• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Kejaksaan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Kota Binjai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Kejaksaan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Kota Binjai"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KOTA BINJAI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

ARIZA PRATAMA NIM. 070200044

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

PERANAN KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI KOTA BINJAI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

ARIZA PRATAMA NIM. 070200044

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH

Pembimbing I

Liza Erwina, SH.M.Hum

Pembimbing II

Dr, Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

ABSTRAKSI

*Ariza Pratama **Liza Erwina,SH,M.Hum

***DR. Mahmud Mulyadi, SH,M.Hum

Tindak pidana korupsi telah menjadi gaya hidup orang banyak di Indonesia sekarang ini, orang- orang yang banyak melakukan korupsi mulai dari pusat sampai daerah. Di Indonesia saja tindak pidana korupsi meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini membawa dampak buruk terhadap perekonomian nasional. Orang- orang yang menduduki jabatan strategis pada instansi negara/ pemerintahan, berlomba- lomba melakukan tindak pidana korupsi. Saat ini skala korupsi jauh lebih luas, lebih sistematis, dan lebih canggih. Praktek korupsi yang meningkat telah menjadi masalah yang serius bagi upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama di lembaga Kejaksaan yang berwenang sebagai Penuntut Umum dan Penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Permasalahan yang diuraikan dalam tulisan skripsi ini adalah hal- hal mengenai bagaimana pengaturan hukum dan kedudukan Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana di jelaskan bagaimana Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, serta bagaimana kendala- kendala yang dihadapi Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan dan pembahasan skripsi ini adalah secaya yuridis normatif dan yuridis empiris. Secara yuridis normatif yakni melakukan pengumpulan data melalui bahan kepustakaan hukum maupun peraturan perundang- undangan. Sedangkan yuridis empiris dengan melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara yang penulis lakukan di Kejaksaan Negeri Binjai.

Berdasarkan temuan data yang ada saat ini, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan Kejaksaan baik secara penal dan nonpenal belum dapat dikatakan maksimal dan masih bayak terdapat kendala dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, sehingga pemberantasan perkara korupsi menjadi kurang optimal. Hal ini menjadi tugas bagi Kejaksaan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, kejaksaan berupaya meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya, terutama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi masalah serius dalam penegakan hukum di Indonesia.

Kata Kunci: Peranan Kejaksaan, Tindak Pidana Korupsi

*Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I; Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Pertama tama Penulis ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Allah

SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan baik dan tepat waktu.

Adapun tujaun dari penulisan skripsi yang berjudul “Peranan Kejaksaan

dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Kota Binjai” adalah untuk

memenuhi persyaratan kelulusan dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara untuk meraih gelar sarjana hukum.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena

masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penulisan. Oleh karena itu,

dengan segala kerendahan hati penulis memohon kemurahan pembaca kiranya

memberikan masukan dan kritik membangun bagi penyempurnaan penulisan

skripsi ini.

Dalam proses penulisan ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari

berbagia pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima

kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, SH, M.Hum. sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara serta para Pembantu Dekan.

2. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan masukan, bimbingan dan arahan kepada penulis dalam

(5)

3. Bapak DR. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum sebagai Dosen Pmbimbing II

yang telah memberikan masukan, bimbingan dan arahan kepada penulis

dalam penulisan skipsi ini.

4. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum USU yang telah mendidik dan

membina penulis selama masa perkuliahan.

5. Seluruh staf Departemen Hukum Pidana khususnya dan seluruh staf

Administrasi Fakultas Hukum USU di mana penulis menimba ilmu selama

ini.

6. Kedua orang tua penulis tercinta ( H. Athaillah, SE dan Hj. Ita Zurahma,

Sos), kepada Bapak yang menjadi motivasi dan menjadi penyemangat

penulis selama ini serta kepada Mama yang selalu mendoakan dan

memberikan dukungannya serta memotivasi penulis dalam menyelasaikan

penulisan skripsi ini.

7. Adikku tersayang M. Alfan Theofani yang selalu memberikan dukungan

dan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

8. Kepada teman- teman penulis selama berada di Fakultas Hukum USU

khususnya Karonya Tamsei Peunawa dan Farah Meutia, serta pacar saya

M. Arief dan sahabat saya Devi Andriani Luta yang telah memberikan

semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada semua orang yang telah membantu dan mendukung penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini dan tidak mungkin penulis sebutkan satu

(6)

Akhir kata, Penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan, baik itu

kata-kata maupun perbuatan. Semoga yang penulis sajikan dalam skripsi ini dapat

membawa manfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2011

Penulis ,

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI……… i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI……….. v

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan………. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

D. Keaslian Penulisan

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Peranan

2. Pengertian Kejaksaan

3. Pengertian Tindak Pidana

4. Pengertian Korupsi

F. Metode Penulisan

G. Sistematika Penulisan

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI

INDONESIA

(8)

B. Bentuk Tindak Pidana Korupsi, Subyek, dan Pertanggungjawaban dalam

Delik Korupsi

C. Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Menurut UU

Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001

BAB III KEDUDUKAN DAN PERANAN JAKSA DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Peranan Jaksa dari Sudut Pandang Penal Policy dalam Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

B. Peranan Jaksa dari Sudut Pandang Non Penal Policy dalam Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

C. Proses Pemberantasan dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi yang

Dilakukan oleh Jaksa di Kota Binjai

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI KEJAKSAAN DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Kendala yang Dihadapi Jaksa dalam Pemberantasan Korupsi

1. Kendala Yuridis

2. Kendala Nonyuridis

B. Upaya yang Dilakukan Kejaksaan dalam Menghadapi Kendala

(9)

C. Keberhasilan Kejaksaan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1. Jumlah Perkara yang Ditangani Kejaksaan

2. Hasil wawancara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

B. Saran

(10)

