PEMANFAATAN MODAL SOSIAL NELAYAN ETNIS
TIONGHOA
(Studi Pada : Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi Kabupaten
Rokan Hilir, Riau)
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
S K R I P S I Diajukan oleh :
100901076 Feni Sisca Octaviani
Departemen Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
MEDAN
ABSTRAK
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang memiliki beragam etnis dan kebudayaan. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim kerena Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dari pada wilayah daratan. Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah satu Kabupaten di Riau yang merupakan daerah penghasil ikan yang terbesar, dimana pada tahun 2011 jumlah produksi ikan tercatat sebanyak 77.789 ton. Dari jumlah tersebut sebesar 96% berasal dari usaha penangkapan ikan di perairan laut. Bagansiapiapi merupakan daerah dengan mayoritas penduduknya beretnis Tionghoa, dimana sejak awal kedatangannya Etnis Tionghoa ini memilih bekerja sabagai nelayan karena hasil laut di perairan ini yang sangat banyak. Modal sosial merupakan suatu bentuk hubungan yang lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan antar seseorang dengan orang lain, maupun antar organisasi dengan organisasi yang lainnya. Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki konsep modal sosial yang merupakan suatu bentuk kepercayaan, jaringan, nilai dan norma. Berawal dari hubungan kekerabatan yaitu kesamaan marga, para nelayan Etnis Tionghoa mampu membuat sebuah jaringan kerja dalam melaut yang sangat berguna dalam mendapatkan hasil tangkapan, selain itu para nelayan juga dapat saling bertukar informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan melaut serta dapat saling membangun jaringan dalam penjualan hasil tangkapan melaut.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. Penelitian ini dilakukan di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memilih bekerja sebagai nelayan dikarenakan beberapa hal, yaitu karena merupakan pekerjaan warisan dari kakek dan orang tua mereka, rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki nelayan Etnis Tionghoa, dan tidak fasihnya nelayan Etnis Tionghoa ini dalam berbahasa Indonesia yang menyulitkan mereka untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang bukan Etnis Tionghoa. Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki modal sosial dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan. Bentuk modal sosial yang mereka miliki adalah kepercayaan (Trust) yang memudahkan mereka dalam melaut dan mencari tauke serta anggota untuk bekerjasama dalam melaut, kemudian adanya jaringan yang membantu nelayan Etnis Tionghoa salah satunya dalam penjualan hasil tangkapan, dan yang terakhir adanya nilai dan norma yang mengatur nelayan Etnis Tionghoa dalam melaut.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Modal Sosial Nelayan
Etnis Tionghoa (Studi Pada : Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi, Kabuapten Rokan Hilir, Riau)” disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
sarjana pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini
tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat,
do’a, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan
yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tiada henti-hentinya penulis
ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda Basron dan Ibunda Nurhayati Hasibuan
yang telah merawat dan membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh cinta, kasih
sayang dan kesabaran.
Dalam penulisan ini, penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan
terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:
ide-idenya dalam membimbing penulis dari awal penulisan hingga selesainya
skripsi ini.
2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan sekaligus dosen penguji penulis pada ujian proposal yang telah memberikan kritik, saran dan masukan kepada penulis.
3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang
memberikan segenap ilmu dan pengetahuannya semasa perkuliahan.
4. Bapak Drs. Junjungan SBP Simanjuntak, M.si, selaku dosen penasehat akademik penulis yang telah banyak memberikan ilmu semasa perkuliahan,
dan membantu penulis dalam pemilihan judul skripsi.
5. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, Kak Betty dan Kak
Adek yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah membesarkan penulis dengan mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya yang tiada terhingga dan tiada batasnya kepada penulis, selalu memberikan doa’ dan nasehat, selalu
7. Abangnda penulis satu-satunya Bayu Haryadi,ST yang telah memberikan
semangat, dukungan, motivasi, dan wejangan kepada penulis dalam mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.
8. Kawan-kawan sosiologi Fisip USU angkatan 2010, kawan-kawan IMASI periode 2013-2014 yang sudah memberikan dukungan dan masukan dalam penulisan skripsi ini dan ketika bersama menuntut ilmu di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
9. Para informannelayan Etnis Tionghoa, translator penulis Meicia yang ada di
Bagansiapiapi, serta pemerintahan Kabupaten Rokan Hilir yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi terhadap penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai
kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini.Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan akhir
kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Medan, Januari 2015
DAFTAR ISI
Hal. LEMBAR PERSETUJUAN
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.5 Defenisi Konsep ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Pada Nelayan ... 13
2.2 Modal Sosial dalam Persfektif Sosiologi ... 15
2.3 Bentuk-Bentuk Modal Sosial ... 17
2.4 Modal Sosial Nelayan Tionghoa ... 22
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ... 26
3.2 Lokasi Penelitian ... 27
3.3 Unit Analisis dan Informan ... 27
3.3.1 Unit Analisis ... 27
3.3.2 Informan ... 27
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 28
3.5 Interpretasi Data ... 30
3.6 Jadwal Kegiatan ... 30
3.7 Keterbatasan Penelitian ... 31
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN 4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian ... 32
4.1.1 Sejarah Kota Bagansiapiapi ... 32
4.1.2 Keadaan Geografis Wilayah ... 37
4.1.3 Perhubungan, Sarana dan Prasarana Transportasi ... 38
4.1.4 Kependudukan ... 40
4.1.5 Pendidikan ... 45
4.1.6 Perikanan ... 46
4.2 Profil Informan... 47
4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nelayan Etnis Tionghoa Bekerja Sebagai Nelayan ... 55
4.3.2 Tingkat Pendidikan yang Rendah ... 60
4.3.3 Kurang Fasihnya Berbahasa Indonesia ... 63
4.4 Modal Sosial Pada Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi ... 66
4.4.1 Kepercayaan (Trust) ... 67
4.4.1.1 Kepercayaan Terhadap Sesama Nelayan ... 68
4.4.1.2 Kepercayaan dengan Masyarakat yang Bukan Nelayan 75 4.4.1.3 Kepercayaan dengan Bangliau (TPI) ... 74
4.4.2 Jaringan ... 80
4.4.2.1 Jaringan dengan Sesama Nelayan ... 83
4.4.2.2 Jaringan dengan Masyarakat yang Bukan Nelayan . ... 87
4.4.2.3 Jaringan dengan Bangliau (TPI) ... 89
4.4.3 Nilai dan Norma yang Dimiliki Nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi ... 92
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 97
5.2 Saran ... 99
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
TABEL Hal.
4.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Bangko Menurut
Jenis Kelamin Tahun 2013 ... 41
4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Bangko Berdasarkan Kelompok
Umur Tahun 2013 ... 42
4.3 Jumlah Penduduk Kecamatan Bangko Berdasarkan Agama
Tahun 2013 ... 44
4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Tahun 2013 ... 45
4.5 Banyaknya Sekolah di Lingkungan Dinas Pendidikan
Nasional Menurut Jenis Sekolah Tahun 2011/2012 ... 46
ABSTRAK
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang memiliki beragam etnis dan kebudayaan. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim kerena Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dari pada wilayah daratan. Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah satu Kabupaten di Riau yang merupakan daerah penghasil ikan yang terbesar, dimana pada tahun 2011 jumlah produksi ikan tercatat sebanyak 77.789 ton. Dari jumlah tersebut sebesar 96% berasal dari usaha penangkapan ikan di perairan laut. Bagansiapiapi merupakan daerah dengan mayoritas penduduknya beretnis Tionghoa, dimana sejak awal kedatangannya Etnis Tionghoa ini memilih bekerja sabagai nelayan karena hasil laut di perairan ini yang sangat banyak. Modal sosial merupakan suatu bentuk hubungan yang lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan antar seseorang dengan orang lain, maupun antar organisasi dengan organisasi yang lainnya. Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki konsep modal sosial yang merupakan suatu bentuk kepercayaan, jaringan, nilai dan norma. Berawal dari hubungan kekerabatan yaitu kesamaan marga, para nelayan Etnis Tionghoa mampu membuat sebuah jaringan kerja dalam melaut yang sangat berguna dalam mendapatkan hasil tangkapan, selain itu para nelayan juga dapat saling bertukar informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan melaut serta dapat saling membangun jaringan dalam penjualan hasil tangkapan melaut.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. Penelitian ini dilakukan di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memilih bekerja sebagai nelayan dikarenakan beberapa hal, yaitu karena merupakan pekerjaan warisan dari kakek dan orang tua mereka, rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki nelayan Etnis Tionghoa, dan tidak fasihnya nelayan Etnis Tionghoa ini dalam berbahasa Indonesia yang menyulitkan mereka untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang bukan Etnis Tionghoa. Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki modal sosial dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan. Bentuk modal sosial yang mereka miliki adalah kepercayaan (Trust) yang memudahkan mereka dalam melaut dan mencari tauke serta anggota untuk bekerjasama dalam melaut, kemudian adanya jaringan yang membantu nelayan Etnis Tionghoa salah satunya dalam penjualan hasil tangkapan, dan yang terakhir adanya nilai dan norma yang mengatur nelayan Etnis Tionghoa dalam melaut.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar BelakangIndonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang memiliki beragam etnis dan kebudayaan. Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan penduduk terbanyak keempat didunia.
