• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Kentang Varietas Olimpus

Kentang Olimpus merupakan varietas klon dengan wilayah adaptasi dataran medium wilayah Majalengka. Kentang Olimpus memiliki ciri-ciri sebagai berikut : memiliki bentuk penampang batang segitiga, warna batang hijau keunguan, bentuk daun oval pendek dengan ukuran Panjang 15-18,2 cm dan Lebar 7-9,6 cm dengan warna daun hijau gelap, bentuk umbi oval memanjang dengan ukuran Panjang 6,9-8,0 cm dan Diameter 3,95-4,8 cm, warna kulit dan daging umbi putih dan rasanya tidak getir, jumlah umbi per tanaman 7-11 umbi dengan berat per umbi 48,93-50,47 g. Keunggulan dari kentang varietas olimpus ini adalah toleran terhadap suhu tinggi dan mampu tumbuh di daerah dataran menengah yaitu 300-700 m dpl. Kentang Olimpus memiliki produksi umbi 15.47 – 23.34 ton/ha dengan populasi 40.000 – 50.000 tanaman/ha. Jumlah produksi ini

Universitas Sumatera Utara

lebih tinggi dibandingkan rata-rata produktivitas kentang nasional yaitu sebesar 13 ton/ha (Balitsa, 2018).

Gambar 1. Kentang Varietas Olimpus 2.4 Kultur Jaringan Tanaman Kentang

Perbanyakan tanaman kentang dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu dengan menggunakan tunas umbi, bagian batang, umbi utuh, umbi dibelah, biji botani dan penggunaan metode in vitro yaitu kultur jaringan (mikropropagasi). Umumnya dalam perbanyakan in vitro menggunakan beberapa cara yaitu nodal cutting, apical cutting dan microtubers (Kusmana, 2012).

Kultur jaringan adalah metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, dengan menumbuhkannya dalam kondisi aseptik (in vitro), sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Awalnya kultur jaringan berkembang dari pembuktian teori totipotensi sel, dimana setiap satu sel, jaringan atau organ mempunyai potensi untuk beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Khumaida dan Efendi, 2011).

Keuntungan yang diperoleh dari teknik kultur jaringan adalah menghasilkan tanaman dalam jumlah yang banyak dengan waktu yang relatif singkat. Teknik

Universitas Sumatera Utara

12

kultur jaringan juga dapat dipergunakan untuk penyimpanan plasma nutfah atau benih secara in vitro (Karjadi dan Buchory, 2006).

2.5 Mutasi Genetik

Mutasi merupakan perubahan materi genetik yang terjadi pada suatu organisme yang menyebabkan perubahan ekspresinya dan diwariskan pada keturunannya. Mutasi dapat terjadi pada tingkat pasangan basa, tingkat ruas DNA, bahkan pada tingkat kromosom (Wahyu, 2013). Proses terjadinya mutasi disebut mutagenesis, organisme yang mengalami mutasi disebut mutan dan penyebab terjadinya mutasi disebut mutagen (Shah et al., 2008).

Mutasi diperoleh dari kesalahan yang terjadi selama replikasi DNA atau jenis lain dari kerusakan DNA (Sharma et al., 2015), atau kesalahan yang terjadi selama perbaikan DNA (Rodgers, 2016). Mutasi juga dapat dihasilkan dari penyisipan atau penghapusan segmen DNA (Burrus, 2004).

Menurut Miglani (2010), mutasi di bagi atas beberapa jenis yaitu : 1. Mutasi skala kecil

Mutasi ini disebut juga mutasi titik, dimana terjadi pergantian satu pasang nukleotida. Perubahan ini menghasilkan ukuran yang sangat kecil yang tidak bisa diamati bahkan di bawah mikroskop. Mutasi titik ini dapat dideteksi dengan membandingkan urutan basa nukleotida dari wild type dan mutan DNA/RNA. Karena yang terjadi adalah substitusi, maka jumlah pasangan nukleotida tidak berubah dalam gen. Terdapat dua jenis mutasi titik, yaitu transisi dan transversi. Transisi merupakan perubahan dari purin ke purin (A

→ G atau G → A) atau pirimidin ke pirimidin (T → C atau C → T),

Universitas Sumatera Utara

sedangkan transversi adalah perubahan dari purin ke pirimidin atau pirimidin ke purin (A → T atau T → A).

