• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN

4.4 Modal Sosial Pada Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi

4.4.1 Kepercayaan (Trust)

4.4.1.2 Kepercayaan dengan Masyarakat yang Bukan Nelayan

Tidak hanya kepercayaan yang dibangun dengan sesama nelayan saja baik itu nelayan Tionghoa maupun nelayan pribumi, namun juga para nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi ini membangun kepercayaan dengan masyarakat lain yang bukan nelayan. Menjalin hubungan sosial yang baik kepada semua orang itu diperlukan, tidak hanya dengan orang yang memiliki pekerjaan ataupun suku yang sama namun kepada orang yang berbeda pekerjaan, hobi dan suku, hal tersebut dilakukan agar kehidupan sosial dapat berjalan dengan baik dan agar ketika kita mengalami kesulitan akan ada orang yang mau membantu. Menurut Luhmann,

Sako(1992) (dalam Damsar, 2009:203) ada tiga bentuk kepercayaan yaitu kepercayaan kompetensi, kepercayaan kontraktual, dan kepercayaan niat baik.

Kepercayaan yang terbangun antara nelayan Tionghoa dengan masyarakat yang bukan nelayan sesuai dengan salah satu bentuk kepercayaan yang dijelaskan oleh Luhmaan, Sako yaitu kepercayaan niat baik. Kepercayaan niat baik merupakan kepercayaan yang menunjuk pada harapan bersama pihak yang terlibat memiliki komitmen terbuka satu sama lainnya untuk melakukan sesuatu yang terbaik bagi keuntungan bersama. Masyarakat nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi tidaklah tinggal dalam satu wilayah melainkan terpisah-pisah. Hal tersebutlah yang membuat nelayan Tionghoa memiliki hubungan yang baik kepada banyak kalangan yang juga membuat Etnis Tionghoa ini telah merasa diterima baik keberadaan mereka dengan masyarakat setempat yang bukan Etnis Tionghoa. Bentuk kepercayaan yang mereka bangun salah satunya berupa menitipkan kunci rumah kepada tetangganya yang memang bukan nelayan ketika berpergian ataupun sebaliknya. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Lamde :

“Bapak sangat percaya dengan tetangga-tetangga Bapak disini, walaupun tidak banyak yang bekerja nelayan seperti Bapak, tapi mereka semua sangat baik.Bapak juga merasa Etnis Bapak sudah diterima dengan baik oleh masyarakat disini, karena memang Etnis kami ini juga sudah lama ada di sini. Salah satu buktinya saja mereka mau melihat dan menjaga rumah Bapak ketika Bapak pergi dan tidak ada orang dirumah padahal bisa saja mereka mengambil barang Bapak tapi itu tidak pernah terjadi, dan begitu pula sebaliknya.”

Dari pernyataan nelayan Tionghoa diatas terlihat bahwa memang kepercayaan itu perlu dalam hidup bermasyarakat karena, selain keluarga dirumah tetanggalah

yang dapat membantu dan menolong jika terjadi hal-hal yang diluar keinginan, begitu juga sebaliknya. Untuk dapat percaya dengan orang lain tidaklah harus memandang kesamaan agama, suku dan budaya, tapi harus melihat dan memandang bahwa semua orang itu sama apalagi sudah tinggal di wilayah yang sama, maka dengan sendirinya kepercayaan antarsesama akan terjalin. Tidak boleh ada pikiran negatif mengenai orang lain karena pikiran negatif hanya akan membuat kita tidak bisa melihat kebaikan orang lain dan akan menimbulkan kecurigaan kepada orang lain yang pada akhirnya akan membuat kita tidak mampu untuk percaya kepada orang lain.Dalam hal ini terdapat harapan bersama yang berwujud hubungan saling percaya yang nantinya dapat menguntungkan kedua belah pihak.