Indonesia adalah negara dengan masyarakatnya yang majemuk. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim kerena Indonesia memiliki wilayah lautan yang
lebih luas dari pada wilayah daratan.
Menurut Suparlan (2003) bahwa masyarakat majemuk seperti Indonesia, tidak hanya beranekaragam corak dan kebudayaan suku bangsanya secara horizontal.
Mereka juga secara vertikal berjenjang dalam kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial politiknya, banyak orang Indonesia tidak menyadari bahwa dalam
masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas. Hal itu terwujud dalam tindakan-tindakan yang dilakukan dalam berbagai interaksi, baik interaksi individual maupun kategorial. Dilain pihak, baik tingkat nasional seperti posisi
Orang Cina (Tionghoa) yang minoritas dibandingkan dengan pribumi maupun pada tingkat masyarakat lokal seperti posisi Orang Sakai yang minoritas dibandingkan
Menurut Yuspardianto, Bukhari, dan Helpi (2003) Provinsi Riau adalah salah
satu daerah perikanan di Indonesia yang terdiri dari daratan dan kepulauan yang memiliki 3.214 pulau dengan luas 329.867,61 Km2. Dari luas tersebut hanya
94.561,61 Km2 (28,67%) terdapat daratan selebihnya 235.206 Km2 (71,33%) merupakan kawasan lautan. Kabupaten Rokan Hilir merupakan salah satu Kabupaten di Riau yang merupakan daerah penghasil ikan yang terbesar, dimana
pada tahun 2011 jumlah produksi ikan tercatat sebanyak 77.789 ton. Dari jumlah tersebut sebesar 96% berasal dari usaha penangkapan ikan di perairan laut.
Besarnya produksi ikan diperairan laut ini erat kaitannya dengan letak geografis dimana wilayah Kabupaten Rokan Hilir terletak di tepi selat malaka dan selat-selat lainnya dengan kondisi perairan yang relatif subur.
Pada tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Rokan Hilir mencapai 595.695 jiwa. Bagansiapiapi merupakan salah satu daerah yang ada di Indonesia, tepatnya
berada di Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Di kota ini, penduduk aslinya ialah Suku Melayu namun mayoritas penduduknya adalah Orang Cina atau Etnis Tionghoa. Masuknya Etnis Tionghoa di kota ini bermula dari tuntutan kualitas hidup yang
lebih baik lagi. Sekelompok orang Tionghoa dari Provinsi Fujian-Cina, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan
arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu patungnya ada di kapal tersebut agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan hingga akhirnya mereka melihat ada cahaya seperti api yang rupanya adalah cahaya dari
merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera mengajak
sanak-famili dari Negeri Tirai bambu sehingga pendatang Tionghoa semakin banyak
28 Januari 2014 19.10 Wib).
Masih terkait sumber di atas, kedatangan para pendatang Tionghoa yang memulai kehidupan bisnis kelautan di Bagansiapiapi dan kemudian berkembang
hingga mendirikan pabrik karet alam, tidaklah heran bila di kota yang kecil ini berkembang sebuah komunitas Tionghoa yang budayanya begitu kuat. Kekuatan
budaya inilah yang saat ini menjadikan Kota Bagansiapiapi semakin unik di Indonesia, sehingga beberapa pihak mulai menggarap sektor pariwisata Bagansiapiapi dari sisi budaya Tionghoa dan keindahan alam. Etnis Tionghoa di
Bagansiapiapi juga terkenal sebagai suku yang gigih, pekerja keras, ulet, penemu resep makanan yang lezat, suka berjudi, namun hemat dan lebih mengedepankan
hubungan kerja (Sudarno, 2006 : xi).
Menurut M.Yafiz dan kawan-kawan (2009), disamping sebagai pusat pemerintahan, Bagansiapiapi juga merupakan pusat kegiatan perikanan tangkap
Kabupaten Rokan Hilir dan Provinsi Riau. Beberapa kota kecil yang banyak didiami nelayan di Kabupaten Rokan Hilir seperti Panipahan, Pulah Halang dan Sinaboi
Malaysia dan Singapura. Produk utama perikanan Rokan Hilir adalah ikan segar,
ikan kering, ikan asin, udang terasi, dan lain-lain.
Menurut Randy Agustian dan Yoserizal (2013) pola hidup masyarakat
Tionghoa dalam bidang ekonomi memang lebih menonjol dan memegang peranan penting. Untuk mempertahankan sikap hidup tradisi itu mereka berusaha agar dalam keadaan dimana saja, harus melebihi tingkat kehidupan kaum pribumi dimana
mereka berdomisili. Oleh karena itu, walaupun pada waktu datang mengembara mereka tidak mempunyai apa-apa akan tetapi dengan kerja keras, tekun dan sabar
serta hemat dalam pengeluaran, akhirnya mereka dapat menonjol dalam tingkat kehidupan ekonomi. Mata pencaharian penduduk perkotaan Bagansiapiapi sama halnya dengan penduduk perkotaan lain yang sangat beragam, dari berdagang,
menjadi pegawai negeri, buruh, nelayan sampai tukang becak dan tukan ojek.
Berbicara mengenai nelayan, secara geografis masyarakat nelayan adalah
masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut (Kusnadi, 2009). Menurut Imron (2003) dalam Mulyadi (2005), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang
kehidupannya tergantung langsung pada hasil laiut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggiran pantai,
Adapun jenis usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan dapat
dikelompokkan menurut jenis alat tangkap yang digunakan yaitu : payang, bubu, pengumpul kerang jaring ingsang hanyut, jaring insang lingkar, hand line pukat
udang dan pukat pantai. Pukat payang mempunyai bentuk terdiri dari sayap, badan dan kantong, dua buah sayap yang terletak di seberang kanan dan kiri badan payang, setiap sayap berukuran panjang 100-200 meter, bagian bdan jaring sepanjang 36-65
meter dan bagian kantong terletak di belakang bagian badan payang yang merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan ikan adalah sepanjang 10-20
meter. Jaring insang hanyut yang digunakan harus mempunyai spesifikasi yang terdiri dari lima faktor utama, yaitu daya apung jaring harus lebih besar dari pada daya tenggelamnya, warna jaring yang baik adalah warna hijau sampai biru muda,
benang yang digunakan adalah nylon benang ganda atau tunggal. Besar mata jaring adalah 2,5-3,0 inci yang dipasang pada tali ris atas dengan keofisien pengikatan 30-40%
Menurut Yuspardianto (2003), bubu tiang termasuk alat tangkap yang stasis
dan pengoperasiannya dipengaruhi oleh arus dengan mulut kantong menghadap arus surut. Menurut Dahril (1982), agar mulut jaring terbuka dengan baik dan kantong
berfungsi sebagai penyaring ikan yang terbawa arus, sehingga ikan tersebut
berkumpul dalam kantong.
Sedangkan pukat udang adalah jaring berbentuk kantong dengan sasaran
tangkapnya udang, jaring dilengkapi sepasang papan pembuka mulut jaring dan Turtle Exchuder Device/TED (alat pemisah/untuk meloloskan penyu), tujuan utamanya untuk menangkap udang dan ikan dasar, dengan cara menyapu dasar
perairan dan hanya boleh ditarik oleh kapal. Hand Line adalah jenis alat pancing penangkap ikan yang terdiri dari bambu sebagai joran/tongkat dan tali sebagai tali
pancing. Pada tali pancing ini dikaitkan mata pancing yang tidak terkait. Penggunaan mata pancing yang tidak berkait dimaksudkan agar ikan dapat mudah
lepas.