2. Mutasi intermediet

Pada mutasi ini terjadi perubahan baik dalam hal ada tambahan (penyisipan) atau penghapusan (removal) dari satu atau beberapa pasang nukleotida dari gen. Mutasi ini menyebabkan terjadinya perubahan dalam jumlah pasangan nukleotida dalam gen, sehingga perubahan tersebut dapat menyebabkan pergeseran dalam pembacaan frame atau pengelompokan kodon dan disebut sebagai mutasi frameshift.

3. Mutasi skala besar

Mutasi ini disebut juga sebagai mutasi kromosom, karena pada mutasi ini terjadi perubahan pada kromosom termasuk perubahan struktur kromosom dan perubahan jumlah kromosom. Ada beberapa jenis mutasi berdasarkan perubahan struktur kromosom yaitu delesi (penghapusan daerah kromosom), duplikasi (penambahan bagian dari suatu gen), inversi (pemotongan gen, kemudian diputar dengan sudut 180° dan disambungkan dalam urutan terbalik), translokasi (transfer suatu bagian dari kromosom ke kromosom yang sama, atau kromosom nonhomolog, atau dua kromosom nonhomolog yang saling bertukar). Sedangkan mutasi berdasarkan perubahan jumlah kromosom dibagi menjadi beberapa jenis yaitu monoploidi, diploidi, dan triploidi.

Menurut Zhu et al., (2006), berdasarkan proses terjadinya mutasi dapat dibedakan menjadi mutasi yang terjadi secara spontan (alami) dan mutasi melalui induksi. Kedua mutasi ini dapat menghasilkan variasi genetik yang dapat dijadikan sebagai dasar seleksi tanaman, baik seleksi secara alami maupun buatan

Universitas Sumatera Utara

14

(pemuliaan). Mutasi yang terjadi pada tanaman dapat menyebabkan perubahan- perubahan pada bagian tanaman yaitu perubahan pada bentuk maupun warna dan perubahan pada sifat-sifat lainnya (Herawati dan Setiamihardja, 2000). Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan pada setiap fase pertumbuhan tanaman, akan tetapi lebih banyak terjadi pada bagian tanaman yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel seperti tunas dan biji (Oeliem, et al, 2008).

Mutasi alami merupakan mutasi yang terjadi disebabkan adanya sinar surya, maupun energi listrik seperti petir, sedangkan mutasi buatan melalui induksi dilakukan dengan memberikan mutagen. Terdapat dua jenis mutagen yang digunakan dalam proses mutasi yaitu mutagen fisik dan mutagen kimia. Mutagen fisik yang sering digunakan adalah sinar x, sinar gamma dan sinar ultra violet, sedangkan yang termasuk dalam mutagen kimia antara lain Ethyl Methane Sulfonaet (EMS), Diethyl sulfate, Ethyl Amin dan kolkisin (BB Biogen, 2014).

Senyawa mutagen kimia seperti hydroxylamine, ethyl methane sulphonate (EMS), diethyl sulfate (DES), dan methyl methane sulphonate (MMS) menyebabkan mutasi titik (Soeranto, 2003). Sedangkan senyawa mutagen kimia seperti kolkisin menyebabkan mutasi kromosom yaitu untuk penggandaan kromosom, dimana mutagen ini yang paling umum digunakan pada tanaman dalam menginduksi poliploidisasi (Salma et al., 2017).

Menurut Soltis et al. (2009), organisme yang memiliki 2 set atau lebih kromosom lengkap dalam inti sel disebut dengan organisme poliploid.

Poliploidisasi dengan sistem kultur jaringan in vitro memberikan lingkungan yang terkendali untuk induksi poliploid pada frekuensi yang lebih tinggi (Song et al.

