• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2 Homogenitas Sebagai Identitas Nasional Jepang

4.2.1 Ide dan Kepercayaan Bangsa Jepang

penaklukan. Selain Perang Dunia II, narasi superioritas juga terus digaungkan, bahkan dalam konteks respon Jepang terhadap hubungan dengan negara-negara lain masa kini. Melalui keberhasilannya menjadi salah satu negara dengan perekonomian kuat di Asia Timur, Jepang mampu menciptakan kerja sama global yang sangat menguntungkan.

Dengan peningkatan angka migrasi ke Jepang dan menimbulkan banyaknya jumlah populasi penduduk asing, salah satu cara yang dipilih oleh Jepang untuk mempertahankan superioritas adalah dengan menjadikan homogenitas tersebut sebagai sebuah kerangka struktural identitas nasional Jepang. Identitas nasional serupa dengan identitas kolektif, namun tercipta dari kompromi beragam kebudayaan hingga tercapai satu identitas bersama. Perbedaannya, identitas nasional memiliki unsur power yang lebih kuat dibandingkan identitas kolektif, karena karena ada banyak shared ideas ataupun kebudayaan yang perlu diakuisisi. Oleh karenanya, penguatan homogenitas Jepang menjadi penting untuk membangun bargaining position terhadap the others.

Selain membahas faktor ide dalam konstruksi identitas nasional bangsa Jepang, sub-bab ini juga akan menyajikan penjabaran mengenai implikasi dari konstruksi identitas nasional itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan perilaku bangsa Jepang dalam merespon eksistensi others, yaitu kelompok-kelompok etnis asing ataupun para migran sementara. Dari sana akan muncul analisis-analisis proses pembentukan identitas aktor yang mengandung relasi self dan other, di mana other merupakan proyeksi dari gambar diri self.

4.2.1 Ide dan Kepercayaan Bangsa Jepang

Kepercayaan akan superioritas dan kemurnian ras bangsa Jepang adalah idealisme Jepang yang terus dipegang teguh menghadapi dinamika hubungan dengan bangsa lain. Pada periode imperialisme, kepercayaan ini menjadi dasar pembenaran bagi bangsa Jepang untuk membangun posisi superior sebagai pemimpin bangsa-bangsa di Asia dan mengembangkan ekspansionisme mereka untuk mengokupasi bangsa-bangsa tersebut. Sepanjang perjalanannya, redefinisi

49 kebudayaan dan identitas terus diupayakan dalam rangka memperbaharui ingatan akan idealisme bangsa tentang homogenitas dan keterikatan terhadap komunitas secara berkelanjutan. Di era modern, nilai tersebut dikemas menjadi sebuah kerangka diskursus bernama nihonjinron. Diskursus ini masih menekankan superioritas dan kemurnian ras bangsa Jepang berdasarkan esensi etnisitas bangsa Jepang berupa hubungan genealogis, persamaan ras tunggal, serta tradisi turun temurun berupa bahasa dan mitos lokal.

Diskurus Nihonjinron mulai berkembang menjadi sebuah diskursus populer pada tahun 1970-an karena keberhasilan Jepang menghadapi krisis ekonomi global pada masa itu. Kekaguman akan strategi yang digunakan untuk mengatasi krisis ekonomi oleh Jepang membawa pengakuan Barat atas keberhasilan ekonomi Jepang. Jepang akhirnya mampu membangun kepercayaan diri dan kebanggaan dengan nilai-nilai keunikan bangsanya, yang dianggap sebagai salah satu faktor pendorong keberhasilan tersebut (Iida, 2001:187). Selain menjadi diskursus populer, di waktu bersamaan diskursus ini juga dikembangkan oleh para pengamat studi kebudayaan Jepang sebagai basis penelitian tentang citra nasional bangsa Jepang. Dari peristiwa-peristiwa tersebut, diskursus nihonjinron lahir dan terus berkembang menjadi sebuah diskursus luas mengenai identitas nasional bangsa Jepang.

Nihonjinron, secara harfiah berarti 'ilmu tentang ke-Jepang-an', pada dasarnya mencakup ide tentang kekhasan bangsa Jepang vis-à-vis peradaban modern khas bangsa Barat, dengan harapan mampu menonjolkan citra bangsa Jepang dalam persaingan global. Ide tersebut didasarkan pada kepercayaan akan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, seperti nilai tentang homogenitas ras, superioritas etnis, struktur sosial masyarakat berbentuk vertikal, ikatan in-group yang kuat, serta kolektivisme dan relasi konsensus sebagai pedoman perilaku masyarakat. Kemunculan nilai-nilai merupakan konstruksi identitas bangsa Jepang sebagai antitesis dari eksistensi peradaban Barat yang bercirikan individualis, masyarakat yang horizontal, dan independen. Sementara struktur sosial Jepang menurut nihonjinron digambarkan berdasarkan ciri-ciri kolektivisme, masyarakat vertikal, dan interdependen.