ABSTRAKSI

*Ariza Pratama **Liza Erwina,SH,M.Hum

***DR. Mahmud Mulyadi, SH,M.Hum

Tindak pidana korupsi telah menjadi gaya hidup orang banyak di Indonesia sekarang ini, orang- orang yang banyak melakukan korupsi mulai dari pusat sampai daerah. Di Indonesia saja tindak pidana korupsi meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini membawa dampak buruk terhadap perekonomian nasional. Orang- orang yang menduduki jabatan strategis pada instansi negara/ pemerintahan, berlomba- lomba melakukan tindak pidana korupsi. Saat ini skala korupsi jauh lebih luas, lebih sistematis, dan lebih canggih. Praktek korupsi yang meningkat telah menjadi masalah yang serius bagi upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama di lembaga Kejaksaan yang berwenang sebagai Penuntut Umum dan Penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Permasalahan yang diuraikan dalam tulisan skripsi ini adalah hal- hal mengenai bagaimana pengaturan hukum dan kedudukan Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana di jelaskan bagaimana Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, serta bagaimana kendala- kendala yang dihadapi Jaksa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan dan pembahasan skripsi ini adalah secaya yuridis normatif dan yuridis empiris. Secara yuridis normatif yakni melakukan pengumpulan data melalui bahan kepustakaan hukum maupun peraturan perundang- undangan. Sedangkan yuridis empiris dengan melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara yang penulis lakukan di Kejaksaan Negeri Binjai.

Berdasarkan temuan data yang ada saat ini, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan Kejaksaan baik secara penal dan nonpenal belum dapat dikatakan maksimal dan masih bayak terdapat kendala dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, sehingga pemberantasan perkara korupsi menjadi kurang optimal. Hal ini menjadi tugas bagi Kejaksaan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, kejaksaan berupaya meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dan wewenangnya, terutama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi masalah serius dalam penegakan hukum di Indonesia.

Kata Kunci: Peranan Kejaksaan, Tindak Pidana Korupsi

*Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I; Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum

dan ekonomi bagi suatu negara, karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan

tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk

juga di Indonesia. Korupsi sudah dianggap masyarakat sebagai masalah yang

paling berbahaya di Indonesia. Bahkan, perkembangan masalah korupsi di

Indonesia saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar

biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.1

Korupsi berasal dari kata latin Corupptio atau Corupption yang kemudian

muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corupption,dalam bahasa Belanda

Korupptie dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi.

Istilah korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam

Peraturan Penguasa Perang No. Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan

Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan juga dalam Undang- Undang No.

24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana

Korupsi. Undang- Undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-

Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi, yang

kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang- Undang No. 31

Tahun 1999 dan akan dimulai berlaku efektif paling lambat 2 tahun kemudian (16

1

(12)

Agustus 2001), dan kemudian diubah dengan Undang- Undang No. 20 Tahun

2001 tanggal 21 November 2001.2

Korupsi telah banyak terjadi di banyak bidang dalam proses pembangunan,

karena seiring dengan pesatnya pembangunan yang semakin maju, terasa pula

semakin meningkatnya kebocoran- kebocoran dana tenaga pembangunan, terbukti

dalam kasus korupsi yang bermilyar rupiah. Perkembangan masalahkorupsi di

Indonesia sudah sedemikian parahnya dan dianjurkan suatu tindakan tegas,

sehingga timbul ketakutan untuk melakukan tindak pidana korupsi.3

Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi- sendi

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh

tindak pidana korupsi sudah masuk dalam katagori “mebahayakan”.4

Praktek korupsi yang semakin meningkat merupakan pekerjaan serius bagi

upaya penegakan hukum di Indonesia, terutama pihak Kejaksaan. Ketentuan yang

terdapat dalam pasal 2 UU Pokok Kejaksaan No. 15 Tahun 1961 jo. UU No. 5

tahun 1991 jo. UU No. 16 tahun 2004 merumuskan tugas Kejaksaan dibidang Korupsi di

Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat recurrent dan “darurat” yang

telah dihadapi bangsa Indonesia dari masa ke masa dalam rentang waktu relatif

lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat membantu

menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta

kekayaan yang hilang.

2

Darmawab Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, halaman 1.

3

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, halaman 4.

4

(13)

yustisial, yaitu melakukan pemeriksaan pendahuluan, yang meliputi penyidikan,

penyidikan lanjut dan mengadakan pengawasan dan koordinasi alat- alat

penyidikan lainnya.

Masalah korupsi yang melanda Indonesia termasuk yang paling parah di

dunia, sebagaimana diungkapkan oleh berbagai survei yang dilakukan

Transparansi International (TI), posisi Indonesia dalam peringkat negara terkorup

di dunia senantiasa berada di urutan teratas. Posisi Indonesia dalam urutan negara

terkorup di dunia pada tahun 2000 misalnya, adalah juara kedua di Asia, dan juara

kelima di dunia setelah Nigeria,Somalia,Azerbaijan,dan Ukrania.

Posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang paling korup itu

sebenarnya sudah sering dipertanyakan oleh masyarakat sejak era pemerintahan

Orde Baru. Hanya saja, sepanjang era pemerintahan Soeharto itu, pertanyaan-

pertanyaan masyarakat tersebut cenderung diabaikan oleh para pejabat pemerintah

Indonesia. Tetapi sejak Indonesia mengalami krisis moneter pada pertengahan

tahun 1997 lalu, alasan-alasan ala Orde Baru itu sudah tidak ada lagi gunanya.

Dibandingkan dengan negara-negara Asia korban krisis moneter lainya seperti

Thailand, Korea Selatan dan Malaysia, krisis moneter yang dialami Indonesia

ternyata tidak hanya tergolong paling parah, tetapi juga tergolong paling sulit

dalam proses pemulihannya. Semakin parah tingkat korupsi yang dialami suatu

negara, ternyata semakin parah pula tingkat krisis ekonomi,yang dialami oleh

negara yang bersangkutan. Sebaliknya, pada negara dengan tingkat korupsi yang

tidak terlalu parah, tingkat krisis ekonomi yang dialami oleh negara tersebut juga

(14)

masih terus berlanjut hingga saat ini, Secara tidak langsung mengungkapkan

sangat parahnya tingkat korupsi yang dialami negara ini.

