• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN

4.4 Modal Sosial Pada Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi

4.4.1 Kepercayaan (Trust)

4.4.1.1 Kepercayaan Terhadap Sesama Nelayan

Kepercayaan juga merupakan modal awal yang harus dimiliki setiap orang untuk bisa menjalin hubungan dengan masyarakat lainnya. Tanpa adanya rasa saling percaya maka akan menyulitkan orang dalam hidup sebagai makhluk sosial yang memang tidak bisa hidup tanpa orang lain dan saling membutuhkan satu sama lain. Kepercayaan dapat timbul dari adanya rasa senasib dan sepenanggungan, satu klan atau satu marga, satu daerah dan lain sebagainya. Garnasih (2011) menyebutkan bahwa hubungan-hubungan informal yang terjalin terus-menerus menjadi Trust.

Selanjutnya dipelihara oleh masing-masing pihak sampai menimbulkan harapan- harapan yang berkembang di dalam kelompok. Harapan-harapan yang dibangun bukan hanya untuk masa kini melainkan juga masa yang akan datang maka modal sosial menjadi tinggi dan modal sosial bukan sekedar partisipasi saja melainkan juga harapan-harapan positif. Sebab harapan-harapan yang dibangun pada masa kini akan bermanfaat untuk masa depan yang akan menimbulkan tindakan kolektif dan solidaritas antar sesama.

Seperti halnya nelayan Etnis Tionghoa yang ada di Bagansiapiapi ini, mereka memiliki rasa percaya yang besar kepada sesama etnis mereka yang merupakan bagian dari hubungan kekerabatan. Hal ini tentunya sudah berlangsung lama yaitu sejak Etnis Tionghoa memasuki daerah Riau khususnya Bagansiapiapi. Hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh nelayan Tionghoa telah menjadi nilai-nilai bersama bagi mereka bahwa ikatan keluarga dianggap sebagi ikatan batin yang kuat dibandingkan dengan orang diluar keluarganya. Giddens (dalam Damsar, 2009:187) juga mengatakan bahwa hubungan kekerabatan merupakan konteks lingkungan yang dapat menjadi asal muasal tumbuh kembangnya suatu kepercayaan, seperti apa yang diungkapkan oleh salah satu nelayan Tionghoa yaitu Bapak Apom :

“Bapak sekarang melaut ikut dengan orang lain, taukeh yang sekarang ini dulu juga tidak terlalu kenal sama Bapak, tapi mungkin karena satu daerah tinggal juga sesama Tionghoa walaupun tidak semarga jadinya Bapak diterima kerja ikut dengan taukeh yang sekarang ini. Sebelumnya Bapak melaut ikut dengan saudara Bapak, tapi setelah beberapa tahun dan karena ada sesuatu hal juga akhirnya Bapak memutuskan untuk mencari taukeh yang lain yaitu taukehBapak yang sekarang ini”

Dari penuturan Bapak Apom diatas menegaskan bahwa adanya kesamaan daerah dan etnis menimbulkan kepercayaan yang didalamnya terdapat harapan- harapan bersama dalam mencapai suatu tujuan. Hal tersebut terlihat dari mudahnya Bapak Apom mendapatkan pekerjaan dari taukeh barunya padahal taukehnya belum terlalu mengenak Pak Apom, namun karena adanya kesamaan etnis dan daerah tempat tinggal menimbulkan kepercayaan antara satu sama lainnya. Sebelumnya juga Pak Apom bekerja ikut dengan saudaranya, hal tersebut terjadi juga karena adanya rasa percaya yang timbul dari adanya hubungan kekerabatan antara Pak Apom dengan saudaranya yang mengijinkan Pak Apom untuk ikut melaut bersamanya.

Nelayan Etnis Tionghoa tidak hanya memiliki kepercayaan sesama Etnis Tionghoa saja, namun juga memiliki kepercayaan dengan nelayan lain yang bukan Etnis Tionghoa. Menurut Giddens (dalam Damsar, 2009:187) ditemukan empat lingkungan yang menumbuhkembangkan kepercayaan, yaitu hubungan kekerabatan, komunitas masyarakat lokal, kosmologi religius, dan tradisi. Pada masyarakat pra- modern komunitas masyarakat lokal memberikan lingkungan yang baik bagi tumbuh kembangnya kepercayaan di masyarakat. Contoh komunitas lokal yang dapat menjadi konteks bagi tumbuh kembangnya kepercayaan adalah jaringan sedusun, sekampung, dan senagari.