50 Munculnya gagasan homogenitas etnis sebagai keunikan bangsa Jepang bangkit dari gagasan bahwa Jepang juga merupakan 'darah' atau 'ras' terpisah menempatkan mereka pada posisi yang berlawanan dengan ras atau etnis lain. Etnisitas dan ras merupakan dua konsep yang saling berkelindan, khususnya dalam perdebatan tentang proses konstruksi identitas kolektif Jepang. Jika etnisitas menjadi bentuk kolektivitas Jepang berdasarkan keyakinan pada budaya dan sejarah bersama, ras berfokus pada aspek kekerabatan dan garis keturunan. Di sini, ras menjadi penanda untuk memperkuat identitas etnis. Simbol 'darah Jepang' menghasilkan, konsep 'kami' dalam memberikan dimensi persatuan sebagai satu keluarga besar yang telah mengabadikan garis keturunannya. Proses historis di balik pembentukan 'ras murni' tersebut sengaja dikesampingkan agar dapat menghasilkan superioritas dan kemurnian mutlak bagi bangsa mereka. Sehingga, kesatuan tersebut mendukung perkembangan homogenitas dan superioritas etnis Jepang sebagai sebuah keunikan, sekaligus menimbulkan diskriminasi bagi etnis minoritas sebagai 'mereka'.

Meskipun bagi beberapa pemikir, konsep ras dan etnisitas merupakan sebuah konsep terbayang dan mudah rapuh, namun konsep ini menjadi simbol nasionalisme bangsa Jepang yang lebih mudah dipahami. Sebutan tan itsu minzoku kokka (bangsa etnis tunggal) bagi Jepang sebagaimana dipromosikan oleh beberapa politikus antara tahun 1980 hingga 2000-an, menjadi alat untuk menanamkan nilai nasionalisme yang setara. Salah satu contoh misalnya, pernyataan Aso Taro pada tahun 2005 yang kala itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dan Telekomunikasi menyatakan bahwa "Jepang adalah sebuah negara dengan satu budaya, satu peradaban, satu ras, dan satu bahasa, tidak ada negara lain yang dapat menyamainya” (The Japan Times, 2005). Pernyataan tersebut disampaikan sebagai bentuk penolakan berkaitan dengan perjuangan etnis Ainu mendapat pengakuan sebagai etnis asli di Jepang yang berasal dari Kepulauan Hokkaido.

Selain itu, seorang politikus, penulis sekaligus interpreter Jepang, Masao Kunihiro, juga memberikan tanggapannya tentang pembentukan ras Jepang bahwa:

51

"Yang membuat orang Jepang, lebih dari apa pun, adalah 'darah', yang mengacu pada konsep junketsu-shugi (darah murni). Ungkapan 'darah Jepang' digunakan dalam pidato populer untuk dianggap tidak berubah oleh orang Jepang. Kepercayaan pada kualitas kekekalan dalam diri orang Jepang dianggap penting bagi identitas mereka, ditunjukkan dalam pernyataan 'Anda harus dilahirkan sebagai orang Jepang untuk memahami mentalitas orang Jepang'. Seorang Jepang mengekspresikan aspek 'kekal' atau 'alami' dari identitas Jepang melalui konsep imajiner 'darah Jepang'") (Kunihiro, 1972: 34).

Melalui dua pertanyaan di atas, dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan identitas kolektif merupakan elemen utama dalam menunjang upaya pemerintah untuk menciptakan kontrol ideologi terhadap masyarakatnya. Model nasionalisme tersebut mengedepankan proses pembentukan bangsa modern di Jepang, mengacu pada mitologi Kinki sebagai asal mula pembentukan konsep 'orang Yamato' sebagai satu-satunya etnis di Jepang, dan jawaban dari permasalahan krisis identitas (Okamoto, 2011: 77). Sehingga bagi para aktivis etnis minoritas, pemerintah Jepang terkesan mengabaikan proses migrasi pre-historis ras proto-Mongoloid maupun migrasi zaman modern sekaligus mengabaikan eksistensi bermacam kelompok etnis minoritas sekaligus pemenuhan hak-hak mereka sebagai satu bagian dari masyarakat Jepang.