2012). Poliploidisasi menghasilkan berbagai perubahan pada tanaman meliputi

Universitas Sumatera Utara

perubahan morfologi, fisiologi, sitologi, dan fitokimia, serta dapat menghasilkan varian bermanfaat yang dapat menghasilkan bibit inovatif sebagai sumber daya plasma untuk studi pemuliaan (Thao et al., 2003). Induksi poliploidi telah digunakan sebagai strategi pemuliaan yang efisien di banyak spesies tanaman, seperti Cymbopogon (Lavania et al., 2012) dan Tanacetum parthenium (Majdi et al., 2010). Poliploidi sering menghasilkan berbagai perubahan fenotipik jika dibandingkan dengan diploid, secara morfologi perubahan yang terjadi dapat berupa daun yang lebih besar, bunga dan buah yang lebih besar (Chen et al., 2016), pada fitur fisiologis perubahan yang terjadi seperti tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan waktu berbunga yang lebih pendek atau lebih lama (Pires et al., 2004). Selain perubahan morfologi dan fisiologi, poliploidi juga dapat meningkatkan toleransi terhadap faktor abiotik seperti salinitas (Chao et al., 2013), kekeringan (Del Pozo and Ramirez-Parra, 2014) dan suhu ekstrim (Zhang et al., 2010).

Varietas kentang yang umum dibudidayakan antara lain bersifat tetraploid (2n= 4x= 48) dengan jumlah kromosom dasar 12, akan tetapi ada jenis kentang yang dibudidayakan bersifat diploid (2n= 2x= 24) hingga pentaploid (2n= 5x=

60). Spesies kentang budidaya yang bersifat triploid dan pentaploid hanya tumbuh di dataran tinggi dan lereng Andes, sementara spesies kentang budidaya yang bersifat diploid dapat ditanam lebih luas dan juga digunakan untuk pemuliaan varietas tetraploid (Watanabe. K, 2015).

Teknik mutasi yang dikombinasikan dengan teknik kultur in vitro telah banyak dikembangkan dan menghasilkan berbagai varietas unggul untuk ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Keragaman yang

Universitas Sumatera Utara

16

dihasilkan pada sel somatik disebut dengan variasi somaklonal. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan variasi somaklonal yaitu:

1. Menumbuhkan kalus atau suspensi sel pada beberapa siklus.

2. Meregenerasikan tanaman dalam jumlah besar dari kultur yang telah mengalami siklus yang lama.

3. Skrening/seleksi untuk sifat tertentu pada tanaman hasil regenerasi atau turunannya, melalui seleksi in vitro menggunakan cekaman seperti cekaman biotik atau abiotik.

4. Pengujian dan seleksi varian sampai generasi lanjut pada sifat yang diinginkan.

5. Perbanyakan pada mutan yang sudah stabil untuk mendapatkan genotipe baru (BB Biogen, 2014).

2.6 Colchicine

Colchicine merupakan alkaloid alami yang diekstraksi dari tanaman Colchicum autumnale L. (Nelson et al., 2007). Colchicine telah berhasil dan banyak digunakan dalam proses induksi poliploidi (Ye et al., 2010).

Colchicine pada konsentrsi yang kritis akan mencegah terbentuknya benang- benang plasma dari gelondong inti (spindle), sehingga pemisahan kromosom pada tahap anafase mitosis tidak berlangsung yang akan menyebabkan penggandaan kromosom tanpa pembentukan dinding sel. Tidak ada ketentuan mengenai besarnya konsentrasi colchicine yang harus digunakan dan lamanya waktu perendaman perlakuan, karena kedua faktor ini tergantung dari sampel atau bahan yang akan digunakan pada percobaan. Konsentrasi colchicine yang umum

Universitas Sumatera Utara

digunakan yaitu mulai dari 0,01%-1,0% dan setiap jenis tanaman akan memberikan respon yang berbeda (Suryo, 2007).