Di Baganiapiapi sendiri, mayoritas penduduknya adalah Etnis Tionghoa, maka
tidak heran jika kantor-kantor pemerintahan hingga masyarakat yang bekerja sebagai nelayan juga terdapat orang-orang Etnis Tionghoa. Sebagaimana kita ketahui, Etnis Tionghoa selalu menjalin suatu keakraban dengan sesama mereka
yang merupakan suatu konsep modal sosial berupa kepercayaan. Hal tersebut mereka lakukan tak lain untuk mempertahankan kelangsungan hidup serta menjaga
kekerabatan mereka. Biasanya Etnis Tionghoa bekerja sebagai pedagang ataupun pengusaha yang mana kedudukan ekonomi mereka harusnya lebih tinggi daripada orang pribumi. Namun hal ini tidak berlaku di Bagansiapiaapi, karena disinilah kita
penangkapan ikan dan udang maupun pengelolaan ikan dan udang serta hasil laut
lainnya. Masuknya nelayan Tionghoa ke Bagansiapiapi ini bermula dari sekelompok Etnis Tionghoa yang terdampar di pantai bagan, dimana kemudian
mereka melihat potensi laut yang menjanjikan di daerah ini hingga akhirnya mereka menetap dan bekerja sebagai nelayan di Bagansiapiapi hingga sampai saat ini.
Modal sosial merupakan suatu bentuk hubungan yang lebih menekankan pada
nilai-nilai kebersamaan dan kepercayaan antar seseorang dengan orang lain maupun antar organisasi dengan organisasi yang lainnya. Nilai-nilai tersebut merupakan
suatu modal dalam membentuk masyarakat yang kuat dan berkepribadian, dimana saat ini sangat penting karena ketika menghadapi suatu masalah akan cepat dalam proses penyelesaiannya tanpa merugikan orang lain. Menurut Putra Agus Yogi
Pradnyana, Putnam (dalam Sutoro Eko,2003) mengartikan modal sosial sebagai perekat sosial bagi setiap individu dalam bentuk norma, kepercayaan, dan jaringan
kerja sehingga didalamnya akan terjadi kerjasama yang saling menguntungkan untuk mendapatkan tujuan bersama. Konsep modal sosial yang merupakan suatu bentuk jaringan, kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai saling berkaitan satu
dengan lainnya.
Dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan, secara tidak langsung nelayan
Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki konsep modal sosial yang merupakan suatu bentuk kepercayaan, jaringan, nilai dan norma. Ketiga elemen atau unsur-unsur pembentuk modal sosial tersebut sangat penting dan saling berhubungan satu
hubungan kekerabatan yaitu kesamaan marga, para nelayan Etnis Tionghoa mampu
membuat sebuah jaringan kerja dalam melaut yang sangat berguna dalam mendapatkan hasil tangkapan, selain itu para nelayan juga dapat saling bertukar
informasi mengenai segala hal yang berhubungan dengan melaut serta dapat saling membangun jaringan dalam penjualan hasil tangkapan melaut.
Masyarakat Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi dikenal memiliki kepercayaan
yang kuat kepada anggota keluarganya, orang lain yang sama etnisnya dengan mereka, bahkan orang lain yang berbeda etnis dengan mereka. Hal ini dapat dilihat
dari saling kerjasama mereka pada saat melaut, membuat jaring serta dalam pengelolaan hasil tangkapan ikan dan udang. Hal ini tentunya menjadi suatu hal yang berbeda dari biasanya, dimana suatu kota terdapat sekelompok Etnis Tionghoa
yang bekerja sebagai nelayan. Kepercayaan, jaringan sosial, nilai dan norma yang dimiliki Etnis Tionghoa ini menjadi salah satu alasan mereka tetap bekerja sebagai
nelayan walaupun kini Bagansiapiapi tidak lagi menjadi daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia. Dengan menjalankan konsep modal sosial yang ada dalam bekerja, diharapkan para nelayan Tionghoa ini dapat terus mempertahankan dan
menghidupi keluarganya.
Untuk diketahui, Bagansiapiapi pernah menjadi wilayah degan penghasil ikan
terbanyak di Indonesia bahkan di dunia. Namun menurut salah satu portal berita online, saat ini Kabupaten Banyuwangi yang merupakan penghasil ikan terbesar nomor dua di Indonesia sekarang sudah mengambil alih posisi Bagansiapiapi dalam
ikan terbesar di Indonesi
1.2Perumusan Masalah
Rumusan masalah adalah suatu rumusan masalah yang memandu peneliti untuk mengeksplorasii dan atau memotret situasi sosial yang akan diteliti secara menyeluruh, luas dan mendalam (Sugiyono, 2009 : 209).
Dari uraian latar belakang di atas adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi Etnis Tionghoamemilih bekerja sebagai nelayan?
2. Bagaimana pemanfaatan modal sosial nelayan Tionghoa dalam
mempertahankan kehidupan sosial ekonominya?
1.3Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah diatas, adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Etnis Tionghoa
bekerja sebagai nelayan.
2. Untuk mengetahui pemanfaatan modal sosial nelayan Tionghoa dalam
mempertahankan kehidupan sosial dan ekonomi. 1.4Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan dari penelitian ini, maka diharapkan dapat
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ni diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu media
informasi dan bahan rujukan bagi penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini atau bidang sosiologi ekonomi, dan bagi peneliti serta semua pihak yang berkaitan dengan kajian modal sosial pada Etnis Tionghoa.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintahan dan
masyarakat setempat dalam menjawab semua fenomena yang terjadi dalam masyarakat serta dapat digunakan sebagai bahan masukan dan rujukan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan untuk terus mempertahankan modal sosial yang
dimiliki oleh nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi.
1.5 Defenisi Konsep
Defenisi konsep merupakan konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian
harus didefinisikan dengan jelas sehingga dapat dipahami apa yang ingin diteliti. Konsep-konsep tersebut perlu didefenisiskan dengan jelas sesuai dengan konteks
penelitian karena konsep-konsep dalam ilmu sosial masih relatif abstrak dan seringkali memiliki makna yang berbeda. Defenisi konsep dibuat oleh peneliti dengan memacu kepada beberapa konsep yang diperoleh dari bahan bacaan
a. Modal sosial
Modal sosial merupakan suatu cara atau konsep seseorang dalam menjalin
hubungan dan menumbuhkan rasa saling percaya dengan sesamanya yang memiliki tujuan dan nilai hidup yang sama sehingga dapat membentuk suatu jaringan sosial. Putnam (dalam Herman, 2006 : 433) mengatakan bahwasanya modal sosial adalah
suatu keuatan yang mewujudkan komunitas humanistik dan demokratis untuk peduli dengan kepentingan bersama, hubungan horizontal diantara individu secara face to face yang didorong oleh trust. Modal sosial yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kemampuan ataupun cara yang dimiliki oleh nelayan Tionghoa untuk dapat saling saling percaya, berlaku jujur dalam melaut ataupun menjual hasil dari melaut,
egaliter, memiliki rasa belas kasihan kepada sesama nelayan Tionghoa dan nelayan pribumi yang pada akhirnya dapat membangun ataupun membentuk sebuah jaringan
dengan nelayan Tionghoa maupun nelayan lainnya yang bukan etnis Tionghoa.
b. Etnis Tionghoa
Tionghoa adalah suatu istilah yang dipakai untuk menyebut Orang Cina
karena, kebanyakan Orang Tionghoa merasa terhina dan tersindir jika dipanggil dengan sebutan Cina. Dalam konsep ini, Etnis Tionghoa adalah sekelompok orang
merantau ke daerah yang sekarang ini disebut Kota Bagan Siapiapi, oleh sebab
itulah sebagian besar penduduk di Bagansiapiapi ini adalah Orang Tionghoa.
c. Nelayan Tionghoa
Nelayan Tionghoa adalah sekumpulan atau sekelompok orang yang berasal dari Cina yang kemudian merantau dan menetap di daerah perairan yang pekerjaan sehari-harinya adalah menangkap ikan dan biota laut lainnya. Perairan yang menjadi
daerah aktivitas nelayan ini adalah perairan tawar, payau dan laut.
d. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi merupakan suatu status ataupun kedudukan seseorang dalam masyarakat yang dapat dilihat dari keadaan ekonomi dan penghasilan yang dimiliki nelayan Tionghoa, tingkat pendidikan, hubungan sosialnya dengan orang lain serta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Pada Nelayan
Nelayan merupakan sebutan untuk sekelompok orang yang tinggal di daerah
pesisir atau perairan yang bekerja menangkap dan mengolah hasil laut guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Persebaran nelayan di Indonesia sebenarnya sangat luas, hal ini dikarenakan Indonesia merupakan sebuah negara maritim.Sejak zaman
dahulu, masyarakat Indonesia memang sudah identik sebagai pelaut atau nelayan, apalagi orang Indonesia percaya dengan istilah “nenek moyangku adalah seorang
pelaut”. Tentunya nenek moyang pelaut ini juga dikenal sebagai orang yang gemar melaut untuk mencari ikan, berdagang, dan berinteraksi dengan orang-orang di negara lain. Oleh sebab itu tentunya tidak heran jika Indoensia memiliki banyak
nelayan dari berbagai suku dan etnis yang tersebar di seluruh Indonesia.
