• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Yang Telah Diterbitkan Sertipikat Salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal

KEPUTUSAN HAKIM DALAM KASUS GRANT SULTAN

D. Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Yang Telah Diterbitkan Sertipikat Salah satu tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal

3 Peraturan Pemerintahan Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah,satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.

Meski sudah mendapat pengakuan dalam UUPA, sertifikat belum menjamin kepastian hukum pemiliknya karena dalam peraturannya sendiri memberi peluang dimana sepanjang ada pihak lain yang merasa memiliki tanah dapat menggugat pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat secara keperdataan ke Peradilan Umum, atau menggugat Kepala BPN/Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ke Pengadilan Tata Usaha Negarta, atau gugatan yang menyangkut teknis administrasi penerbitannya.115

115Rusmadi Murad, 1997,Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya dalam Praktik, Cetakan I, Mandar Maju, Jakarta, Hal. 46

Sertipikat sebagai tanda bukti hak yang bersifat mutlak apabila memenuhi unsur-unsur secara kumulatif yaitu :

1. Sertipikat diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum 2. Tanah diperoleh dengan itikad baik

3. Tanah di kuasai secara nyata

4. Dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertipikat itu tidak ada yang mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbit sertipikat.116 Pendaftaran atas bidang tanah dilakukan agar mendapatkan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah maupun pihak lain yang berkepentingan dengan tanah. Dengan telah melakukan pendaftaran dan mendapatkan sertipikat, pemegang hak atas tanah memiliki bukti yang kuat atas tanah tersebut. Undang-Undang Pokok Agraria mengatur bahwa Pemerintah mengadakan pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian Hukum atas hak-hak atas tanah.117 Demikian dinyatakan juga fungsi sertipikat dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, karena itu, siapapun dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam sertipikat itu. Selanjutnya dapat membuktikan mengenai keadaan-keadaan dari tanahnya itu

116 Santoso Urip, 2012, Hukum Agraris : Kajian Komprehensif, Cetakan I, Kencana, Jakarta,Hal. 319

117Urip Santoso,Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Prenada Media Group, Jakarta 2010, cetakan ke-2, hal 248.

misalnya luas, batas-batas, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud.

Sejalan dengan itu kitab undang-undang hukum perdata juga menyatakan dalam pasal 1865 dan pasal 1866 tentang pembuktian pada umumnya yang berbunyi : setiap orang yang mendalikan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantu suatu hak orang lain,menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut dengan alat-alat buki yang terdiri atas : bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan- persangkaan, pengakuan, sumpah dan segala sesuatu dengan mengindahkan aturan- aturan yang ditetapkan.118 Apabila dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan/penguasaan atas tanah, maka semua keteranagan yang dimuat dalam sertipikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar, sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya atau membuktikan sebaliknya. Tetapi jika ternyata ada kesalahan didalamnya, maka diadakan perubahan/pembetulan seperlunya. Dalam hal ini yang berhak melakukan pembetulan bukanlah pengadilan melainkan instansi yang menerbitkannya yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan perubahan sertipikat dengan melampirkan surat keputusan pengadilan yang menyatakan adanya kesalahan dimaksud.

118Prof. R. Subekti, S.H dan R Tjitrosudibio, kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta 2008. Hal. 475

Apabila suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikatnya secara sah atas nama orang atau bidang hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasai tanah tersebut, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut tidak dapat lagi menuntut haknya, apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat tersebut, tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepada Kantor Pertanahan atau tidak mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat. Inilah yang disebutrechtsverwerking.

Ketentuan ini merupakan penyempurnaan dan penegasan terhadap sistem publikasi negatif bertendensi positif dari pendaftaran tanah yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Selama ini orang yang tercantum namanya dalam sertipikat selalu dihadapkan pada kemungkinan adanya gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai hak atas bidang tanahnya. Tetapi dengan penentuan batas waktu ini, maka orang yang tercantum namanya dalam sertipikat akan bebas dari kemungkinan adanya gugatan setelah lewat waktu 5 (lima) tahun dan statusnya sebagai pemilik tanah akan terus dilindungi sepanjang tanah itu diperoleh dengan itikad baik dan dikuasai secara nyata oleh pemegang hak bersangkutan atau kuasanya. Penjelasan tentang rechtsverwerking ini di uraikan dalam Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menegaskan bahwa dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata

menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegan sertipikat dan kantor pertanahan yang bersangkutan maupun tidak ataupun mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Ketentuan ini telah mempertegas bahwa sistem pendaftaran tanah di Indonesia tidak menggunakan sistem publikasi negatif yang murni (Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam bukti hak), tetapi menggunakan sistem publikasi negatif bertendensi positif, artinya walaupun Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam bukti hak, namun bukti hak tersebut dikategorikan sebagai bukti hak yang kuat (selama tidak ada putusan hakim yang menyatakan sebaliknya, maka data yang disajikan dalam bukti hak tesebut merupakan data yang benar, sah dan diakui serta dijamin menurut hukum).

Ketentuan tersebut ditambah lagi dengan adanya proses pemeriksaan tanah dalam rangka penetapan hak yakni pengumpulan dan penelitian data yuridisnya sehingga dengan pemeriksaan tanah tersebut hasilnya diharapkan dapat mendekati kebenaran materil dari alas hak yang menjadi dasar penetapan haknya. Selain itu dalam hukum adat dikenal asas bahwa jika sesorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan oleh orang

lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.

Sebagai ketentuan yang berasal dari hukum adat, tentunya ketentuan tersebut tidak tertulis, namun ketentuan dimaksud kelihatannya telah diadopsi oleh UUPA (Pasal 27,34 dan 40) dengan menegaskan bahwa hapusnya hak atas tanah dapat terjadi karena ditelantarkan. Ketentuan ini tentunya merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat (bukan menciptakan hukum baru), yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari hukum tanah nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud konkrit dalam penerapan ketentuan dalam UUPA terutama mengenai penelantaran tanah.

Oleh karena lembagarechtsverwerkingtersebut berasal dari ketentuan hukum adat yang tentunya tidak tertulis, maka penerapan dan pertimbangan mengenai terpenuhinya persyaratan yang bersangkutan dalam kasus-kasus konkrit ada tangan hakim yang mengadili sengketa, dimana hakim sebagai pemutus perkara para pihak yang bersengketa, yang menjadikan tanah yang sudah bersertipikat sebagai obyek perkaranya.

Dengan demikian jika hakim telah benar-benar memperhatikan dan menerapkan ketentuan rechtsverwerking tersebut dalam putusannya pada sengketa- sengketa pertanahan, maka dua kepentingan akan terpenuhi, yakni pertama, kepentingan para pemegang sertifikat akan menjamin kepastian hukum baginya, kedua, kepentingan bagi penguatan asas publikasi negatif dalam pendaftaran tanah di

Indonesia yang mengarah pada positif, sehingga sertipikat benar-benar merupakan alat pembuktian yang kuat dan tujuan pendaftaran tanah memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam pemilikannya.

Jelaslah apabila seseorang memiliki sertipikat hak atas tanah akan merasa terjamin akan kepastian hak atas tanah yang dimilikinya, sebab apabila terjadi pelanggaran atas tanah hak miliknya maka pemilik tanah dapat menuntut haknya kembali.

Dengan demikian sertipikat tanah merupakan alat bukti yang sangat penting bagi subyek hukum hak atas tanah, sehingga baik sekali apabila Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 yang merupakan peraturan operasional dari Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 hanya mensyaratkan alat bukti yang memiliki bobot sangat ringan, yaitu alat bukti saksi dalam melakukan proses penerbitan sertifikat tanah, apalagi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 telah memperkenalkan prinsip kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 32 yang merefleksikan terjadinya pergeseran stelsel yang dianut oleh pendaftaran tanah di Indonesia dari stelsel negatif menjadi stelsel negatif plus. Sengketa pertanahan dapat pula timbul dari dasar penerbitan suatu sertifikat tanah. Selanjutnya untuk memperdalam analisa tentang kompetensi peradilan, perlu juga dicermati tentang alat bukti yang terbit dari suatu proses Pendaftaran Tanah dan merupakan unsur yang dominan untuk menentukan kompetensi peradilan.

Sertipikat adalah salinan dari buku tanah yang merupakan hasil akhir dari suatu proses penyelidikan riwayat penguasaan bidang tanah dengan meneliti surat- surat buktinya, yang setelah melalui syarat tertentu akan merupakan alas hak pada pendaftaran pertama dan peralihan-peralihan berikutnya.

BAB V