pasal 209 KUHP, ancaman
penjaranya turun menjadi maksimum lima tahun, tetapi dendanya masih menjadi
250 juta rupiah. Pada pasal 6 rumusannya diadopsi dari pasal 210 KUHP
(menyuap hakim, pidana penjaranya turun menjadi maksimum lima belas tahun,
tetapi dendanya naik menjadi 750 juta rupiah. Pada pasal 7 yang rumusan
deliknya diadopsi dari pasal 387 dan 388, ancaman pidana penjaranya juga turun
menjadi maksimum tujuh tahun, tetapi dendanya naik manjadi maksimum 350
juta rupiah38
Pada pasal 8 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, “ dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan
paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit 150 juta rupiah dan paling .
36
Ibid, halaman 15
37
Jur. Andi Hamzah, Op.cit, halaman 111
38
banyak 750 juta rupiah, pidana denda pada pasal 11sama hal nya dengan pasal 8
yang membedakannya hanya denda pidanya yaitu 1 tahun dan paling lama 5
tahun. Dalam pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan
paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling
banyak 250 juta rupiah.
Pemidanaan pada pasal 10 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara paling sedkit 2
tahun dan paling lama 7 tahun dengan denda paling sedikit 100 juta rupiah dan
paling banyak 350 juta rupiah. Pada pasal 12 dapat dipidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana
BAB III
KEDUDUKAN DAN PERANAN JAKSA DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Peranan Jaksa dari Sudut Pandang Penal Policy dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Peranan Kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
dapat diwujudkan dalam bentuk hasil kerja yang maksimal dam seimbang sesuai
kebijakan- kebijakan lain yang mendukung upaya pemberantasan korupsi di luar
Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri.39
Berdasarkan ketentuan pasal 284 ayat 2 KUHAP jo. Pasal 17 PP No.27
Tahun 1983 jo. Pasal 26 UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 44 ayat 4 serta pasal 50
ayat 1,2,3 dan 4 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Pasal 30 huruf d UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,
Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang masih diberi
wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.40
Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui
dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana), dan
39
Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2005, halaman 58-59
40
pendekatan nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana). Peranan Jaksa dari
sudut pandang penal policy dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana
istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy”. Istilah ini dalam bahasa
Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan
hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai
politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik
hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari
ilmu hukum.41
Secara umum , pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah
“policy” atau “bleid” khususnya dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid” , menurut
Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood , dapat dirumuskan sebagai suatu
keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif42
Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan
“penal policy” atau “Penal Law Enforcement Policy” yang fungsionalisasi dan
atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu .
43
1. Formulasi (kebijakan legislatif/legislasi).
:
2. Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial).
3. Eksekusi (kebijakan eksekusi/administrasi).
41
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan 2008, halaman 65
42
http:// www. Repository.usu.ac.id
43
Usaha pemberantasan kejahatan lewat pembuatan undang- undang
(hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha
perlindungan masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan pemberantasan
kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal”
(hukum pidana) , maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada
tahap formulasi/ kebijakan legislasi yang merupakan tugas dari aparat pembuat
undang- undang , harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan
dari kebijakan sosial berupa “social-welfare” dan “social-defence”.
Adapun mekanisme pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi yang
merupakan upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara Penal yaitu:
1. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan hasil- hasil intervensi
yang dibuat secara tertulis dari pihak tersangka. Dalam tahapan ini dikumpulkan
bahan- bahan yang menjadi barang bukti atau alat- alat bukti dalam suatu
rangkaian berkas perkara, serta kelengkapan pemeriksaan lainnya dengan maksud
untuk dapat menyerahkan perkara ke pengadilan. Proses pemeriksaan
pendahuluan ini berupa kegiatan yang rinciannya merupakan pemeriksaan
persiapan, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan.44
a. Penahanan
Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang
melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam
44
tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana tersebut diancam dengan pidana
penjara 5 tahun atau lebih dan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam
pasal 282 ayat 3, pasal 296, pasal 355 ayat 1, pasal 353 ayat 1, pasal 372, pasal
379a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480, dan 506 KUHP, pasal
25 dan pasal 26 (pelanggaran terhadap ordonansi bea dab cukai, terakhir diubah
dengan staatsblad tahun 1931 nomor 471).
b. Jenis Penahanan
Jenis- jenis penahanan (pasal 22 KUHAP) dapat berupa penahanan rumah
tahanan negara, penahanan rumah yang dilaksanakan di rumah tempat tinggal
atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan
pengawasan terhadapnya untuk segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kesulitan dalam penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, penahanan tersebut 1/3 dari jumlah lamanya waktu penahanan.
Penahanan kota yang dilakukan di kota tempat tinggal atau tenpat kediaman
tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa
melapor diri pada waktu yang ditentukan, untuk penahan kota pengurangan
tersebut 1/5 dari jumlah lamanya waktu penahanan.
c. Jangka waktu penahanan dan hak tersangka atau terdakwa
Perintah penahanan oleh penyidik paling lama 20 hari. Apabila diperlukan
untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai maka dapat diperpanjang oleh
penuntut umum yang berwenang paling lama 40 hari yang diperpanjang oleh
Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang paling lama 30 hari, setelah 60 hari