Induksi colchicine sering digunakan untuk mendorong terjadinya perubahan pada bentuk, ukuran dan jumlah kromosom. Pemberina konsentrasi colchicine 1% pada bawang merah (Allium ascalonium L.) menyebabkan terjadinya variasi bentuk, ukuran dan jumlah kromosom. Poliploid yang terbentuk dapat dikelompokkan menjadi tetraploid, pentaploid, heksaploid, oktaploid dan nanoploid (Suminah et al., 2002). Sulistianingsih et al. (2004) melaporkan bahwa perlakuan waktu perendaman tanaman anggrek dendrobium hibrida dengan konsentrasi kolkisin 0,02% selama 6 jam menghasilkan jumlah kromosom yang lebih banyak yaitu 2n= 96,667 dibandingkan dengan kontrol (2n= 28). Haryanti et al. (2009) melaporkan bahwa perlakuan colchicine pada kacang hijau mempengaruhi pertumbuhan dan ukuran sel metafase kacang hijau, dimana konsentrasi colchicine 0,2% mengakibatkan penurunan pertumbuhan kacang hijau tetapi meningkatkan kandungan proteinnya.

Penelitian mutagenesis pada tanaman dengan menggunakan colchicine sudah dimulai sejak tahun 1940, pada tahun ini juga colchicine ditemukan dan diketahui mempunyai pengaruh dalam penggandaan kromosom atau menjadikan tanaman poliploid. Berbagai penelitian dengan menggunakan colchicine untuk meningkatkan kualitas tanaman kemudian dilakukan di seluruh dunia sejak saat itu dan sampai sekarang masih terus dilakukan. Poliploidi dapat menyebabkan reorganisasi genom skala besar yang kemudian akan menyebabkan terjadinya berbagai perubahan fenotif baik pada bagian vegetatif maupun generatif tanaman (Amiri et al., 2010). Keberhasilan induksi poliploidi tergantung pada metode

Universitas Sumatera Utara

18

aplikasi colchicine, bagian tanaman yang digunakan, spesies, konsentrasi dan durasi paparan. Konsentrasi colchicine yang tinggi sering menyebabkan kelainan dalam pengembangan bibit (Pirkoohi et al., 2011).

Colchicine tidak hanya mengubah jumlah kromosom tetapi juga

menginduksi mutasi gen baik pada benih maupun tanaman yang diperbanyak secara vegetative (Datta, 2009). Colchicine bertindak sebagai titik mutagen dengan mengubah urutan nukleotida DNA yang melibatkan basa tunggal atau pasangan basa (Liu, 2012). Dalam ilmu tanaman, istilah chimera secara genetik mengacu pada tanaman yang memiliki setidaknya dua lapisan atau kelompok sel yang berbeda sebagai akibat dari mutasi yang tumbuh bersama di apical meristem. Chimera dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui mutasi spontan, mutagenesis kimia (seperti perlakuan colchicine), okulasi, atau pewarisan. Chimera juga dapat digunakan untuk memisahkan variasi yang baik untuk mengembangkan varietas baru dalam pemuliaan tanaman (Li et al., 2016).

Dwiyantono (2017) melaporkan bahwa kombinasi konsentrasi colchicine (0,025%, 0,050% dan 0,075%) dan lama perendaman ( 1, 24, dan 48 jam) pada kentang kultivar Granola berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan pada parameter jumlah daun, jumlah tunas, tinggi tunas dan jumlah akar. Dimana konsentrasi yang semakin tinggi dan durasi perlakuan yang semakin lama akan menurunkan nilai parameter pertumbuhan, tetapi dalam konsentrasi rendah dan durasi yang singkat meningkatkan parameter pertumbuhan dibanding kontrol. Perlakuan perendaman colchicine pada kentang kultivar granola juga berpengaruh nyata terhadap keragaman pada jumlah kloroplas, ukuran stomata dan kerapatan stomata.

Universitas Sumatera Utara

2.7 Mitosis Sel Somatik

Mitosis merupakan pembelahan inti sel yang berhubungan dengan pembelahan sel somatik atau sel tubuh eukariot. Setiap sel yang membelah pada tahap mitosis akan menghasilkan dua sel baru yang jumlah kromosom dan kandungan genetiknya identik dengan sel asal (Sastrosumarjo, 2006). Inti sel mengandung kromosom yang merupakan materi genetik yang berfungsi sebagai pewarisan sifat suatu individu. Kromosom terbentuk dari benang-benang kromatin yang didalamnya terdapat untaian basa nukleotida yang akan membentuk rantai DNA (Shepperd, 2006).