Secara teoritik tingkat perkembangan korupsi cenderung berkaitan dengan

tingkat kemutlakan kekuasaan, maka para ahli ekonomi dan politik pada

umumnya sepakat bahwa demokratisasi ekonomi dan politik mutlak dilakukan

sebagai obat mujarab untuk memerangi korupsi. Sebagaimana antara lain

dikemukakan oleh David H Bayley, korupsi memang dapat diartikan sebagai

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan

tujuan untuk memperoleh kemanfaatan pribadi. Tetapi dalam praktik, sesuai

dengan tingkat perkembangan korupsi, perilaku korupsi tidak dapat hanya dibatasi

sebagai perilaku pejabat pemerintah sebagai perseorangan. Ketika wabah korupsi

yang melanda suatu birokrasi pemerintahan bergerak dari tingkat korupsi personal

ke korupsi intisutional, perilaku korupsi mengalami perubahan dari perilaku

perseorangan para pejabat pemerintah, menjadi perilaku kolektif sebuah instansi.

Artinya, pada tingkat korupsi institusional, semua pejabat pemerintah yang

bekerja pada suatu instansi tertentu dapat berkolusi atau membangun kesepakatan

untuk secara bersama-sama melakukan penyalahgunaan wewenang dengan tujuan

untuk memperoleh kemanfaatan mereka bersama. Lebih buruk dari itu adalah

ketika korupsi berkembang mencapai tingkat sistemik. Pada tingkat ini, perilaku

korupsi tidak lagi terbatas sebagai perilaku suatu instansi tertentu dalam

lingkungan pemerintahan, tetapi berkembang menjadi perilaku institusi

(15)

Pada tingkat korupsi ini, pemerintah secara keseluruhan sebenarnya telah

berubah dari pelayan masyarakat menjadi sebuah institusi yang bekerja untuk

melayani penguasa dan para birokrat. Untuk keperluan itu, pemerintah yang

bersangkutan biasanya tidak hanya berusaha menyelubungi korupsi yang terjadi

dengan memanipulasi perangkat- perangkat hukum. Bahkan bila diperlukan,

sebuah pemerintahan kadang-kadang tidak segan-segan melembagakan suatu

sistem penyalahgunaan wewenang bersama yang memudahkan para pejabatnya

untuk melakukan korupsi lebih lanjut.5

1. Penuntut Umum tanggal 8 Oktober 2008: Print-42/N.2.11 sejak tanggal 8

Oktober 2008 sampai tanggal 27 Oktober 2008.

Kenyataan yang masih banyak terjadi adalah kasus korupsi yang masih

belum terungkap, hal ini mengakibatkan masyarakat menjadi pesimis dengan

kesungguhan Kejaksaan dalam mengungkap berbagai kasus tindak pidana korupsi

yang sedang terjadi saat ini.ada banyak kasus korupsi yang terjadi di Kota Binjai,

yang sebagian sudah dapat teratasi dan sebagiannya lagi masih belum ada

penyelesaiannya dan sanksi hukum yang pantas untuk para pelaku tindak pidana

korupsi.

Salah satu kasus yang terjadi di kota Binjai adalah seorang Pegawai

Negeri sipil selaku Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura

yang bernama Drs. Ngasiken Pinem berumur 51 Tahun bertempat tinggal di

Binjai telah ditahan dalam Rumah Tahanan Negara berdasarkan Surat Perintah

Penahanan :

5

(16)

2. Hakim tanggal 27 Oktober 2008, No.385/Pend.Pid/2008/PN.BJ sejak tanggal

24 Oktober 2008 sampai tanggal 22 Nopember 2008.

3. Perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri tanggal 7 Nopember

2008 No.385/Pend.Pid/2008/PN-BJ sejak tanggal 23 Nopember 2008 sampai

tanggal 21 Januari 2009.

4. Perpanjangan Penahanan oleh Pengadilan Tinggi sejak tanggal 22 Januari 2009

sampai dengan 20 Pebruari 2009.

5. Perpanjangan Penahanan oleh Pengadilan Tinggi yang II sejak tanggal 21

Pebruari 2009 sampai 22 Maret 2009.

Terdakwa didampingi penasehat hukumnya yaitu Muhammad

Syarifuddin,SH dan Aripin H Sagala,SH. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang

dibacakan dipersidangan pada hari Selasa tanggal 10 Pebruari 2009 yang

menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa Drs. Ngasiken Pinem, telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyalahgunakan

kewenangan atau sarana yang ada padanya yang merugikan keuangan Negara”,

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 jo pasal 18 UU No.31

tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No.20 tahun

2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs. Ngasiken Pinem dengan pidana

penjara 2 tahun 6 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan

(17)

3. Menghukum terdakwa Drs. Ngasiken Pinem, untuk membayar uang pengganti

sebesar Rp. 83.955.000 secara tanggung renteng dengan drs. Ngasiken Pinem

dan ahmad saimin selaku direktur CV. Seribu Jaya dengan ketentuan apabila

dalam jangka 1 bulan terdakwa tidak membayar maka hartabenda terdakwa

dapat dirampas dan dilelang untuk Negara dan apabila terdakwa tidak memiliki

haerta yang cukup untuk mengganti uang tersebut maka terdakwa dikenakan

pidana pengganti dengan penjara selama 10 bulan.

