• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN PROFIL INFORMAN

4.4 Modal Sosial Pada Nelayan Etnis Tionghoa di Bagansiapiapi

4.4.3 Nilai dan Norma yang Dimiliki Nelayan Tionghoa d

Nilai merupakan suatu ide ataupun suatu hal yang telah lama ada dan turun temurun dianggap benar dan penting oleh masyarakat, sedangkan norma merupakan aturan-aturan yang memiliki sangsi sosial yang ada dan berlaku dimasyarakat dan diharapkan dapat dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat guna menghindari terjadinya perbuatan yang menyimpang. Begitu pula halnya dalam bekerja sebagai nelayan yang mencari ikan dan biota laut lainnya tentunya ada nilai dan norma yang mengatur para nelayan agar tidak salah dalam menangkap hasil laut.

Dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan, tidak ada ada aturan-aturan khusus yang mengikat yang dibuat dan disepakati oleh nelayan baik itu nelayan Tionghoa ataupun nelayan pribumi. Karena menurut para nelayan ini dalam melaut dan mencari nafkah tidak perlu ada peraturan-peraturan khusus karena siapa saja bisa berhak menangkap ikan selagi masih di perairan Riau. Namun, terdapat aturan dalam membayar atau menggaji nelayan Tionghoa sebagai buruh yang ikut kerja dengan nelayan Tionghoa sebagai taukeh. Aturan membayar atau menggaji merupakan bentuk perilaku jujur dan timbal balik dari kerjasama yang terjalin. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Ahok :

“Bapak digaji oleh taukeh Bapak setelah kita pulang dan menjual hasil tangkapan di banggliau. Biasanya Bapak mendapat Rp 150.000, tak jarang pula Bapak mendapat lebih karena Bapak jujur dalam bekerja dan tidak banyak tingkah”.

Hal lainnya pun diungkapkan oleh Bapak Bumbing :

“Dalam menggaji orang yang ikut dengan Bapak tentunya ada aturanlah, tidak boleh menggaji yang tidak sesuai dengan kerjanya. Bapak juga selalu terbuka dan jujur dengan anggota Bapak mengenai hasil penjualan, jadi mereka juga tidak pernah berpikir Bapak menggaji mereka tidak sesuai dengan keja mereka dan juga hasil jual tangkapan”.

Dari kedua pernyataan di atas menjelaskan bahwa dalam menggaji anggota juga harus ada aturan dan tidak boleh mengurangi gaji anggota. Harus ada keterbukaan juga antara nelayan Tionghoa dengan anggotanya seperti pada hasil penjualan tangkapan melaut, karena dari hasil penjualan itulah nelayan Tionghoa memberikan upah kepada anggotanya. Tidak boleh menggaji anggota kurang dari biasanya apalagi jika hasil tangkapan banyak, lain hal jika hasil tangkapan sedikit, karena banyaknya hasil tangkapan juga mempengaruhi upah yang akan dibayarkan kepada anggota tersebut.

Jika dalam melaut sesama nelayan tidak pernah membuat peraturan yang mengikat, peraturan dalam melaut muncul dari pemerintah yang melarang para nelayan untuk menangkap ikan lumba-lumba dan penyu yang memang banyak terdapat di pulau jemur, salah satu pulau yang tidak jauh dari Bagansiapiapi dan merupakan daerah para nelayan dalam mencari tangkapan, sepeti yang dituturkan oleh Bapak Cingkiong berikut ini :

“Selama ini saya melaut, tidak pernah ada peraturan yang dibuat oleh sesama nelayan, mau itu nelayan Tionghoa ataupun nelayan kampung (pribumi). Karena semua sama saja, boleh tangkap ikan apa saja, namanya juga mencari untuk makan jadi tidak perlu ada peraturan yang mengikat. Cuma baru-baru ini memang ada saya dengar peraturan dari pemerintah, yaitu tidak boleh tangkap ikan lumba-lumba karena itu merupakan hewan yang dilingdungi, penyu juga kita tidak boleh tangkap, kalau kita tangkap nanti bisa kena denda”

Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Anto (Cuanna) :

“Tak pernah adalah peraturan yang kami buat sesama nelayan ini dalam melaut, yang ada hanya peraturan dari pemerintah, yaitu kita tidak boleh tangkap ikan lumba-lumba sama penyu kalaupun tertangkap kita harus lepaskan lagi, karena kalau ketahuan kita tangkap ikan lumba-lumba kita bisa kena sangsi hukum, karena itu ada undang-undangnya.”