Potensi sumber daya alam kelautan dan perikanan merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Akibatnya,
melihat potensi yang ada seharusnya masyarakat nelayan merupakan masyarakat yang makmur dan sejahtera, namun pada kenyataannya sebagian besar dari mereka
pesisir miskin atau setidaknya dianggap miskin, sementara sumber daya laut
melimpah. Melihat besarnya sumber daya laut yang tersedia, sulit dimengerti bahwa kemiskinan yang menimpa sebagian besar masyarakat nelayan merupakan
kemiskinan alamiah.
Di Bagansiapiapi setiap tahunnya pada tanggal 15 dan 16 bulan kelima penanggalan cina setelah imlek masyarakat etnis Tionghoa melakukan ritual bakar
tongkang, yaitu suatu tradisi budaya membakar kapal (tongkang) yang merupakan ucapan syukur masyarakat etnis Tionghoa kepada dewa atas kemakmuran,
keselamatan dan rejeki yang mereka dapatkan, sekaligus untuk melihat rejeki di tahun berikutnya. Ritual bakar tongkat ini sudah berlangsung cukup lama dan kini juga menjadi salah satu daya tarik pariwisata Bagansiapiapi. Hal ini tentunya
membawa dampak baik kepada nelayan di Bagansiapiapi, karena pada saat ritual bakar tongkang ini banyak wisatawan yang datang ke Bagansiapiapi, baik itu etnis Tionghoa maupun non Tionghoa yang berasal dari dalam ataupun luar negeri.
Wisatawan-wisatawan ini memberikan keuntungan pada nelayan karene pastinya mereka akan memborong makannan-makanan laut hasil tangkapan para nelayan
yang sudah terkenal kelezatannya.
Pemerintahan Bagansiapiapi juga telah melakukan berbagai upaya pembangunan pada masyarakat nelayan, salah satunya adalah membuat kampung
nelayan di tepian sungai dengan membangun 50 rumah pada tahap pertama yang nantinya rumah ini kana diberikan kepada nelayan secara gratis agar setiap sehabis
nelayan serta menumbuhkan rasa percaya pada pemerintah yang akan terus
membantu nelayan. Salah satu alasan dibangunnya kampung nelayan ini adalah kerena sebagaimana diketahui kehidupan ekonomi nelayan tergolong rendah yang
membuat banyak nelayan memiliki rumah yang kurang layak untuk ditempati dan juga tempat tinggal mereka tidak terfokus di satu tempat. Selain itu juga saat ini pemerintah sedang merencanakan untuk membangun sekolah-sekolah bagi
masyarakat pinggiran dan perbatasan daerah untuk meningkatkan sumber daya yang ada serta menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan itu penting bagi kemajuan
suatu daerah.
2.2 Modal Sosial dalam Persfektif Sosiologi
Menurut Loury (dalam Coleman 2008 : 368) modal sosial adalah kumpulan
sumber yang melekat dalam relasi keluarga dan dalam organisaisi sosial komunitas dan yang bermanfaat untuk perkembangan kognitif dan sosial anak-anak atau
pemuda. Sumber-sumber ini berbeda untuk orang yang berbeda dan dapat memberikan keuntungan penting untuk perkembangan modal manusia, anak-anak dan orang dewasa. Loury memasukkan konsep modal sosial ke dalam bidang
ekonomi untuk memperkenalkan sumber-sumber sosial yang bermanfaat untuk perkembangan modal manusia.
Modal sosial bukan entitas tunggal tapi bermacam-macam entitas berbeda
yang memiliki dua karakteristik umum : Mereka semua terdiri atas beberapa aspek struktur sosial, dan mereka memudahkan beberapa tindakan individu-individu yang
berdifat produktif, yang memungkinkan pencapaian beberapa tujuan yang tidak
dapat dicapai tanpa keberadaannya. Seperti modal fisik dan modal manusia, modal sosial tidak sepenuhnya dapat ditukar, tetapi dapat ditukar terkait dengan
aktivitas-aktivitas tertentu. Bentuk modal sosial tertentu yang bernilai untuk memudahkan beberapa tindakan bisa jadi tidak berguna atau merugikan orang lain. Tidak seperti bentuk modal lainnya, modal sosial melekat pada struktur relasi diantara orang dan
di kalangan orang. Letak modal sosial bukan pada individu ataupun alat produksi fisik.
Defenisi modal secara sederhana menurut Fukuyama (2001 : 1) adalah “an
instantiated informal norm that promotes co-operation between two or more
individuals. By this defenition, trust, networks, civil society, and the like, which have
been associated with sosial capital, are all epiphenominal, arising as a result of
social capital but not constituting social capital it self”. Modal sosial memiliki
peran yang sangat penting pada beberapa kelompok masyarakat dalam berbagai aktivitas. Namun Fukuyama juga mengatakan bahwa tidak semua norma, nilai dan budaya secara bersama-sama dapat saling melengkapi untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi. Sama seperti halnya modal fisik dan modal finansial, modal sosial juga bisa menimbulkan dampak negatif. Fukuyama (2001) mengatakan
sosial-sebagai-modal-dasar-dalam-pemberdayaan-masyarakat/, diakses pada tanggal
29 Januari 2014 Pukul 17.20 Wib).
2.3 Bentuk-Bentuk Modal Sosial
Fungsi yang diidentifikasi dengan konsep “modal sosial” adalah nilai aspek-aspek struktur sosial bagi para pelaku, sebagai sumber yang dapat digunakan oleh para pelaku untuk merealisasikan kepentingannya. Dengan mengidentifikasi fungsi
beberapa aspek struktur sosial ini, konsep modal sosial membantu menjelaskan hasil-hasil berbeda di tingkat pelaku individual dan melakukan transisi mikro ke
makro tanpa memperluas detail-detail struktur sosial yang melangsungkan transisi tersebut.
Bentuk-bentuk modal sosial menurut Coleman (2008 : 375) adalah :
1. Kewajiban dan ekspektasi
Struktur kewajiban (obligations), ekspektasi dan kepercayaan. Dalam konteks
ini, bentuk modal sosial tergantung dari dua elemen kunci : kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held). Dari perspektif ini, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan
saling kepecayaan tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi sebaliknya.
2. Potensi Informasi
perlu mendapatkan perhatian, informsi selalu terbatas. Tentu saja, individu yang
memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan murah) untuk memperoleh informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya tinggi demikian pula
sebaliknya.
3. Norma dan Sanksi Efektif
Norma dalam sebuah komunitas yang mendukung individu untuk memperoleh
prestasi (ashievement) tentu saja bisa digolongkan sebagi bentuk modal sosial yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan efektif dalam
sebuah komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda, mempunyai potensi untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Berdasarkan fakta dilapangan, dapat kita kenali beberapa modal sosial. Tiga
bentuk modal sosial diantaranya yang paling dominan, yaitu :
a. Jaringan
Jaringan menurut M.Z.Lawang (dalam Damsar, 2009 : 157) merupakan
terjemahan dari network, yang berasal dari dua suku kata yaitu net dan work. Net diterjemahkan kedalam bahasa sebagai jaring, yaitu tenunan sepereti jala, terdiri
dari banyak ikatan antar simpul yang saling berhubungan antar satu sama lain. Sedangkan kata work bermakna sebagai kerja. Gabungan kata net dan work sehingga menjadi network yang penekannya terletak pada kerja bukan pada jaring.
Sedangkan sosial dimengerti sebagai sesuatu yang dikaitkan atau dihubungkan dengan orang lain atau menunjukkan pada makna subjektif yang
sosial melihat hubungan antara individu yang memiliki makna subyektif yang
berhubungan atau dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan.
Suatu ciri khas teori jaringan adalah pemusatan pada struktur mikro hingga
makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu (wellman dan Wortley, 1990), tetapi mungkin pula kelompok, perusahaan (Baker,1990; Clawson, Neustadlt, dan Bearden, 1968; Mizruchi dan Koenig, 1986) dan masyarakat.