Ross Mouer dan Yoshio Sugimoto dalam bukunya berjudul Images of Japanese Society memberikan pemaparan tentang perkembangan diskursus nihonjinron, dilihat dari literatur-literatur para pemikir nihonjinron dari dalam maupun dari luar Jepang. Dalam hasil pengamatan Mouer dan Sugimoto, diskursus nihonjinron banyak diteliti berdasarkan pendekatan holistik (Mouer & Sugimoto, 1986: 86). Nihonjinron sebagai pendekatan holistik mengasumsikan bahwa masyarakat memiliki tujuan sebagai basis pembentuk motivasi individu dalam sebuah skema konsensus yang tinggi. Pendekatan ini cenderung sejalan dengan tradisi besar bangsa Jepang yaitu struktur terintegrasi dalam mencapai konsensus melalui pengawasan kualitas perilaku tiap individu. Pendekatan holistik dalam nihonjinron memandang secara keseluruhan struktur sosial masyarakat Jepang sebagai kelompok komunal berbasis konsensus bersama sebagai keunikan karakter bangsa mereka. Perilaku politik Jepang didominasi oleh rasa puas yang diterima Jepang dari pelayanan tanpa pamrih kepada kelompok.

52 Individu didorong untuk mengutamakan kebajikan dalam proses sosialisasi, sehingga ketergantungan emosional dalam hubungan sosial didasarkan pada asumsi niat baik orang lain (Yoshino, 1992:14).

Kondisi tersebut digambarkan melalui kata amae ( ⽢ え ), yang menggambarkan perasaan ingin dicintai, diperhatikan, dan ketergantungan yang menyenangkan pada orang lain tetapi ada lebih dari itu. Takeo Doi menyebut amae sebagai konsep kunci untuk memahami tidak hanya dari susunan psikologis individu Jepang tetapi juga struktur masyarakat Jepang secara keseluruhan (Doi, 1973:28). Contoh-contoh kecil untuk menggambarkan situasi ini tergambar dari kebiasaan sehari-hari masyarakat Jepang, seperti perilaku untuk menjaga ketenangan di dalam transportasi umum, selalu mendahulukan pejalan kaki, tepat waktu, mengutamakan budaya antre, dan lain sebagainya. Bukan hanya terbatas dalam lingkup sosial masyarakat sehari-hari, konsensus tersebut juga diutamakan dalam interaksi di tingkat pemerintah maupun antar-pemerintah, misalnya dalam proses pengambilan kebijakan serta penandatanganan kesepakatan antar-negara.

Kolektivisme masyarakat Jepang disebut pula oleh beberapa pemikir nihonjinron sebagai karakteristik groupism dalam antitesis dengan individualism bangsa Barat. Karakter tersebut menjadi basis bagi semua orang di Jepang untuk selalu berlaku sesuai dengan norma sosial agar tidak menimbulkan penyimpangan yang karenanya orang lain merasa dirugikan. Hal ini diharapkan meminimalisasi konflik antar kelompok yang mungkin terjadi. Kazuko Yoshino, salah satu pemikir diskursus nihonjinron, mengutip Emil Durkheim tentang konsep conscience collective serta ideas and values milik Max Webber, menjelaskan bagaimana unsur groupism dalam struktur sosial masyarakat Jepang saat ini adalah hasil dari pre-industrial form of reproductionism. Dalam konsep tersebut, keterikatan dalam komunitas pre-industrial terbentuk melalui keselarasan conscience collective dikembangkan untuk membangun solidaritas masyarakat modern Jepang. Asumsi ini dibuktikan dengan adanya model kekerabatan yang disebut ie (家; secara harfiah berarti rumah, juga terkandung dalam terma 家族 (kazoku) atau keluarga) (Yoshino, 1992:64).

53 Ie merupakan sebuah tatanan hierarkis dalam upaya mencapai tujuan kolektif yang menjelaskan perwujudan pemikiran relasional dan pola perilaku berdasarkan pembagian fungsional. (Iida, 2001:187-9). Hierarki tersebut membentuk asumsi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara terintegrasi demi menciptakan keteraturan dan homogenisasi karakter bangsa Jepang yang unik. Ie adalah sistem yang mendorong loyalitas dan kepatuhan terhadap keluarga, sejalan dengan prinsip-prinsip Konfusianisme yang menjadi pedoman masyarakat Jepang pada abad 16-17. Selain itu, pola hierarki dalam ie juga menjadi pedoman sistem pewarisan keluarga berdasarkan garis patrilineal. Sistem tersebut dianalogikan ke dalam konsep yang lebih luas, bahwa bangsa Jepang merupakan satu keturunan Kaisar, sehingga setiap masyarakatnya harus mengutamakan loyalitas kepada Kaisar dan berbakti pada setiap kebijakan yang ditetapkan. Dalam praktek sehari-hari, sistem ie dapat ditemukan dalam mekanisme pemberian komando dalam sebuah sistem, baik dalam lingkup terkecil masyarakat yaitu keluarga, maupun dalam tata kelola perusahaan hingga pemerintahan. Melalui pengaruhnya yang begitu multidimensional, sistem ie dianggap sebagai batu loncatan bagi perkembangan penelitian ilmu sosial dan humaniora, melingkupi ilmu politik, sosiologi, ekonomi, dan sejarah di Jepang.