Sesuai dengan diskusi sosiologis tentang kepercayaan umumnya dikaitkan dengan keterbatasan perkiraan dan ketidakpastian yang berkenaan dengan perilaku orang lain dan motif mereka (Gambetta, 1998). Setiap orang memiliki keterbatasan dalam memperkirakan sesuatu, untuk mengatasi ketidakpastian tersebut maka dia harus menjalin hubungan kepercayaan dengan orang lain. Apakah seorang pembeli, misalnya akan datang lagi atau tidak dalam suatu komunitas lokal pedesaan untuk suatu transaksi jual beli? Setiap pedagang cenderung tidak merasa yakin terhadap prakiraannya. Oleh karena itu mengikat pembeli dalam hubungan pelanggang yang dilandasi kepercayaan merupakan suatu cara untuk mengatasi ketidakpastian tersebut. Demikian pula disisi pembeli, apakah barang yang dibeli terlalu mahal atau tidak dari seorang penjual, dia tidak tahu. Untuk mengatasi hal tersebut, pembeli berusaha untuk mengikat hubungan pelanggan yang didasarkan atas kepercayaan.

Hubungan langganan antara pembeli dan penjual merupakan hubungan yang didasarkan atas kepercayaan, yang bisa dipahami untuk mengatasi ketidakpastian yang mereka miliki (Damsar, 2009:201).

Hubungan kepercayaan seperti yang tergambar diatas juga terdapat pada nelayan Tionghoa dengan masyarakat yang bukan nelayan. Berawal dari saling percaya karena satu lingkungan atau satu daerah tempat tinggal, nelayan Etnis Tionghoa menjalin kepercayaan dalam hal lain yaitu menjual hasil tangkapan melaut kepada tetangganya bahkan kerabat dari tetangganya. Agar tetangga ataupun kerabat tetangganya tetap membeli ikan dan hasil tangkapan lainnya, nelayan Tionghoa mengikat mereka dengan hubungan pelanggan yang dilandasi kepercayaan, salah satu caranya yaitu nelayan Etnis Tionghoa memberikan atau menjual hasil tangkapan yang selalu bagus, segar dan layak untuk dikonsumsi yang pada akhirnya membuat pelanggannya selalu percaya kepadanya bahwa memang ikan, udang ataupun yang lainnya masih bagus dan layak untuk dikonsumsi.

Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh salah satu Nelayan Tionghoa yaitu Bapak Anto :

“Bapak juga cukup sering mendapat pesanan ikan ataupun udang dari tetangga bahkan dari saudara ataupun kenalan tetangga Bapak itu. Supaya mereka percaya sama Bapak, Bapak selalu memberikan dan menjual ikan, udang, dan kepiting yang memang baru Bapak tangkap dan itu masih segar”.

Hal serupa juga dikatakan oleh Nelayan Tionghoa lainnya yaitu Bapak Awi “Bapak tinggal di lingkungan yang pekerjaan dan agama masyarakatnya berbeda-beda tapi kami semua sangat akur dalam bertetangga. Namanya juga hidup bermasyarakat jadi harus saling percaya lah satu sama lainnya untuk menjaga keamanan juga. Sering juga Bapak nongkrong dikedai kopi dengan

masyarakat lainnya yang bukan nelayan dan mereka juga sering memesan ikan ataupun udang kepada Bapak. Jika Bapak sudah pulang melaut Bapak kabari mereka dan kemudian mereka yang datang kerumah untuk mengambil pesanan mereka”.

Dari pernyataan kedua informan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mempertahankan atau mengikat pembeli dalam ikatan langgananpun diperlukan saling percaya satu sama lain yaitu dengan cara memberikan ikan dan hasil tangkapan lainnya yang bagus dan segar kepada pembeli yang merupakan tetangga ataupun kerabat dari tetangga. Seperti kepercayaan yang diungkapkan oleh Niken Handayani dalam penelitiannya yang berjudul modal sosial dan keberlangsungan usaha, dimana beliau mengatakan bahwa individu mempunyai dasar yang membuat individu mempercayai orang lain, yaitu dilihat dari : kebaikan seseornag yang dilihat dari kehidupan pergaulan sehari-hari, tingkah laku yang tidak membedakan status sosial, agama, dan etnis, kemudian juga dilihat dari tindakan, sifat dan perbuatan yang sering dilakukan, dan yang terakhir dilihat dari kedekatan individual dengan orang lain dan lama kenal individu dengan orang lain.