Hubungan dapat terjadi ditingkat struktur sosial skala luas maupun ditingkat yang lebih mikroskopik (Ritzer, 2008 : 383).
b. Norma
Norma dapat didefenisikan sebagai patokan berperilaku dalam kelompok atau masyarakat tertentu. Norma memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih
dahulu bagaimana tindakannya akan dinilai oleh orang lain, sekaligus merupakan kriteria bagi pihak lain untuk mendukung atau menolak suatu perilaku.
Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam
suatu kelompok msyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut
dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai
dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya norma disusun agar hubungan diantara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana
yang diharapkan. (Himpunan Materi Kuliah Sosiologi, 2010 : 49).
Dalam terminologi sosiologi, konsep kepercayaan dikenal dengan trust.
Menurut Giddens (dalam Damsar : 185) kepercayaan pada dasarnya terikat, bukan kepada resiko, namun kepada berbagai kemungkinan. Kepercayaan selalu
mengandung konotasi keyakinan ditengah-tengah berbagai akibat yang serba mungkin, apakah dia berhubungan dengan tindakan individu atau dengan beroperasinya sistem.
Defenisi kepercayaan yang tidak dikaitkan dengan risiko, juga dikemukakan oleh Zucker (1985) (dalam Damsar : 186). Zucker memberi batasan kepercayaan
sebagai “seperangkat haapan yang dimiliki bersama – sama oleh semua yang berada dalam pertukaran”. Defenisi Zucker tersebut dekat dengan batasan yang diberikan oleh Lawang. Menurut Lawang (2004 : 36) (dalam Damsar : 186) kepercayaan
merupakan “hubungan antara dua belah pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu pihak atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial”. Selanjutnya Lawang (2004) (dalam Damsar : 187) menyimpulkan inti
konsep kepercayan sebagai berikut : (i) Hubungan sosial antara dua orang atau lebih. Termasuk dalam hubungan ini adalah institusi, yang dalam pengertia ini
diwakili orang. (ii) Harapan yang akan terkandung dalam hubungan itu, yang kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak. (iii) interaksi yang memungkinkan hubungan dan harapan itu berwujud.
Tradisi juga dapat menjadi lingkungan bagi perkembangan kepercayaan masyarakat. Tradisi merupakan sarana untuk mengaitkan masa kini dengan masa
rutinitas. Namun dia adalah rutinitas yang penuh makna secara intrinsik ketimbang
hanya sekedar perilaku kosong yang hanya berorientasi kepada kebiasaan semata. Dalam usaha bisnis di kalangan Cina, kepercayaaan (Bahasa Cina : Xinyong)
diletakkan atas keempat dasar, yaitu hubungan kekerabatan, komunitas masyarakat lokal, kosmologi religius, dan tradisi. Hubungan kekeluargaan dan hubungan sosial. Hubungan kekeluargaan memberikan basis kepercayaan antar individu dalam
melakukan hubungan bisnis. Kemudian basis kepercayaan keluarga tersebut diperluas menjadi hubungan kekerabatan fiktif, yaitu memasukkan orang luar
menjadi anggota keluarga kerabat karena kepercayaan mereka telah teruji terhadap keluarga mereka. Kerabat fiktif tersebut diberi gelar atau panggilan kekerabatan paman, abang, adik atau kakak. Selanjutnya, basis kepercayaan keluarga bisa juga
diperluas dengan ikatan semarga. Para migran orang Cina awal memakai nama maraga atau klan yang sama untuk menunjukkan bahwa mereka berasal dari satu leluhur yang sama. Melalui perasaan kesamaan leluhur, mereka membangun
kepercayaan agar bisa saling membantu. Selain itu, kepercayaan juga dapat diperluas dengan ikatan alumni sekolah atau perguruan tinggi.
Kosmologis religius masyarakat Cina dalam bentuk konfusionisme menguatkan basis kepercayaan yang telah dimiliki sebelumnya seperti hubungan kekerabatan dan komunitas masyarakat lokal. Dalam konteks ini, keluarga Cina
lebih kohesif dibandingkan dengan keluarga dari etnis lainnya. Basis kepercayaan yang seperti inilah yang dimiliki oleh masyarakat Cina perantauan dalam menjalin
Kepercayaan yang didasarkan berbagai hubungan tersebut, dikenal dalam
masyarakat Cina sebagai Guanxi, yaitu hubungan yang dipersonalisasikan dengan orang-orang yang dapat dipercaya dan oleh dia orang lain akan dipercaya melalui
pengkombinasian elemen – elemen instrumentalisme dan resiprositas, merupakan saluran untuk memperoleh kredit dan kemudahan lain dalam berbisnis. Sedangkan di luar dari hubungan tersebut, kepercayaan dibangun atas hubungan sosial yang
dibina melalui interaksi sosial (Damsar, 2011 : 186).
2.4 Modal Sosial Nelayan Tionghoa
Modal sosial merupakan isu yang menarik yan banyak dibicarakan dan dikaji belakangan ini. Menurut Syahputra (2007) modal sosial barulah bernilai ekonomis jika dapat membanttu individu atau kelompok misalnya untuk mengakses
sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi, menemukan pekerjaan, merintis usaha, dan meminimalkan biaya transaksi.
Lebih jauh dikemukakan bahwa modal sosial yang nantinya akan membentuk
suatu jaringan sosial dan kepercayaan yang bernilai ekonomis, antara lain karena memberikan manfaat untuk memperoleh peluang uasaha. Selain itu juga bermanfaat
dalam memperoleh bantuan ataupun pinjaman yang bersifat informal.
Jika dikaitkan dengan konteks penelitian yang dilakukan terhadap nelayan Etnis Tionghoa dirasakan sangat relevan, karena manfaat jaringan dan kepercayaan
yang dibentuk melalui pemanfaatan modal sosial diharapkan bersifat ekonomis yakni bisa membantu dalam penjualan hasil tangkapan dan saling bekerja sama
Menurut Gidden (Damsar, 2009 : 187) dalam masyarakat pramodern
ditemukan empat lingkungan yang menumbuh kembangkan kepercayaan dalam sebuah niali yaitu :
1. Hubungan kekerabatan yang menyediakan suatu mata rantai hubungan sosial yang dapat diandalkan yang secara prinsip dan umum dilakukan, membentuk media pengorganisasian relasi kepercayaan, seperti sistem kekerabatan matrilineal yang
bermula dari hubungan semade, seperut, senenk, seninik, sekaum dan sesuku telah menjadi perekat hubungan sesama satu kerabat dan sebagai jembatan yang
menghubungi kelompk, terutama kelompok luar. Hubungan kekerabatan Minangkabau yang menjadi perekat dan jembatan relasional tersebut pada gilirannya, menerbitkan bibit kepercayaan, baik antara sesama kerabat maupun
dengan kelompok luar.
2. Komunitas masyarakat lokal memberikan lingkungan yang baik bagi tumbuh kembangnya kepercayaan di masyarakat pra modern. Mmenurut Gidden
komunitas lokal tidak dikaitkan dengan romantisme budaya, tetapi lebih kepada arti penting dari relasi lokal yang diatur dalam konteks tempat, dimana tempat belum
ditransformasikan oleh relasi ruang waktu yang berjarak. Oleh karenanya, komunitas lokal sebagai tempat yang menyediakan suatu milieu yang bersahabat. Kembali pada contoh masyarakat pada Minangkabau selain jaringan kekerabatan
matrilineal juga jaringan komunitas lokal yang dapat konteks bagi tumbuh kembang kepercayaan seperti jaringan sedusun, sekampung, sejorong senagari, selunak dan
3. Kosmologi religius merupakan bentuk kepercayaan dan praktik ritual yang
meneydiakan interpretasi providential atas kehidupan dan alam. Kosmologi religius menyediakan interpretasi moral dan praktik bagi keidupan sosial dan kehidupan
pribadi dan bagi dunia alam. Yang menginterpretasikan lingkungan yang aman bagi pemeluknya.
4. Tradisi, juga dapat memberikan lingkungan bagi perkembangan kepercayaan
masyarakat. Tradisi merupakan sarana untuk mengaitkan masa kini dengan masa depan, berorientasi kepada masa lalu dan waktu dapat berulang. Tradisi adalah
utinitas, namun dia adalah rutinitas yang penuh makna secra intrinsik, ketimbang hanya sekedar perilaku kosongyang hanya berorientasi kepada kebiasaan semata. Makna aktivitas rutin berada di dalam penghormatan atau pemujaan yang melekat
dalam tardisi dan dalam kaitan antara tradisi dan ritual.