Meskipun secara holistik nihonjinron mampu menyajikan sebuah bentuk integrasi masyarakat yang seimbang dan harmoni, Mouer dan Sugimoto dalam tulisan yang sama juga memberikan paparan tentang pendekatan lain dalam memetakan pola ide dalam nihonjinron. Pendekatan tersebut yaitu pendekatan konflik, dengan fokus pada dorongan terhadap terciptanya peningkatan daya saing antar individu dalam ikatan kesetiaan kepada kelompok-kelompok konsentris seperti keluarga, kelompok pedesaan, perusahaan, militer, dan bangsa. Persaingan dianggap sebagai sebuah bentuk konformitas kelompok akibat kurang terbentuknya relasi horizontal dalam kelompok pekerjaan (Mouer & Sugimoto, 1986: 32-33). Konflik tersebut tetap dianggap sebagai sebuah keunikan karena struktur sosial masyarakat Jepang menjadi implementasi dari struktur vertikal masyarakat, berlawanan dengan struktur sosial horizontal negara-negara Barat.

54 Chie Nakane, antropolog teori sosial Jepang yang juga menulis pendapatnya tentang diskursus nihonjinron, mengidentifikasi struktur masyarakat vertikal Jepang sebagai kumpulan individu yang berorientasi pada dan bertindak dalam kerangka kerja suatu kelompok, biasanya, perusahaan (Nakane, 1970: 87). Nakane menjelaskan contoh hubungan tersebut misalnya terjadi pada lingkup pekerjaan. Yang pertama, individu diikat oleh solidaritas vertikal berdasarkan hierarki dalam sebuah perusahaan, sehingga persaingan terjadi antara perusahaan. Ciri lain adalah bahwa individu secara horizontal dikelompokkan pada satu tingkatan yang sama dalam lingkup pekerjaan, dan persaingan berlangsung antar-level (Mouer & Sugimoto, 1986:281).

Konflik, sebagai dasar pendekatan, terjadi karena adanya relasi tidak setara antara dua atau lebih aktor. Hal itu menimbulkan subordinasi berdasarkan relasi senior-junior, misalnya di lingkup profesional perusahaan atau bahkan di level lebih rendah berbentuk kepatuhan terhadap orang tua dalam keluarga. Kondisi tersebut merupakan bentuk etika tradisional Jepang, yang menekankan kesetiaan kepada kelompok hingga menimbulkan subordinasi kepentingan individu demi mengutamakan kepentingan kelompok. Subordinasi kepentingan individu dalam relasi ini juga menghasilkan loyalitas tinggi para pekerja terhadap perusahaan mereka sehingga rata-rata usia pensiun pekerja di Jepang terjadi pada umur 55 hingga 60 tahun. Selain itu, hierarki dan stabilitas dalam sistem tersebut dapat terjamin, sehingga sistem komando dapat diberikan secara lebih jelas dan mekanisme kerja menjadi lebih efektif. Menurut beberapa literatur, pendekatan ini dapat membentuk disiplin karyawan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Jepang, khususnya pada konteks krisis ekonomi tahun 1970-an, di mana perkembangan diskursus nihonjinron juga sedang berlangsung. Model tata kelola tenaga kerja semacam ini yang kemudian dianggap efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Jepang selama menghadapi krisis ekonomi tersebut.

