• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Identitas Zainichi Korea Generasi Ketiga dan Jepang

4.3 Intersubjektivitas Identitas Zainichi Korea dan Jepang

4.3.2 Perbandingan Identitas Zainichi Korea Generasi Ketiga dan Jepang

Berbagai pembatasan hak yang dilakukan oleh masyarakat Jepang terhadap Zainichi Korea seperti penjabaran dalam Tabel 4.8 menunjukkan upaya-upaya subordinasi untuk mencapai keselarasan sebagaimana diutarakan oleh diskursus nihonjinron. Kasus Hitachi, sebagai contoh, menunjukkan bahwa penerimaan terhadap etnis pendatang dan minoritas akan lebih mudah terjadi

70 apabila ada upaya lebih dari pihak inferior untuk membaur secara sukarela, misalnya dengan menaturalisasikan diri sebagai warga negara Jepang atau lebih mudah dengan mengadopsi nama Jepang sebagai nama utama. Bentuk kompromi seperti itulah yang bagi Jepang lebih mudah diterima, karena nihonjinron telah ditempatkan menjadi acuan utama dalam proses pembentukan identitas kolektif mereka. Contoh lain misalnya, ujaran kebencian dan tindak kejahatan yang ditujukan pada Zainichi Korea khususnya murid-murid sekolah etnis Korea di Tokyo dan Kyoto menggambarkan peliyanan yang diejawantahkan dari bentuk nasionalisme partikularistik sebagian orang Jepang. Model nasionalisme partikularistik yang berkembang dalam Fase III (lihat Tabel 4.5) memberi penekanan pada uniformity dalam group-oriented model society Jepang. Sehingga, entitas yang dianggap tidak menginternalisasi nilai-nilai serupa dengan mereka akan secara otomatis ditempatkan sebagai the Other.

Hal menarik dalam analisis tentang pertautan kedua identitas ini terletak pada fakta bahwa Zainichi Korea dan Jepang sama-sama pernah melekat pada citra peradaban terbelakang. Etnis Korea dianggap terbelakang oleh Jepang sehingga perlu diperkenalkan dengan peradaban-peradaban modern, melalui kolonisasi Semenanjung Korea, sementara Jepang dianggap terbelakang oleh bangsa Barat sehingga perlu didorong untuk membuka diri pada era Tokugawa. Proses ini sejalan dengan proses altercasting yang dijelaskan oleh Wendt, di mana ego dalam hal ini Jepang akan mengadaptasi satu karakter lain melalui subordinasi terhadap Zainichi Korea sebagai refleksi dari karakter dan pengalaman historisnya guna mencapai satu identitas mutlak sebagai sebuah bangsa superior.

Pengalaman-pengalaman berbeda yang dirasakan oleh tiap individu dalam suatu kelompok juga dapat memengaruhi konstruksi identitas kolektif kelompok tersebut. Hal ini dapat dilihat dari identitas kolektif Zainichi Korea berkaitan dengan rasa keterikatan dengan Korea sebagai tanah leluhur mereka. Berdasarkan perbedaan tingkat keterikatan masing-masing generasi Zainichi Korea (lihat Gambar 3), generasi pertama dan generasi kedua menganggap Jepang sebagai tempat tinggal sementara mereka sebelum akhirnya kembali ke Korea. Perasaan

71 ini membuat Zainichi Korea generasi pertama dan kedua memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap proses integrasi ke masyarakat Jepang. Di sisi lain, perbedaan realitas yang dialami oleh generasi ketiga dan keempat lebih menumbuhkan rasa keterikatan dengan Jepang karena mereka lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang berbahasa dan berbudaya Jepang. Hal itu pula yang membuat mereka merasa memiliki empati bagi negara tempat mereka tinggal saat ini.