4. Menyatakan barang bukti berupa:

- Handtractor merk Yamaguchi/ Yanmar 7 unit

- Power Thereser Multiguna 6 unit

- Rice Transplanter 2 unit

- Dinamo Mesin 2 buah

- Salurabn Pembuang Sisa 1 unit

- Papan Lapis 366 unit

- Perangkat Uji Lahan 11 unit

- Ventilater 2 unit

- Handtarctor model KAI 711 dilengkapi gandengannya 4 unit

- Uang sejumlah Rp. 62.000.000

Mengadili tedakwa Drs. Ngasiken Pinem telah terbukti bersalah secara sah

dan meyakinkan telah melakukan Tindak Pidan Korupsi secara Bersama- sama

dan dijatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar

Rp.50.000.000 dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda maka

(18)

Dengan adanya kasus di atas telah ada bukti bahwasannya kinerja

Kejaksaan sudah tidak diragukan lagi, walaupun tetap ada beberapa kasus tindak

pidana korupsi yang belum terungkap. Masih banyak lagi kasus korupsi yang akan

dibahas serta peran dari kejaksaannya, yang khusunya akan di bahas yang terjadi

di Kota Binjai. Alasan mengapa saya membahas masalah tindak pidana korupsi

di kota Binjai adalah ingin memberikan sedikit gambaran bahwasannya di kota

Binjai bayak sekali kasus korupsi yang terjadi. Di mana sebagian telah terungkap

dan sebagiannya belum terungkap. Sudah cukup bagus menurut saya kinerja

Kejaksaan yang ada di Kota Binjai yang telah mampu menyelesaikan masalah

korupsi yang ada di kota Binjai salah satunya contoh kasus korupsi yang

dilakukan oleh seorang pegawai negeri sipil di kota Binjai, di mana ia sudah

mendapatkan hukuman yang sepantasnya sesuai dengan perbuatan yang telah

dilakukannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meninjau serta membahas

lebih luas lagi mengenai masalah kasus korupsi dalam skripsi yang berjudul “

PERANAN KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI DI KOTA BINJAI.”

B. Permasalahan

Dari latar belakang yang telah diurakan di atas, maka dapat diangkat

beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan dan peran Jaksa dalam pemberantasan tindak

(19)

3. Apa saja yang menjadi kendala dan hambatan dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan ruang lingkup permasalahn yang telah dikemukakan di atas,

maka yang menjadi tujuan penulisan adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum tondak pidana korupsi yang

berlaku di Indonesia.

b. Untuk mengetahui bagaiamana kedudukan dan peran jaksa dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi.

c. Untuk mengetahui bagaiamana kendala dan hambatan yang dihadapi

kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain:

a. Secara teoritis

Secara teoritis, penulis skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi

bagi para akademis maupun sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan,

serta dapat menambah tulisan ilmiah di perpustakaan, khususnya di Jurusan

(20)

b. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi

pihak terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak

pidana korupsi, serta dapat sebagai informasi bagi masyarakat mengenai

kedudukan dan peranan Kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi, serta dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi akademi untuk

menambah wawasan ilmu terutama dalam bidang tindak pidana korupsi.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Peranan Kejaksaan dalam Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi” adalah merupakan hasil pemikiran penulis sendiri, yang

mana setelah penulis membaca dan melihat bahwa pada saat sekarang ini banyak

terjadi kasus korupsi dan bagaiamana peranan dan kedudukan Jaksa dalam

menangani masalah tindak pidana korupsi yang sedang banyak terjadi di

Indonesia salah satunya di Kota Binjai. Maka penulis merasa tertarik untuk

membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Kemudian setelah penulis

memriksa judul- judul skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas Hukum, ada

beberapa judul yang mempunyai kemiripan dengan judul yang sedang penulis

bahas saat ini, namun sudut pembahasannya masing- masing tulisan pasti berbeda,

(21)

E.Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Peranan

Dalam ilmu sosial,kata peranan diartikan dengan kata “role”. Peranan

merupakan aspek dinamis dari kedudukan atau status. Lebih lanjut dikatakan

Levinson dalam bukunya yang berjudul “Role Personality and Social memberikan

ruabg lingkup sebagai berikut6

a. Peranan adalah meliputi norma- norma yang dihubungkan dengan posisi atau

tempat sesorang dalam masyarakat. :

b. Peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu

dalam masyarakat sebagai organisasi.

c. Peranan dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting sebagai

struktur sosial.

Melihat pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan pengertian dari

peranan yaitu bahwa peranan itu merupakan keikutsertaan seseorang atau

kelompok karena situasi dan bahwa peranan itu merupakan tata nilai individu atau

organisasi yang didapatkan dari suatu penialain atas kemampuan yang

dimilikinya.

Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia, peranan adalah sesuatu yang

jadi bagian atau memegang pimpinan yang terutama.7

6

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. Yayasan Penerbit U.I, Cetakan Ke IV, 1997, halaman 146-147

7

(22)

2. Kejaksaan

Pada pasal 1 butir 1 Undang- Undang No.16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional

yang diberi wewenang oleh Undang- Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut

umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum serta wewenang lain berdasarkan undang- undang. Kejaksaan Republik

Indonesia sebagai lembaga negara Pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan

negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, yakni

dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan

pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak

hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,

perlindungan kepentingan umum, penegak hak asasi, serta pemberantasan

korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Di dalam pasal 1 butir 6 Undang- Undang Nomor 8 tahun 1981 disebutkan

bahwa:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang ini

untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Pada saat KUHAP berlaku sejak diundangkannya pada tanggal 31

(23)

Indonesia. Setelah 10 tahun KUHAP berlaku, Kejaksaan mengajukan rancangan

UU tentang Kejaksaan Indonesia untuk mengubah UU No.15 Tahun 1961 tentang

Ketentuan- Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang- Undang

No.16 Tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi yang dirasakan sudah

tidak sesuai lagi dengan perekembangan masyarakat, serta sudah tidak sesuai lagi

dengan jiwa KUHAP. Kemudian kejaksaan RI diatur dalam Undang- Undang

Republik Indonesia tahun 1945, Undang- Undang 4 tahun 2004, tentang

Kekuasaan Kehakiman, dan beberapa Undang- Undang yang baru, serta

berdasarkan perkembangan kebutuhan masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan

maka Undang- Undang No.5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik indonesia

sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif

dengan membentuk Undang- Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia.8

3. Tindak Pidana

Sebelum menguraikan pengertian korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan

pengertian tindak pidana. Tindak pidana sering juga disebut dengan kata “delik”.9

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut:

“Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran

terhadap undang- undang tindak pidana”.10

8

Penjelasan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004.

9

Kata “delik” disebut juga dengan delictum (Latin), delict (Jerman dan Belanda), dan

delit (Prancis)

10

(24)

Pembentukan undang- undang kita menggunakan istilah straafbaarfeit

untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan

secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.11

Dalam Bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentukan

kata yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam Bahasa Belanda diartikan

sebagian dari kenyataan, sedangkan straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga

secara harafiah perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang

dapat dihukum.12

Pengertian dari straafbaarfeit menurut dari salah satu sarjana yaitu E.