Sesuai dengan apa yang diungkapkan di atas, bahwasanya faktor sekampung atau satu daerah tempat tinggal menjadi sarana bagi tumbuhnya kepercayaan antara nelayan Etnis Tionghoa dengan nelayan yang bukan Etnis Tionghoa. Kepercayaan

tersebut dapat dilihat dari bekerjasamanya nelayan Tionghoa dengan nelayan pribumi, bentuk kerjasama yang ada adalah saling bertukar infomasi mengenai segala hal tentang melaut, menerima dan mengajak orang pribumi untuk satu kapal dalam melaut serta saling pinjam meminjam modal dan alat untuk melaut, hal ini pun ditegaskan oleh Bapak Awi yang mengatakan :

“Bapak memiliki 4 anak buah yang dua diantaranya merupakan orang kampung atau orang melayu, Bapak sangat mengerti sekali sekarang ini susah dalam mencari pekerjaan. Anak buah Bapak yang orang kampung ini Bapak dapatkan dari teman Bapak sesama nelayan, sedangkan yang satu lagi dia yang datang sendiri ke Bapak, katanya dapat informasi dari temannya. Karena kita satu daerah tempat tinggal Bapak terima saja, Bapak percaya bahwa mereka akan bekerja dengan baik dan jujur, terbukti sampai sekarang mereka tidak pernah mencurangi Bapak dalam melaut”.

Bentuk lain kepercayaan yang dimiliki oleh Etnis Tionghoayang memang sudah ada dan membudaya yaitu mereka dikenal akan sangat baik kepada orang yang mereka percaya dan mereka bisa dengan cepat percaya dengan orang lain asalkan orang tersebut baik dan jujur, jika satu orang saja Etnis Tionghoa sudah percaya kepada orang lain, maka satu keluarganya pun akan percaya dan baik kepada orang tersebut. Bentuk kepercayaan ini dinamakan kepercayaan askriptif yaitu kepercayaan yang muncul dari hubungan yang diperoleh berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pribadi seperti latar belakang kekerabatan, etnis dan keturunan yang dimiliki. Maka tidak heran jika dalam melaut tidak jarang nelayan Etnis Tionghoajuga mempekerjakan orang yang berbeda suku dengannya seperti Orang Melayu yang sebelumnya telah saling mengenal ataupun ikut kerja dengan pemilik kapal (Taukeh) yang bukan Etnis Tionghoa yang juga sebelumnya telah dikenal.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh pemilik kapal yang juga nelayan Etnis Tionghoa yaitu Bapak Cingkiong :

“Bapak melaut pergi bersama dengan 7 orang anggota Bapak yang semuanya merupakan orang melayu. Awalnya Bapak hanya memiliki 2 anggota saja, namun karena Bapak merasa kurang kalau hanya pergi melaut bertiga kemudian Bapak minta carikan lagi orang kepada anggota dan kerabatBapak. Selanjutnya Bapak dikenalkan dengan seorang Orang Melayu oleh kerabat Bapak yang telah mengenal orang itu dan keluarganya. Kemudian entah dapat kabar dari mana datang kepada Bapak 2 orang lagi dan semuanya orang melayu minta dicarikan pekerjaan, karena Bapak merasa satu kampung yaitu sama-sama tinggal di Bagan ini Bapak terima mereka dengan syarat kerjanya harus gigih, ulet, semangat dan tekun. Sampai saat ini mereka masih tetap bekerja sama Bapak dan kita saling percaya saat melaut.”