Mitosis merupakan proses yang terjadi secara terus-menerus, oleh karena itu untuk mempermudah pada saat pengamatan, para ahli sitologi membagi proses mitosis menjadi lima fase utama yaitu interfase, profase, metafase, anafase dan telofase. Metafase merupakan fase paling ideal untuk studi sitotaksonomi, karena kondensasi kromosom akan terus berlanjut sampai mencapai batas maksimal pada fase ini, dimana kromosom menjadi lebih pendek dan lebih tebal dibandingkan dengan fase yang lain. Pada tahap metafase mitosis menunjukkan morfologi kromosom seperti panjang kromosom, posisi sentromer dan jumlah kromosom yang dapat dihitung dan menjadi dasar untuk analisis kariotipe (Syukur, 2006).

2.8 Umbi Mikro Kentang

Umbi mikro kentang adalah miniatur umbi kentang yang digunakan sebagai benih kentang untuk penanaman di lahan pertanian yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan (Saha et al., 2013). Ukuran umbi mikro menjadi indikasi keberhasilan penampilan tanaman kentang dilapangan, dimana semakin besar ukuran umbi mikro maka semakin baik tampilannya dilapangan (Kawakami

Universitas Sumatera Utara

20

dan Iwama, 2012). Oleh karena itu, memproduksi umbi mikro dengan ukuran besar menjadi sangat penting.

Keberhasilan teknik kultur jaringan tanaman kentang dalam menghasilkan umbi mikro sangat dipengaruhi oleh formula media dan suhu inkubasi ruang kulturnya (Otroshy et al., 2009). Suhu inkubasi yang tinggi akan menghambat pembentukan umbi kentang (Suharjo et al., 2008), karena tanaman kentang membutuhkan suhu rendah untuk dapat tumbuh dengan baik dan berproduksi secara maksimal (Stark and Love, 2003). Pada suhu rendah (18 ± 20C), eksplan tanaman kentang hanya memerlukan 17,1 hari untuk menghasilkan umbi mikro, sedangkan pada suhu tinggi (29 ± 20C) diperlukan 30,1 hari. Selain itu, pada suhu rendah didapatkan 88,5% tanaman menghasilkan umbi mikro, dengan jumlah umbi mikro per botol mencapai 7,63 buah, berbobot total 1,63 g, dan rata-rata diameter umbinya mencapai 6,78 mm. Hasil ini jauh lebih baik dibandingkan pada suhu tinggi dimana pada suhu tinggi persentase tanaman menghasilkan umbi hanya sebesar 7.94%, jumlah umbi per botol hanya 0.21, dengan bobot total umbi

0.02 gr dan rata-rata diameter umbinya hanya sebesar 1.12 mm (Suharjo et al., 2017). Oleh karena itu, umbi mikro kentang yang di produksi pada suhu tinggi dapat dijadikan sebagai simulasi untuk produksi kentang di daerah dataran rendah.

Faktor lingkungan yang terlibat dalam induksi umbi mikro adalah cahaya dan suhu, sedangkan komponen media yang terlibat dalam induksi umbi mikro yaitu sukrosa, nitrogen, pengatur tumbuh, dan produk alami (Donnelly et al., 2003). Namun salah satu kendala utama dalam proses pembentukan umbi mikro adalah termosensitivitasnya di sebagian besar kultivar kentang, hal inilah yang membatasi perluasan budidaya kentang ke daerah tropis. Pada kondisi in vitro,

Universitas Sumatera Utara

kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan planlet adalah 20-25oC sedangkan untuk induksi umbi mikro suhu yang dibutuhkan umumnya lebih rendah yaitu 15- 18oC. Pada suhu tinggi jumlah umbi berkurang secara signifikan pada kultivar kentang yang tidak tahan suhu tinggi, sedangkan genotype kentang yang toleran pada suhu tinggi menunjukkan peningkatan berat umbi pada suhu 25oC dibandingkan pada suhu 18oC (Singh et al., 2016).