Pada Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi, terdapat beberapa kepercayaan sebagai
nilai dan norma yang membuat nelayan Etnis Tionghoatidak akan melaut pada hari-hari tertentu. Salah satu contohnya adalah pada saat adanyaa acara ritual bakar tongkang, yang mana pada ritual ini mereka membakar kapal yang terbuat dari
kertas dan melihat kemana arah jatuhnya kapal tersebut dan kemudian menjadikan hal tersebut sebagai panduan ataupun petunjuk untuk mereka melaut ataupun
melakukan pekerjaan lainnya.
2.5 Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Tionghoa
Indonesia merupakan negara maritim yang tentunya memiliki hasil laut yang
yang lebih dikenal dengan masyarakat pesisir sangat dekat dengan kemiskinan.
Kemiskinan dan keterbelakangan pada masyarakat nelayan seperti telah menjadi suatu stigma di masyarakat Indonesia. Hal ini hampir terjadi pada seluruh nelayan di
Indonesia tak terkecualu nelayan Tionghoa yang berada di Bagansiapiapi. Tak ada bedanya dengan nelayan pribumi lainnya, nelayan Tionghoa juga memiliki masalah dan kendala dalam perekonomiannya.
Pada umumnya masyarakat pesisir mempunyai nilai budaya yang berorientasi selaras dengan alam, sehingga teknologi memanfaatkan sumber daya alam adalah
teknologi adaptif dengan kondisi wilayah pesisir. Kehidupan sosial nelayan Tionghoa tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat nelayan lainnya yang ada di Bagansiapiapi maupun di Indonesia. Salah satu contohnya adalah
rendahnya pendidikan, produktivitas yang sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usha, kurangnya sarana penunjang dan lain-lain yang
nengakibatkan pendapatan masyarakat nelayan menjadi tak menentu.
Saat ini, Bagansiapiapi tak lagi menjadi penghasil ikan dan hasil tangkapan laut lainnya terbesra di Indonesia karena posisi itu sudah diambil oleh Banyuwangi.
Hal ini semakin menjadikan kehidupan ekonomi masyarakat nelayan dan nelayan Tionghoa semakin terdesak, apalagi ditambah dengan adanya beberapa nelayan dari
Sumatera Utara dengan kelengkapan melaut yang lebih modern masuk ke wilayah perairan Riau untuk menangkap ikan, hal ini tentunya sangat merugikan nelayan pribumi dan nelayan Tionghoa yang hanya menggunakan alat penangkap ikan yang
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Metode penelitian kualitatif adalah metode
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan nilai-nilai secra
holistic dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2006 : 6). Penelitian kualitatif digunakan untuk melihat
secara utuh serta berusaha untuk menggambarkan fenomena yang terjadi, maka dengan metode kualitatif peneliti akan mendapatkan data dan informasi yang jelas,
mendalam serta terperinci mengenai faktor apa yang menyebabkan Etnis Tionghoa menjadi nelayan serta bagaimana pemanfaatan modal sosial nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Sedangkan pendekatan deskriptif adalah pendekatan yang mengacu pada identifikasi sifat-sifat yang membedakan atau karakteristik sekelompok manusia,
konseptualisasi dan menghasilkan pembentukan skema-skema klasifikasi (Ulber,
2009 : 27).
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Adapun yang menjadi alasan peneliti melakukan penelitian di lokasi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagansiapiapi merupakan darah pesisir dengan hasil laut yang banyak dan pernah menjadi daerah penghasil ikan terbanyak di Indonesia.
2. Bagansiapiapi merupakan daerah yang mayoritasnya adalah Etnis Tionghoa dan disini pula terdapat sekelompok Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan.
3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis
Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subyek penelitian atau unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007 : 76). Adapun yang
menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh Etnis Tionghoa yang bekerja sebagai nelayan yang bertempat tinggal di Bagansiapiapi Kabupaten Rokan
Hilir, Riau.
3.3.2 Informan
Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam
melakukan penelitian. Informasi penelitian adalah subyek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek
adalah masyarakat nelayan etnis Tionghoa di Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir
Riau dengan kriteria sebagai berikut :
1. Nelayan Etnis Tionghoa yang sudah bekerja sebagai nelayan selama
minimal 1 tahun. Alasannya karena nelayan yang sudah bekerja lebih dari satu tahun telah menjadikan nelayan sebagai pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun jumlah informan yang diwawancari adalah delapan orang.
2. Nelayan Etnis Tionghoa dengan kriteria usia diatas 25 tahun. Alasannya karena pada usia ini, mereka sudah dewasa dan memiliki rasa tanggung jawab
terhadap keluarga serta sudah mengerti cara bekerjasama dan menjalin hubungan saling percaya dengan orang lain ataupun nelayan lainnya.Adapun jumlah informan yang diwawancari adalah delapan orang.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam suatu penelitian, teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :
A. Teknik Pengumpulan Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung dari lapangan oleh peneliti. Adapun cara memperoleh data primer adalah :
1. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban-jawaban responden
dicatat atau direkam. Wawancara terhadap informan yang sifatnya terbuka dan dalam konteks yang formal, hal ini dimaksudkan agar informan dapat menjawab
jelas dan lengkap mengenai pemanfaatan modal sosial yang ada pada Etnis
Tionghoa di Bagansiapiapi.
Dalam wawancara mendalam ini peneliti ingin melohat dan mengetahui faktor
apa yang menyebabkan beberapa Etnis Tionghoa memilih menjadi nelayan serta bagaimana pemanfaatan modal sosial yang mereka bangun untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka yang dilihat dari aspek ekonomi dan sosial budaya.
2. Observasi
Observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk melakukan
pengukuran. Akan tetapi, observasi atau pengamatan diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan (Irawan, 2004 : 69).
Dengan teknik informasi ini peneliti dapat melihat bagaimana keseharian nelayan Etnis Tionghoa dalam mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan untuk melaut serta melihat kehidupan ekonomi, sosial danbudaya di kalangan
nelayan Etnis Tionghoa dari adanya pemanfaatan modal sosial yang mereka miliki.
B. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data,
3.5 Interpretasi Data
Interpretasi data adalah analisis keseluruhan data yang telah diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam lalu menyaring data-data penting dengan
pembuatan inti dari data yang diperoleh lalu disajikan kembali membentuk data yang sederhana. Data-data yang terkumpul dan telah disederanakan tadi dikembangkan dengan dukungan-dukungan konsep-konsep dalam kajian pustaka
dan kemudian akan disajikan sebagai laporan dari penlitian tersebut.
3.6 Jadwal Kegiatan
No Kegiatan Bulan ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pra Observasi √
2 ACC Judul √
3 Penyusunan Proposal Penelitian √ √ √
4 Seminar proposal Penelitian √
5 Revisi Seminar Penelitian √
6 Penelitian ke Lapangan √ √
7 Pengumpulan dan Analisis Data √
8 Penulisan Laporan Akhir √ √
9 Sidang Meja Hijau √
Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman
yang dimiliki peneliti. Selain itu terkait dengan kelemahan instrumen wawancara mendalam. Kendala lain adalah keterbatasan waktu saat wawancara dengan
informan, hal ini disebabkan karena informan yang banyak pergi melaut behari-hari. Peneliti juga harus melakukan wawancara dengan menggunakan bantuan translator karena ada beberapa informan yang tidak lancar berbahasa Indonesia dan kesulitan
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN
4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian 4.1.1 Sejarah Kota Bagansiapiapi
Bagansiapiapi merupakan Ibu Kota dari Kabupaten Rokan Hilir, Riau yang terletak di muar
merupakan tempat yang strategis karena berdekatan deng merupakan lalu lintas perdagangan internasional. Selain sebagai Ibu Kota
Kabupaten Rokan Hilir, Bagansiapiapi juga merupakan Ibu Kota terlepas dari sejarah Rokan Hilir.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, wilayah kewedanaan Bagansiapiapi yang meliputi
digabungkan ke dalam wilayah Kewedanaan Bagansiapiapi, yang terdiri dari
da sebagai sebuah Kabupaten baru di
Namun karena kondisi infrastruktur di
sebuah desa di sebagai sebuah ibu kota Kabupaten, maka akhirnya Bagansiapiapi, dengan
infrastruktur kota yang jauh lebih baik, pada tanggal 24 Juni 2008 resmi ditetapkan sebagai ibu kota (DPR) menyetujui 12 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan
Kabupaten/Kota dan RUU atas perubahan ketiga atas UU Nomor 53 Tahun 1999
disahkan sebagai.