Hal serupa juga diungkapkan oleh Nelayan Tionghoa yang bekerja kepada orang lain yaitu Bapak A Pom :

“Menjadi nelayan bagi Bapak adalah satu-satunya pekerjaan yang cocok dan bisa Bapak lakoni dengan baik karena memang dari kecil Bapak sudah diajarkan melaut oleh orang tua Bapak. Dulunya Bapak melaut ikut dengan saudara tapi karena ada sedikit masalah akhirnya Bapak cari taukeh baru. Bapak dikenalkan dengan taukeh yang sekarang ini dari kawan Bapak, padahal Bapak tidak kenal sebelumnya tapi taukeh ini baik sama Bapak dan mau menerima Bapak ikut dengannya mungkin juga karena teman Bapak itu yang sudah kenal baik dengan Bapak, sebagai balas budinya Bapak kerja dengan sungguh-sungguh agar kita bisa dapat hasil yang banyak.”

Dari pernyataan kedua informan diatas dapat kita lihat bahwa memang mereka nelayan Etnis Tionghoa dapat saling percaya kepada orang lain walaupun belum kenal sebelumnya, namun memiliki kerabat yang telah mengenal orang itu, hal tersebut menunjukkan bahwa Orang Tionghoa memang akan percaya kepada orang lain yang belum dikenal tapi kerabatnya sudah ada yang mengenal orang tersebut. Hal lainnya adalah dikarenakanmereka merasa sudah satu kampung atau satu daerah

walaupun bisa dibilang Bagansiapiapi secara garis keturunan mereka (nelayan Etnis Tionghoa) bukanlah merupakan kampung halaman para nelayan Etnis Tionghoa tersebut, karena dari awalnya nelayan Etnis Tionghoa ini memang merupakan pendatang di Bagansiapiapi, namun ternyata mereka (nelayan Etnis Tionghoa) telah memiliki rasa berbangsa Indonesia walaupun leluhur mereka berasal dari China. Namun mereka mampu membangun rasa percaya kepada orang lain dengan harapan bisa saling menguntungkan satu sama lainnya dalam melaut tanpa ada pikiran negatif antara nelayan yang satu dengan nelayan lainnya, rasa percaya yang mereka bangunpun tidak memandang kesamaan suku ataupun budaya, asalkan bisa saling menguntungkan apapun suku dan budayanya mereka sudah tidak memperdulikannya lagi.

Kepercayaan juga dapat terbentuk dari seringnya berinteraksi antara satu dengan lainnya, hal tersebut terlihat dari seringnya nelayan Tionghoa yang ikut dengan orang lain mendapat kepercayaan untuk membawa hasil tangkapan agar bisa dijual kepada tetangga ataupun kerabat untuk tambah-tambah penghasilan, ataupun membedakan hasil tangkapan untuk sendiri (dibawa pulang) dan untuk dijual ke bangliau. Kepercayaan seperti ini merupakan bentuk kepercayaan prosesual, dimana kepercayaan muncul dari proses interaksi sosial yang dibangun oleh buruh nelayan dengan taukehnya. Seperti yang dikatakan oleh Pak Ahok :

“Terkadang Bapak minta ijin dengan taukeh untuk membawa ataupun membedakan hasil tangkapan untuk bangliau dan untuk Bapak sendiri, karena sering ada yang pesan dan juga Bapak jual ke tetangga, saudara dan teman. Untungnya taukehBapak baik dan mengijinkan Bapak untuk membawa pulang beberapa dari hasil tangkapan Bapak”.

Hal serupa juga dikatakan oleh nelayan Tionghoa lainnya yaitu Bapak Anto :

“Bapak kan kerja ikut sama taukeh, taukeh itu sangat baik tidak hanya dengan Bapak tapi juga dengan semua anggotanya. Taukeh juga sering menyuruh kami membawa sedikit dari hasil tangkapan untuk keluarga dirumah ataupun untuk dijual lagi ke tetangga ataupun ssaudara, taukeh bilang itu untuk tambah-tambah penghasilan”.

Dari pernyataan kedua informan di atas yaitu Pak A Hok dan Pak Anto, terbukti bahwa memang kepercayaan juga dapat terbangun dari seringnya nelayan Tionghoa ini berinteraksi saat melaut maupun tidak. Interaksi tersebut lama- kelamaan akan semakin menguatkan kepercayaan yang ada diantara para nelayan sehingga dapat saling menguntungkan para nelayan, salah satunya yaitu dengan mengijinkan nelayan untuk membawa dan menjual hasil tangkapan kepada orang lain seperti saudara dan tetangga.

Dokumen terkait