Dari penuturan Bapak Cingkiong dan Bapak Anto (Cuanna) di atas, dapat kita ketahui bahwasanya memang tidak pernah ada peraturan yang dibuat oleh sesama nelayan di Bagansiapiapi ini, semua nelayan bebas untuk melaut dan menangkap ikan, karena ditakutkan jika dibuat peraturan yang ada nanti para nelayan akan susah dalam melaut dan banyak terjadi kecurangan serta tindakan-tindakan yang dapat merugikan para nelayan. Selain itu peraturan yang ada dari pemerintah merupakan peraturan yang memang berguna bagi kelangsungan biota laut yang dilindungi seperti lumba-lumba dan penyu. Dilarangnya menangkap ikan lumba- lumba dan penyu memang beralasan karena kedua hewan tersebut merupakan hewan yang dilindungi dan harus dijaga kelestarian karena kedua hewan tersebut sudah hampir punah, apalagi penyu yang diketahui membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh besar dan berkembang biak.

Peraturan yang dibuat oleh pemerintah ini diikuti dan dijalankan oleh semua nelayan, tak jarang jika ikan lumba-lumba masuk kedalam jaring nelayan maka akan dilepaskan kembali oleh nelayan begitu juga dengan penu ataupun anak penyu yang tidak sengaja terjaring maka akan dilepaskan kembali. Jika ketahuan ada nelayan yang menangkap salah satu atau kedua hewan tersebut dan tidak melepaskannya akan dapat sanksi dan denda dari pemerintah, kecuali ikan lumba- lumba yang terjaring memang sudah dalam keadaan mati biasanya akan dibawa pulang dan dijual oleh nelayan. Namun selama ini belum ada nelayan yang melanggar peraturan dari pemerintah tersebut.

Nilai – nilai kejujuran juga tercermin dalam menjalankan pekerjaan sebagai nelayan, dimana nelayan jujur dalam menjual hasil tangkapannya kepada orang lain, jujur dalam bekerja kepada taukeh dan jujur dalam sistem bagi hasil. Sedangkan nilai budaya yang ada hanyalah untuk memberikan waktu kepada nelayan agar dapat mengucapkan syukur kepada dewa atas apa yang telah diperoleh. Nilai budaya itu berupa tidak melautnya para nelayan Tionghoa pada saat perayaan hari besar agama mereka yaitu imlek, Cap Go Meh dan ritual bakar tongkang.

Seperti yang dikatakan oleh Bapak Bumbing :

“Menjadi nelayan ini tidaklah berpenghasilan tetap, jadi dalam bekerja kejujuran itu sangat diperlukan. Sejauh ini saya bersama dengan beberapa orang yang melaut dengan saya selalu mengedepankan kejujuran agar tidak ada salah paham, begitu juga dalam menjual hasil tangkapan harus jujur bahwasanya yang dijuala adalah tangkapan yang masih bagus untuk dikonsumsi”.

“Dalam bekerja sama kejujuran itu penting, makanya kalau sudah nimbang hasil tangkapan lihat dan perhatikan begitu juga saat pembagian hasil agar sama rata dan sesuai penghasilan dengan hasil tangkapan. Kita akan libur untuk sembahyang sembari mengucap syukur kepada dewa saat imlek, Cap Go Meh dan ritual bakar tongkang”.

Benar apa yang dikatakan oleh kedua informan diatas bahwasanya menjalin dan menjaga kepercayaan itu berawal dari kejujuran. Jika sama-sama jujur dalam bekerja maka akan terhindar dari kesalahpahaman yang dapat memecah dan membuat buruk suasana dan kehidupan bersosial. Tak lupa pula kiranya nelayan Etnis Tionghoa ini untuk selalu bersyukur kepada Dewa yang telah membukakan pintu rejeki mereka, hal itu terlihat dari tidak akan pergi melautnya nelayan Tionghoa saat perayaan imlek, cap gomeh dan ritual bakar tongkang, dimana mereka akan pergi ke vihara atau klenteng untuk sembahyang, serta ikut dalam upacara bakar tongkar yang merupakan perwujudan ucapan terimakasih mereka.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan pemaparan hasil penelitian dibab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :

1. Faktor utama yang membuat sebagian dari Orang Tionghoa di Bagansiapiapi menjadi nelayan yaitu karena faktor warisan atau keturunan. Yang dimaksud sebagai faktor keturunan atau warisan adalah dimana para nelayan Etnis Tionghoa ini menjadi nelayan karena sejak kecil sudah diajak dan diajarkan melaut oleh orang tua dan kakek mereka yang membuat mereka tidak mengenal pekerjaan lain selain melaut sehingga, sampai saat inipun mereka tetap bertahan menjadi nelayan.

2. Faktor selanjutnya yang membuat Nelayan Tionghoa ini memilih bekerja sebagai nelayan adalah kerena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Para nelayan Tionghoa ini tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang tinggi dikarenakan seringnya mereka diajak melaut, sehingga membuat mereka tidak memiliki keahlian lain dan tidak terbukanya pemikiran mereka untuk mencari pekerjaan lain.