Perasaan-perasaan keterikatan seperti yang dialami oleh generasi pertama dan kedua tentu banyak dipengaruhi oleh penyesuaian diri selama proses migrasi berlangsung dan melekat hingga mereka berketurunan. Pembatasan akses terhadap berbagai aspek kehidupan juga tentunya lebih banyak dialami oleh generasi pertama dan generasi kedua, mengingat situasi kehidupan mereka berada di bawah okupasi Jepang pada masa itu. Oleh karena itu, kurangnya keterikatan terhadap Korea sebagaimana dirasakan oleh generasi ketiga bukan hanya didasari oleh fakta bahwa mereka memang lahir dan tumbuh besar sepenuhnya di Jepang. Lebih dari pada itu, diskriminasi yang dialami oleh generasi mereka merupakan dampak dari citra kolektif Zainichi Korea sebagai sebuah kelompok etnis minoritas. Asumsi ini seiring dengan pandangan Wendt bahwa proses pembentukan identitas aktor terjadi ketika pemahaman tentang self juga merupakan partisipasi dalam pemaknaan kolektif kelompok (1992:397). Sehingga, akumulasi tindakan diskriminasi, prasangka dan pengabaian yang dialami oleh sebagian Zainichi Korea ikut memengaruhi pengalaman hidup Zainichi Korea yang hidup tanpa diskriminasi dan prasangka.

Generasi ketiga Zainichi Korea hidup dalam fase di mana posisi nasionalisme Jepang lebih condong ke model universal. Melalui keterbukaan terhadap kerja sama internasional, sekaligus dibarengi dengan peningkatan jumlah penduduk asing yang cukup drastis, pengenalan akan konsep multikulturalisme dalam masyarakat juga semakin berkembang. Sejalan dengan analisis pergeseran sudut pandang terhadap nihonjinron oleh masyarakat Jepang dalam sub-bab 2, sangat tepat jika diasumsikan bahwa tipe solidaritas etnis dalam tipe identitas Zainichi Korea (lihat Gambar 2) digambarkan sebagai tipe ideal dalam skema

72 hubungan multikultural masyarakat Jepang. Karena melalui tipe ini, pergerakan kelompok Zainichi Korea khususnya yang dilakukan oleh generasi ketiga bukan hanya berpusat pada masalah kesetaraan hak sebagai penduduk di Jepang, namun juga pemberdayaan Zainichi Korea sebagai penduduk Jepang yang utuh. Sehingga, Zainichi Korea dapat menjadi jembatan penghubung antara tiga pemangku kepentingan dalam ranah pemerintahan negara yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Tentu saja, analisis ini tidak ingin mengesampingkan fakta bahwa eksistensi Zainichi Korea mengandung bersifat kompleks dengan banyaknya persinggungan antara kedua elemen, khususnya tensi politik antara Jepang dan Korea Utara. Namun demikian, munculnya peningkatan angka naturalisasi Zainichi Korea serta perkawinan campur dengan orang Jepang (lihat Tabel 4.2 dan Tabel 4.3) dapat memungkinkan terciptanya koeksistensi multikulturalisme di Jepang berdasarkan model akulturasi, bukan asimilasi. Sehingga, pemberdayaan bukan hanya dirasakan oleh Zainichi Korea, namun terlebih oleh kelompok etnis minoritas lain di Jepang.

Untuk menyimpulkan paparan analisis dari tiap-tiap sub-bab dalam bab pembahasan ini, penulis menyusun Tabel 4.9 untuk membandingkan bagaimana ide dari masing-masing variabel penelitian memproyeksikan motivasi mereka dalam membentuk identitas kolektif masing-masing kelompok:

Tabel 4. 9

Perbandingan Identitas Zainichi Korea dan Jepang Zainichi Korea gen. Ketiga Jepang

Ide Migran Etnis homogen dan ras superior

Minoritas Struktur masyarakat vertikal Group-oriented

Motivasi Koeksistensi multikultural Homogenisasi

Berdasarkan tabel perbandingan di atas, ide yang mendasari pembentukan identitas Zainichi Korea generasi ketiga adalah unsur historis kedatangan leluhur mereka ke Jepang sebagai migran, hingga meletakkan mereka sebagai kelompok

73 etnis minoritas di Jepang. Penulis menempatkan dua poin tersebut sebagai ide pembentuk identitas Zainichi Korea karena dua poin tersebut menjadi titik tolak dalam perubahan yang ingin diciptakan oleh generasi ketiga Zainichi Korea. Generasi muda Zainichi Korea, secara khusus generasi ketiga menilai bahwa fakta historis kelompok mereka sebagai migran menimbulkan banyak subordinasi dan marginalisasi dalam kehidupan sehari-hari (lihat Tabel 4.8) sehingga mereka tidak dengan bebas mendapatkan hak-hak dasar sebagai pemegang status SPR di Jepang.