Di sisi lain, pendekatan berbasis konflik, sebagaimana pendekatan tersebut disebut, berdampak besar bagi pembentukan stratifikasi sosial masyarakat Jepang. Menurut ahli teori konflik, elemen-elemen yang berkuasa di Jepang dalam posisi yang jelas menguntungkan dalam hal memanipulasi sistem secara alami akan

55 terus mempertahankan posisi mereka dengan segala cara yang mungkin (Mouer & Sugimoto, 1986:83). Hal ini dapat menciptakan kesenjangan terkait akses ekonomi, sosial dan politik, dan kemudian berimplikasi kepada terciptanya stratifikasi sosial masyarakat. Stratifikasi sosial masyarakat dapat jelas terlihat dari dimensi ekonomi masyarakat seperti pengelompokan masyarakat pemasukan rendah, menengah, dan tinggi. Ada pula pengelompokan tenaga kerja yaitu kelompok white-collar workers, mencakup pekerja profesional kantoran dan teknis dan blue-collar workers, mencakup para buruh lapangan dan pabrik. Stratifikasi sosial juga terjadi di dimensi lain misalnya kesenjangan sosial berkaitan dengan diferensiasi gaji laki-laki dan perempuan, dikotomi regional rural versus urban, serta penempatan kelompok etnis di Jepang, seperti etnis Korea, Ainu, Nikkeijin dan kelompok burakumin sebagai kelompok etnis khusus. Meskipun kategorisasi tersebut bukanlah satu hal mutlak seiring dengan perkembangan sosial masyarakat yang semakin dinamis, namun contoh-contoh tersebut mampu sedikit menggambarkan adanya satu kaidah yang diberikan kepada masyarakat Jepang agar mereka dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan porsi masing-masing.

Stratifikasi yang terlihat dari pendekatan konflik ini berkaitan dengan proses konstruksi identitas masyarakat Jepang, berdasarkan unsur eksternal pembentukan identitas aktor. Proses ini berlangsung sebagaimana konstruktivisme Wendt memandang dinamika self and other sebagai proses refleksi bagi pemaknaan identitas diri masing-masing. Identitas menjadi citra untuk menunjukkan dan memperkenalkan proses pemahaman nilai dalam masyarakat melalui perspektif yang lebih mudah dipahami oleh pihak eksternal. Muncul beragam pendapat bahwa ide tentang nihonjinron adalah hasil dari rekonstruksi kondisi pasca-perang untuk memulihkan identitas dan kebanggaan di antara orang Jepang setelah kekalahan mereka dalam perang, selain penekanan pada eksistensi the Other sesuai konsep tan'itsu minzoku kokka (Burgess, 2010:2).

Diskursus ini dalam perkembangannya dikritik oleh beberapa intelektual karena secara sadar membentuk sebuah model nasionalisme sempit atau partikularistik, dilihat dari penekanan keunggulan ras sebagai nilai mutlak yang

56 hanya dimiliki oleh bangsa Jepang. Nihonjinron dianggap sebagai sebuah citra yang dibentuk untuk memperkuat identitas bangsa Jepang, terlepas dari kenyataan dalam struktur sosial yang ada. Diskursus ini juga cenderung membenarkan tindakan stereotip orang-orang non-Jepang baik mereka yang disebut sebagai 'alien' atau penduduk asing di Jepang, maupun para pendatang lainnya. Persepsi identitas nasional wajib dibangun berdasarkan pernyataan 'Anda harus dilahirkan sebagai orang Jepang untuk memahami mentalitas orang Jepang', menjadi sebuah konsep nasionalisme yang erat mengaitkan identitas dengan aspek hubungan darah dan garis keturunan murni (Yoshino, 1992: 18).

Identitas yang dibangun oleh Jepang adalah oposisi biner dari identitas 'the Other' (Yoshino, 1992:8). Hal itu membangun batas self and other dengan bangsa 'non-Jepang' dalam bentuk nasionalisme Jepang berdasarkan diskursus nihonjinron. Seperti penafsiran nasionalisme pada masa pra-modern, Jepang menempatkan bangsa China dan bangsa Barat sebagai significant other dalam melihat identitas nasionalisme mereka. Oleh karena itu, superioritas etnis Jepang yang menjadi ciri khas nasionalismenya hanya dapat terbentuk ketika terjadi interaksi dengan bangsa lain.

Pembentukan citra identitas nasional Jepang sebagai 'self' identik dengan bentuk oposisi biner dengan citra 'the other' yang melekat pada kelompok-kelompok tanpa keunikan karakteristik tersebut -dalam diskursus nihonjinron misalnya bangsa Barat, atau kelompok etnis minoritas khususnya Zainichi Korea. Dengan adanya peningkatan jumlah migran seiring dengan berlangsungnya proses globalisasi, reproduksi ide tentang gagasan keesaan Jepang didorong untuk terus terjadi guna membentuk satu standar nilai baru tentang etnisitas, garis keturunan, kebangsaan, kemampuan bahasa dan melek budaya, gender, seksualitas dan kelas sosial. Sehingga proses tersebut menghasilkan indikator-indikator untuk menilai apakah satu entitas dapat ikut menjadi satu bagian self atau sebaliknya. Asumsi ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam bagian analisis selanjutnya.

57

Dokumen terkait