Utrecht adalah menterjemahkan dengan istilah peristiwa yang sering juga disebut

delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu

melalaikan natalen- negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena

perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa

hukum yaitu peristiwa kemsyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh

hukum. Tindakan semua unsur dari peristiwa pidana, yaitu perilaku manusia yang

bertentangan dengan hukum ( unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat

dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata bertanggung

jawab. Sedangkan menurut Moeljanto, straafbaarfeit adalah perbuatan yang

dilarang suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi beruoa pidana

tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan

bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam

11

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta 2008, hal 5.

12

(25)

pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan

(yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan

ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).13

4. Korupsi

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa latin:

Corruptio atau penyuapan, corruptore atau merusak) gejala di mana para pejabat,

badan- badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,

pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.

Secara harafiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan

merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan

kenyataan semacam itu karena menyangkut segi- segi moral, sifat, dan keadaan

yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan

kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta

penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan

jabtannya. Dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa

sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas.14

a. Korupsi penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan

sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.

b. Korupsi, busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan

kepadanya, dapat digosok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).

13

Ibid, halaman 7

14

(26)

F. Metode Penulisan

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya dapat

dipertanggung jawabkan maka digunakan berbagai metode penulisan, kemudian

dilakukan penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut cara tertentu.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah secara

yuridis normatif dan yuridis empiris (studi lapangan). Secara yuridis normatif

yakni dengan melakukan pengumpulan data secara studi pustaka yaitu dengan

meneliti data sekunder yang mencakup bahan- bahan kepustakaan hukum dan

dokumen- dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan

sebagai literatur dan referansi dalam penyusunan materi yang antara lain berupa

sejumlah buku, himpunan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan

objek pembahasan skripsi ini. Studi lapangan (yuridis empiris) yakni dengan

melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui wanwancara dari informan

yang secara langsung ikut terlibat dalam upaya penanggulangan tindak pidana

korupsi, yaitu dengan pedoman wawancara dengan Jaksa yang menangani perkara

secara langsung ataupun Jaksa- Jaksa yang menguasai dan mendalami bidang

tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Binjai yang menjadi lokasi penelitian

(27)

2. Sumber dan Pengumpulan Data

a. Sumber Data

Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dengan mengumpulkan

data primer dan data sekunder yaitu data primer yang diperoleh dari penelitian

lapangan yaitu melalui wawancara dengan para Jaksa yang secara langsung ikut

terlibat dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi. Data sekunder dalam

penulisan skripsi ini adalah bahan- bahan kepustakaan hukum dan dokumen-

dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan. Data sekunder

yang dikumpulkan melalui studi pustaka dilakukan untuk mencari berbagai

konsepsi, teori- teori, asas- asas, doktrin- doktrin dan berbagai dokumen yang

berhubungan dengan pokok persoalan.

b. Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah melalui

wawancara dan penelitian kepustakaan, untuk utu digunakan pedoman wawancara

dengan Jaksa yang menangani perkara korupsi. Hal ini dilakukan untuk

memperoleh gambaran yang lebih jelas dan lengkap mengenai peran dan

tanggung jawab Kejaksaan dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi.

3. Analisis Data

Data yang dikumpulkan berdasarkan sumber- sumber, bahan- bahan

hukum primer dan sekunder untuk kemudian akan dialisis secara kualitatif dengan

mempelajari data yang diperoleh. Semua data yang dikumpulkan, diseleksi serta

(28)

dengan kata yang diperlukan sehingga akan diperoleh gambaran dalam prakteknya

terhadap permalahan yang ingin dijawab.

G.Sistematika Penulisan

Agar mudah dalam penyusunan dan memahami isi serta pesan yang ingin

di sampaikan maka penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam

skripsi ini. Dalam penulisan skrpsi ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab I ini akan diuraikan tentang latar belakang pemikiran penulis

sehingga mengangkat judul dengan perumusan masalahnya, tujuan dan manfaat

yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi ini, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan, metode penulisan yang dipakai serta sistematika penulisan skripsi.

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI

INDONESIA

Dalam Bab ini diuaraikan tentang pengaturan hukum tindak pidana

korupsi yang ada di Indonesia, jenis penjatuhan pidana pada perkara tindak pidana

korupsi, bentuk tindak pidana korupsi, subyek dan pertanggungjawaban dalam

(29)

BAB III KEDUDUKAN DAN PERANAN JAKSA DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai kedudukan dan peranan Jaksa dan

segala upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

BAB IV KENDALA- KENDALA DAN HAMBATAN YANG DIHADAPI

KEJAKSAAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang hal- hal apa saja yang menjadi

kendala dan hambatan yang dihadapi Kejaksaan dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi yang terjadi Indonesia dan di Kota Binjai.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran

atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan. Dalam hal ini penulis skrpsi

menyimpulkan dan memberikan jawaban dari permasalahan dan kemudian

penulis memberikan saran- saran untuk masalah yang ada dalam masyarakat dan

(30)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

DI INDONESIA

A. Sejarah Hukum Tindak Pidana Korupsi

Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan

sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah

korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya

Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat

(Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur

mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut15

1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:

:

a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh

Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan

Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada

dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk

kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan

suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian

keuangan atau perekonomian.16

15

Evi Hartanti, Op.cit, halaman 22

16

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001, halaman 13

Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang

(31)

bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan

kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya

oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan

material baginya.17

b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang

pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat

secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk

perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya

lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda

(PHB).

c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan

peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh

Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang

dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari

Pengadilan Tinggi.

d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor

PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.

e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor

PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor

42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan

Laut.18

17

Ibid, halaman 13-14

18

(32)

2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan,

Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.19 Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari

berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan,

menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.20 Undang-

Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang

Nomor 1 Tahun 1961.21

3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387),

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan

undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150),

tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember

2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137.

TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang

hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal tersebut

dinyatakan, “ Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini

19

Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, halaman 15

20

Konstitusi RIS dicabut dengan berlakunya UUDS 1950 dan UUDS 1950 dicabut dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959

21

(33)

juga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan

lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang- Undang ditentukan lain.”22

Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP

dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan

tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-

undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis

serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan

berlakunya Undang- Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi,

maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388

KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang- undangan mengatur

lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk

aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi

Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan

perundang- undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuan-

ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.

Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya

terdapat ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang

melakukan delik jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat

yang terkait dengan korupsi.

22

(34)

419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434

KUHP dinyatakan tidak berlaku.23

Perumusan tindak pidana korupsi menutur pasal 2 ayat 1 Undang- undang

Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang

memenuhi unsur/elemen dari pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak

pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan

Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus

sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau

perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut:24

1. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku

menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.

2. Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari

pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau

bertambahnya harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku

langsung.

3. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari

perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi,

yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1

undang- undang Nomor 31 Tahun 1999).

23

Ibid, Halaman 25.

24

(35)

Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak

peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana

korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang- Undang

Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun

2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur

berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak

pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana

korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri

telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang

tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum

sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang-

undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula

dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut

umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam

segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan

sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan

mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya

Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran

Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana

(36)

dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang

memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa

lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan

dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi inia

adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil

korupsi yang ada di luar negeri.25

B. Bentuk Tindak Pidana Korupsi, Subyek, dan Pertanggungjawaban

dalam Delik Korupsi

Dalam praktek kita mengenal dua bentuk korupsi diantaranya

Administrative Coruption, di mana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai

dengan hukum/ peraturan yang berlaku. Akan tetapi, individu- individu tertentu

memperkaya dirinya sendiri. Misalnya dalam hal proses rekruitmen pegawai

negeri, di mana dilakukan ujian seleksi mulai dari seleksi administratif sampai

ujian pengetahuan atau kemampuan. Akan tetapi. Yang harus diluluskan sudah

tertentu orangnya. Selain itu ada juga yang disebut dengan Against the rule

corruption, artinya korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan

dengan hukum. Misalnya penyuapan, penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Di masa orde lama masalah

korupsi ini diperangi dengan Peraturan Penguasa Perang Nomor

25

(37)

Prt/Perpu/013/1958, yang diumumkan pada tanggal 16 April 1958 dan disiarkan

dalam Berita Negara nomor 40 Tahun 1958.26

Subjek delik korupsi menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999, terbagi dalam dua kelompok, yang kedua-duanya

jika melakukan perbuatan pidana diancam sanksi. Pelaku ataupun subjek delik

tersebut adalah manusia, korporasi, pegawai negeri, dan setiap orang.27

Ada beberapa perumusan delik dalam tindak pidana korupsi diantaranya

adalah:

28

1. Memperkaya Diri atau Orang Lain Secara Melawan Hukum

Perumusan tindak pidana korupsi menurut pasal 2 ayat 1 Undang- Undang

Nomor 31 Tahun 1999 adalah setiap orang (orang- perorangan atau korporasi)

yang memenuhi unsur/ elemen dari pasal tersebut.dengan demikian, pelaku tindak

pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap orang”, tidak ada keharusan

Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus

sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau

perkumpulan.

2. Melakukan Perbuatan Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi

Adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen ini adalah:

26

Darwan Prinst, op.cit, halaman 10-11

27

Evi Hartanti, op.cit, halaman 21

28

(38)

a. Memperkaya diri sendiri, artinya dengan perbuatan melawan hukum itu

pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya

sendiri.

b. Memperkaya orang lain, yaitu akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku

ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau

bertambahnya harta bendanya. Jadi yang diuntungkan bukan pelaku

langsung.

c. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga mendapat keuntungan dari

perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu

korporsi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekeyaan yang terorganisasi,

baik merupakan badan hukum maupun badan hukum (pasal 1 angka 1

Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999).

3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Apabila perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, perbuatan pidana sudah selesai dan sempurna dilakukan.

Adapun yang dimaksud dengan keugangan neagar adalah seluruh kekayaan

negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,

termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan

kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan

pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di

daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah

kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas

(39)

maupun di daerah. Hukumannya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit

Rp.200.000.000,- dan paling banyak Rp.1.000.000.000,-

Delik dalam pasal 3 (penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau

sarana), yang pertama sekali perlu dipahami, bahwa pelaku tindak pidana menurut

pasal 3 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini adalah setiap orang, yakni

orang perorangan dan korporasi yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.29

Pertanggungjawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum

pidana umum. Hal itu nyata dalam hal, kemungkinan penjatuhan pidana secara in

absentia (pasal 23 ayat 1 sampai ayat 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi 1971, pasal 38 ayat 1,2,3 dan 4 UU Tindak Pidana Korupsi 1990).

Perampasan barang- barang yang telah disita bagi terdakwa yang telah meninggal

dunia sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi (pasal 23 ayat 5 UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971, pasal 38 ayat 5 UU Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi 1999), bahkan kesempatan banding tidak ada. Perumusan

delik dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971 yang sangat luas

ruang lingkupnya, terutama unsur ketiga pada pasal 1 ayat 1 sub a dan b UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971, pasal 2 dan 3 UU pemberantasan

tindak pidana Korupsi 1999. Penafsiran kata “menggelapkan” pada delik

penggelapan (pasal 415 KUHP) oleh Yurisprudensi baik di Belanda maupun di

Indonesia sangat luas. Uraian mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana

29

(40)

tersebut di atas dilanjutkan di bawah ini, pasal ini diadopsi menjadi pasal 8 UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2001).30

C.Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Menurut

UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001

Berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999, jenis

penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana

korupsi adalah sebagai berikut:

a. Terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi

1. Pidana Mati, baik berdasarkan pasal 69 KUHP, UU PTPK maupun

berdasarkan hak tertinggi manusia pidana mati adalah pidana terberat karena

pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia yang

merupakan hak asasi manusia yang utama. Selain itu, tidak dapat dikoreksi

atau diperbaiki eksekusi yang telah terjadi apabila dikemudian hari

ditemukan kekeliruan. Untuk itu hanya perbuatan pidana yang benar- benar

berat yang diancam oleh pidana mati. Dan setiap pasal yang mencantumkan

pidana mati selalu disertai alternatif pidana lainnya sehingga hakim tidak

disertai merta pasti menjatuhkan hukuman mati kepada pelanggar pasal

yang diancam pidana mati. Misalnya pidana mati atau penjara seumur hidup

atau pidana sementara paling lama 20 tahun sebagaimana tercantum dalam

pasal 340 KUHP, prinsip ini juga diikuti UU lain termasuk UU PTPK.31

30

Jur. Andi hamzah, op.cit, halaman 93

31

Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi, Penerbit Solusi Publishing, Jakarta 2010, halaman 7.