Namun, jika identitas kolektif generasi ketiga Zainichi Korea disandingkan dengan identitas nasional Jepang, muncul ketimpangan-ketimpangan yang menyulitkan motivasi Zainichi Korea generasi ketiga untuk menciptakan koeksistensi multikultural dapat terwujud. Ide bahwa Jepang merupakan satu etnis homogen dan dikaruniai ras superior menjadikan nasionalisme mereka mengakar kuat dalam masyarakat sebagai pemilik tunggal dari keseluruhan bangsa Jepang. Hal itu ditambah dengan struktur masyarakat vertikal Jepang yang membentuk stratifikasi dalam masyarakat, sehingga otomatis menempatkan others —atau Zainichi Korea, dalam hal ini— pada stratifikasi level dua. Perilaku ini merupakan sebuah standar yang ditetapkan oleh Jepang ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok dengan standar norma dan kebudayaan berbeda dengan apa yang mereka percayai, meski secara penampilan fisik individu dari masing-masing kelompok tidak jauh berbeda.

Bila dikaitkan dengan proses pembentukan identitas kolektif Wendt, identitas kolektif Zainichi Korea terbentuk atas common fate berdasarkan ikatan historis dan genealogis dengan Korea sebagai tempat asal mereka para 'migran'. Mereka semua dilekatkan pada status sebagai pendatang, terlepas dari perihal di mana mereka lahir, dengan bahasa apa mereka berbicara, dan seberapa kuat ikatan emosional mereka dengan Korea maupun Jepang sebagai 'bangsa'. Ikatan tersebut kemudian mendorong terciptanya rasa solidaritas untuk melawan inferioritas yang mereka alami dalam interaksi sosial dengan masyarakat Jepang. Dengan demikian, Zainichi Korea membentuk variasi-variasi tipe identitas baru sesuai proses

74 internalisasi masing-masing individu sebagai alternatif untuk mempertahankan common fate tersebut.

Sementara itu, pembentukan identitas nasional Jepang, sebagai sebuah negara dengan sistem legal yang baku, mengutamakan homogenization. Upaya-upaya membaurkan the Other dengan kebudayaan mereka perlu dilakukan demi mencapai gambaran dalam cita-cita identitas nasional bangsa Jepang yang mutlak. Bagi bangsa Jepang, homogenization wajib dilakukan untuk mencapai satu bentuk nasionalisme sesuai dengan gambaran superioritas ras Jepang. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mempertahankan spirit yang telah dibangun jauh sejak zaman kerajaan, yaitu tentang keunikan bangsa mereka. Sehingga penggaungan istilah tan itsu minzoku kokka (bangsa etnis tunggal) dipilih untuk secara intensif mempromosikan nasionalisme kepada masyarakatnya.

Intersubjektivitas antara kedua identitas kolektif itu kemudian muncul sebagai sebuah kontradiksi antar dua kutub yang saling bersinggungan, terlebih dengan adanya self-restrain dari masing-masing identitas kolektif tersebut. Pada kutub Zainichi Korea, self-restrain yang muncul berupa protes terhadap kebijakan-kebijakan terkait penetapan status kewarganegaraan orang Korea yang berpotensi menghilangkan jejak genealogis mereka, serta penolakan terhadap tindak-tindak diskriminasi terhadap Zainichi Korea sebagai kelompok etnis minoritas. Sementara itu di kutub Jepang, self-restrain berlangsung berdasarkan interpretasi konsep self dan other terhadap keberadaan kelompok asing. Dengan dilakukannya promosi tentang keunikan dan sifat mutlak dari homogenitas ras bangsa mereka, Jepang secara tidak langsung menunjukkan bagaimana peliyanan tersebut telah dan terus ada dalam hubungan antar-etnis baik di luar maupun di dalam lingkup negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa intersubjektivitas yang terjadi antara kedua identitas kolektif tersebut berada dalam posisi tidak seimbang. Sehingga, self-restrain Zainichi Korea terkalahkan oleh upaya homogenization tersebut dan menciptakan kecenderungan interaksi konfliktual dari intersubjektivitas Jepang dan Zainichi Korea.

Dokumen terkait