2.9 Stomata dan Kloroplas Sel penjaga

Stomata adalah suatu celah pada jaringan epidermis daun yang berfungsi selama proses fotosintesis. Stomata dilengkapi oleh dua sel penjaga (guard cell) yang mengandung kloroplas yang merupakan organel sel tempat terjadinya fotosintesis. Kloroplas mengandung ribosom, DNA dalam jumlah sedikit, pigmen serta enzim. DNA dalam kloroplas berfungsi untuk memprogram sintesis protein yang dibuat dalam ribosom pada kloroplas (Campbell et al., 2002). Menurut Izza dan Laily (2015) karakteristik stomata pada daun meliputi jumlah stomata total, jumlah stomata yang terbuka dan tertutup, kerapatan stomata, dan jenis stomata.

Daun dengan sistem pertulangan menjalar seperti pada tanaman Solanaceae memiliki stomata yang menyebar tidak teratur sedangkan pada daun dengan sistem pertulangan sejajar seperti pada Graminea, stomata tersusun dalam barisan yang sejajar (Damayanti, 2007).

Menurut Rego et al. (2011) metode penghitungan jumlah kloroplas dalam sel penjaga adalah cara yang efektif dan cepat untuk menentukan tingkat ploidi.

Jumlah kloroplas dalam sel penjaga dapat mengidentifikasi tanaman diploid dan tetraploid. Semakin besar ukuran stomata maka semakin banyak jumlah kloroplas sehingga semakin tinggi tingkat ploidi, sebaliknya semakin rendah kerapatan

Universitas Sumatera Utara

22

stomata maka semakin tinggi tingkat ploidi. Peningkatan jumlah kloroplas pada sel penjaga mengakibatkan ukuran stomata menjadi lebih besar, ukuran stomata yang semakin besar mengakibatkan kerapatan stomata menjadi semakin rendah (Yulianti et al., 2015) dimana penelitian yang dilakukannya menghasilkan tunas perlakuan colchicine 0,1% memiliki kerapatan stomata yang lebih rendah daripada kontrol dan ukuran stomata yang lebih besar daripada tunas kontrol karena tunas perlakuan colchicine 0,1% memiliki jumlah kloroplas yang lebih banyak. Menurut Shrestha dan Kang (2016), pengamatan pada panjang stomata dan kerapatan stomata, secara tidak langsung dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat ploidi tanaman dengan cepat dan mudah. Metode tersebut pada umumnya bisa digunakan untuk skrining dan seleksi pembibitan.

2.10 Pengamatan Kromosom

Tujuan utama analisis kromosom adalah untuk mengetahui karakteristik dan morfologi dari kromosom, seperti jumlah kromosom, struktur kromosom dan aktivitas kromosom selama pembelahan sel berlangsung. Pengamatan kromosom dilakukan dengan memfiksasi sel tanaman yang merupakan tahap awal untuk mempersiapkan bahan segar untuk pengamatan mikroskopis. Tujuan dari fiksasi adalah untuk mematikan sel tanpa merusak organel-organel yang menyusun sel tersebut yaitu kromosom, untuk mengawetkan organel-organel sel dan memudahkan jaringan untuk diwarnai. Metode yang digunakan untuk menganalisis kromosom adalah metode squash atau sediaan tekan (Nurwanti, 2010).

Menurut Jurcak (1999) untuk mendapatkan hasil yang baik pada pengamatan kromosom, diperlukan waktu dan teknik yang tepat. Teknik