(41)

dalam UU No.31 Tahun 1999 hanya terdapat tindak pidana yang diancam

mati yaitu pasal 2 ayat 2. Pidana mati di sini “dapat diancam apabila tindak

pidana yang diatur pada ayat 2 beserta penjelasannya. Keadaan tertentu

dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yaitu sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi

apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan

bahaya sesuai dengan UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana

nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu

negara dalam keadaan krisis ekonomi atau moneter.

2. Pidana Penjara, merupakan perampasan kemerdekaan yang merupakan hak

dasar diambil secara paksa. Mereka tidak bebas pergi ke mana saja dan tidak

dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial sesuai yang ia kehendaki.

Namun, waktu pemidanaannya dipergunkan demi kepentingan reclassering

(Pemasyarakatan atau pembinaan). Pengaturan pidana penjara menurut

KUHP adalah sebagai berikut:

- Seumur hidup (tanpa minimal atau maksimal).

- Sementara dengan waktu paling pendek satu hari dan paling lama 15 tahun

sesuai pasal 12 ayat 2 KUHP. Pidana penjara dapat melewati batas

maksimum umum yaitu 15 tahun menjadi hingga 20 tahun dalam hal:

- Hakim boleh memilih antara pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau penjara sementara 20 tahun.

- Hakim boleh memilih antara pidana penjara seumur hidup atau pidana

(42)

- Ada pemberatan umum yaitu, concursus / pembarengan yang diatur dalam

pasal 65 hingga pasal 70, reseidve / pengulangan yang diatur dalam pasal

486 hingga pasal 488, pasal 52 mengenai pengalahgunaan wewenang

jabatan, dan pasal 52a tentang menyalahgunakan bendera RI.

- Ada pemberatan khusus, seperti pasal 355 jo pasal 356 mengenai

penganiayaan seorang anak terhadap ibu kandungnya.

Semua tindak pidana yang diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, diancam dengan pidana penjara baik penjara seumur hidup maupun

sementara. Pidana penjara seumur hidup terdapat dalam pasal 2 ayat 1,3,12,12B

ayat 2. Pidana penjara sementara diancam dengan batas maksimum dan batas

minimum. Batas minimum ditentukan dalam pasal- pasal dalam UU ini sebagai

salah satu upaya dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Pidana penjara sementara

berkisar antara 1 tahun hingga 20 tahun. Pidana 20 tahun sebagai alternatif

penjara seumur hidup.32

3. Pidana Tambahan33

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana

korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang- barang

tersebut.

32

Ibid, halaman 7- 9

33

(43)

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama

dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

c. Penuntupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1

tahun.

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak- hak tertentu atau penghapusan seluruh

atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh

pemerintah kepada terpidana.

e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama waktu 1 bulan

sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang

pengganti tersebut.

f. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk

membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang

lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai

ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut sudah

ditentukan dalam putusan pengadilan.

4. Gugatan Perdata kepada ahli warisnya, dalam hal ini terdakwa meninggal

dunia pada saat dilakukan pemeriksaan disidang pengadilan, sedangkan secara

nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan

salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau

diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata

kepada ahli warisnya.34

34

(44)

5. Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh atas nama suatu korporasi, di

mana pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan

ketentuan maksimum ditambah 1/3. Penjatuhan pidana ini melalui prosedural

ketentuan pasal 20 ayat 1-66 Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 adalah

sebagai berikut:35

a. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu

korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap

korporasi atau pengurusnya.

b. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang- orang baik berdasarkan hubungan

kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan

korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama- sama.

c. Dala hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi

tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan

kepada orang lain.

d. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di

pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke

sidang pengadilan.

e.Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengadilan

untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan

kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

Tindak pidana korupsi dapat digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu tindak

pidana korupsi murni dan tindak pidana tidak murni. Tindak pidana murni dalam

35

(45)

perumusanya memuat norma dan sanksi sekaligus. Adapun tindak pidana tidak

murni dalam perumusannya hanya memuat sanksi saja, sedangkan normanya

terdapat dalam KUHP.36

Adanya pembedaan ancaman pidana baik penjara maupun denda sesuai

bobot delik termasuk kualifikasinya dalam UU Pemberantasan Tindak pidana

Korupsi Tahun 1999. Dengan demikian, ada yang diancam dengan pidana penjara

maksimum seumur hidup (pasal 2), dan denda maksimum satu milyar.37

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi, maka penjatuhan hukuman menurut beberapa pasal yaitu,

pada pasal 5 yang rumusannya diadopsi dari pasal 209 KUHP, ancaman

penjaranya turun menjadi maksimum lima tahun, tetapi dendanya masih menjadi

250 juta rupiah. Pada pasal 6 rumusannya diadopsi dari pasal 210 KUHP

(menyuap hakim, pidana penjaranya turun menjadi maksimum lima belas tahun,

tetapi dendanya naik menjadi 750 juta rupiah. Pada pasal 7 yang rumusan

deliknya diadopsi dari pasal 387 dan 388, ancaman pidana penjaranya juga turun

menjadi maksimum tujuh tahun, tetapi dendanya naik manjadi maksimum 350

juta rupiah38

Pada pasal 8 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, “ dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan

paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit 150 juta rupiah dan paling .