4.4.1.3 Kepercayaan Dengan Bangliau (Tempat Penampungan Ikan)

Masyarakat Bagansiapiapi biasa menyebut tempat penampungan ikan dengan sebutan bangliau. Bangliaumerupakan sebuah tempat penampungan ikan yang sekaligus menjadi tempat pengolahan dan pengawetan ikan, ikan asin serta udang yang akan diolah menjadi terasi. Kepercayaan memperbesar kemampuan manusia untuk bekerjasama karena kerja sama tidak akan terjalin kalau tidak didasarkan atas adanya rasa saling percaya diantara sesama pihak yang terlibat, begitu pula

kepercayaan yang dibangun oleh nelayan Tionghoa dengan bangliau. Bangliaumerupakan tempat para nelayan Tionghoa dan nelayan pribumi menjual hasil tangkapan mereka melaut baik yang melautnya pulang hari maupun yang lima hari sampai seminggu di laut. Selain itu,bangliau juga nantinya akan menyortir hasil tangkapan para nelayan yang kemudian menjualnya ke dalam dan luar negeri. Bentuk kepercayaan yang dibangun oleh nelayan kepada bangliau yaitu percaya bahwa bangliau tidak akan mengurangi timbangan hasil tangkapan para nelayan, mencurangi nelayan dalam harga jual, dan juga percaya saat meminjam modal, kapal, dan perlengkapan lainnya untuk melaut bahwa bangliau tidak akan mematok bunga yang tinggi untuk modal yang dipinjam.

Seperti apa yang disampaikan oleh Bapak Lamde :

“Bapak percaya penuh dengan bangliau tempat Bapak bisa menjual hasil tangkapan, Bapak percaya bahwa mereka tidak akan mengurangi atau menokohi (menipu) hasil timbangan dari tangkapan yang Bapak peroleh dari melaut. Dalam peminjaman modal pun begitu, kita dapat mencicil pinjaman kita, makanya Bapak percaya untuk kadang meminjam modal kalau modal Bapak untuk melaut kurang, kalaupun ada yang pakai bunga, bunganyapun kecil jadi tidak memberatkan”.

Dari hasil wawancara dengan Bapak Lamde tersebut, beliau menjelaskan bahwa antara nelayan dan bangliau memang terjalin suatu bentuk kepercayaan yang dapat saling menguntungkan satu sama lain dimana nelayan akan menjual hasil tangkapan melaut kepada bangliau dan percaya bahwa bangliau tersebut tidak ada berbuat dan bertindak curang seperti mengurangi timbangan dan menekan harga jual yang akan merugikan para nelayan, begitu juga dengan bangliau yang selalu

menjaga kepercayaan dengan tidak berbuat curang kepada nelayan dan percaya bahwa hasil tangkapan yang dibawa oleh para nelayan Tionghoa adalah tangkapan yang bagus dan memiliki kualitas ekspor.

Menurut Luhman, Sako (1992) (dalam Damsar, 2011 : 203) yang melihat kepercayaan dalam konteks bisnis, menemukan tiga bentuk kepercayaan, yaitu kepercayaan kompetensi, kepercayaan kontraktual, dan kepercayaan niat baik. Melihat kepercayaan yang dibangun oleh nelayan Tionghoa dengan bangliau tersebut termasuk kedalam bentuk kepercayaan kompetensi dimana bentuk kepercayaan ini menunjuk pada keyakinan bahwa mitra dalam bekerja akan memperlihatkan kewajiban mereka berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang mereka miliki.

Dokumen terkait