• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3 Intersubjektivitas Identitas Zainichi Korea dan Jepang

4.3.1 Pembatasan Akses bagi Zainichi Korea

Seluruh peristiwa pada masa imperialisme dan pasca-imperialisme yang berkaitan dengan perubahan status kewarganegaraan orang Korea di Jepang memiliki potensi kuat bagi diskriminasi dan prasangka terhadap penduduk asing di Jepang. Diskriminasi tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan Zainichi Korea secara formal maupun informal. Hingga saat ini, tindakan diskriminasi masih terus dialami oleh Zainichi Korea, dibuktikan melalui beberapa contoh kasus sebagai berikut:

Tabel 4. 8

Pembatasan Akses Kehidupan Zainichi Korea

JENIS BENTUK PEMBATASAN

Politik 1. Permasalahan penentuan status kewarganegaraan Zainichi Korea berdasarkan penerapan Kebijakan Alien Registration Law tahun 1952. 2. Pemberian Status Special Permanent Residency sejak tahun 1991

kepada Zainichi Korea.

Sosial 1. Pengecualian 10 sekolah etnis Korea oleh Pemerintah Jepang atas High School Tuition Support Fund Program.

2. Diskriminasi dalam proses sewa dan jual-beli properti.

3. Diskriminasi terhadap lulusan sekolah etnis Korea dalam proses pendaftaran universitas Jepang melalui reformasi kebijakan Kementerian Pendidikan Jepang tahun 2003.

4. Ujaran kebencian dan tindak kejahatan terhadap Zainichi Korea.

Ekonomi 1. Pembatasan akses dalam proses rekrutmen tenaga kerja Zainichi Korea, dilakukan oleh perusahaan Jepang.

66 Pembatasan yang dialami oleh Zainichi Korea dipengaruhi oleh beberapa kebijakan pada masa kolonial. Seperti dalam Tabel 4.8 pada poin pertama pembatasan akses politik bagi Zainichi Korea, kebijakan ARO mewajibkan prosedur rekam sidik jari bagi semua penduduk asing di Jepang mulai usia 14 tahun ke atas. Kebijakan ini melanggar penjaminan kesetaraan setiap orang di hadapan hukum berdasarkan Konvensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi oleh Jepang pada 1979 (Nakamura, 2005:150) karena absennya pemberian hak-hak dasar bagi pemilik status residensi tetap tersebut. Kebijakan ini telah secara resmi dihapus pada tahun 1992 setelah melalui berbagai aksi protes dan audiensi oleh Zainichi Korea. Namun hingga saat ini, masih banyak orang Korea di Jepang yang berstatus stateless karena mereka tidak dapat membuktikan kekerabatan dengan orang Korea Selatan, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan status kewarganegaraan Korea Selatan ataupun status SPR dari pemerintah Jepang sebagai izin tinggal sementara. Sementara itu, bagi orang-orang Korea di Jepang yang bisa mendapatkan status SPR, berdasarkan laporan Lawyers Association of Zainichi Koreans, tetap mengalami pembatasan hak kewarganegaraan. Hal itu menimbulkan kurang lebih 330.000 Zainichi Korea tidak bisa ikut terlibat dalam pemilihan umum tingkat lokal maupun nasional, termasuk mereka yang lahir dan besar di Jepang (LAZAK, 2007). Padahal, bagi sebagian kecil orang Korea yang memiliki status kewarganegaraan Korea Selatan, mereka bahkan dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di parlemen tingkat kota di Jepang.

Selain pembatasan hak politik bagi Zainichi Korea, beberapa bentuk pembatasan hak pendidikan dan hak dalam kehidupan sosial sehari-hari juga dialami oleh Zainichi Korea. Dalam Tabel 4.8 disebutkan beberapa kasus pembatasan hak tersebut, diantaranya berlaku pada sekolah etnis Korea yang dianggap tidak memenuhi kriteria penerima subsidi karena penggunaan kurikulum Korea Utara dalam pendidikan etnis, sejarah, bahasa dan mata pelajaran lainnya, meski hingga Maret 2018, 42 sekolah internasional lainnya bisa mendapatkan pendanaan dari program yang sama. Beberapa pihak menyatakan bahwa alasan konkret dari pengecualian tersebut adalah peningkatan tensi politik Jepang dan

67 Korea Utara. Selanjutnya, pada poin kedua perihal pembatasan hak sosial bagi Zainichi Korea, survei lapangan oleh Center for Human Rights Education and Training pada Juni 2017 menunjukkan diskriminasi dan prasangka diterima oleh Zainichi Korea dalam proses penyewaan karena mereka adalah orang asing atau tidak memiliki kerabat orang Jepang sebagai penjamin, meskipun mereka dapat berbicara bahasa Jepang atau telah tinggal di Jepang selama lebih dari sepuluh tahun (2017:24). Survei Kementerian Hukum Jepang tahun 2017 tentang Analytical Report of the Foreign Residents Survey, 27,2% Zainichi Korea generasi ketiga dan keempat yang lahir di Jepang masih mengalami diskriminasi dalam proses sewa properti karena dianggap "tidak memiliki guarantor orang Jepang".

Selain itu, pembatasan juga dirasakan oleh Zainichi Korea yang masih berusia sekolah. Mereka tidak diperbolehkan untuk mengikuti seleksi masuk universitas secara langsung, sehingga lulusan sekolah etnis Korea harus mengikuti ujian kualifikasi khusus. Padahal, lulusan dari sekolah internasional lain mendapat hak untuk secara otomatis diterima di berbagai universitas di Jepang. Beberapa universitas bahkan masih menolak untuk mengizinkan mereka mengikuti ujian masuk (ERD Net, 2018). Terakhir, Data Kementerian Hukum Jepang menunjukkan 1.152 insiden ujaran kebencian terhadap Zainicihi Korea terjadi hanya antara April 2012 dan September 2015 (ERD Net, 2018). Sebuah organisasi politik ultra-nasionalis bernama Zaitokukai (Asosiasi Masyarakat Anti Hak Istimewa Zainichi) didirikan tahun 2007 sebagai organisasi yang menyuarakan penolakan terhadap Zainichi Korea, baik secara offline maupun online.