Kabupaten Rokan Hilir merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis, sesuai dengan Undang-Undang nomor 53 tahun 1999. Wilayah Kabupaten Rokan Hilir terletak pada bagian pesisir timur Pulau Sumatera antara
1°14’ - 2°30’ LU dan 100°16’ - 101°21’ BT. Luas wilayah Kabupaten Rokan Hilir adalah 8.881,59 Km2, dimana Kecamatan Tanah Putih merupakan Kecamatan
terluas yaitu 1.915,23 Km2 dan Kecamatan Tanah Putih Tanjung Melawan dengan luas wilayah 198,39 Km2.
Sebelah Selatan : Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Rokan Hulu
Sebelah Timur : Kota Dumai
Sebelah Barat : Provinsi Sumatera Utara
Kabupaten Rokan Hilir terdiri dari lima belas Kecamatan, yaitu : Kubu, Bangko, Tanah Putih, Rimba Melintang, Bagan Sinembah, Pasir Limau Kapas, Sinaboi, Pujud, Tanah Putih Tanjung Melawan, Bangko Pusako, Simpang Kanan,
Batu Hampar, Rantau Kopar, Pekaitan, dan Kubu Babussalam. Dalam wilayah Kabupaten Rokan Hilir terdapat 16 sungai yang dapat dilayari oleh kapal pompong,
sampan dan perahu sampai jauh ke daerah hulu sungai. Diantara sungai-sungai tersebut yang sangat penting sebagai sarana perhubungan utama dalam perekonomian penduduk adalah Sungai Rokan dengan panjang 350 km.
Penduduk Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2012 adalah 595,695 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun
2000 – 2010 adalah sebesar 4,58% per tahun. Sedangkan sex rationya adalah 106,25 yang artinya dari setiap 100 penduduk perempuan rata- rata terdapat 107 penduduk laki-laki.
Sejarah Kota Bagansiapaipai sendiri bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Propinsi Fujian - Cina merantau
menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada di kapal tersebut agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan.Tak lama kemudian, pada
berpikiran dimana ada api disitulah ada daratan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya
tersebut, hingga tibalah mereka di daratan selat melaka.Mereka yang mendarat di tanah
tersebut sebanyak 18 orang, diantaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang
Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie
Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang
Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur
Bagansiapiapi.
Ke-esokannya, mereka mendapatkan di sungai tersebut terdapat sangat banyak ikan laut, dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup.
Mulailah mereka bertahan hidup di tanah tersebut.Mereka yang merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera mengajak sanak-family dari Negeri
Tirai Bambu sehingga pendatang Tionghoa semakin banyak. Keahlian menangkap ikan yang dimiliki oleh nelayan tersebut mendorong penangkapan hasil laut yg terus berlimpah. Hasil laut berlimpah tersebut diekspor ke berbagai benua lain hingga
kemudian menjadi sangat terkenal dan bahkan di-klaim sebagai penghasil ikan laut terbesar ke-2 di dunia setelah Norwegia.
Perdagangan di Selat Melaka semakin ramai hingga membuat Belanda melirik Bagansiapiapi sebagai salah satu basis kekuatan laut Belanda, yang kemudian oleh Belanda membangun pelabuhan yang di Bagansiapiapi, konon katanya pelabuhan
tersebut adalah pelabuhan paling canggih saat itu di selat Melaka.Tidak hanya hasil laut yang saat itu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Bagansiapiapi, tapi ada
perang dunia ke-2, Bagansiapiapi disebut sebagai salah 1 daerah penghasil karet
berkualitas tinggi yang saat itu banyak sekali dipakai untuk kebutuhan peralatan perang seperti ban dari bahan karet.
Pengolahan karet alam tersebut dilakukan sendiri oleh masyarakat Bagansiapiapi di beberapa pabrik karet di Bagansiapiapi. Namun setelah perang dunia ke-2 selesai, permintaan akan karet semakin menurun hingga beberapa Touke
menutup pabrik karet tersebut. Dan kini banyak orang telah melupakan prestasi besar karet Bagansiapiapi yang dulu sangat terkenal di Asia.
Dari sisi kebudayaan, terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah berumur ratusan tahun. Ditempat kelenteng inilah Dewa Kie Ong Ya saat ini disembahyangkan. Dewa Kie Ong Ya yang ada di dalam kelenteng tersebut adalah
bentuk utuh/asli saat leluhur Bagansiapiapi pertama kali menginjak kaki di tanah Bagansiapiapi.Beberapa versi menyebutkan asal usul kata Bagansiapiapi. Ada yang
menyebutnya karena oleh asal petunjuk api yang secara mistis diberikan oleh Dewa Kie Ong Ya saat para leluhur meminta petunjuk. Versi lain mengatakan : cahaya terang yang dilihat orang para leluhur waktu kehilangan arah adalah cahaya yang
dihasilkan oleh kunang-kunang. Dulu masih mudah menemukan kunang-kunang di kota Bagansiapiapi, namun kini agak sulit untuk melihat kunang-kunang di
Bagansiapiapi.
sejenis pohon di rawa-rawa yang biasanya disebut : pohon api-api. Dimana saat itu
perairan Bagansiapiapi terdapat banyak sekali tempat/alat penangkapan ikan dan rawa-rawa yang tumbuh oleh pohon api-api.
4.1.2 Keadaan Geografis Wilayah
Selain menjadi Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagansiapiapi juga menjadi ibu kota dari Kecamatan Bangko. Secara geografis, Bagansiapiapi terletak di
2,1578° Lintang Utara (2° 9' 28.08" N) dan 100,8163° Bujur Timur (100° 48' 58.68" E).Secara administratif, Bagansiapiapi memiliki
batas-batas wilayah sebagai berikut :
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sinaboi
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batu Hampar
• Sebelah Timur berbatasan dengan Bukit Kapur (Kota Dumai)
• Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Malaka.
Bagansiapiapi atau Kecamatan Bangko memiliki luas wilayah 475.26 km2 dan memiliki 5 Kelurahan dan 10 Desa, yaitu :
Kelurahan : Bagan Kota, Bagan Hulu, Bagan Barat, Bagan Punak dan Bagan Timur.
Desa : Labuhan Tangga Besar, Labuhan Tangga Kecil, Bagan Jawa, Parit
Bagansiapiapi termasuk
mm/tahun dan temperatur udaranya berkisar pada 24º-32 °C. biasanya terjadi pada bul
4.1.3 Perhubungan, Sarana dan Prasarana Transportasi
Bagansiapiapi dapat diakses dengan mudah dari berbagai kota dengan
menggunakan beragam moda transportasi, baik darat maupun laut. Dari ibu kota
+/- 350 km. Sementara dari ibu kota 10-12 jam perjalanan darat melalui dibutuhkan waktu tempuh 2-3 jam melalui jalan darat.
Pembangunan yang menjadi urat nadi jalan lintas Bagansiapiapi
tonggak terbukanya akses jalan darat menuju Bagansiapiapi sekaligus membebaskan Bagansiapiapi dari keterisoliran pada masa lalu yang hanya bisa diakses melalui jalur laut. Bayangkan untuk mencapai
Bagansiapiapi harus menumpang kapal ke (sekitar 12 jam). Begitu juga jika akan bepergian ke
dulu selama satu malam juga k
jembatan kembar yang akan menghubungkan daerah pesisir Bagansiapiapi dengan
Kubudan
tengahnya yait bagi Bagansiapiapi dan daerah sekitarnya karena akan memperpendek jarak tempuh
ke berbagai daerah di bagian Utara Rokan Hilir, seperti waktu sekitar 10-12 jam, akan dapat dipersingkat menjadi kurang dari 10
jam.Dengan demikian, Jembatan Pedamaran diharapkan akan membuka isolasi sejumlah daerah di pesisir Barat Laut Rokan Hilir. Proyek ini akan menghubungkan
kota Panipahan sampai ke Dumai melalui Bagansiapiapi.
