• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2 Homogenitas Sebagai Identitas Nasional Jepang

4.2.2 Proyeksi Identitas Nasional Jepang

Peningkatan jumlah migran dan penduduk asing sejak periode perang hingga saat ini meningkatkan gangguan terhadap upaya mencapai homogenitas ras dan etnisitas bangsa Jepang dengan mutlak. Salah satu cara yang dilakukan oleh Jepang sebagai bentuk dari respon awal terhadap peningkatan imigrasi untuk meminimalisasi kemungkinan gangguan tersebut, misalnya dengan menerapkan kebijakan asimilasi, meliputi kewajiban untuk mengadopsi nama Jepang dan menggunakan bahasa Jepang. Bagi Jepang, asimilasi adalah satu-satunya jalan untuk menyetarakan strata sosial kelompok asing dengan orang Jepang agar penerimaan terhadap kelompok minoritas etnis tersebut dapat lebih mudah dilakukan.

Pada kenyataannya, penerapan kebijakan adopsi nama Jepang, pengajaran bahasa dan kebudayaan Jepang, misalnya bagi etnis Korea, hanya sekadar menjadi medium untuk menghindari diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari. Imigran yang adalah minoritas etnis, secara sukarela maupun terpaksa telah terputus dengan budaya asli mereka sehingga mau tidak mau harus berintegrasi ke dalam struktur masyarakat di tempat baru mereka. Proses integrasi dan adaptasi tersebut akan menghasilkan variasi perpaduan budaya baru sehingga kemurnian etnis dari kelompok migran akan memudar.

Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa homogenitas etnis dalam diskursus nihonjinron mengandung intensi peningkatan power atas diri bangsa Jepang maupun pihak lain yang bersinggungan seiring proses pembentukan identitas nasional berlangsung. Sebagaimana proses pembentukan identitas kolektif memerlukan power dalam mencapai konsensus, maka power yang diupayakan dalam proses pembentukan identitas homogen bangsa Jepang berfungsi selain untuk mendorong aktor lain melakukan apa yang tidak akan mereka lakukan, juga untuk memproduksi identitas, kepentingan dan makna. Berkaitan dengan diskursus nihonjinron, power ditunjukkan dalam proses pembentukan identitas nasional melalui upaya asimilasi etnis-etnis minoritas menjadi satu bagian dari struktur homogen Jepang. Meskipun demikian, upaya ini justru dibarengi dengan penolakan dan pembatasan terhadap eksistensi kelompok

58 etnis minoritas di Jepang, baik minoritas etnis asli maupun minoritas etnis pendatang. Pembatasan tersebut merupakan upaya untuk mencapai homogenisasi identitas kolektif melebihi intersubjektif beragam sub-identitas. Nihonjinron sekaligus penekanannya pada homogenitas ras bangsa Jepang mengandung fungsi penguasaan diri untuk mengatasi ketakutan akan pencaplokan identitas diri oleh identitas lain, sehingga power management juga dibutuhkan dalam kontestasi untuk menentukan identitas mana atau bahkan penggabungan identitas seperti apa yang akan ditetapkan dalam skema penetapan identitas nasional bangsa Jepang.

Sebagaimana identitas bersifat fluid dan dinamis, pembentukan self-image bangsa Jepang juga terus bergerak. Perubahan cara pandang masyarakat terhadap nihonjinron sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menunjukkan sifat fluid yang memengaruhi dan dipengaruhi pola pikir masyarakat tentang nasionalisme berdasarkan ikatan kolektif identitas. Yoshio Sugimoto, seorang peneliti sosiologi Jepang, dalam bukunya berjudul An Introduction to Japanese Society menjelaskan bahwa stereotipe bangsa Jepang terus berayun di antara dua kutub pendekatan universalistik dan partikularistik. Mengutip penelitian Sugimoto, dinamika pembentukan self-image bangsa Jepang dapat dijelaskan dengan membaginya ke dalam tujuh fase berbeda, mulai dari akhir Perang Dunia II hingga abad 21, seperti dijabarkan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 secara jelas menunjukkan pemetaan tiap-tiap fase dalam proses pembentukan self-image bangsa Jepang. Pola peralihan yang terjadi antara pendekatan universalistik dan partikularistik menunjukkan bagaimana proses tersebut lekat dengan respon eksternal terhadap setiap citra yang ingin mereka kembangkan. Misalnya, peralihan dari fase III dan fase IV dari tabel tersebut menunjukkan bagaimana perubahan pola pembentukan self-image bangsa Jepang memiliki kaitan erat dengan persepsi bangsa lain terhadap nilai-nilai diri mereka, khususnya persepsi negara-negara Barat yang dianggap sebagai oposisi biner dari eksistensi Jepang.