36

Ibid, halaman 15

37

Jur. Andi Hamzah, Op.cit, halaman 111

38

(46)

banyak 750 juta rupiah, pidana denda pada pasal 11sama hal nya dengan pasal 8

yang membedakannya hanya denda pidanya yaitu 1 tahun dan paling lama 5

tahun. Dalam pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan

paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling

banyak 250 juta rupiah.

Pemidanaan pada pasal 10 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pidana penjara paling sedkit 2

tahun dan paling lama 7 tahun dengan denda paling sedikit 100 juta rupiah dan

paling banyak 350 juta rupiah. Pada pasal 12 dapat dipidana penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana

(47)

BAB III

KEDUDUKAN DAN PERANAN JAKSA DALAM PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Peranan Jaksa dari Sudut Pandang Penal Policy dalam Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Peranan Kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi

dapat diwujudkan dalam bentuk hasil kerja yang maksimal dam seimbang sesuai

kebijakan- kebijakan lain yang mendukung upaya pemberantasan korupsi di luar

Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu sendiri.39

Berdasarkan ketentuan pasal 284 ayat 2 KUHAP jo. Pasal 17 PP No.27

Tahun 1983 jo. Pasal 26 UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 44 ayat 4 serta pasal 50

ayat 1,2,3 dan 4 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo. Pasal 30 huruf d UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,

Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang masih diberi

wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi.40

Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui

dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana), dan

39

Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2005, halaman 58-59

40

(48)

pendekatan nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana). Peranan Jaksa dari

sudut pandang penal policy dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, di mana

istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy”. Istilah ini dalam bahasa

Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan

hukum pidana biasa disebut juga politik hukum pidana. Berbicara mengenai

politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik

hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari

ilmu hukum.41

Secara umum , pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah

“policy” atau “bleid” khususnya dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid” , menurut

Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood , dapat dirumuskan sebagai suatu

keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk

mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif42

Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan

“penal policy” atau “Penal Law Enforcement Policy” yang fungsionalisasi dan

atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu .

43

1. Formulasi (kebijakan legislatif/legislasi).

:

2. Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial).

3. Eksekusi (kebijakan eksekusi/administrasi).

41

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan 2008, halaman 65

42

http:// www. Repository.usu.ac.id

43

(49)

Usaha pemberantasan kejahatan lewat pembuatan undang- undang

(hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha

perlindungan masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan pemberantasan

kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal”

(hukum pidana) , maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada

tahap formulasi/ kebijakan legislasi yang merupakan tugas dari aparat pembuat

undang- undang , harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan

dari kebijakan sosial berupa “social-welfare” dan “social-defence”.

Adapun mekanisme pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi yang

merupakan upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara Penal yaitu:

1. Pemeriksaan Pendahuluan

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan hasil- hasil intervensi

yang dibuat secara tertulis dari pihak tersangka. Dalam tahapan ini dikumpulkan

bahan- bahan yang menjadi barang bukti atau alat- alat bukti dalam suatu

rangkaian berkas perkara, serta kelengkapan pemeriksaan lainnya dengan maksud

untuk dapat menyerahkan perkara ke pengadilan. Proses pemeriksaan

pendahuluan ini berupa kegiatan yang rinciannya merupakan pemeriksaan

persiapan, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan.44

a. Penahanan

Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang

melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam

44

(50)

tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana tersebut diancam dengan pidana

penjara 5 tahun atau lebih dan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam

pasal 282 ayat 3, pasal 296, pasal 355 ayat 1, pasal 353 ayat 1, pasal 372, pasal

379a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480, dan 506 KUHP, pasal

25 dan pasal 26 (pelanggaran terhadap ordonansi bea dab cukai, terakhir diubah

dengan staatsblad tahun 1931 nomor 471).

b. Jenis Penahanan

Jenis- jenis penahanan (pasal 22 KUHAP) dapat berupa penahanan rumah

tahanan negara, penahanan rumah yang dilaksanakan di rumah tempat tinggal

atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan

pengawasan terhadapnya untuk segala sesuatu yang dapat menimbulkan

kesulitan dalam penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang

pengadilan, penahanan tersebut 1/3 dari jumlah lamanya waktu penahanan.

Penahanan kota yang dilakukan di kota tempat tinggal atau tenpat kediaman

tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa

melapor diri pada waktu yang ditentukan, untuk penahan kota pengurangan

tersebut 1/5 dari jumlah lamanya waktu penahanan.

c. Jangka waktu penahanan dan hak tersangka atau terdakwa

Perintah penahanan oleh penyidik paling lama 20 hari. Apabila diperlukan

untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai maka dapat diperpanjang oleh

penuntut umum yang berwenang paling lama 40 hari yang diperpanjang oleh

Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang paling lama 30 hari, setelah 60 hari

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah rumah tangga usaha pertanian kelompok umur kurang dari 15 tahun dengan petani utama laki-laki tercatat sebesar 96 rumah tangga, lebih tinggi daripada

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari nilai rata-rata tekanan intraokular, kedalaman bilik mata depan, dan ketebalan lensa pada pasien preoperasi katarak senilis di RS PHC

moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika

Sedangkan peran guru sebagai evaluator, berart setap guru dituntut untuk mampu dan selalu mengevaluasi sikap atau prilaku diri, dan metode pembelajaran yang dipakai dalam

Kebijakan    dan    Strategi    Penataan    Ruang    Wilayah    Nasional,    meliputi    kebijakan    dan    strategi   pengembangan   struktur   ruang   dan   pola

Pembangunan konstruksi dengan menggunakan beton bertulang merupakan jenis konstruksi yang paling banyak digunakan karena mudah dalam mendapatkan material dan

Karena keterbatasan SDI yang ahli di bidang perbankan syariah, menyebabkan bank syariah merekrut tenaga-tenaga yang kurang ahli di bidang perbankan syariah, terutama di SDI

Mereka berdua melakukan gerakan yang rampak dan saling mengisi tetapi sedang melakukan gerak berdua, muncul salah satu penari kelompok perempuan dari balik pintu