Selain itu, ujaran rasis juga banyak disampaikan oleh politikus Jepang, sebagai contoh pernyataan Wakil Perdana Menteri Aso Taro pada 23 September 2017 berkaitan dengan membanjirnya angka migrasi dari Semenanjung Korea, bahwa "They may be armed refugees. Will the police cope with them? Will the Self-Defense Forces be called in? Will we shoot them to death? We must seriously think about this." ("Mereka mungkin pengungsi bersenjata. Apakah polisi akan menangani mereka? Apakah Self-Defense Forces akan dipanggil? Apakah kita akan menembak mereka sampai mati? Kita harus serius memikirkan hal ini").

68 Pernyataan tersebut menyiratkan asumsi bahwa semua orang Korea di Jepang memiliki intensi jahat dan selalu terkait dengan rezim otoriter Korea Utara.

Salah satu contoh pembatasan hak dasar bagi Zainichi Korea juga dialami oleh para angkatan kerja keturunan Korea. Para pelamar akan secara otomatis ditolak apabila diketahui identitasnya sebagai seorang Zainichi Korea, keturunan Korea dan/atau memiliki tsumei (nama asli) Korea. Salah satu kasus pembatasan penerimaan tenaga kerja etnis Korea dialami oleh seorang etnis Korea generasi kedua bernama Park Chon Sok. Tahun 1970, Park mengikuti proses pelamaran tenaga kerja di Perusahaan Hitachi. Setelah berhasil lolos dari berbagai macam tes dan mengikuti proses seleksi akhir, lamaran tersebut ditolak oleh perusahaan. Penolakan tersebut terjadi setelah pihak perusahaan mengetahui bahwa Park bukan merupakan warga negara Jepang dan telah menggunakan nama alias Jepangnya disepanjang proses seleksi (Chung, 2003:39). Kasus ini menjadi awal gerakan sosial untuk melawan diskriminasi terhadap Zainichi Korea dalam melamar pekerjaan.

Pembatasan terhadap kelompok minoritas etnis, khususnya Zainichi Korea, menunjukkan adanya ketimpangan dalam intersubjektivitasnya dengan Jepang. Identitas sebagai minoritas etnis yang dipercaya oleh Zainichi Korea tidak terlepas dari sejarah imperialisme Jepang yang kemudian membawa mereka untuk tinggal dan menjadi bagian tak terpisahkan dari struktur masyarakatnya. Hal itu juga menambah atribut-atribut lain pada identitas Zainichi Korea sebagai kelompok inferior, kaum minoritas, pendatang sejak zaman Perang Dunia, bagian dari negara terjajah dan terbelakang, tidak memahami norma dan nilai dalam kehidupan masyarakat Jepang bahkan setelah menetap selama empat generasi, sehingga tidak mampu untuk berasimilasi penuh ke dalam masyarakat.

Identitas tersebut membatasi proses bermasyarakat Zainichi Korea, karena mereka dianggap sebagai kelompok masyarakat subetnis kelas dua dalam hierarki masyarakat Jepang. Kelompok kecil dari Zainichi Korea masih tergolong ke dalam masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah dan tinggal di kawasan-kawasan kumuh di Jepang. Mereka diasosiasi sebagai kelompok yakuza atau preman di Jepang, dan banyak lainnya bekerja di industri hiburan dan dunia

69 malam seperti perjudian, karaoke dan klub malam. Meskipun beberapa orang juga bekerja di sektor formal seperti di perusahaan, namun situasi tersebut hanya dapat terjadi jika mereka menggunakan nama Jepang, seperti kasus Park Chon Sok.

Seperti yang telah dijelaskan dalam konsep homogenitas, masyarakat Jepang menempatkan dirinya sebagai self berdasarkan superioritas ras mereka, sementara orang-orang dengan ras dan asal-usul berbeda mereka dianggap sebagai other. Identitas Zainichi Korea dilekatkan pada persepsi sebagai inferior, kaum minoritas, pendatang sejak zaman Perang Dunia, bagian dari negara terjajah dan terbelakang, tidak memahami norma dan nilai dalam kehidupan masyarakat Jepang bahkan setelah menetap selama empat generasi, sehingga tidak mampu untuk berasimilasi penuh ke dalam masyarakat.

Relasi kuasa yang dibangun oleh Jepang tersebut menjadi salah satu faktor eksternal yang membentuk identitas kelompok Zainichi Korea, dan secara tidak langsung 'merusak' esensi nasionalisme Zainichi Korea terhadap tanah air mereka (Jenkins, 1996 dalam Haralombos, 2004:826). Subordinasi Jepang terhadap Zainichi Korea membuktikan pandangan konstruktivisme tentang intersubjektivitas antar unsur dalam proses pembentukan identitas, khususnya identitas kolektif Jepang sebagai sebuah negara di mana kelompok etnis Zainichi Korea tinggal. Jepang memiliki power yang lebih besar untuk memaksakan homogenisasi terhadap Zainichi Korea melalui berbagai macam upaya asimilasi sejak awal kedatangannya, misalnya dengan penentuan status kewarganegaraan Korea dalam ARO 1952. Bargaining position tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Jepang, guna mempertahankan hegemoni mereka sesuai spirit superioritas ras Jepang terhadap ras dan etnis pendatang di negara mereka.

Dokumen terkait