59

Tabel 4. 5

Fase Pembentukan Self-Image Jepang

FASE KUTUB PENDEKATAN KARAKTERISTIK BANGSA JEPANG Fase I Akhir PD II - 1950-an

Partikularistik Lekat dengan unsur-unsur Orientalisme: masyarakat tradisional, terbelakang, dan eksotis.

Fase II 1960-an

Universalistik Menerima modernisasi sebagai bagian dari upaya rekonstruksi dan revitalisasi pasca-perang.

Fase III 1960 - 1970

Partikularistik Berkembang seiring diskursus nihonjinron yang menekankan keunikan psikologis Jepang: in-group harmony, mutual cooperation, unity with nature, egalitarianism dan racial uniformity. Fase IV

1970 - 1980

Universalistik Berhasil menghadapi krisis ekonomi global bahkan ketika negara-negara Barat mengalami kesulitan; muncul kampanye 'learn from Japan'

Fase V 1980 - 1990

Partikularistik Mengalami kelemahan akuntabilitas publik hingga kehilangan kepercayaan publik. Karenanya bangkit gerakan revisionisme terhadap sistem di Jepang.

Fase VI 1990 - 2000

Semi-universalistik Jumlah migrasi ke Jepang meningkat. Kepercayaan terhadap keunikan Jepang mulai runtuh, namun masih

mengimplementasikan nilai-nilai nihonjinron.

Fase VII Abad 21

Universalistik Melahirkan fenomena Japan Cool:

kebangkitan kebudayaan modern Jepang seperti manga, anime, gastrodiplomacy (sushi, ramen, dsb.)

Sumber: Yoshio Sugimoto, An Introduction to Japanese Society, 2010, diolah.

Hal menarik dari dinamika tersebut justru terletak pada proyeksi identitas bangsa lain terhadap identitas Jepang. Respon bangsa lain terhadap kebijakan Jepang dari fase ke fase tidak sepenuhnya mengubah jati diri Jepang, namun memperkuat semangat dalam rangka penyebarluasan nilai-nilai Jepang sesuai dengan diskursus nihonjinron. Hasil penelitian tersebut justru menunjukkan bahwa pola kebudayaan masyarakat Jepang paling tepat dipahami sebagai keseluruhan sosial atau budaya yang terdiri dari sekelompok individu yang homogen. Homogenitas dan superioritas bangsa Jepang seakan memiliki daya kapilaritas tinggi sehingga dapat terserap ke dalam pendekatan partikularistik maupun universalistik pembentuk self-image.

60 Sejarah pembentukan Jepang sebagai sebuah bangsa pada mulanya dipenuhi dengan berbagai penindasan brutal dan perlawanan fanatik terhadap otoritas. Seperti yang diamati oleh Sugimoto, gangguan umum di Jepang terjadi berdasarkan represi kelompok minoritas untuk menciptakan kesesuaian pada sistem organisasi yang telah dibangun struktur sosial mereka (Mouer & Sugimoto, 1986: 267-269). Berhubungan dengan keberlangsungan koeksistensi multikultural, penting untuk melepaskan diri dari gagasan budaya dominan dan menganggap subkultur dan kontra budaya sebagai refleksi dari kecenderungan satu atau lebih segmen populasi Jepang. Banyak literatur menyatakan bahwa Restorasi Meiji menjadi awal pemberlakukan homogenisasi masyarakat Jepang, melalui pemaksaan nilai-nilai subkultur Jepang, hingga menghasilkan bermacam bentuk diskriminasi yang berlangsung secara berkelanjutan. Akan tetapi, keterbukaan terhadap modernisasi dan industrialisasi juga meningkatkan dinamika migrasi dalam lingkup negara Jepang.