3. Faktor terakhir yang membuat nelayan Tionghoa ini memilih bekerja sebagai nelayan adalah karena tidak pandai atau kurang lancarnya mereka berbahasa

Indonesia. Dari kecil nelayan Tionghoa ini tidak diajarkan berbahasa Indonesia, hal ini tentunya membuat mereka terhambat dalam berkomunikasi dengan orang lain sehingga susah untuk mencari pekerjaan lain karena keterbatasan berbahasa yang dapat menimbulkan konflik dan salah paham dengan orang lain.

4. Modal sosial merupakan suatu cara ataupun konsep yang dimiliki seseorang atau kelompok dalam menjalin hubungan dan menumbuhkan rasa saling percaya yang akan membentuk suatu jaringan dalam mencapi tujuan dan nilai hidup yang sama. Nelayan Tionghoa di Bagansiapiapi memiliki modal sosial berupa kepercayaan, jaringan serta nilai dan norma yang tumbuh berdasarkan kesamaan pekerjaan.

5. Kepercayaan merupakan modal awal yang dimiliki Etnis Tionghoa dalam bekerja sebagai nelayan. Kepercayaan merupakan suatu bentuk rasa harapan kepada orang lain dalam menjalan suatu pekerjaan ataupun dalam mencapai suatu tujuan hidup. Kepercayaan yang ada pada nelayan Etnis Tionghoa terjalin antar sesama nelayan Tionghoa dan nelayan pribumi, dengan bangliau, dan juga dengan masyarakat yang bukan nelayan.

6. Jaringan sosial merupakan hubungan antar individu yang memiliki kepentingan yang sama. Jaringan yang terbentuk antara nelayan Tionghoa dengan nelayan lainnya baik itu Etnis Tionghoa atau bukan, dengan bangliau, dan dengan masyarakat yang bukan nelayan memudahkan mereka dalam melaut dan menjual hasil tangkapan dari melaut.

7. Nilai merupakan suatu hal yang telah lama ada dan turun temurun dianggap benar oleh masyarakat sedangkan norma merupakan aturan-aturan yang memiliki sangsi. Nilai dan norma yang berlaku pada nelayan Tionghoa ini berguna untuk mengatur para nelayan agar tidak menangkap hewan laut yang dilindungi, serta memberikan waktu kepada nelayan Tionghoa untuk mengucap syukur kepada dewa-dewi yang telah memberikan rezeki kepada mereka.

5.2 Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan dari kesimpulan dan pemaparan bab- bab sebelumnya adalah sebagai berikut :

1. Perlu kiranya para Nelayan Tionghoa untuk mengajarkan bahasa Indonesia kepada anak mulai dari usia dini selain mengajarkan bahasa Hokkien agar besar nanti tidak terhambat dan tidak susah berkomunikasi dengan orang lain dikarenakan tidak fasihnya berbahasa Indonesia.

2. Memberikan hak kepada siapa saja untuk dapat bersekolah karena pendidikan merupakan hal penting saat ini. Pendidikan juga merupakan salah satu faktor untuk menaikkan kedudukan sosial di masyarakat.

3. Tetap menjaga hubungan sosial yang telah lama ada dan hidup dimasyarakat antara Etnis Tionghoa dan pribumi demi menjaga kedamaian dan kerukunan hidup bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, H.M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Bandung : Kencana Prenada Media Group.

Coleman, James S. 2008. Dasar-Dasar Teori Sosial. Bandung : Nusa Medi Damsar, 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Kencana.

Damanik, Fritz H.S. 2009. Fokus Sosiologi. Jakarta : Erlangga. Field, John. 2011. Modal Sosial. Kasihan, Bantul : Kreasi Wacana.

Fukuyama, Francis. 2001. Trust Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta : Qalam.

Moleong, Lxy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. PT. Remaja Rosdakarya. Offset : Bandung

Mahyudin, Sudarno, 2006. Gema Proklamasi Kemerdekaan RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.

Nasution, M. Arif, dkk. 2008. Metode Penelitian. Medan : Fisip USU Press.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT Rafika Aditama. Soehartono, Irawan. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung : Remaja Rosdakarya. Sugiono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif-Kualitatif dan R&D. Bandung :

Alfabeta.

Suryadinata, Leo. 1984. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta : LP3ES. Tim Pengasuh Mata Kuliah. 2010. Himpunan Materi Mata Kuliah Sosiologi. Medan. Wibowo, Singgih, dkk. 2000. Petunjuk Mendirikan Perusahaan Kecil. Jakarta :

Penebar Swadaya.