Pembangunan Jalan Lintas Bagansiapiapi-Sinaboi sampai sekarang ini terus dibenahi dan ditingkatkan. Selain itu, jika rencana pembangunan jalan lintas
Sinaboi-Dumai selesai dikerjakan, maka akan menjadi jalur alternatif Jalan Lintas Bagansiapiapi-Dumai. Jalan Lintas Sinaboi-Dumai nantinya bisa mempersingkat
jarak tempuh, di mana dari Bagansiapiapi-Sinaboi hingga masuk ke Dumai hanya sekitar 78 km. Diharapkan pembangunan jalan lintas pesisir Timur Kabupaten Rokan Hilir-Kota Dumai mulai dari Bagansiapiapi-Sinaboi-Dumai akan mampu
meningkatkan perekonomian, karena jalan lintas ini memiliki peranan yang cukup strategis yang menjadikan Dumai bisa diakses dari berbagai isi.
Sedangkan melalui jalur laut, rute yang dilayani dewasa ini adalah Bagansiapiapi-Panipahan dan Bagansiapiapi Bagansiapiapi
digunakan untuk terminal kargo dan penumpang juga akan dibangun di pesisir
Sungai Rokan di kawasan perkantoran Batu Enam Bagansiapiapi. Pembangunan pelabuhan laut ini diharapkan dapat merangsang masuknya investor ke Kabupaten
Rokan Hilir untuk menanamkan modalnya di daerah yang kaya akan migas, ikan, hasil pertanian serta perkebunan setelah melihat tersedianya berbagai sarana dan prasarana di Kabupaten yang berjuluk "Negeri Seribu Kubah" ini.
4.1.4 Kependudukan
Penduduk merupakan subjek dan objek dalam pembangunan suatu daerah
serta berperan penting dalam mengelola unsur-unsur alam yang tersedia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kependudukan, diketahui bahwa pada tahun 2013 Kecamatan Bangko memiliki jumlah penduduk sebanyak 94.823 jiwa
yang terdiri dari penduduk berjenis kelamin laki-laki sejumlah 49.780 jiwa dan penduduk yang berjenis kelamin perempuan sejumlah 45.043. Dari segi etnisitas,
Tabel 4.1 JumlahPenduduk Kecamatan Bangko Menurut Jenis Kelamin
Sumber : Kantor Dinas Kependudukan Rohil, Tahun 2013 Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
Laki-laki 49.780 52,50
Perempuan 45. 043 47,50
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Bangko Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2013
Umur Jumlah Persentase (%)
0-4 Tahun 5.225 Jiwa 5,51
5-9 Tahun 8.857 Jiwa 9,3
10-14 Tahun 9.107 Jiwa 9,6
15-19 Tahun 8.538 Jiwa 9,1
20-24 Tahun 9.212 Jiwa 9,71
25-29 Tahun 9.775 Jiwa 10,3
30-34 Tahun 9.760 Jiwa 10,3
35-39 Tahun 7.624 Jiwa 8,04
40-44 Tahun 5.998 Jiwa 6.32
45-49 Tahun 5.024 Jiwa 5,3
50-54 Tahun 4.648 Jiwa 4,9
55-59 Tahun 3.743 Jiwa 3,94
60-64 Tahun 2.831 Jiwa 2,98
65-69 Tahun 1.751 Jiwa 1,84
70-74 Tahun 1.234 Jiwa 1,3
74 Tahun 1.457 Jiwa 1,53
Jumlah 94.823 Jiwa 100
Menurut agama yang dianut masyarakat Bagansiapiapi
agama mayoritas yang terutama dipeluk oleh suku Melayu, Jawa, Minangkabau dan Bugis. Suku Tionghoa mayoritas memeluk agama Buddha dan ada beberapa yang
memeluk agama Konghucu, sementara yang menganut agam Nias pada umumnya menganut agam
Tempat ibadah yang representatif bagi umat Islam di Bagansiapiapi di antaranya adal
Bagi umat Buddha terdapat Vihara Buddha Kirti, Vihara umat Katolik terdapa
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kecamatan Bangko Berdasarkan Agama
Tahun 2013
Sumber : Kantor Dinas Kependudukan Rohil, Tahun 2013
Berdasarkan mata pencaharian, penduduk Kecamatan Bangko dapat dibagi menjadi beberapa kelompok seperti yang terlihat pada tabel 4.4 di bawah ini
Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
Sumber : Kantor Dinas Kependudukan Rohil, Tahun 2013 Agama Jumlah Penganut Persentase (%)
Islam 75.795 Jiwa 79,93
Kristen 2.230 Jiwa 2.35
Katolik 289 Jiwa 0,30
Hindu 25 Jiwa 0,02
Buddha 16.446 Jiwa 17,34
Konghucu 31 Jiwa 0,03
Jumlah 94.823 Jiwa 100
Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
PNS 2755 2,90
Nelayan 1567 1,65
Buruh Nelayan 583 0,61
TNI 39 0,04
4.1.5 Pendidikan
Berhasil atau tidaknya membangun suatu derah sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang dimilikinya. Semakin maju pendidikan akan
meningkatkan sumber daya manusia yang dimiliki oleh daerah tersebut. Demikianlah pentingnya peranan pendidikan, maka sudah sewajarnyalah pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat memberikan perhatian yang besar pada
bidang ini.
Tabel 4.5 Banyaknya Sekolah di Lingkungan Dinas Pendidikan Nasional Menurut Jenis Sekolah Tahun 2011/2012
No Jenis Sekolah Negeri Swasta Jumlah
1. Taman Kanak-Kanak
- 20 20
2. SD 29 11 40
3. SMP 5 11 16
4. SMA 5 9 14
Total 39 51 90
Sumber : Dinas Pendidikan Rohil, Tahun 2012
4.1.6 Perikanan
sebanyak 46.781 ton atau 98,46% merupakan hasil perikanan laut dan perairan
umum dan hanya 730,81 ton (1,54%) hasil dari perikanan budidaya. Bila dibandingkan dengan total produksi ikan pada tahun sebelumnya yang berjumlah
57.850 ton berarti produksi perikanan mengalami penurunan sebesar 17,87 ton. Sedangkan untuk Kecamatan bangko, produksi perikanannya tercatat sebanyak 7,486.55 ton yang merupakan total dari perikanan tangkap dan budidaya dan
menempati posisi ketiga dengan jumlah hasil perikanan terbanyak di Rokan Hilir.
Tabel 4.6 Produksi Perikanan Kecamatan Bangko Tahun 2012 (Ton)
No Perikanan Tangkap Budi Daya Jumlah
1. Perikanan Laut
Perikanan Umum
Kolam Keramba
7.486,55
7.430 43 13,55 -
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Rohil, Tahun 2012
4.2 Profil Informan
1. Nama : Efandi (Hok-lua)
Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 48 Tahun
Agama : Buddha Pekerjaan : Nelayan
Bapak Efandi adalah salah satu nelayan Etnis Tionghoa yang sudah bekerja
menjadi nelayan selama lebih dari 30 tahun dimana, beliau telah menjadi nelayan sejak masih bujang (lajang). Bapak Efandi menjadi nelayan karena sewaktu kecil
sering ikut orang tuanya melaut. Pak Efandi hanyalah tamatan Sekolah Dasar, setiap hari Pak Efandi pergi melaut bersama 3 orang rekannya menggunakan kapal miliknya. Pak Efandi pergi melaut 3 kali dalam seminggu dan menginap 2 malam di
laut. Tak ada cara khusus untuk melihat cuaca baik atau buruk untuk pergi melaut, biasanya para nelayan hanya melihat dari tingginya air pasang dan kencangnya
angin yang berhembus. Sedangkan untuk harga jual hasil tangkapan berbeda tiap jenisnya dan para nelayan biasa bertukar informasi mengenai harga jual yang didapat dari penampung hasil tangkapan. Kekompakan para nelayan ini juga dapat
dilihat dari seringnya mereka membantu sesama nelayan Tionghoa apabila ada yang terkena musibah walaupun keadaan mereka juga tidak ataupun kurang baik.
Pak Efandi juga menjalin hubungan sosial yang baik dengan sesama nelayan
Tionghoa maupun nelayan pribumi. Sedangkan untuk modalnya pergi kelaut Pak Efandi menggunakan uangnya sendiri yang ia tabung dari hasil melaut. Sedangkan
untuk menjual hasil tangkapannya, Pak Efandi tidak pernah menjual ke tempat lain selain ke bangliau, terkecuali jika ada tetangganya yang memesan ikan ataupun udang. Pak Efandi juga menjalin hubungan yang baik dengan para tengkulak atau
pemilik bangliau. Untuk peraturan dalam melaut Pak Efandi mengaku tidak ada peraturan yang terlalu mengikat, siapa saja boleh menangkap ikan, udang, kepiting