Kecenderungan untuk melihat keunikan Jepang telah secara ironis digeser oleh pandangan holistik yang menekankan perbedaan antara masyarakat masa kini dengan pandangan awal Jepang (Burgess, 2010:8). Pertanyaan yang perlu diberikan kemudian berkaitan dengan pembentukan identitas nasional Jepang adalah bagaimana generasi masa kini menerima dan mengimplementasi identitas kolektif sesuai gambaran diskursus nihonjinron? Untuk menilai validitas asumsi tersebut, penulis mengutip survei dari Masamichi Sasaki yang dipublikasikan dalam bentuk jurnal ilmiah berjudul "Globalization and National Identity in Japan". Survei yang dilaksanakan pada September 2003 terdiri dari dua set sampel data dari kuesioner identik terhadap 429 orang tua, 401 anak dan 1.334 orang dewasa di Jepang. Survei tersebut secara garis besar berisi perbandingan persepsi antara orang tua dan anak dengan orang dewasa mengenai dua segmen pertanyaan, yang pertama ialah mengenai elemen-elemen dalam konstruksi self-image sebagai orang Jepang, serta yang kedua mencakup keterbukaan terhadap pihak asing seiring dengan globalisasi (Sasaki, 2004:78).

61

Tabel 4. 6

Faktor Penting Pembentuk Diri Orang Jepang

Respon berdasarkan kelompok umur Anak Orang Tua Dewasa

15-17 30-49 50-59 20-29 30-49 50-59 60+

Lahir di Jepang 32,4 27,6 32,6 36,3 34,3 31,2 40,2

Memiliki kewarganegaraan Jepang 55,9 60,8 71,7 62,2 59,7 59,0 66,4 Hidup di Jepang hampir seumur hidup 27,4 27,3 25,0 36,3 28,8 26,9 20,8 Menghormati budaya tradisional Jepang 31,9 35,6 31,5 25,9 36,2 34,3 29,5 Menghormati sistem dan/atau hukum di

Jepang

20,2 35,3 34,8 22,2 30,9 37,3 24,4

Menganggap diri sebagai orang Jepang 51,9 44,8 39,1 47,4 42,9 40.1 27,2 Memberi kesan bahwa wajah dan / atau

perilaku seseorang terlihat Jepang

9,7 5,3 7,6 5,9 7,4 5,8 5,7

Memiliki orang tua Jepang 15,0 17,5 20,7 13,3 17,5 14,1 19,2 Mampu berbicara bahasa Jepang dengan

lancar

29,9 24,3 19,6 31,1 22,6 24,5 26,3

Lainnya 0,5 0,3 - - 0 - 0,2

Tidak tahu 2,0 2,1 - 0,7 0,7 2,1 5,9

Sumber: Masamichi Sasaki, "Globalization and National Identity in Japan". Dalam International Journal of Japanese Sociology, No. 13, 2004, diolah.

Paparan hasil survei dalam Tabel 4.6 menunjukkan bahwa kriteria utama dalam pembentukan self-image sebagai orang Jepang adalah melalui kepemilikan kewarganegaraan Jepang. Jawaban tersebut menjadi opsi jawaban dengan persentase yang paling tinggi dan merata berdasarkan perbandingan jawaban tiap kelompok umur, baik dari kategori anak, orang tua dan dewasa. Selain perihal kewarganegaraan, "menganggap diri sebagai orang Jepang" menjadi opsi yang paling banyak dipilih kedua. Perbandingan dari kedua opsi dengan persentase mayoritas tersebut menunjukkan bahwa status legal masih menjadi standar variabel yang jelas untuk mengukur ke-Jepang-an seseorang. Hal menarik muncul dari opsi anggapan diri sebagai orang Jepang, di mana responden umur 60 tahun ke atas menunjukkan persentase yang lebih sedikit, yaitu sebesar 27.2 persen dibanding persentase pada kelompok rentang usia lainnya. Bagi responden umur 60 tahun ke atas, kondisi bahwa seseorang "lahir di Jepang" dinilai lebih tepat untuk mengukur ke-Jepang-an seseorang.

62

Tabel 4. 7

Sikap Terhadap Orang Asing di Jepang

Respon berdasarkan kelompok umur Anak Orang Tua Dewasa

15-17 30-49 50-59 20-29 30-49 50-59 60+

a) Bagaimana pendapat anda mengenai orang asing yang ingin datang dan tinggal di Jepang?

Mereka merampas pekerjaan orang Jepang 5,2 5,6 5,4 3,0 3,9 5,8 5,9 Mereka berkontribusi pada ekonomi Jepang 9,7 9,8 9,8 9,6 9,2 12,5 7,3 Jumlah kejahatan akan meningkat 21,7 38,9 43,5 30,4 36,6 41,0 59,8 Pikiran dan budaya baru akan muncul 57,9 40,7 38,0 51,9 45,4 36,1 18,0

Lainnya - 0,6 1,1 - 0,7 0,3 0,2

Tidak tahu 5,5 4,4 2,2 5,2 4,1 4,3 8,7

b) Haruskah orang asing yang tinggal di Jepang mengadaptasi kebiasaan dan / atau tradisi Jepang?