Sumber Jurnal dan Skripsi:

Cahyono Indra. 2011. Upaya Masyarakat Etnis Tionghoa Dalam Melestarikam Tradisi Cap Go Meh di Pecimaan Semarang. Jurnal Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Ganarsih, Rahmi. 2011. Peran Modal Sosial DalamPemberdayaan Perempuan Pada Sektor Informal (Studi Kasus Pada Pedagang Warung Nasi Di Pasar Depok Lama Pancoran Mas Depok). Skripsi Program Studi Sosiologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Handayani, Niken. 2007. Modal Sosial Dan Keberlangsungan Usaha (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Keterkaitan Hubungan Modal Sosial Dengan Keberlangsungan Usaha Pengusaha Batik Di Kampung Kauman, Kelurahan Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta). Skripsi Program Studi Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Nopianti, Heni dan Nia Elvina. Modal Sosial pada Komunitas Nelayan di Pulau Baai (Studi Pada Nelayan di Kelurahan Sumber Jaya Kecamatan Kampung Melayu Kota Bengkulu). Jurnal Program Studi Sosiologi Universitas Negeri

Bengkulu.

wib.

M.Yafiz, dkk. 2009. Analisis Finansial Usaha Penangkapan Ikan dalam Model Perbaikan Kesejahteraan Nelayan di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Jurnal Perikanan dan Kelautan.

Pradnyana, Putra Agus Yogi.Pemanfaatan konsep modal sosial dalam pengelolaanObyek wisata pantai kedungu, desa belalang KabupatenTabanan(studi kasus: obyek wisata pantai kedungu, desa belalang KabupatenTabanan). Jurnal Program Studi Administrasi Negara Universitas Udayana Bali.

Pratama, Ichsan. 2013. Modal Sosial Pedagang Kaki Lima Di Jalan Gambir Tanjung Pinang (Studi PKL Sayur-sayuran). Naskah Publikasi Program Studi Sosiologi Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Randy Agustian dan Yoserizal. 2013. Etnosentrisme komunitas Tionghoa di Kota

Bagan Siapi-api Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir

09.10 wib.

Saragih, Viana Rofinita. 2011. Analisis Penggunaan Peluang Modal Sosial dalam Pemeliharaan Prasarana Jalan. [Skripsi] Departemen Sosiologi, Universitas Sumatera Utara.

Setiawaty, Shanty. 2008. Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936. Tesis Program Studi Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.

HA.pdf&ei=UM21VNLsIcmGuASRnoCYBg&usg=AFQjCNHQ3bbkeTfgh 3xsfLEcKMMPW2LJyg&sig2=kYh8HpgCDJSjsn4LEIQJow&bvm=bv.836 40239,d.c2E, diakses pada tanggal 10 September 2014 Pukul 10:52 Wib). Suparlan, parsudi. 2003. Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dlam Masyarakat

Majemuk Indonesia. Jurnal Antropologi. diakses 15 April 2014 / 19.15 wib).

Syahputra, Doni. 2007. Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Penjualan Kendaraan Bermotr (Studi Kasus Terhadap Wiraniaga di Auto 2000, Jl. Sisingamangaraja No. 8 Medan ). [Skripsi]Medan : Departemen Sosiologi, Universitas Sumatera Utara.

Syukur, Herman, dkk. 2006. Modal Sosial dan Pengembangan Civil Society.

Yuspardianto, Bukhari dan Helpi Syaputra. 2003. Pengaruh Waktu Operasional Terhadap hasil Tangkapan Bubu Tiang Dasar di Perairan bagan Siapiapi

Kabupaten Rokan Hilir, Provisnsi Riau.

Sumber Lainnya : 19.10 wib. http://fieyanh.wordpress.com/minapolitan/klasifikasi-jenis-alat-tangkap-ikan-besar- di-indonesia diakses 21 juni 2014 / 22.00 wib.

diakses pada 23 Juni 2014 / 21.00 wib

htttp://weru-paciran.blogspot.com/2010/01/pwnangkapan-ikan-laut-dan-dan-jenis- alat.html diakses pada tanggal 23 Juni 2014 / 21.00 wib.

07.00 wib.

LAMPIRAN

Gambar 1.

Bangliau atau yang biasa disebut dengan Tempat Penampungan Ikan.

Gambar 2

Dermaga yang bersebelahan dengan bangliau tempat nelayan Tionghoa biasa menyandarkan perahunya.

.

Gambar 3.

Ikan asin yang dibuat oleh salah satu nelayan Tionghoa

Gambar 4.

Gambar 5.

Bapak Efandi salah satu informan yang merupakan nelayan Etnis Tionghoa

Gambar 6.

Proses pembuatan jaring untuk melaut oleh istri nelayan Etnis Tionghoa dan dibantu oleh Nelayan Etnis Tionghoa

Gambar 7.

Rumah milik nelayan Etnis Tionghoa

Gambar 8.

Bapak Ahok, salah satu informan nelayan Etnis Tionghoa yang tidak pandai berbahasa Indonesia.

Dokumen terkait