Universitas Sumatera Utara

pewarnaan atau disebut juga dengan squashing merupakan metode yang digunakan untuk pengamatan kromosom dengan menggunakan aceto carmine sebagai pewarna. Larutan aceto carmine dibuat dari asam asetat 45% dan serbuk carmine, dimana 100 ml asam asetat dipanaskan hingga mencapai suhu 90-95oC kemudian ditambahkan 1-2 gram serbuk carmine dan digoyang-goyangkan selama 10 menit kemudian disaring agar tidak terdapat gumpalan serbuk carmine pada larutan aceto carmine yang terbentuk. Pewarnaan terhadap preparat bertujuan untuk menciptakan perbedaan optikal diantara kromosom dengan struktur sel lainnya sehingga dapat dibedakan di bawah mikroskop. Selain serbuk carmine, pewarna yang digunakan untuk pengamatan kromosom dapat diganti dengan serbuk orcein yang dibuat dengan proses yang sama dengan larutan aceto carmine (Sastrosumarjo, 2006).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses fiksasi antara lain pemilihan bahan fiksasi yang tepat, besar kecilnya organisme yang akan menentukan cepat dan seragamnya penetrasi bahan fiksasi, rasio volume bahan fiksasi dengan jaringan yang difiksasi pada umumnya 10-12 kali, serta karakter jaringan yang difiksasi karena ada beberapa jaringan tertentu lambat dalam penetrasi, misalnya pada tumbuhan yang memiliki epidermis yang dilapisi dengan lapisan kutikula yang bersifat hidrofobik. Perlakuan fiksasi dibedakan atas perlakuan fisik dan kimiawi. Perlakuan secara fisik dapat dilakukan dengan pendinginan jaringan dalam nitrogen cair, cara ini telah banyak digunakan untuk sel atau jaringan hewan. Pendinginan jaringan dengan nitrogen cair ini efektif untuk menjaga struktur sel karena proses difusi yang sangat kecil dan tidak terjadi perubahan enzim secara signifikan, tetapi kelemahan dari perlakuan ini dapat

Universitas Sumatera Utara

24

menyebabkan terputusnya kromosom karena adanya kristal es dalam sel atau jaringan. Perlakuan secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia seperti larutan carnoy. Perlakuan secara kimiawi membutuhkan keseimbangan dan ketepatan bahan-bahan yang dipakai, misalnya pencampuran larutan asam dan alkohol pada kondisi seimbang dapat menjaga struktur sel pada kondisi yang stabil dan memungkinkan untuk diamati, tetapi reaksi beberapa asam yang berlebihan dapat menyebabkan struktur sel menyusut (Melky, 2006).

Bahan tanaman yang digunakan untuk pengamatan kromosom adalah ujung pucuk dan ujung akar. Bagian tanaman terbaik untuk pengamatan mitosis adalah ujung akar, hal ini disebabkan akar tidak mengandung klorofil dan mudah dalam penyerapan warna aceto carmine/aceto orcein. Waktu pemotongan akar adalah faktor yang sangat menentukan keberhasilan pengamatan mitosis untuk menghitung jumlah kromosom. Pembelahan sel pada tanaman terjadi pada waktu yang berbeda-beda dan tidak konstan, sehingga untuk mendapatkan waktu pembelahan sel yang tepat diperlukan pengamatan yang berulang pada waktu yang berbeda. Teknik pewarnaan untuk pengamatan kromosom memerlukan keahlian dan ketelitian untuk menghasilkan preparat amatan yang akan mempengaruhi hasil pengamatan. Pada pengamatan mitosis sel terdapat beberapa kasus kesalahan dan penyebabnya yang tercantum pada tabel berikut (Jurcak, 1999).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Kesalahan Dalam Pengamatan Mitosis Sel dan Penyebabnya.

Kesalahan Penyebab

Inti terwarnai dengan jelas, tetapi tahapan Pemotongan material tanaman tidak pada mitosis tidak terlihat waktu yang tepat.

Kromosom tidak jelas 1. Waktu fiksasi terlalu pendek 2. Konsentrasi pewarna terlalu rendah 3. Pewarna yang digunakan sudah rusak

atau terlalu lama disimpan

4. Suhu selama perwarnaan terlalu rendah 5. Waktu pewarnaan terlalu pendek Beberapa sel menumpuk satu sama lain

1. Waktu melunakkan jaringan terlalu pendek

2. Pembuatan larutan untuk maserasi tidak tepat

3. Kurang tenaga ketika menekan gelas objek

Sel meristem pecah, tahapan mitosis atau

1. Gelas penutup bergeser jauh ketika ditekan

kromosom tidak dapat dilihat 2. Gelas penutup ditekan terlalu keras atau berulang-ulang

Lensa mikroskop tergores atau pecah Permukaan penyangga tidak rata

Lensa mikroskop tergores atau pecah Permukaan penyangga tidak rata