Harus 44,1 62,9 62,0 48,9 50,7 62,1 65,3

Tidak harus 46,4 29,4 30,4 41,5 38,9 29,7 23,3

Lainnya 2,5 3,3 3,3 3,7 4,6 2,1 1,8

Tidak tahu 7,0 4,4 4,3 5,9 5,7 6,1 9,6

c) Bagaimana tanggapan anda tentang peningkatan jumlah orang asing yang datang dan tinggal di Jepang? Lebih baik jika jumlahnya bertambah 37,2 21,7 23,9 29,6 26,9 19,9 10,3 Lebih baik tetap di level saat ini 45,9 46,3 50,0 48,9 41,9 45,6 39,7 Lebih baik jika jumlahnya berkurang 10,7 23,7 19,6 17,0 21,9 29,7 41,1

Tidak tahu 6,2 8,0 6,5 4,4 9,2 4,9 8,9

d) Karena kurangnya kesempatan kerja yang memadai, dan karena kemampuan yang hampir setara, haruskah orang Jepang mendapat prioritas dalam mempekerjakan orang asing?

Ya 37,9 62,9 71,7 43,0 56,2 69,4 80,6

Tidak 54,4 30,0 21,7 45,9 35,9 22,3 11,0

Lainnya 1,2 2,1 5.4 0,7 2,3 2,8 0,9

Tidak tahu 6,5 5,0 1,1 10,4 5,5 5,5 7,5

Sumber: Masamichi Sasaki, "Globalization and National Identity in Japan". Dalam International Journal of Japanese Sociology, No. 13, 2004, diolah.

Tabel 4.7 menjabarkan hasil survei tentang persepsi masyarakat Jepang mengenai keterbukaan terhadap masuknya pihak asing ke negara mereka seiring dengan globalisasi, berdasarkan empat indikator, yaitu: a) pendapat mengenai orang asing yang ingin datang dan tinggal di Jepang; b) adaptasi kebiasaan dan/atau tradisi Jepang bagi orang asing; c) tanggapan tentang peningkatan jumlah orang asing di Jepang; dan d) prioritas lapangan kerja bagi orang asing di Jepang. Dari keseluruhan hasil survei tersebut, dapat dikatakan bahwa persepsi masyarakat Jepang terhadap orang asing masih belum menunjukkan perubahan,

63 ditunjukkan dengan mayoritas respon dari keseluruhan kelompok rentang usia terhadap pertanyaan (c) menunjukkan bahwa mereka masih ingin jumlah orang asing yang datang dan tinggal di Jepang tetap pada level saat ini. Hal itu didukung dengan respon terhadap pertanyaan (a), yang menunjukkan kekhawatiran responden terhadap peningkatan angka kejahatan di Jepang dan munculnya pikiran dan kebudayaan baru. Respon tersebut kemudian berkaitan dengan hasil survei dari pertanyaan (b) yang menunjukkan bahwa masyarakat Jepang merasa adaptasi kebiasaan dan/atau tradisi Jepang perlu ditekankan pada orang asing yang ingin datang dan tinggal di Jepang. Namun demikian, masyarakat Jepang telah lebih terbuka terhadap kesadaran akan keterbatasan tenaga kerja akibat defisit populasi usia produktif di Jepang. Sehingga, mereka juga mau lebih lagi mempekerjakan orang asing.

Berdasarkan penjabaran tabel-tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan akan homogenitas Jepang sebagai sebuah identitas nasional mereka sampai saat ini masih dipercayai banyak pihak. Meskipun beberapa argumen dari para pengamat kebudayaan dan sosial Jepang menyatakan keterbukaan dan penerimaan terhadap konsep multikulturalisme sudah mulai diterima oleh masyarakat Jepang secara luas, namun kaidah-kaidah umum tentang adaptasi kebudayaan oleh orang asing, pembatasan terhadap jumlah orang asing yang datang ke Jepang, serta ketakutan akan munculnya pola pikir baru dalam masyarakat masih dipegang teguh oleh masyarakat. Maka, perubahan struktur masyarakat homogen Jepang menjadi lebih multikultur sebagaimana diimpikan oleh banyak pihak masih jauh dari kenyataan.

Dokumen terkait